Deana di sana. Duduk di sisi brankar dengan seorang pria yang rebah di atasnya. Tangan Deana menggenggam tangan pria itu penuh cinta. Sementara si pria—yang entah bagaimana mirip seorang public figur tersohor, tampak pucat memejamkan mata.
Apa hubungan pria itu dengan Deana? Kekasihnya? Sungguh kejam, Deana ternyata masih punya kekasih meski mengharapkan kembali ke sisi Vincent demi keturunan konglomerat. Vincent bener-benar jatuh cinta dengan orang yang salah. Tak ingin Vincent sakit hati melihat pasangan itu, Sara menarik lengan Vincent menjauh. Tetapi saat dia hendak mengayun langkah, kaki Sara justru tersandung dan ... "Akh!" Tubuh Sara limbung. Sebelum sempat jatuh, Vincent menahan pinggang ramping Sara, menariknya hingga nyaris memeluk dari belakang. "Kamu ... sepertinya butuh pengawalan non-stop, Sara." Vincent menatap Sara setengah frustasi. Sara menelan ludah, seketika memperbaiki posisinya dan berdiri dengan canggung. Saat dia mencoba menggerakkan kakinya ... "Ka-kakiku sakit." Iya, sakit. Tetapi ... sebenarnya, dia masih mampu berjalan. Namun kalau dia berjalan normal, tentu dia kehilangan momen mendekati Vincent. Tampaknya, ini bisa menjadi peluang untuk meluluhkan Vincent. "Aduh!" Sara pura-pura kesakitan saat melangkah. Vincent mengerutkan kening. Dia menatap kaki Sara, lalu beralih ke wajah perempuan yang sedang meringis itu. "Nggak bisa jalan?" Sara menggigit bibir, "Mungkin bisa, tapi ... sakit." Vincent menghela napas dalam-dalam. Tanpa menunggu persetujuan Sara, pria itu berjongkok di depan istrinya, menyodorkan punggung. "Sini." "A-apa?" "Naik. Saya gendong." "Hah?" Sara mendelik. Seketika menyesali keputusan sandiwaranya. Dia kira, Vincent hanya akan menuntunnya. Tetapi ... gendong? "Sebelum kamu jatuh lagi dan benar-benar nggak bisa jalan." Ujar Vincent tegas, masih membelakangi Sara. Sara meneguk saliva. Lalu dengan gerakan kikuk naik ke punggung Vincent. Tangannya merengkuh pundak pria itu, membuat posisi wajahnya begitu dekat hingga dia bisa mencium aroma maskulin yang melekat di tubuh Vincent. Wanginya membius, mengaburkan akal sehat hingga Sara tak sadar kecanduan mengendus tengkuk pria itu. Vincent bangkit, berdiri tegak dengan mudah, mendekap kaki Sara hingga seimbang. Dengan Sara di punggungnya, dia berjalan tanpa ragu melewati orang-orang yang memperhatikan mereka. "Hati-hati dengan jahitan di lenganmu." Vincent tiba-tiba memberi saran. Diam-diam, Sara menahan senyum. Ternyata, diperhatikan itu ... rasanya seindah ini. Terlebih, ini pertama kalinya Sara sedekat ini dengan laki-laki selain Papa. Pasti wajar kalau jantungnya berdebar luar biasa. "Aku berat?" "Sangat." Sara tertawa. Ah ... ini tawanya yang pertama setelah sekian lama dia tidak tertawa dalam hidupnya. Pelan, Sara merengkuh leher Vincent, mendekapnya seolah takut jatuh, walau sesungguhnya, yang perlahan dia rasakan adalah takut kehilangan. * Sesampainya di rumah, Sara bergegas membuka buku 'Kiat Mengatasi Impotensi' yang belum sempat dia baca tuntas. Beberapa informasi dia cerna baik-baik. [ Sentuhan fisik bisa menjadi terapi yang mendukung. Tidak perlu sentuhan yang bersifat sensual, sentuhan hangat seperti usapan atau belaian bisa menjadi awal yang tidak menuntut. ] Sara mengingat baik-baik. Oke. Mulai besok, dia akan coba mulai sering-sering menyentuh Vincent. Rasanya, menyentuh juga bisa menjadi awal yang tidak mengejutkan untuk Sara yang tidak familiar dengan aksi 'membangunkan' kejantanan lelaki. [ Pakaian minim dari pasangan bisa membantu. ] Sara menutup buku dalam sekali tepuk. Kepalanya mendadak pusing. Yang benar saja. Pakaian minim? Sara buru-buru membuka g****e. Mencaritahu pakaian yang cukup ampuh untuk menggoda laki-laki. Paduan crop top dan hot pant, lingerie, night gown, silk slip dress, astagaa Sara tidak punya semuanya. Oh, kemeja oversized laki-laki? Ini dia. Besok paginya, Sara memberanikan diri masuk ke kamar Vincent. Bunyi derit pintu mengawali