"SARA!"
Vincent sontak bangkit dari lantai, menghampiri Sara yang kini terkapar dengan kerangka lampu gantung menimpa punggungnya. Pecahan dan serpihan lampu kaca bertebaran di mana-mana. Jantungnya berdebar hebat selagi dia menyingkirkan kerangka lampu dan pecahan kaca dari atas punggung Sara hingga kemudian .... Sekujur tubuh Vincent rasanya menegang. Sara terpejam. Cairan merah menggenang, perlahan meluas dari balik lengan Sara. Dengan napas memburu, Vincent mengangkat Sara ke pangkuannya. "Sara kamu dengar saya?" Kepala gadis itu terkulai, dadanya penuh noda merah. Tak mendapati respon apapun dari Sara, Vincent merasa darahnya berhenti mengalir. Beberapa pelayan dan asisten Vincent datang mendekat. "Saya panggilkan ambulan, ya Pak?" Seorang asisten Vincent yang berjas rapi menyahut panik. Vincent menoleh cepat. Matanya merah dan nyalang, "Nggak sempat! Siapkan mobil. Sekarang!" *** Vincent duduk di sebuah sofa kamar rawat VVIP. Tangannya ditangkupkan di depan dahi selagi matanya dipejamkan. Sara mengalami luka robek di lengan belakang akibat goresan lampu kaca yang pecah, juga gegar otak ringan karena kerangka lampu menghantam belakang kepalanya. Saat tadi dokter memeriksa area punggung Sara di IGD, Vincent sempat melihat beberapa bekas luka lebam dan memar yang sudah nyaris sembuh—itu bukan luka baru. Juga beberapa titik seperti bekas sundutan rokok. Vincent mengerutkan kening. Siapa pelakunya? Kalau dia tanya Sara, belum tentu gadis itu akan mengaku. Setidaknya dia hanya perlu menunggu sekarang. Asisten dan bawahannya sudah digerakkan untuk menyelidiki pelaku di balik luka-luka di tubuh Sara. Dengan ketegangan yang masih menggantung di wajah, Vincent beralih menatap ranjang Sara. Wanita itu masih terlelap. Dia bangkit dan berjalan menghampiri. Wajah gadis itu tampak tenang dan damai, bibirnya agak pucat. Teringat beberapa saat lalu ketika jantung Vincent seolah berhenti berdetak saat melihat darah dari punggung Sara mengalir deras, menetes di setiap langkah Vincent yang menggendongnya. Seharian ini, dia juga terus berada di rumah sakit. Semua jadwal meeting-nya ditunda, beberapa agenda kerjanya dibatalkan, pekerjaannya berantakan. Dan dia tidak keberatan. Kali ini ... dia jauh lebih memedulikan Sara. Bagaimanapun, Sara berakhir seperti ini karena melindunginya. "Kamu ... perempuan paling nekat yang pernah saya kenal." Ujarnya pelan. Tanpa sengaja, perhatian Vincent tertuju pada kotak bekal yang tergeletak di atas meja, tepat di sebelah ranjang pasien. Kata Bi Laila yang tadi mengantar beberapa barang Vincent, dia menemukan kotak bekal itu di meja makan. Tampaknya Sara sengaja menyiapkan bekal untuknya. Vincent membuka kotak itu, lantas mendenguskan senyum tipis, nyaris tak terlihat. "Sandwich?" Dia membawa kotak itu, lalu duduk di kursi di sebelah ranjang pasien, mengunyah sesuap demi sesuap. Hingga saat tersisa satu suapan terakhir, suara serak Sara terdengar. "Vin ...." Vincent mendongak dengan dahi berkerut, menatap Sara yang tersenyum lemah. "Enak ya?" Ditanya begitu, pria itu berpaling menatap sekitar, tak ingin ketahuan bahwa dia menikmati bekal buatan Sara. Hening sejenak sebelum Vincent menjawab, "Lain kali, buatkan lagi." *** Sara menatap Vincent yang duduk di kursi dengan meja kecil di sudut ruangan. Pria itu bolak-balik menelepon, sibuk dengan laptop, lalu mengetik di ponsel, begitu saja seharian. Sesekali dia berpaling ketika suster masuk untuk mengganti cairan infus—namun hanya memperhatikan dari jauh. Sara mendenguskan tawa, merasa aneh. Aneh karena ada yang memedulikannya. Bertahun-tahun dia terbiasa sendiri. Hingga diabaikan jadi terasa lebih normal daripada sekadar 'dianggap ada'. Dahulu, dia terlalu takut membangun hubungan apapun dengan orang lain. Karena ujungnya, dia hanya selalu ditinggalkan karena sibuk dan tidak punya uang untuk mengikuti gaya hidup teman-temannya. ATM-nya ditahan Paman. Setiap gajian, Sara hanya diberi jatah dari gajinya sendiri yang hanya cukup untuk makan