Share

Misi Menggoda Hati
Misi Menggoda Hati
Author: Fin Nabh

Prolog

Author: Fin Nabh
last update Huling Na-update: 2023-07-15 07:33:32

“Tanda tangan!!”

Seruan yang terdengar tegas dan dingin itu terdengar bersamaan dengan sebuah kertas yang melayang di depan Aveline Seraphina Rinaldi, membuat perempuan berambut coklat gelap yang dicepol rapi itu sedikit mengernyit. Sedetik kemudian, wajahnya berubah pias saat membaca tulisan tebal di bagian atas kertas itu.

“Kontrak... pernikahan?”

Suara Aveline tercekat. Berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang riuh, memikirkan berbagai pikiran buruk.

Seorang pria yang belum dua hari menjadi suaminya, menyandarkan punggung ke sofa. Tatapan matanya lurus pada Aveline yang terpaku.

Pria itu berdecak, setelahnya meletakkan kertas itu ke atas meja dihadapan mereka. "Kontrak pernikahan selama satu tahun. Setelah itu, kita CERAI," kata suami Aveline, Cassian Ardentio Wijaya dengan suara yang tenang, seolah-olah apa yang dikatakannya adalah hal yang biasa.

“Hah?”

Tunggu..

Aveline tiba-tiba saja seperti orang linglung. Kata-kata cerai entah mengapa menyedot semua kemampuannya dalam berpikir. Apalagi ini untuk satu tahun pernikahan? Mereka saja baru hari ini beristirahat setelah lelahnya rangkaian persiapan dan acara pernikahan, tapi berniat untuk berpisah?

“Tapi, Kak…”

Suara Aveline melemah, nyaris tak terdengar. Kata-kata berikutnya seolah lenyap ditelan kecemasan yang mulai menyelubungi pikirannya. Ia bahkan tak yakin harus bicara apa.

Cassian menatapnya, tetap dengan ekspresi datar yang membuat Aveline makin sulit menebak isi kepalanya.

“Seperti yang kita berdua tahu, kita nggak saling cinta,” ucapnya pelan namun mantap. “Aku nikahin kamu karena papa kamu yang minta.”

Crash..

Aveline seakan mendengar suara remasan di jantungnya, ia nyaris berhenti bernapas. Ucapan itu menghantam tepat ke ulu hati.

Ia tahu… Ia sangat tahu alasannya. Tapi mendengar Cassian mengatakannya dengan begitu gamblang… tanpa ragu dan tanpa beban… itu lain cerita.

Vincent Rinaldi

Papanya langsung memenuhi pikirannya. Pria yang begitu ia hormati, begitu keras kepala, dan begitu mengagumi Cassian. Papa melihatnya sebagai sosok sempurna—cerdas, ambisius, dan tangguh. Bahkan lebih layak memimpin perusahaan keluarga dibanding dirinya atau Aurora, adik bungsunya.

Dan sekarang, saat Papa sedang sakit dan perusahaan di ambang krisis, pernikahan ini adalah satu-satunya jalan yang Papa yakini.

“Terus… gimana sama Papa?” tanya Aveline, suaranya terdengar rapuh. Wajah Papa yang terbaring lemah di rumah sakit terlintas begitu jelas di kepalanya.

Cassian menatapnya sekilas. “Tenang aja. Selama setahun ini, aku bakal cari cara buat bujuk Papa kamu dan selesain masalah perusahaan. Setelah itu, kita cerai.” suaranya tetap tenang

Sederhana dan sesantai itu ia bicara tentang perceraian.

Sementara Aveline...

Kepalanya kacau. Jantungnya tak karuan. Pikirannya menolak, tapi mulutnya bungkam.

Apa dia benar-benar tidak bermaksud untuk bertahan?

Padahal...

Cassian bukan orang asing. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama. Rumah bersebelahan. Tapi kedekatan itu… ilusi. Aveline mengingatnya seperti mengingat cuaca pagi yang kabur, dingin, tapi tak bisa dilupakan.

Remaja laki-laki dengan seragam kusut, langkah terburu-buru, dan sorot mata yang membuat dunia terlihat seperti beban. Dia terlalu cepat dewasa. Terlalu banyak luka yang Aveline tak tahu namanya. Cassian hidup bertiga dengan ibunya dan adik perempuannya, sebelum sang ayah datang dan perlahan mengubah hidup mereka.

