Sementara, untuk sidang perceraian, tinggal nanti menunggu panggilan dari pengadilan. Aku juga sibuk mempersiapkan berkas-berkas yang amat banyak itu. Katanya, proses perceraian itu cukup lama. Bisa sampai berbulan-bulan. Jadi sementara waktu bisa kugunakan untuk mencari bukti."Abang udah nemu tempat tinggal Mas Angga sekarang?" tanyaku disela pekerjaan di kantor."Belum. Rencananya mau besok aja. Gak papa kan?"Aku mendesah pelan. Santuy sekali bang Aldi ini. Meski sidang entah kapan, tapi untuk menyelidiki Riri, belum tentu hanya membutuhkan waktu sebentar bukan? Takutnya ada hal tak terduga dari rencana."Gak usah terburu. Buru-buru perbuatan syaiton loh.""Terlalu santai juga gak baik, Bang," tukasku kesal. Andai aku bisa menyelidikinya sendiri. Bang Aldi malah nyengir lebar. Dan kemudian dia sibuk, asyik menelepon istri dan Anaknya.****Setelah shalat isya', sekitar pukul setengah sembilan, aku minta diantar bang Aldi ke supermarket dekat lapangan sana. Aku lupa stok dapur meni
Ku perhatikan badannya basah kuyup. Bahkan tetes air itu mengalir di wajahnya. Dia memayungiku tapi membiarkan dirinya sendiri kehujanan. Aku menangis, tapi aku masih sempat memperhatikan dirinya."Kenapa kamu disini, hiks..."Rasanya ingin teriak sekeras-kerasnya. Takut, marah, kesal jadi satu. Napasku tersengal menahan emosi."Karena aku melihat seorang gadis yang berjalan sendirian. Udah, ayo. Mau pulang kan?"Aku mengangguk. Tapi tak kunjung beranjak. Dia orang baik kan?"Kenapa diam? Mau disini terus, hm? Atau mau jadi penjaga jalanan?"Aku menggigit bibir bawahku yang gemetaran dingin. Aku hanya takut, dan tidak bisa percaya dengan orang yang baru dikenal. Apalagi pertemuan kedua yang memberikan kesan buruk.Diambil alihnya belanjaan dari tanganku."Bang Aldi yang menyuruh. Kamu tak perlu khawatir. Aku tidak akan berbuat jahat." kutatap wajahnya yang menatap ke depan. Dari tadi, dia memang tidak memandangku meski mengajakku bicara."Apa... Sesuatu terjadi?""Tidak. Tapi dia tida
Sebuah sentuhan mendarat di pundakku. Aku lupa, ada dia bersamaku tadi. Kuusap kasar air mataku dan menatapnya tajam. Pasti dia tahu sesuatu."Katakan, ada apa sebenarnya? Bang Aldi dimana!"Bahkan aku abai bahwa dia masih mengenakan pakaian basahnya tadi."Bang Aldi terbang ke London."Mataku membulat."A-apa?!""Ya. Dia pergi ke London. Mendadak.""Jahat!" teriakku. Kenapa bang Aldi jahat padaku. Bahkan dia pulang tanpa berpamitan denganku, adiknya sendiri."Tenanglah. Bang Aldi pulang mendadak karena anaknya kecelakaan.""Ja-Jansen... Kecelakaan?""Benar. Makanya dia tak sempat menjemputmu karena langsung mencari tiket kilat. Dia hanya sempat menghubungiku untuk menjemputmu di supermarket. Bahkan dia tidak sempat menghubungimu karena keburu naik pesawat. Dan, ini... Dia memberimu pesan."Gemetar tanganku menerima ponselnya. Membaca pesan dari bang Aldi."Tolong sampaikan pada Dinda. Abang minta maaf. Abang tidak sempat berpamitan karena kabar itu juga mendadak. Jansen mengalami kec
Selepas pulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan mampir di kedai bakso cuanki. Sudah lama rasanya aku tidak kesini. Dan mendadak ingin makan yang pedas-pedas."Seporsi ya, Bang. Yang pedes. Banyakin kuahnya.""Siap, Non cantik."Sembari menunggu pesanan, netraku menatap sekeliling. Udara panas tadi siang perlahan meredup. Langit berubah jingga. Cantik. Aku suka senja, tapi sayang sekali, dibalik senja menyimpan kegelapan. Mungkin sama dengan hakikat hidup, bahwa tak selamanya akan indah. Ada kalanya kesedihan datang menyapa."Ini, Non pesanannya.""Eh? Iya bang." bang Cuanki mengagetkan saja. Tapi salahku juga sih yang malah melamun. Memberikan lembar hijau padanya, lalu menerima kembalian.Saat membuka pintu mobil, sebuah suara memanggilku."Heh! Wanita mandul!"Aku sontak menoleh. Terkejut mendapati ibu mertua yang bersidekap dan tersenyum mengejek."Gimana rasanya hidup sendiri? Dasar wanita mandul!"Tanganku mengepal. Menggeram marah. Wanita itu masih sama belaguny
