Share

Rindu

Author: Fin Nabh
last update Last Updated: 2023-07-17 23:02:05

Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu..

~~~

Engghh…

Aveline terbangun dengan perasaan yang tak nyaman. Kepalanya berdenyut seperti dipukul benda tumpul, dan perutnya… mual. Bukan mual biasa, tapi mual yang merayap pelan dan menghantam keras, membuat tubuhnya lemas tak berdaya.

Dengan napas tersengal, ia bangkit dari tempat tidur dan terhuyung ke kamar mandi. Detik berikutnya, suara muntahan menggema di antara dinding porselen, menyisakan rasa asam dan getir di mulutnya.

Saat semuanya reda, ia menatap bayangan dirinya di cermin—pucat, lelah, dan kosong.

Kembali ke kamar, ia meraih ponsel di sofa. Jemarinya bergerak refleks, membuka layar, berharap ada sesuatu.

Satu pesan. Satu panggilan. Apapun.

Tapi tidak ada. Hanya jam digital yang terus berlari ke depan, meninggalkannya di belakang.

Cassian masih tak memberi kabar.

Sejak malam itu, Cassian terus menghindarinya. Ia sengaja melewatkan sarapan dan pulang larut malam untuk menghindari interaksi. Bahkan, hampir dua minggu terakhir, pria itu tidak pulang sama sekali. Cassian hanya bilang harus keluar kota—tanpa alasan, tanpa kepastian kapan pulang. Ketidakjelasan itu membuat Aveline frustasi karena rasa rindunya pada sang suami.

Trttt…

Sofia is calling…

Sofia, manajer Dreamweaver Interiors, tim interior design yang Aveline bentuk bersama teman-temannya.

Aveline mengangkat telepon dengan suara yang terdengar lebih stabil dari yang ia rasakan. “Iya, Sof. Ada apa?”

Inget proyek Pawsome, gak?” suara Sofia terdengar cemas di seberang.

“Yang dihandle Fredi, kan?”

Yup.

“Kenapa? Bukannya desainnya udah di-ACC?”

Gak semuanya. Desain buat ruangan CEO udah dua kali ditolak. Kalau desain ketiga ini masih gak cocok juga, mereka ngancem bakal batalin kerja sama.” Sofia menarik napas gelisah. “Padahal semua supplies udah kita pesan, Ave. Gimana dong?!

Aveline memejamkan mata sejenak, mencoba memutar otak meski kepalanya masih berat. “Tenang, Sof. Gue yang ketemu langsung sama CEO-nya. Gue ajak ngobrol—mungkin dia punya selera khusus yang belum kita tangkap.”

Serius? Lo yakin sanggup?

Aveline mengangguk pelan meski Sofia tak bisa melihatnya. “Iya. Gue gak mau proyek ini gagal cuma karena kita salah baca karakter orang.”

Okay. Kita ketemu langsung di lokasi, ya. Nanti gue bawain semua bahan dan moodboard-nya.

“Oke. See you, Sof.”

Begitu sambungan terputus, Aveline kembali menatap layar ponselnya.

Masih kosong.

Helaan napasnya kali ini lebih berat, lebih dalam—seolah mencoba mengusir rasa kecewa yang makin hari makin menumpuk tanpa bentuk.

Tanpa sempat mengisi perut atau memproses emosinya, Aveline bergerak. Mau bagaimanapun, dia juga punya tanggungjawab lain.

Setibanya di gedung perkantoran yang umumnya disewa oleh startup pemula, Aveline turun dari taksi online yang dipesannya. Belakangan ini, tubuhnya mudah sekali lelah, jadi ia memilih taksi dibanding harus mengemudi sendiri.

Begitu menjejakkan kaki di lobi, matanya langsung menangkap sosok Sofia yang sudah menunggunya.

“Sof, maaf ya. Jalanan macet banget. Sudah lama nunggu?” sapa Aveline sambil menghampirinya.

Sofia menggeleng. “Baru juga sampai. Yuk, langsung naik.”