Sekarang, keduanya duduk dalam satu ruang yang sama. Suami-istri, katanya. Tapi rasanya... asing.

Aveline menunduk, menatap kontrak pernikahan yang tergeletak di meja. Lembar kertas itu seolah menertawakannya.

Ia tahu keputusan ini tak mudah. Tapi lebih dari itu, ia tahu dirinya tak punya pilihan.

Tatapan Cassian yang tajam, ucapan Papa yang mengikat, bahkan perasaannya untuk Cassian… semuanya menjeratnya.

Dengan napas berat, ia mengambil pulpen. Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya tanda tangan itu tergores di atas kertas.

Cassian mengambil dokumen itu. Tak ada sepatah kata pun. Hanya langkahnya yang terdengar perlahan, menjauh dari ruang tamu menuju ruang kerja yang berada tepat di sebelah kamar utama mereka.

Rumah besar itu sunyi. Hadiah pernikahan dari papanya. Kamar utama di lantai dua, berdampingan dengan tiga ruangan lain. Satu sudah diubah menjadi ruang kerja. Dua sisanya kosong. Aveline tahu ruangan-ruangan itu disiapkan Papa untuk cucu-cucunya kelak.

Tapi sekarang?

Bahkan membayangkan ada masa depan saja terasa menyakitkan.

Aveline duduk terpaku. Napasnya berat. Matanya mulai panas, tapi ia menahan semuanya.

Kenapa gue setuju?

Pertanyaan itu mengambang di kepalanya, menggantung bersama segala rasa yang tak bisa ia kenali—bingung, kecewa, dan kosong.

Dengan napas berat dan kepala yang masih penuh dengan sisa konflik tadi, Aveline menginjak pedal gas mobilnya dengan perlahan.

Langit sore berwarna kelabu. Dan sejujurnya, suasana itu cocok dengan suasana hatinya.

Ia mengendarai mobilnya sendiri, seperti biasa. Mandiri bukan lagi pilihannya, tapi tuntutan untuknya.

Koridor rumah sakit dipenuhi bau disinfektan dan terasa sunyi, sampai sebuah suara menyentaknya dari lamunan.

“Ave? Kamu ke sini? Suami kamu mana?”

Natalia Rinaldi, Mamanya, muncul dari ujung lorong, menenteng paper bag kosong yang diduga Aveline adalah sisa makan siang orang tuanya. Senyum di wajah mamanya tampak lembut, hingga tanpa sadar Aveline ikut tersenyum.

Eh.. tapi.. suami?

Aveline meringis. Ia betul-betul lupa dengan kewajiban istri yang harus terus laporan setiap akan keluar rumah. Ingatkan Aveline jika lain kali hal ini terulang.

“Aku mau jenguk Papa, tapi... lupa ngabarin Kak Ian,” ucapnya pelan.

Natalia hanya mengangguk pelan. Maklum pasutri baru, masih berusaha beradaptasi.

“Papa di dalam sendiri, Ma?”

“Iya, Papa lagi sendirian. Temenin sebentar, ya.”

Aveline mengangguk, setelahnya membawa tubuhnya memasuki kamar rawat sang Papa. Tidak ada yang perlu dicemaskan kata dokter. Papa Vincent hanya tidak boleh terlalu lelah dengan aktivitas yang berat. Tubuhnya tidak lagi sebugar dulu.

“Cassian mana, Ave?” suara Papa Vincent menyambutnya.

See?

Bukannya menyambut putrinya, beliau justru menanyakan Cassian. Gak usah ragukan kasih sayang Vincent Rinaldi pada Cassian, deh. Tapi buah tak jatuh dari pohonnya, kan? Aveline juga sama tergila-gilanya pada suaminya.

Dengan sedikit mendengus, Aveline duduk di kursi samping ranjang.

“Kak Ian di rumah, Pa. Aku lupa ngabarin…”

Alis sang papa langsung mengerut.

“Jadi kamu ke sini tanpa minta izin suami kamu?”

Aveline meringis. Bukan karena merasa bersalah. Di depan tadi, ia sudah menyadari kesalahannya dan akan memperbaikinya, kan? Aveline meringis karena tiba-tiba saja, jari Papa Vincent mendarat di kepalanya.

