Share

Misi Menggoda Hati
Misi Menggoda Hati
Author: Fin Nabh

Prolog

“Tanda tangani ini!” Seru pria yang berdiri dihadapanku. Cassian Ardentio Wijaya, sosok yang tampan dengan rambut hitam dan mata tajam berwarna sama dengan matanya.

Aku menatap kertas yang disodorkannya padaku yang sedang duduk di sofa yang ada di kamar kami. Sebuah kontrak pernikahan.

“Kontrak pernikahan?” Tanyaku menyuarakan pikiranku.

Cassian dengan wajah datarnya ikut duduk di sampingku. “Kontrak pernikahan selama satu tahun, setelah itu kita bercerai.”

Aku terkejut, “Apa? Tapi, kak …”

Cassian menatapku dengan serius, “Ave, kita berdua tau kalau kita gak saling cinta. Aku menikahimu karena papa kamu yang minta.”

Cassian benar. Papa, Vincent Renaldi, sangat menyukai Cassian dan juga kecekatannya dalam bekerja di perusahaan. Papa Vincent sangat terobsesi menjadikan Cassian sebagai penerusnya, karena aku, Aveline Seraphina Rinaldi, dan adikku, Aurora Sophia Rinaldi, sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan. Dan karenanya Papa Vincent sedang sakit dan perusahaan sedang bermasalah, Papa Vincent menunjuk Cassian sebagai CEO perusahaan sekaligus menantunya.

“Gimana dengan papa?” Tanyaku yang mengkhawatirkan Papa Vincent yang saat ini masih dirawat di rumah sakit, akibat kelelahan karena pernikahan meriahku yang baru selesai kemarin.

“Kamu tenang aja. Selama setahun ini, aku akan cari cara buat bujuk papa kamu. Dan juga nyelesaian masalah di perusahaan sebelum kita bercerai.” Ujarnya dengan tenang.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat enggan untuk hidup bersamaku. Padahal kami sudah kenal sangat lama. Cassian adalah tetanggaku. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Dia tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumahku bersama ibu dan adik perempuannya. Ekonominya sangat sulit. Untungnya Papa Vincent datang padanya dan membantunya bersekolah dengan syarat kalau dia harus bekerja padanya di perusahaan. Setelah bekerja di perusahaan Papa Vincent, ekonominya berangsur membaik sehingga dia bisa menyekolahkan adiknya di kedokteran.

Walaupun kami bertetangga, kami sangat jarang bertemu. Mungkin karena kami yang selalu mengurung diri di dalam kamar. Dia yang fokus belajar, dan aku yang introvert.

Aku menghela napas dan menatap kontrak pernikahan di tanganku. Meraih pulpen diatas meja dan mulai membubuhkan tanda tangan diatas kertas itu.

Cassian mengambil kontrak itu dan membawanya pergi. Kemungkinan dia ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar kami. Di rumah besar yang dihadiahkan Papa Vincent sebagai hadiah pernikahan kami, kamar utama berada dilantai dua bersama dengan tiga kamar lainnya, satu ruang kerja dan dua kamar kosong yang mungkin diniatkan Papa Vincent sebagai kamar anak-anak kami kelak. Namun setelah kejadian tadi, aku ragu kalau harapan Papa Vincent akan terwujud.

Aku memijit pelan keningku. Aku tidak tahu kenapa aku menyetujui itu. Aku tidak bisa membantah dan menolak dibawah tatapan tajamnya. Padahal, Papa Vincent sudah mewanti-wanti agar aku sebisa mungkin tidak berpisah dengan Cassian.

Aku beranjak dari dudukku. Daripada pusing memikirkan tindakanku, aku memutuskan untuk bersiap pergi mengunjungi Papa Vincent di rumah sakit.

Aku mengendarai mobilku sendiri. Dari dulu aku sudah dididik mandiri oleh Papa Vincent. Meskipun terlahir dari keluarga yang lumayan, aku dan Aurora sama sekali tidak dimanja. Papa Vincent yang sibuk dengan perusahaan dan Mama Natalia yang sangat setia mendampinginya, membuat aku dan Aurora tinggal di rumah bersama dengan orang-orang yang bekerja di rumah.

“Loh, Ave. Kamu kesini? suami kamu mana?” Tanya Mama Natalia, Natalia Rinaldi, saat melihatku yang berjalan mendekat kearahnya di koridor rumah sakit. Di tangannya ada paper bag yang kuduga bekas makan siangnya yang hendak dibuangnya.