siang dan ongkos. Jika menginginkan sesuatu, Sara hanya punya cara menahan lapar, karena dia tidak punya waktu untuk kerja sambilan. Kalau tidak pulang tepat waktu setelah kerja, badannya bisa dijadikan samsak karena pekerjaan rumah yang menggunung. Beberapa kali kabur, Sara malah dilaporkan polisi. Dituduh macam-macam sampai dia berakhir diseret kembali ke rumah. Terakhir, dan yang paling membuat Sara terpenjara di rumah itu, Paman mengancam akan membakar surat tanah jatah warisan Papa. Tetapi berkat Vincent, Sara kini tidak perlu lagi menderita. Dia tidak perlu lagi takut dengan ancaman dan siksaan apapun dari Paman dan Bibi. Dia bisa tidur nyenyak tanpa takut siraman air dingin tiba-tiba. Dan mungkin, dia juga bisa kembali terbuka dengan hubungan baru, mulai menyenangkan diri dengan gaji yang utuh, mulai berani berekspresi tanpa takut dihakimi, dan mulai menjadi diri sendiri tanpa takut ditinggalkan karena dia tak ada waktu. "Vincent ...." Vincent tidak menjawab, masih serius menyorot layar laptop. Namun hal itu tak meredupkan suasana hati Sara. Gadis itu mengembangkan senyum lembut. " ... Terima kasih." Tanpa melepas pandangan dari laptop, Vincent menjawab tenang, "Saya yang berterima kasih." Setelah beberapa saat, Vincent beralih melirik Sara. "Ada yang kamu inginkan?" Sara melipat bibirnya ke dalam. Tak menyangka akan mendapat kesempatan untuk membuat permohonan. Berhubung ini bisa jadi kesempatan langka, Sara berniat memanfaatkan permohonan bebas ini untuk mendekati Vincent. Tetapi ... dia minta apa? "Boleh kupikirkan dulu?" Vincent menggumam tanpa menatap Sara. Kali ini, sibuk mengetik di ponsel. Sorenya dokter memeriksa kondisi Sara, memastikan Sara tidak mengalami tanda-tanda cidera kepala yang lebih serius. Karena kondisi Sara sudah membaik, akhirnya dia diizinkan pulang besok pagi. Paginya, Sara ditemani Vincent meninggalkan kamar rawat. Namun saat melewati ruang IGD yang pintunya kebetulan terbuka, Sara menemukan seseorang yang tak asing di sana. Deana. ***Sara meraih tangan Vincent di pundaknya, hendak melepas rengkuhan pria itu karena cengkeramannya mulai terasa menyakitkan. Jantungnya hampir meledak ketika suara serak Vincent memecah senyap."Kamu berharap apa dengan pindah ke sini?" Sara meneguk ludah. Tentu dia berharap ... agar 'Jonathan' bisa kembali bekerja. Tetapi ... di titik ini, kenapa suasananya mencekam? Seharusnya bukan seperti ini.Tok! Tok! Tok!"Tuan ...." Suara Bi Laila menyahut dari depan pintu. "Tuan, maaf, ada Tuan besar di bawah, ingin bertemu."Vincent memejamkan mata, helaan napas beratnya menerpa hangat wajah Sara. Dia bangkit, melepaskan rengkuhannya dari bahu Sara. "Aku segera turun." Sahutnya lantang. Lalu berjalan ke kamar mandi tanpa mengajak bicara Sara sepatah kata pun.Sementara itu, Sara membeku di tempat. Tersadar dia baru saja melewatkan momen penting dan krusial dalam hidupnya. Sara menepuk dahi frustasi. "Bodoh!"*Setelah berdandan rapi—rambut digelung cantik, blouse ruffle dan rok di atas lut
Sara menyemprot tipis parfum mahal yang sengaja dia beli di mall tadi. Harganya cukup membuat mulut menganga. Kata sang penjaga toko, aroma parfum ini diklaim bisa menjerat pria sampai tak mau lepas berhari-hari. Hmm ... seram juga.Sara mematut diri di depan cermin. Dia mengenakan night gown merah berbahan satin yang sempurna membentuk lekuk tubuhnya. Dia memutar sedikit bahu, memastikan punggung atasnya yang terbuka sudah terlihat menggoda. Bagian dada dengan potongan renda sederhana di area depan juga tampak manis.Sempurna. Harusnya, tidak ada laki-laki yang tidak tergoda melihatnya.Sara melangkah mundur. Kemudian menarik napas dalam-dalam. Vincent sudah masuk ke kamar setengah jam yang lalu. Sekarang pukul sepuluh malam. Sara berencana pindah ke kamar Vincent diam-diam. Kalau pria itu belum tidur, dia mau pura-pura melindur—siapa tau Vincent menggendongnya kembali ke kamar? Dengan Sara yang berpenampilan seksi, dia berharap adegan itu bisa membantu 'Jonathan' bangkit.Kalau V