Refleks, Aveline mengusap bagian yang sakit sambil meringis.

“Aww… sakit, Pa.”

“Kamu itu udah istri orang, Ave. Apa pun sekarang harus dibicarakan bareng suami. Paham?”

Aveline mengangguk, nyaris tak bersuara.

“Nggak jalan-jalan atau honeymoon sama Cassian?” Nada suara Vincent berubah. Penuh harap, seperti seorang ayah biasa yang ingin tahu cerita manis dari awal pernikahan anaknya.

Aveline hanya menggeleng.

“Nggak ada rencana, Pa…”

Tarikan napas Vincent terdengar berat.

“Papa tahu hubungan kalian gak seperti pasangan suami lainnya. Tapi… cinta bisa tumbuh, kan?”

Suara itu nyaris seperti doa. Dan Aveline ingin menangis karenanya.

“Setelah semua yang Papa korbankan, masa kalian nggak bisa berusaha sedikit aja?”

Aveline menunduk. “Aku ragu, Pa…” Ia ingin bicara lebih. Tentang Cassian yang begitu jauh. Tentang rasa yang tumbuh sendirian.

Tapi kemudian—

“Papa gak mau tahu.” Suara itu dingin. Datar. “Kamu harus bisa bikin Cassian jatuh cinta sama kamu.”

Dan di detik itu juga, Aveline merasa seperti remaja tujuh belas tahun yang dikalahkan lagi oleh ambisi orang tua.

“Ini kontribusi kamu ke perusahaan, Ave. Karena dulu kamu gagal penuhi harapan Papa.”

Rasanya lebih menghantam daripada kontrak pernikahan pagi itu.

Dulu…

Saat Aveline memilih Arsitektur dan bukannya Manajemen, impian sang papa hancur. Dan sejak itu, hubungan mereka tak pernah sembuh benar. Vincent Renaldi adalah pria ambisius. Dalam kamusnya, keluarga dan perusahaan adalah satu tubuh. Dan Aveline... adalah bagian yang dianggap lemah.

Pernikahan dengan Cassian bukanlah sakral. Itu strategi. Itu jalan keluar yang Papa Vincent paksa masuk ke dalam hidupnya.

Dan sekarang, luka lama itu disayat lagi. Pelan, tapi pasti.

Suara Mama Natalia muncul, mencoba mencairkan suasana. Tapi Aveline sudah terlalu penuh.

Ia pamit. Keluar dari kamar rawat dengan dada sesak dan langkah berat.

Ia ingin mencari udara segar dan ketenangan.

Taman kecil di depan rumah sakit jadi pelarian sementara. Ia duduk di bangku kosong. Angin sore menggerakkan dedaunan, tapi tak sanggup menggeser sedikit pun kekacauan di dalam dirinya.

Beberapa menit berlalu. Hening. Tapi pikirannya tak berhenti.

Mungkin Papa benar…

Ia menggigit bibir bawahnya.

Gue harus liat dari sisi Papa. Siapa yang bakal nerusin perusahaan kalau bukan gue atau Aurora? Perusahaan itu yang ngasih makan keluarga gue.

Senyum muncul di wajahnya. Tipis. Bukan senyum bahagia, tapi pasrah.

Ia menarik napas panjang. Menutup matanya sejenak.

Kalau ini jalannya… gue coba jalanin aja.

Bukan buat Papa.

Bukan buat reputasi perusahaan.

Tapi buat dirinya. Buat kesempatan kecil yang masih tersisa untuk menarik Cassian. Untuk… balik mencintainya.

Satu tahun... waktu yang Kak Ian kasih. Dan satu tahun cukup buat nembus tembok setebal apa pun, kan?

