Pagi sekali, aku sudah bangun. Tapi bukan untuk gegas bersiap. Melainkan tidurku saja yang tak nyenyak. Rasanya seperti tidak nyaman. Seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Meraup wajah dan mengela napas pelan. Barulah aku ke kamar mandi. Lalu melanjutkan rutinitas pagi.
Pukul delapan, kami sudah bersiap. Bang Aldi, mbak Dina, juga si kecil Jansen. Zul akan menyusul nanti ke kantor pengadilan langsung. Sedangkan Niswah, dia tidak ikut karena hari ini berbarengan dengan jadwal kampus hari pertama. Haidar, dia juga akan mengantar Niswah nanti."Tenangkan pikiranmu, Din. Yakinlah berjalan lancar." Kuanggukkan kepala. Bang Aldi sepertinya menangkap sirat khawatir dari wajahku. Sedangkan mbak Dina mengusap pundakku, menenangkan. Kami gegas menaiki mobil. Bang Aldi dan mbak Dina di depan, sedangkan aku dan Jansen di bagian tengah. Aku tersenyum membaca pesan dari Della. Ya, begitu banyak orang yang mendukungku, tak seharusnya aku sekhawatir ini. Obrolan ringan dan juga cKulihat keterkejutan di wajah Haidar. Namun aku mengabaikannya. Dan menghampiri dokter itu."A... Anda istrinya?""Benar. Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" "Suami ibu mengalami luka yang cukup parah. Bentaran di kepalanya mengakibatkan efek yang hebat. Kemungkinan, dia akan mengalami amnesia.""A-amnesia?" ulangku. Menelan saliva kasar. Apa itu artinya...."Benar. Dan di tambah dia sepertinya sehabis mengonsumsi alkohol yang berlebih. Sementara saat ini pasien belum sadar. Tapi sudah bisa dikunjungi secara bergantian. Dua orang yang masuk perkunjungan."Aku meremat jemariku. Kemungkinan kemungkinan terbayang dalam otakku. "Saya permisi dulu."Dokter berlalu. Zul bergegas menghampiriku. Sedangkan Haidar dia diam saja tanpa komentar."Kamu serius? Mengakui sebagai istrinya? Wah... Apa itu berarti perceraian gagal?"Aku memejamkan mata sejenak."Bahkan, tanpa mengakui sebagai istrinya pun, sidang tidak mungkin dilanjut. Dia amnesia. Yang
Mas Angga sudah sadar. Meski tubuhnya masih sangat lemah. Sedari tadi dia menatapku dengan senyum tersungging di bibirnya. Jemari lemahnya memegang jemariku. Mas Angga mengalami amnesia anterograde, atau amnesia sebagian. Memorinya kembali ke tiga tahun silam, tepatnya saat sebelum kedatangan Riri. Aku sempat bingung, amnesia ini disebabkan oleh penyakit, bukan karena kecelakaan. Tapi mengingat kata dokter yang bilang kalau mas Angga sempat mengonsumsi minuman alkohol, barulah otakku sedikit menerima. Mungkin saja dia sebelumnya sempat keracunan yang kemudian menyebabkan kecelakaan. Hal yang memperparah kondisinya.Hening. Bang Aldi diam. Zul juga diam. Mbak Dina diam. Hanya sesekali isakan ibu mertua yang menangis sesegukan. Suara tak jelas dari mas Angga membuatku menoleh. Sedari tadi aku membuang pandangan. Bibirnya bergerak-gerak dengan suara yang tak jelas. Tapi aku paham yang dia maksud. Dia bilang, jangan meninggalkan dirinya. Ya Tuhan, bagaimana ini?"Dia c
Aku terbangun sudah ada di kamar. Kedua sudut bibirku tertarik. Tetap sama seperti dulu saat aku ketiduran di luar, pasti bangun-bangun sudah ada di dalam. Bang Aldi adalah sosok pengganti papa. Beringsut menyandarkan tubuh di headboard, menarik selimut yang menutupi badanku. Melirik jam di nakas. Pukul tiga sore. Kuraih ponselku. Della, aku ingin menceritakan semuanya dengan sahabatku. Namun, justru yang kudapat, bekas panggilan dari nomor asing sekitar lima menit yang lalu. Sampai lima panggilan. Ponselku memang kubuat mode diam. Supaya tidak mengganggu jalannya sidang, tadinya begitu. Nyatanya gagal.Belum sempat kembali menghubungi nomor itu, ketukan di pintu lebih dulu mengambil alih perhatian. Pintu terbuka, menampilkan wajah bang Aldi."Sudah bangun?" Aku mengangguk. Bang Aldi menghampiriku. "Sudah baikan?""Udah, Bang. Bang Aldi kenapa? Kok kayaknya ada sesuatu?"Helaan napas terdengar. Berikut tepukan di pundakku."Sepertinya kali ini kam