langkahnya yang berjingkat masuk. Pria itu tidak berada di kasur. Sara lalu beranjak masuk ke walk-in closet, memeriksa setiap pintu, mencari kemeja Vincent. Begitu menemukan kemeja yang cukup besar dan agak transparan, Sara memakainya. Membuka ikatan rambut. Membiarkan rambut hitam gelombangnya tergerai indah. Tergesa dia membuat penampilannya semenggoda mungkin seperti yang disarankan google—kancing atas dibuka, sebelah bahu terekspos sempurna, dan yang paling membuat Sara merinding, kemeja ini berperan seperti dress—alias tanpa celana. Sial. Sara sesungguhnya malu. Dia merasa seperti wanita penggoda walau Vincet nyata suami sahnya. Jantung Sara berdebar kencang begitu mendengar langkah Vincent di area kamar. Dia menggigit bibir, menarik napas dalam-dalam selagi memutus seluruh urat malunya. Sara memindai sekeliling, mencari alasan untuk berinteraksi dengan Vincent. "Ah, dasi!" Sara mengambil satu buah Dasi polos berwarna biru gelap, lalu membawanya ke luar dari sana. Kebetulan sekali, Vincent sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana hitamnya. Tampaknya dia memang akan segera mencari dasi. Kedua mata pria itu membelalak melihat penampilan Sara. Mulutnya terbuka sekelumit. "Vin, aku memilihkan dasi untuk kamu pakai! Kupakaikan ya!" Sara mendekat. Bergegas melilitkan dasi ke belakang tengkuk Vincent. Vincent terpaku menatap Sara, lalu memejamkan mata dengan kening mengernyit. "Sara." Suaranya dingin, seakan penuh ancaman. "Kamu mau cari gara-gara?" Sara hampir selesai memakaikan dasi Vincent. Tangannya terus bergerak sambil menjawab, "Oh ini, aku pinjam kemejamu sebentar. Bajuku dicuci semua." Sara menjawab ringan, pura-pura polos. Dia tersenyum lembut saat mendongak menatap Vincent. "Ganti bajunya. Sekarang." Vincent menyentuh pelipis. Matanya masih terpejam. Sara bergeming, hendak menjawab tetapi Vincent lebih dulu bersuara, "Ganti sebelum saya yang lepasin, Sara."Sara menyemprot tipis parfum mahal yang sengaja dia beli di mall tadi. Harganya cukup membuat mulut menganga. Kata sang penjaga toko, aroma parfum ini diklaim bisa menjerat pria sampai tak mau lepas berhari-hari. Hmm ... seram juga.Sara mematut diri di depan cermin. Dia mengenakan night gown merah berbahan satin yang sempurna membentuk lekuk tubuhnya. Dia memutar sedikit bahu, memastikan punggung atasnya yang terbuka sudah terlihat menggoda. Bagian dada dengan potongan renda sederhana di area depan juga tampak manis.Sempurna. Harusnya, tidak ada laki-laki yang tidak tergoda melihatnya.Sara melangkah mundur. Kemudian menarik napas dalam-dalam. Vincent sudah masuk ke kamar setengah jam yang lalu. Sekarang pukul sepuluh malam. Sara berencana pindah ke kamar Vincent diam-diam. Kalau pria itu belum tidur, dia mau pura-pura melindur—siapa tau Vincent menggendongnya kembali ke kamar? Dengan Sara yang berpenampilan seksi, dia berharap adegan itu bisa membantu 'Jonathan' bangkit.Kalau V
"A-ampuni kami Tuan! Soal luka itu ... kejadiannya sudah lamaaaa sekali! Sekarang kami sudah tidak melukainya lagi!"Sara membeliak. Tangannya gemetar, dadanya dipenuhi gejolak amarah. Bohong! Mereka pikir, kebohongan mereka akan menyelamatkan diri mereka?Sara mengangkat wajah, menatap Vincent yang menyorot tajam Paman dan Bibi. Pandangan mereka kemudian bertemu. Sara menggeleng."Itu nggak benar. Aku masih sempat dipukul seminggu sebelum menikah." Sara menyahut dengan suara yang bergetar. Demi mendukung sandiwara, dia membenamkan kembali wajahnya ke pelukan Vincent. Berharap Paman dan Bibi menyadari bahwa Sara kini punya seseorang yang akan berdiri di sisinya. Ditahannya rasa canggung dan debaran heboh yang sejak tadi membuatnya tak nyaman. Vincent mengusap kepala Sara, pelan dan lembut."Benar begitu, Paman?" Suara bariton milik Vincent terdengar dingin menusuk. Di sisi lain, Sara termenung, merasakan hangat sentuhan jemari Vincent di sela rambutnya. Walau hanya sandiwara belaka