Satu tahun itu.. Waktu yang cukup… untuk bikin Cassian jatuh cinta.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Misi Menggoda Hati   Misi Pertama

    Anak? Hamil? Hemm...~~~Tiit tiit…Alarm ponsel di atas nakas berbunyi nyaring. Aveline meraba permukaan meja kecil di samping tempat tidurnya untuk mematikannya. Setelahnya, ia perlahan bangkit, meregangkan tubuh yang masih terasa pegal.Ia menguap beberapa kali, lalu menoleh ke sisi tempat tidur yang kosong. Tak ada jejak tubuh suaminya.Lagi-lagi tidur sendiri.. Aveline mencebik. Merasa sedih tapi tidak ingin terlalu berlarut. Karenanya, dia mengambil napas dan bangkit, masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menyiapkan air hangat. Ia kemudian memilih pakaian kerja untuk Cassian dan meletakkannya rapi di atas tempat tidur.Pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia melangkah ke kamar di sebelah kanan kamar utama, ruang tidur yang kini lebih sering ditempati Cassian.“Kak Ian.. bangun… Udah pagi,” panggilnya sembari mengetuk pintunya dengan lembut, namun cukup keras untuk membangunkan orang dari tidur.Tak lama, pintu terbuka. Di baliknya berdiri sosok lelaki dengan rambut hitam acak

    Huling Na-update : 2023-07-15
  • Misi Menggoda Hati   Aku Mau Punya Anak

    Cassian punya solusi dan Aveline juga punya..~~~“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?”Nada suara Papa Vincent begitu tenang… terlalu tenang, sampai-sampai bikin ruangan yang terang itu terasa dingin. Ia duduk tegak di sofa ruang keluarga, jasnya bahkan belum sempat dilepas.Pesta ulang tahun Stella bahkan belum benar-benar bubar. Tapi Aveline sudah diseret pulang, duduk di sofa seolah siap disidang.Aveline diam. Hanya menatap ujung karpet. Pertanyaan itu menghantam tanpa aba-aba.“Maksud Papa apa?”“Udah pernah… melakukan itu belum?” tanya Papa Vincent, sambil membuat tanda kutip di udara. Jelas, ‘itu’ bukan cuma sekadar kata.Wajah Aveline sontak memerah ketika mengerti maksud papanya. Pertanyaan itu terlalu blak-blakan, terlalu pribadi. Ia menggeliat canggung di tempat duduknya. “Ya ampun, Pa…” gumamnya pelan. “Ngapain nanya kayak gitu?”“Karena kamu belum hamil juga sampai sekarang.” Ucap Papa Vincent. “Pernikahan kalian udah delapan bulan, Ave.”Aveline mencengkeram

    Huling Na-update : 2023-07-17
  • Misi Menggoda Hati   Rindu

    Hampir satu bulan Cassian menghindari untuk bertatap muka dengan Aveline akibat peristiwa malam itu..~~~Engghh…Aveline terbangun dengan perasaan yang tak nyaman. Kepalanya berdenyut seperti dipukul benda tumpul, dan perutnya… mual. Bukan mual biasa, tapi mual yang merayap pelan dan menghantam keras, membuat tubuhnya lemas tak berdaya.Dengan napas tersengal, ia bangkit dari tempat tidur dan terhuyung ke kamar mandi. Detik berikutnya, suara muntahan menggema di antara dinding porselen, menyisakan rasa asam dan getir di mulutnya.Saat semuanya reda, ia menatap bayangan dirinya di cermin—pucat, lelah, dan kosong.Kembali ke kamar, ia meraih ponsel di sofa. Jemarinya bergerak refleks, membuka layar, berharap ada sesuatu.Satu pesan. Satu panggilan. Apapun.Tapi tidak ada. Hanya jam digital yang terus berlari ke depan, meninggalkannya di belakang. Cassian masih tak memberi kabar.Sejak malam itu, Cassian terus menghindarinya. Ia sengaja melewatkan sarapan dan pulang larut malam untuk me

    Huling Na-update : 2023-07-17
  • Misi Menggoda Hati   Kontrak Pernikahan Kedua

    Aveline akhirnya hamil dan waktunya untuk menjalankan rencana berikutnya..~~~Cassian duduk di sofa tunggal masih di ruangan yang sama tempat Aveline tiba-tiba pingsan. Tubuhnya tegang dan rahangnya mengeras. Matanya kosong, menatap Aveline yang terbaring di sofa panjang, wanita yang secara teknis masih istrinya."Saya nggak bisa pastiin, Pak. Sebaiknya cek langsung ke dokter kandungan," ujar dokter perempuan bernama Riana dengan nada hati-hati. Cassian hanya mengangguk singkat, matanya tetap terfokus pada Aveline yang mulai sadar.Aveline perlahan membuka matanya, kebingungan, lalu memberi senyum tipis kepada dokter."Bagaimana perasaan Ibu sekarang?" tanya dokter Riana lembut.Aveline menjawab dengan suara pelan, "Hanya pusing aja.""Terima kasih, Riana. Bisa kalian tinggalkan saya dan istri saya?" Suara Cassian terdengar datar, seperti biasa.Begitu ruangan sepi, Cassian berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari wajah Aveline, seakan melihatnya terlalu lama b