"A-ampuni kami Tuan! Soal luka itu ... kejadiannya sudah lamaaaa sekali! Sekarang kami sudah tidak melukainya lagi!"Sara membeliak. Tangannya gemetar, dadanya dipenuhi gejolak amarah. Bohong! Mereka pikir, kebohongan mereka akan menyelamatkan diri mereka?Sara mengangkat wajah, menatap Vincent yang menyorot tajam Paman dan Bibi. Pandangan mereka kemudian bertemu. Sara menggeleng."Itu nggak benar. Aku masih sempat dipukul seminggu sebelum menikah." Sara menyahut dengan suara yang bergetar. Demi mendukung sandiwara, dia membenamkan kembali wajahnya ke pelukan Vincent. Berharap Paman dan Bibi menyadari bahwa Sara kini punya seseorang yang akan berdiri di sisinya. Ditahannya rasa canggung dan debaran heboh yang sejak tadi membuatnya tak nyaman. Vincent mengusap kepala Sara, pelan dan lembut."Benar begitu, Paman?" Suara bariton milik Vincent terdengar dingin menusuk. Di sisi lain, Sara termenung, merasakan hangat sentuhan jemari Vincent di sela rambutnya. Walau hanya sandiwara belaka
Vincent baru saja mengakhiri meeting dengan kolega bisnisnya di sebuah restoran bernuansa elegan. Setelah berjabat tangan dan rekan bisnisnya pergi, Eric mendekat, berbisik di telinga Vincent, "Tuan, ini hasil penyelidikan bekas luka di tubuh Nona Sara. Juga beberapa informasi tambahan." Eric mengoper sebuah tablet pada Vincent yang duduk di kursi restoran. Dia baru saja selesai meeting dan rekan bisnisnya baru pamit pulang.Vincent memeriksa tampilan layar dengan hati-hati. Keningnya berkerut dalam. Jadi, semua bekas sundutan rokok, memar-memar di punggung itu ... dari Paman dan Bibinya?Vincent membaca bagian sumber penghasilan mereka. Dia bisa menekan di bagian ini."Bisnis laundry?"Eric mengangguk dalam, "Iya, Tuan.""Sumber permodalan?""Bank YYY, Tuan. Kredit permodalan jangka panjang."Vincent mendengus sinis. Bank YYY masih dalam radar kuasanya."Hubungi pimpinan bank YYY, blokir akses pinjaman mereka. Kalau menolak, ancam cabut saham dari sana."*Begitu menyelesaikan pemba
Sara meraih tangan Vincent, berdiri perlahan. Vincent tak langsung melepas genggamannya. Membuat Sara merasakan kehangatan dan rasa aman karena dilindungi.Sesuatu yang benar-benar asing dalam hidup Sara.Seorang laki-laki berkacamata yang hadir mendampingi Vincent membungkuk sopan pada Sara."Eric, hubungi penanggung jawab tenant ritel ini. Suruh kosongkan space mereka sebelum staf-stafnya sujud di kaki istri saya. Sampai kapan pun saya nggak akan lupakan penghinaan mereka." Rahang Vincent mengeras, matanya memicing tajam ke arah Senior Sara.Pria berkacamata yang bernama Eric mengangguk. "Baik, Tuan."Sara membeliak. Ditatapnya Vincent penuh keterkejutan. Sejauh ini, Sara hanya mengetahui kalau dia menikahi orang kaya. Tetapi siapa persisnya Vincent, seberpengaruh apa posisinya, sebanyak apa kekayaannya, Sara tidak pernah tahu, tidak tertarik juga untuk mencaritahu.Namun tampaknya, dari yang Sara pahami melalui kalimat Vincent barusan, Vincent adalah seseorang yang berkuasa atas M
Sara menurunkan tangannya yang sudah selesai memasangkan dasi. "Sudah."Bagus. Hari ini Vincent tidak mengusir Sara meski dia masuk sembarangan. Ini sudah kemajuan yang cukup baik. Padahal, Sara sudah menyiapkan kata-kata jikalau dia diusir dari kamar Vincent.Ditatapnya Vincent yang mulai membuka mata dan menjauhkan tangan dari dahi. Kening beralis tebal itu berkerut tanda tak suka. Sara melihat wajah tegas itu sambil tersenyum puas. Pria itu lekas berpaling ke arah lain."Minggir. Saya mau berangkat."Sekilas, walau tak yakin, Sara melihat daun telinga Vincent memerah.Eh, apa dia tersipu?"Vin, hari ini aku juga masuk kerja. Nanti kubawakan bekal lagi, ya!"Vincent berlalu masuk ke dalam walk-in closet tanpa sepatah kata pun. Sara melipat bibirnya ke dalam, hampir saja tawanya lepas.Dari luar kelihatannya Vincent menyeramkan, misterius, dingin. Ternyata, diam-diam dia punya sisi menggemaskan.*Hari ini, seharusnya Sara masih menikmati cuti menikah, tetapi dia tetap masuk kerja—me