Mereka pun berjalan menuju lift dan naik ke lantai lima, tempat kantor sementara Pawsome berada. Sesampainya di sana, mereka langsung menuju meja resepsionis.

“Mbak, kami dari Dreamweaver Interiors, ingin bertemu dengan Bu Sarah,” ujar Sofia dengan senyum ramah.

Petugas yang berjaga membalas senyumnya dan mengangguk. “Baik, Ibu. Silakan saya antar.”

Mereka mengikuti pegawai itu melewati beberapa lorong hingga akhirnya tiba di ruang tunggu. Tak perlu menunggu lama, Bu Sarah muncul menyambut mereka.

“Mbak Sofia, desainnya sudah jadi?” tanyanya, tampak sedikit terkejut.

Sofia segera menggeleng. “Belum, Bu. Kami ke sini untuk memastikan kembali arahan desain dari CEO Pawsome. Takutnya ada miskomunikasi kemarin.”

Bu Sarah mengangguk pelan. “Oh, begitu. Desainer yang sebelumnya tidak bisa hadir ya?”

Aveline melangkah maju dan mengulurkan tangan. “Iya, Bu. Perkenalkan, saya Aveline. Saya yang akan menangani proyek ini ke depannya.”

Bu Sarah menjabat tangan Aveline sambil tersenyum. “Baik. Kalian butuh bantuan apa?”

Aveline mengambil tablet dari tangan Sofia. “Kami ingin meninjau langsung ruangan CEO Pawsome. Data kami menunjukkan bahwa konsep desain sebelumnya sudah sangat mirip dengan ruangan yang sekarang, jadi kami perlu memastikan kembali sebelum melanjutkan desain.”

“Kalau ruangan, tentu boleh dilihat. Tapi CEO-nya sedang tidak ada,” jawab Bu Sarah.

“Tidak apa-apa, Bu. Kami tetap bisa mulai observasi,” ujar Aveline.

Mereka lalu mengikuti Bu Sarah menuju ruangan CEO. Begitu pintunya terbuka, Aveline langsung memperhatikan interior yang terasa dingin dan modern. Warna abu-abu mendominasi ruangan luas itu. Sofa kulit hitam di pojok tampak mengilap, pencahayaan dari lampu gantung bergaya minimalis menambah kesan profesional dan berwibawa.

Gaya desain seperti ini memang cocok untuk seorang CEO.

Aveline mulai menelusuri ruangan, mengamati setiap detail. Sementara itu, Sofia sibuk mencatat beberapa poin penting. Namun, semakin lama Aveline memperhatikan, semakin ia merasa ada yang janggal.

“Kenapa, Ave?” tanya Sofia, melihat ekspresi Aveline yang mulai berubah.

“Desain ini... mirip banget sama konsep yang dibuat Fredi untuk CEO di gedung baru. Bahkan bisa dibilang terlalu mirip,” jawab Aveline pelan.

Sofia mengerutkan dahi. “Mungkin lo emang perlu bicara langsung dengan CEO-nya.”

Aveline mengangguk. “Bu Sarah, apa kami bisa bertemu langsung dengan CEO Pawsome?”

“Silakan buat janji dengan sekretarisnya,” jawab Bu Sarah.

“Apakah sekretarisnya ada di sini juga?”

Bu Sarah menggeleng. “Tidak. Sekretarisnya bekerja di Rinaldi Corp.”

Aveline dan Sofia saling pandang, jelas terkejut.

“Jadi... Pawsome ini bagian dari Rinaldi Corp.?” tanya Sofia.

“Bukan. Pawsome berdiri sendiri. Tapi CEO kami saat ini juga menjabat sebagai CEO sementara di Rinaldi Corp.,” jelas Bu Sarah tenang.

Aveline merasa jantungnya mencelos. Nama itu pasti akan muncul.

“Siapa nama CEO Pawsome, Bu?” tanyanya pelan, meski ia sudah menduga jawabannya.

“Pak Cassian. Cassian Ardentio Wijaya.”