"Rumah banyak yang berubah ya?" Aku diam saja. Mendorong kursi rodanya. Hari ini Mas Angga boleh dibawa pulang, setelah seminggu perawatan di rumah sakit. Berhubung aku tidak mampu membawanya ke lantai atas, jadi aku membawanya ke kamar di lantai bawah. "Lo, kamar kita kan di atas, Beib?" aku mengela napas. Membantunya berdiri dan memapahnya ke ranjang."Mas bisa jalan sendiri?""Hehe. Ya gak sih. Tapi kan kamu bisa memapahku. Istri yang baik pasti tidak akan merasa keberatan, Din. Justru berpahala lo, berbakti sama suami itu namanya."Satu sudut bibirku tertarik tipis. "Sayangnya, aku bukan istri yang baik," tukasku. Membenarkan letak baringnya. Dia memang masih lemas. Tapi dia sendiri yang memaksa untuk pulang dan di rawat di rumah."Kok kamu kayak gitu?""Kamu sendiri lo yang bilang. Makanya, sekarang aku turutin deh sesuai yang kamu katakan." "Aku? Kapan?""Tidak usah dipikirkan, Mas. Nanti juga ingat sendiri." Kulihat mas Angga masih
Pulang kerja langsung disambut dengan mas Angga yang ngambek. Dia tidak mau makan kalau tidak aku suapi. Mau tak mau, meski tubuhku letih, kusempatkan menyaupinya dulu. Memang berbeda, jika perasaan itu masih ada ataupun mati rasa. Hambar."Aku merindukanmu, tidak bisakah kamu memelukku?"Aku menoleh selintas. Jengah. "Maaf, Mas. Tapi sekarang tidak sama.""Maksudnya apa sih? Dari kemarin kamu selalu aja bilang kayak gitu. Kamu selingkuh?" rautnya tak suka. Aku tersenyum tipis. Menyodorkan sesendok ke arahnya."Mas kenal Riri?"Dia menepis tanganku. Menolak disuapi lagi. Tapi tatapannya heran ke arahku."Bagaimana kamu kenal dengan Riri?""Justru itu. Mas selingkuh dengan Riri. Mas ingat? Aku ini mandul, katamu dan ibu. Kita menikah lama tapi belum juga punya anak. Dan saat itu, mas datang dengan membawa anak kecil. Anak itu anakmu, kamu bilang seperti itu. Lalu, kamu lebih memilih anak itu, juga wanita bernama Riri. Kamu ninggalin aku, mas."
Suasana pesta yang meriah dan elegan. Seperti yang sudah aku duga. Memang tidak di ballroom hotel seperti yang biasa dilakukan oleh pengusaha lainnya, pak Andre mengadakannya di rumah beliau. Rumah yang besar dan megah. Banyak pengusaha besar yang juga datang. Setelah sempat menyapa beliau yang dengan sumringah membalas sapaanku. Berbasa basi sebentar, kemudian aku menyingkir. Paling tidak suka dengan keramaian seperti ini.Netraku mengedar ke sekitar. Beberapa wajah cukup akrab dalam pandanganku. Mereka adalah pejabat penting di instansi pemerintahan, dan juga di perusahaan. Mungkin hanya aku yang terlihat canggung disini. Seperti anak itik kehilangan induknya. Kusesap segelas lemon tea sebagai pengalih rasa jenuh. Ingin rasanya segera pulang dan bergumul dengan kasur dan selimut. Sayangnya, acara bahkan belum dimulai."Sendirian saja."Aku menoleh, mendapati senyum lebar pria yang tak asing. Mataku membola lebar. Lagi-lagi dia, manusia aneh yang suka muncul t
"Lo bodoh, hah! Mau mati!"Kuabaikan ocehan Zul. Dia berhasil mengejarku yang naik mobil dengan kecepatan tinggi. Memaksaku menepikan mobil. Dia langsung menghampiri dan memakiku. "Lo kenapa sih? Tiba-tiba ngilang. Untung aja gue masih bisa nemuin lo sebelum jadi mayat." aku melengos, mengabaikan omelannya."Ngomong, ada masalah apa? Jangan bertingkah gila. Atau jangan-jangan lo stress gara-gara gagal cerai?" kalau saja suasana hatiku membaik, mungkin sudah kutampar mulutnya itu. Sayangnya, aku tidak sedang mode bercanda. Menatapnya balik dengan wajah datar. Dia polisi, masih bisakan aku menaruh kepercayaan padanya?"Sejak kapan Lo kenal bang Aldi?""Ha? Ngapain nanya? Jelas gue teman lama lah. Karena itu abang Lo nitipin ke kita." aku mengangguk singkat. Kita yang dimaksud adalah dia dan Haidar. Tersenyum kecut begitu menyadari, bisa saja selama ini Haidar adalah sosok munafik yang dimaksud Riri."Kalau begitu, katakan apa yang Lo ketahui tentang masalalu b
"Gak sarapan dulu?"Aku bangun kesiangan. Gara-gara mata baru bisa terpejam jelang subuh. "Saya terlambat," tukasku melangkah cepat. Namun sebuah tangan menahanku. Mas Angga."Aku sudah terlambat, Mas. Bisakah kamu lepas?""Sarapan dulu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawatku?"Aku mengela napas. Menatapnya beberapa saat."Aku sarapan di kantor.""Dinda, aku mohon. Kamu boleh marah denganku. Ya meskipun aku tidak tahu dimana kesalahanku. Tapi, tolong jangan abaikan kesehatanmu. Itu lebih penting."Dahiku berkerut. Sejak kapan dia jadi sebijak ini?"Kamu gak kesambet kan, Mas?" "Kamu pikir? Sudahlah. Makan dulu. Atau, bawa bekal saja."Terpaksa kududukkan pantatku di kursi. Bergabung untuk sarapan. Meski sebenarnya rasanya hambar. Tidak berselera. Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang. Aku sudah sangat kesiangan. Tapi aku sempatkan untuk mampir ke apotik. Kepalaku benar-benar pening. Aku butuh obat tidur. Setidak