"Kakak?""He'em. Bahkan tadi kakakku yang antar kesini. Berhubung pintu rumahnya di kunci, jadi saya cuma bisa nungguin di luar deh. Mana udah gelap."Aku mengamati gadis ini. Sebenarnya siapa sih dia? Dari cara berucapnya sama sekali tidak menunjukkan gugup atau terbelit-belit. Cenderung ceplas ceplos malah. Aku bersidekap. Menarik napas panjang. "Siapa nama kakakmu.""Haidar. Oppa Haidar Hafidzul Ahkam."Mataku melotot. Jadi, dia adiknya? Astaga... Kenapa beda banget sifatnya."Kenal kan? Jelas kenal dong. Siapa sih yang gak kenal sama oppa tampanku itu.""Ish. Aku aja baru mengenalnya. Lagian, op... Oppa? Apaan sih?" telingaku merasa aneh mendengar penyebutan gadis ini. Aku tahunya opah, neneknya upin ipin."Ih, mbak Dinda gak gaul deh. Oppa itu, panggilan buat pria tampan korea.""O.""Yah, O doang."Aku tak menyahut. Kelamaan menginterogasinya, sampai lupa belum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung nyelonong ikut masuk sambil menggeret kopernya."Aku tidur dim
"Oh. Maaf. Mbak gak tahu.""Biasa kok mbak. Lagian aku juga yang milih ikut mas Haidar daripada sama ibu dan bapak. Gak enak."Aku menatapnya tak tega. Ternyata, Haidar tidak seperti yang aku bayangkan. Maksudku, aku pikir dia masih mempunyai keluarga lengkap. Ternyata, bahkan ada yang nasibnya sama denganku. Kehilangan orang tua. Teringat sesuatu, aku mengernyit heran."Loh, tapi.... Bukannya kakakmu pernah mondok ya? Terus saat itu kamu ikut siapa?""Ikut mas Haidarlah, mbak. Orang aku nyamannya sama dia." "Oo... Kamu di asrama putri, dan dia di asrama putra, begitu?""Enggaklah. Aku tidur bareng dia. Waktu itu umurku baru enam tahun, mbak. Aku nangis maksa buat bareng sama mas Haidar. Dan ya... Akhirnya dibolehin deh. Hehe.""Aneh-aneh kamu.""Kalau gak kayak gitu, gak bakal dibolehin, mbak.""Iya juga sih. Terus, pernah dengar juga, kakakmu kan kuliah di Amrik?""Yups. Beasiswa itu. Dia seneng cari ilmu emang. Biaya sekolah nyari sendiri, kuliah juga nyari sendiri. Bahkan pas di
"Eh! Mbak gak kenapa?!" Aku menggeleng. Untung ada Niswah, kalau tidak mungkin aku sudah terjerembab di lantai. Aku menoleh dan perempuan yang menyenggolku tadi nampak berbicara dengan seseorang yang ada di mobil. Tidak nampak itu siapa. Karena posisi kami yang berada di belakang mobil itu, dan dalam jarak sejauh ini."Heh! Kamu!"Dia menoleh. Tapi saat itu juga netraku membulat. Bersamaan dengan dia yang juga sama terkejutnya."Ri... Riri!" pekikku spontan."Mbak kenal?""Ri! Tunggu!" Riri justru berlari menghindariku. Aneh sekali dia. Lagipula aku dan mas Angga sudah tidak bersama, kenapa dia harus mengindar coba. Dan lagi, wajahnya tadi seperti ketakutan. Hey!aku bukan pembunuh atau orang jahat. "Mbak kenal orang itu?"Aku mendesah kesal."Kenal. Tapi gak penting."Niswah baru mengikutiku beberapa saat kemudian, mungkin dia bingung dengan kecuekanku yang tiba- tiba. Maaf, Nis. Mbak cuma kesal dengan dia. Kenapa coba harus kabur? Bikin tersinggung saja.Namun beberapa langkah kem
"Mbak?"Aku tergagap. Bisa-bisanya malah melamun."A... Iya, Nis. Semoga lancar ya?""Lancar?" Aku tersenyum meski Niswah juga tidak tahu."Iya. Ya udah. Mbak lagi kerja. Kamu yang hati-hati.""O, iya mbak. Makasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Mendadak moodku turun. Eish! Kenapa sih aku? Itu kan hak Haidar untuk bertemu jodohnya. Lagipula pria itu juga cukup dewasa. Kenapa aku kepikiran? Tidak mungkin aku menyukainya secepat ini. Ish! Pasti baper gara-gara malam itu. Tidak! Ini bukan cinta, melainkan kekaguman semata.*****Moodku sedikit turun gara-gara pikiranku sendiri. Aneh memang. Kenapa wanita harus tercipta suka overthinking, dan moody-an? Sesuai rencana, sepulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan menuju alamat yang dikirim oleh orang yang kusuruh kemarin.Sebuah gang sempit dan kumuh. Aku menarik napas. Miris rasanya membayangkan mas Angga tinggal di tempat seperti ini setelah kenyamanan yang lama kita lalui bersama. Ku parkir mobil di halaman salah