Dunia Aveline terasa berhenti sejenak. Suaminya. Nama itu kembali muncul di tempat yang tak pernah ia duga. Dan satu lagi fakta baru tentang Cassian yang belum pernah ia dengar langsung darinya.

“Bu, apakah beliau biasa datang ke sini setiap hari?” tanya Aveline, mencoba tetap tenang.

“Ya. Biasanya setiap pagi, sampai sekitar pukul sepuluh.”

“Termasuk pagi ini?”

Bu Sarah mengangguk. “Betul. Mungkin kalau Mbak datang lebih pagi, bisa bertemu langsung.”

Aveline tercekat. Jadi... selama ini Cassian tidak ke luar kota, tapi justru ke sini setiap pagi?

Tanpa banyak bicara, Aveline buru-buru mengeluarkan ponsel. Tangannya gemetar saat membuka aplikasi taksi online. Sofia hanya menatapnya bingung.

“Terima kasih banyak, Bu Sarah. Kami pamit dulu. Saya akan langsung ke Rinaldi Corp. untuk urusan ini,” ujar Aveline sambil menyalami Bu Sarah. Sofia mengikutinya dari belakang, masih tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

“Hah? Lo beneran mau ke Rinaldi Corp. sekarang? Sendirian?” tanya Sofia dengan nada terkejut saat mereka keluar dari kantor Pawsome dan menuju lobby gedung.

Aveline mengangguk tanpa ragu, sambil sesekali mengecek ponselnya. “Biar gue aja yang ke sana. Lo balik ke kantor aja, deh,” jawabnya sambil melihat taksi online-nya yang sudah tiba. “Tablet ini gue bawa, ya?”

Sofia mengangguk pelan, lalu pergi begitu Aveline masuk ke dalam taksi. Di perjalanan menuju Rinaldi Corp., Aveline hanya bisa fokus memikirkan satu hal, Cassian.

Kak Ian bilang mau keluar kota. Tapi dia sempat ke Pawsome pagi ini? Lalu diam-diam jadi CEO di Pawsome juga? Apa semua ini bagian dari rencananya buat mundur… dari semuanya? Termasuk dari pernikahan ini?

Perasaan campur aduk menguasai pikirannya, tapi ia mencoba menenangkan diri. Rasanya seperti ada banyak teka-teki yang harus dipecahkan, dan yang lebih parah, dia merasa seperti salah satu bagian dari teka-teki itu.

Setibanya di lobby gedung Rinaldi Corp., Aveline langsung melangkah cepat menuju lift dan menekan tombol untuk lantai paling atas. Di sini, hampir tidak ada yang mengenalnya. Aveline memang jarang sekali mengunjungi gedung ini, apalagi menghadiri acara-acara perusahaan, meskipun beberapa pejabat mungkin masih ingat dirinya, dulu sering dibawa oleh Papa Vincent.

Begitu keluar dari lift, Aveline menyusuri koridor lantai atas yang sepi. Dinding-dinding di sekitarnya tampak bersih dan baru, meski kesannya tetap sama seperti yang ia ingat. Tak banyak yang berubah, kecuali cat yang selalu diperbarui.

Setelah beberapa langkah, ia menemukan pintu bertuliskan "CEO". Dengan satu ketukan, ia langsung membuka pintu itu begitu mendapat izin dari dalam.

Dan begitu ia melangkah masuk, ia langsung membanting pintu dengan keras. Suasana dalam ruangan seketika terkejut, seiring matanya menangkap sosok Cassian yang duduk di sana bersama seorang pria yang jelas-jelas asistennya.

Cassian mendongakkan kepalanya, dan pandangan mereka bertemu. Aveline merasa dadanya seperti dihantam keras. Bukan karena marah, tapi ada rasa yang jauh lebih dalam.

RINDU yang sangat menyakitkan.

Tubuh Aveline terasa kaku, tetapi jantungnya berdegup lebih cepat dari yang bisa ia kendalikan.