Aku menepuk jidatku. Aku lupa mengabari Cassian kalau aku keluar. “Aku mau jengukin papa dan lupa ngabarin Cassian," kataku dengan suara yang sedikit tergagap yang dibalas anggukan dan senyum maklum dari Mama Natalia. “Papa di dalam sendiri, Ma?”

“Iya, Papa lagi sendirian di dalam. Kamu temenin papa sebentar, yah!” Ujar Mama Natalia.

Aku mengangguk cepat dan berjalan ke arah kamar Papa Vincent.

“Cassian mana, Ave?” Tanya Papa Vincent saat melihatku masuk sendirian di kamar rawatnya.

Aku mendengus dan duduk di kursi di samping tempat tidur Papa Vincent. “Kak Ian di rumah. Aku lupa ngabarin kalau aku kesini tadi.”

Papa Vincent mengernyitkan alisnya. “Jadi kamu kesini tanpa minta ijin sama suami kamu?” Seru Papa Vincent.

Aku mengangguk. Sedetik kemudian aku mendesis kesakitan saat tangan Papa Vincent menjitak kepalaku.

“Aww.. Sakit, Pa.” Rengekku sambil mengusap kepalaku yang terasa nyeri.

“Kamu ini udah nikah, loh. Udah seharusnya apa-apa harus minta ijin suamimu. Paham?” Kata Papa Vincent tegas.

Aku mengangguk. Aku mengakui kalau saat ini aku salah karena lupa meminta izin Cassian saat ke rumah sakit.

“Kamu gak jalan-jalan atau honeymoon sama Cassian?” Tanya Papa Vincent penasaran. Itu wajar saat mengingat kami berstatus pengantin baru.

Aku menggeleng, “Aku sama Kak Ian gak ada planning, Pa.”

Papa Vincent menghela napas, “Ave sayang, kamu tau kan, kalau papa Cuma percaya sama Cassian untuk ngurus perusahaan?” Ujar Papa Vincent dengan nada lembut.

Aku mengangguk dan menunduk.

“Papa tau kalau pernikahan kalian tanpa cinta. Tapi bisa tidak kalian wujudkan itu dalam pernikahan kalian?” Lanjut Papa Vincent dengan harapan yang terpancar dari matanya.

Aku menggeleng, “Aku ragu, Pa. Aku gak yakin bisa lakuin itu.” Ingin sekali aku mengatakan pada Papa Vincent kalau Cassian sendiri yang tidak berniat untuk mempertahankan pernikahan ini.

“Papa gak mau tau. Kamu harus berhasil membuat Cassian jatuh cinta sama kamu.” Suara Papa Vincent terdengar dingin membuatku terkesiap. “Setidaknya ini kontribusi kamu ke perusahaan karena dulu menolak untuk mengambil jurusan manajemen.” Ujarnya tajam.

Aku sangat paham dengan karakter Papa Vincent yang ini. Tapi entah mengapa selalu saja membuatku sakit. Untuk pertama kalinya saat aku memutuskan sesuatu yang ditentang Papa Vincent adalah saat aku memilih jurusan saat kuliah tujuh tahun yang lalu. Dimana Papa Vincent menyuruhku untuk mengambil jurusan manajemen, namun aku diam-diam mengambil jurusan Arsitektur dengan peminatan Desain Interior. Sehingga saat Papa Vincent mengetahuinya, dia marah besar. Alhasih, Papa Vincent sampai saat ini masih mendendam dan memojokkanku agar aku mau menikah dengan Cassian.

Mama Natalia yang mendengar perkataan Papa Vincent padaku, dengan segera melerai dan menenangkanku. Namun aku memilih pamit untuk menjernihkan pikiranku yang tadinya sudah pusing namun kini semakin sakit saat mendengar perkataan Papa Vincent.

Aku duduk di bangku taman depan Rumah Sakit dengan pikiran yang memenuhi kepalaku. Butuh waktu beberapa menit aku berpikir dan menetralkan perasaanku.

Papa benar. Aku harus berpikir dari sudut pandangnya. Siapa yang akan meneruskan perusahaan saat aku dan Aurora, anaknya sendiri menolak untuk itu?’ Pikirku sambil tersenyum tipis.

Dengan pemiikiran itu, aku bertekad untuk berjuang agar pernikahanku dan Cassian tidak akan berakhir. Misiku saat ini adalah untuk menaklukan hati Cassian. Lagian, Cassian sendiri yang memberikan waktu satu tahun, kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status