Vincent baru saja mengakhiri meeting dengan kolega bisnisnya di sebuah restoran bernuansa elegan. Setelah berjabat tangan dan rekan bisnisnya pergi, Eric mendekat, berbisik di telinga Vincent, "Tuan, ini hasil penyelidikan bekas luka di tubuh Nona Sara. Juga beberapa informasi tambahan." Eric mengoper sebuah tablet pada Vincent yang duduk di kursi restoran. Dia baru saja selesai meeting dan rekan bisnisnya baru pamit pulang.Vincent memeriksa tampilan layar dengan hati-hati. Keningnya berkerut dalam. Jadi, semua bekas sundutan rokok, memar-memar di punggung itu ... dari Paman dan Bibinya?Vincent membaca bagian sumber penghasilan mereka. Dia bisa menekan di bagian ini."Bisnis laundry?"Eric mengangguk dalam, "Iya, Tuan.""Sumber permodalan?""Bank YYY, Tuan. Kredit permodalan jangka panjang."Vincent mendengus sinis. Bank YYY masih dalam radar kuasanya."Hubungi pimpinan bank YYY, blokir akses pinjaman mereka. Kalau menolak, ancam cabut saham dari sana."*Begitu menyelesaikan pemba
Sara meraih tangan Vincent, berdiri perlahan. Vincent tak langsung melepas genggamannya. Membuat Sara merasakan kehangatan dan rasa aman karena dilindungi.Sesuatu yang benar-benar asing dalam hidup Sara.Seorang laki-laki berkacamata yang hadir mendampingi Vincent membungkuk sopan pada Sara."Eric, hubungi penanggung jawab tenant ritel ini. Suruh kosongkan space mereka sebelum staf-stafnya sujud di kaki istri saya. Sampai kapan pun saya nggak akan lupakan penghinaan mereka." Rahang Vincent mengeras, matanya memicing tajam ke arah Senior Sara.Pria berkacamata yang bernama Eric mengangguk. "Baik, Tuan."Sara membeliak. Ditatapnya Vincent penuh keterkejutan. Sejauh ini, Sara hanya mengetahui kalau dia menikahi orang kaya. Tetapi siapa persisnya Vincent, seberpengaruh apa posisinya, sebanyak apa kekayaannya, Sara tidak pernah tahu, tidak tertarik juga untuk mencaritahu.Namun tampaknya, dari yang Sara pahami melalui kalimat Vincent barusan, Vincent adalah seseorang yang berkuasa atas M
Sara menurunkan tangannya yang sudah selesai memasangkan dasi. "Sudah."Bagus. Hari ini Vincent tidak mengusir Sara meski dia masuk sembarangan. Ini sudah kemajuan yang cukup baik. Padahal, Sara sudah menyiapkan kata-kata jikalau dia diusir dari kamar Vincent.Ditatapnya Vincent yang mulai membuka mata dan menjauhkan tangan dari dahi. Kening beralis tebal itu berkerut tanda tak suka. Sara melihat wajah tegas itu sambil tersenyum puas. Pria itu lekas berpaling ke arah lain."Minggir. Saya mau berangkat."Sekilas, walau tak yakin, Sara melihat daun telinga Vincent memerah.Eh, apa dia tersipu?"Vin, hari ini aku juga masuk kerja. Nanti kubawakan bekal lagi, ya!"Vincent berlalu masuk ke dalam walk-in closet tanpa sepatah kata pun. Sara melipat bibirnya ke dalam, hampir saja tawanya lepas.Dari luar kelihatannya Vincent menyeramkan, misterius, dingin. Ternyata, diam-diam dia punya sisi menggemaskan.*Hari ini, seharusnya Sara masih menikmati cuti menikah, tetapi dia tetap masuk kerja—me
Deana di sana. Duduk di sisi brankar dengan seorang pria yang rebah di atasnya. Tangan Deana menggenggam tangan pria itu penuh cinta. Sementara si pria—yang entah bagaimana mirip seorang public figur tersohor, tampak pucat memejamkan mata.Apa hubungan pria itu dengan Deana? Kekasihnya?Sungguh kejam, Deana ternyata masih punya kekasih meski mengharapkan kembali ke sisi Vincent demi keturunan konglomerat. Vincent bener-benar jatuh cinta dengan orang yang salah.Tak ingin Vincent sakit hati melihat pasangan itu, Sara menarik lengan Vincent menjauh. Tetapi saat dia hendak mengayun langkah, kaki Sara justru tersandung dan ..."Akh!" Tubuh Sara limbung. Sebelum sempat jatuh, Vincent menahan pinggang ramping Sara, menariknya hingga nyaris memeluk dari belakang."Kamu ... sepertinya butuh pengawalan non-stop, Sara." Vincent menatap Sara setengah frustasi. Sara menelan ludah, seketika memperbaiki posisinya dan berdiri dengan canggung. Saat dia mencoba menggerakkan kakinya ..."Ka-kakiku sak