Kenapa dia masih bisa bikin gue kayak gini? pikir Aveline, tapi suaranya tak mampu keluar seperti yang ia inginkan.

“Kak I...” suaranya bergetar. Pandangannya mulai kabur, dan segala sesuatu di sekitarnya terasa berputar. Nafasnya tercekat.

Langkahnya goyah, dan seketika tablet yang dipegangnya terjatuh.

Lalu, dunia sekelilingnya tiba-tiba menjadi gelap.

Brukk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misi Menggoda Hati   Menghilang

    Saking sibuknya kembali merintis showroom mobil mewah yang reputasinya sempat hancur, Nicholas hampir tak punya waktu memikirkan hal lain.Hampir.Karena meskipun ia marah dan kesal pada Aurora. Perempuan yang telah membuatnya kehilangan hampir seluruh sumber pemasukannya, yang entah kenapa, malam-malamnya selalu dihabiskan untuk menunggu telepon dari wanita itu.Nicholas berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang remang. Jemarinya tanpa sadar menggulir layar ponsel, membuka kontak yang sama, menunggu nama “Rara” muncul di layar.Dia membenci dirinya sendiri karena ini.Dia tahu seharusnya dia marah, menjauh, atau bahkan melupakan perempuan itu. Tapi setiap kali mengingat suara lirihnya yang menangis di panggilan terakhir, ada bagian dari dirinya yang melunak.Panggilan terakhir dari Aurora adalah hampir sebulan yang lalu. Setelahnya sudah tidak ada lagi. Namun, ia masih menunggu hingga kini."Dasar bodoh…" gumamnya pada diri sendiri, membuang ponsel ke kasur, lalu me

  • Misi Menggoda Hati   Cukup Begini

    “DASAR PENGKHIANAT! LO SEMBUNYI DI MANA, HAH?”Suara Nicholas menggelegar begitu keras hingga Aurora nyaris menjatuhkan ponselnya. Tubuhnya menegang. Mata membelalak, bibir bergetar. Tapi ia tetap diam, tak mematikan video. Hanya menatap wajah itu. Wajah yang selama ini ia rindukan, meski kini penuh amarah.Aurora tidak tahu apa yang terjadi di sana, tapi dari sikap Nicholas, sepertinya Ryan sudah bertindak.“Apa lo puas sekarang?” Nicholas menggeram. “Bisnis gue ancur. Gue kehilangan semuanya dan lo...—lo ternyata dalangnya?”Meski terbiasa dengan nada sinis dan bentakan Nicholas, kali ini tetap mengguncangnya. Dulu, sebelum hamil, Aurora masih bisa menahan diri. Tapi sekarang, entah karena hormonnya atau luka yang lama, air mata itu tak bisa lagi dia cegah.HiksSebuah isakan lolos dari bibirnya sebelum ia memutuskan panggilan secara sepihak.“Gak bakal gue telepon lo lagi,” ujarnya serak, masih dengan suara tangis.Air matanya belum sempat kering saat ponselnya kembali bergetar.Ni

  • Misi Menggoda Hati   Katanya Pengkhianat

    “Jadi cowok yang di story lo itu tunangannya Letta, sekaligus sepupu lo?” Tunjuk Adit, salah satu teman seperjuangannya di bawah bimbingan Ryan, pada Bima yang duduk berdampingan dengan sang tunangan.Adelia mengangguk dengan raut wajah bingung. Begitupun dengan Bima dan Letta. Pasalnya, Adit secara tak terduga menghampiri meja mereka dan menanyakan pertanyaan itu tanpa berbasa-basi lebih dulu. Mereka saat ini tengah menghadiri acara ramah tamah fakultas mereka, karena besok sudah akan diadakan wisuda.Yah... Adelia bisa ikut wisuda besok. Bukan karena Ryan yang berubah pikiran, tapi karena bagian administrasi yang memperpanjang deadline pendaftaran sidang tutup.“Emangnya kenapa lo tiba-tiba nanya kek gitu, Dit?” Tanya Letta.Adit menghela napas lelah, lalu menatap Adelia dan Letta bergantian. “Kalian tau kan kalau gue sepupuan sama Pak Ryan?”Mood Adelia tiba-tiba jelek. Kenapa dosen menyebalkan itu disebut?“Iya kita tau..” Ujar Letta cepat. Dia merasa penasaran kenapa Adit membaha