    Huling Na-update : 2023-07-18
  • Misi Menggoda Hati   Meremehkan Seorang Cassian

    Cassian : "Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh.."~~~"Mana cucuku?"Papa Vincent berseru antusias begitu memasuki rumah, matanya berbinar.Mama Natalia yang menyaksikan kelakuan Papa Vincent hanya bisa menggelengkan kepala. Sepertinya sudah terlalu sering melihatnya bertingkah seperti ini, dan sudah terlalu paham dengan sifatnya.Aveline hanya terkekeh melihat pemandangan itu. Ia dan Cassian sedang berdiri di depan pintu untuk menyambut kedua orang tuanya.Setelah perdebatan semalam dengan Cassian, orang tua mereka mulai menelepon dengan penuh antusias. Berjanji akan datang dan mengunjungi mereka, tanpa menunggu lama.And here they were…Pagi-pagi sekali, kedua orang tua Aveline telah tiba. Sementara ibu mertuanya, Ibu Diana, juga tak kalah antusias. Ibu Diana sedang dalam perjalanan, dijemput oleh salah satu orang suruhan Cassian. Wanita itu tinggal di kota berbeda, menemani Adelia, adik Cassian, yang tengah menempuh pendidikan.“Masih bentuk kecebong kali, Pa.” celetuk Aurora, adi

    Huling Na-update : 2023-08-07
  • Misi Menggoda Hati   Dia Suamiku

    Aveline ke Rafael : "Cassian itu suami gue.."~~~“Kayaknya kamu selalu anggap aku remeh…” Suara itu datang dari belakang.Aveline menatap pantulan Cassian di cermin tanpa langsung berbalik. Tatapannya tetap tenang, tapi ada ketegangan tipis yang muncul di rahang dan bahunya.“Maksudnya?” tanyanya pelan, pura-pura tidak mengerti.Cassian tertawa singkat—sinis. “Dasar manipulatif. Jangan pura-pura naif. Aku tahu rencana kamu itu.”Pelan-pelan, Aveline berbalik dan menatapnya langsung. “Aku gak ada rencana apa pun.”Cassian terkekeh sinis, lengkap dengan tatapannya yang menajam. “Kamu selalu tau cara buat kendalikan situasi sesuai mau kamu. Sekarang pun, pasti kamu lagi mikirin cara supaya aku tetap tinggal dalam pernikahan ini, kan?”Ucapan itu menghantamnya. Dingin dan tajam seperti pisau.Aveline mengepalkan tangan di samping tubuh, berusaha meredam emosi yang mulai naik ke permukaan. “Kamu salah paham.”Cassian melangkah mendekat, begitu dekat hingga suaranya nyaris berbisik di telin

    Huling Na-update : 2023-08-08
  • Misi Menggoda Hati   Kesiangan

    Aveline berhasil tidur sekamar dengan Cassian. Tapi ...~~~Rafael menatap Aveline dengan mulut terbuka, ekspresi keterkejutan jelas terlihat di wajahnya. “Pak Cassian suami lo?” Suaranya terdengar hampir tak percaya.Aveline hanya mengangguk pelan, matanya memandangi teman lamanya itu, merasa sedikit bingung dengan reaksi yang begitu besar. “Iya… kenapa?”Rafael tampaknya semakin tercengang. “Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?” Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan informasi yang baru saja didapat.Aveline mengangguk sekali lagi, ragu-ragu. “Ya, tapi kenapa? Emangnya masalah?”“Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Rafael tertawa, seakan tak bisa menahan gelaknya, mengenang masa lalu yang penuh kenangan.Aveline hanya bisa tertawa mendengar itu. Dulu, hidupnya memang cukup hemat. Papa Vincent tidak pernah memberi banyak uang untuk keperluannya sendiri, dan Aveline tahu betul bahwa dia harus b

    Huling Na-update : 2023-08-14
  • Misi Menggoda Hati   Istri yang Tidak Memiliki Pengaruh

    Aveline mengerti profesionalitas itu seperti apa. Tapi membiarkannya menunggu dan tidak diberi kepastian, bukannya keterlaluan?~~~Aveline meringis kecil, berusaha menutupi rasa canggung yang sempat menyeruak di dada saat menyapa ibu mertuanya yang berdiri di dapur. “Pagi, Bu…” sapanya pelan.Ibu Diana berbalik, menyambutnya dengan senyum hangat yang tak pernah gagal membuat hati terasa lebih ringan. “Pagi, Ave. Sini, sarapan dulu, sayang.” Ia menyerahkan segelas jus segar yang baru saja dibuat.Aveline menerimanya dengan dua tangan, disertai ucapan terima kasih yang tulus. “Makasih, Bu. Ehm… maaf aku bangunnya kesiangan.”Ibu Diana hanya mengangguk lembut, tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi kesal. “Tidak apa-apa, sayang. Kamu lagi hamil. Jadi harus banyak istirahat.”Senyuman kecil muncul di wajah Aveline, menandakan rasa lega sekaligus syukur atas pengertian ibu mertuanya. “Kak Ian udah berangkat?” tanyanya sambil melirik ke arah meja makan.Ibu Diana meletakkan sepiring nasi a

    Huling Na-update : 2023-08-21

Pinakabagong kabanata

  • Misi Menggoda Hati   Antisipasi Terkhianati

    Gue udah nyiapin semuanya… - Anonymous Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat sudut bibir Nicholas terangkat membentuk seringai licik.Tangan kirinya memutar gelas anggur, tapi sorot matanya tak tertuju pada panggung atau kerumunan.Akhirnya..Lalu, seolah semesta memberinya lampu hijau, dari sudut matanya, Nicholas melihat Aveline mulai meninggalkan panggung.Cassian tetap di tempat, dikelilingi beberapa rekan bisnis dan keluarga yang mulai menghampirinya. Aveline tampak melangkah cepat, memegang perutnya sejenak, mungkin merasa tak nyaman. Mungkin hanya ingin mencari ruang bernapas. Atau mungkin, tanpa sadar, dia sedang menuju perangkapnya sendiri.Bagus.Nicholas bangkit dari duduknya dan menyimpan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dasi hitamnya disesuaikan sedikit saat ia mulai mengikuti arah langkah Aveline. Dengan jarak aman, tentu saja. Tak terlalu dekat untuk mencurigakan, tapi cukup untuk menjaga pandangannya tak lepas darinya.Di depan koridor menuju area toilet dan kamar

  • Misi Menggoda Hati   Just Wait and See!!

    Musik klasik mengalun lembut, seperti aliran air tenang yang mengisi setiap sudut Ballroom Hotel yang luas dan mewah. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal menjuntai megah, memantulkan cahaya ke ribuan kepingan kaca dan permata yang tertanam di dekorasi pesta. Cahayanya menari di atas gaun-gaun mahal, setelan jas buatan tangan, dan wajah-wajah berkelas yang berbaur dalam percakapan sopan penuh basa-basi.Para tamu bercakap-cakap dan menikmati suasana malam yang mewah. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Di atas panggung, Aveline berdiri berdampingan dengan Cassian. Gaun biru safirnya jatuh sempurna, mengikuti lekuk tubuhnya yang kini membulat manis karena kehamilan. Bukannya merusak penampilannya, perut buncit itu justru menambah aura anggun dan kelembutan dirinya malam itu.Tangannya yang halus berusaha tetap

  • Misi Menggoda Hati   Biarkan Mengalir

    “Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka

  • Misi Menggoda Hati   Gak Gila

    Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi

  • Misi Menggoda Hati   Over Menyebalkan

    "Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p

  • Misi Menggoda Hati   Goodbye Freedom

    “Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un

  • Misi Menggoda Hati   Pasangan Manipulatif

    “Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men

  • Misi Menggoda Hati   Ternyata

    “Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala

  • Misi Menggoda Hati   Anonymous Chat

    “Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status