  • Misi Menggoda Hati   Hamil

    Di sebuah ruang kerja dengan konsep tradisional, yang hampir semua furniturenya tampak mahal karena terbuat dari kayu jati, termasuk sofa yang tengah di duduki oleh dua pria paruh baya. Mereka duduk berhadapan dengan suasana berat disekitar mereka.“Bayu… aku terus terang aja, aku udah gak tenang lihat Aurora terus-terusan pasang badan buat Nicho.” Papa Vincent menghela nafas berat.Papi Bayu terlihat merenung sebentar sebelum menjawab. “Aku ngerti perasaan kamu, Vincent. Seharusnya suami yang melindungi istrinya. Bukan sebaliknya.”Papa Vincent mengangguk pelan. “Setelah kejadian itu… setelah semua yang Nicho lakukan ke Cassian dan Aveline, Aurora malah tetap pasang badan buat dia. Seolah-olah semua salah dunia kecuali Nicholas.”Papi Bayu menggenggam cangkir tehnya yang sudah mulai dingin. “Dia anak yang keras kepala… dan terlalu banyak menelan luka sendirian. Tapi bukan berarti kamu salah kalau ingin menyelamatkan putrimu dari pernikahan yang gak sehat.”Suasana hening sesaat, hany

  • Misi Menggoda Hati   Tega

    “Pftt.. hahaha..”Suara tawa menggema di sebuah Gedung pernikahan yang ramai. Pasangan kekasih yang duduk dihadapan Adelia ini terlihat sangat menyebalkan setelah mendengar cerita Adelia tentang makhluk halus di koridor ruang jurusan.“Yaelah, Del. Siang bolong lo liat setan? Ngaco!” Ucap Bima di sela-sela tawanya.“Iya ngaco nih si Adel.” Ujar Letta sambil bangkit dari duduknya.“Mau kemana, by?” Tanya Bima yang melihat tunangannya berdiri.“Mau ke toilet bentar.” Kata Letta yang diangguki Bima.Adelia cemberut menatap Bima. “Gue gak ngarang, tau. Kalaupun iya, kenapa coba si Pak Ryan tiba-tiba nge-rem mendadak gitu? Atau mau nagih utang ke gue? Bikin gue tegang aja.”“Dia kali yang deg-degan liat lo.” Ujar Bima dengan santai.Adelia terkejut dengan pendapat Bima. “Hah? Serius? Mana ada! Ya kali dia naksir gue, orang gue bukan si

  • Misi Menggoda Hati   Bikin Nicholas Jadi Bucin

    Setelah semalaman berpikir, Aurora akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Ryan dan menghubungi Laura, sahabat Aveline yang juga seorang psikolog. Menurutnya, tidak ada salahnya mencoba berkonsultasi dulu soal kondisi mental Nicholas. Siapa tahu, dari Laura, ia bisa dapat insight atau pendekatan yang lebih realistis.Hari ini, ia kembali ke kotanya. Tanpa kabar ke siapa pun, kecuali Adelia.Kali ini, Aurora nggak repot-repot lagi bermain kucing-kucingan dengan Warrior Fortress. Biar saja keluarganya tahu dia pulang. Toh cepat atau lambat, mereka pasti akan tahu juga.Tujuan pertamanya setelah tiba adalah Renewal Mental Health Center, tempat praktik sekaligus pusat terapi yang kabarnya dikelola langsung oleh Laura Aditama. Hari ini hari kerja, jadi besar kemungkinan Laura ada di sana.MHC ini katanya adalah hadiah dari suaminya untuk Laura. Sederhana tapi elegan. Seperti sosok Lauranya sendiri.Aurora mulai membuka pintu kaca bertuliskan nama klinik itu, menghampiri front desk dan mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status