Share

Biaya Pernikahan

Miskin itu Memalukan 6

Biaya Pernikahan

“Cepetan, Ma, mobilnya udah mau datang,”kataku dengan berdiri di depan mama.

Mama membungkuk mengemasi beberapa kantong plastik. Agak repot memang membawa semua berbarengan. Terpaksa aku membantunya.

“Sini aku bantuin.”

Memilih buntelan yang kecil-kecil aku menentengnya keluar. Total ada lima kantong plastik. Mama membawa tiga kantong gendut yang kelihatannya berisi makanan berkuah. Entah lah mungkin kuah bakso atau sambel kacang siomay.

Di dalam mobil grab aku langsung me-recline sandaran kursi dan duduk santai. Pegel semua rasanya kakiku kelamaan berdiri. Mama duduk di sebelahku. Mengambil ponsel, aku segera chattingan dengan Ruly yang sedang dalam perjalanan ke Solo. Kebetulan Ruly tidak sedang menyetir.

[aku nginep rumah mama] tulisku.

[ya, gapapa] balas Ruly singkat. Biasa cowok malas ngetik.

[nanti kalau sudah sampai rumah kabari aku] tulisku lagi.

[eh, Fi, uangnya tadi nggak lupa, kan?]

Uang? Oh iya, uang peningset dari keluarga Ruly tadi … kan dibawa mama.

[ada]

[ya udah]

“Ma, amplopnya tadi dibawa mama, ya?” Tanyaku menoleh pada mama.

“Iya, Fi, ini.” Mama tampak merogoh tasnya.

“Ntar aja di rumah.” Aku mencegah, “ntar dirampok supir taksinya,” bisikku dekat telinga mama. Gimana sih mama ini, kek nggak tahu aja jaman sekarang banyak orang jahat. Sebenarnya aku sudah tahu isi amplop itu berapa karena Ruly sudah memberitahu.

“Oh, iya, maaf.”mama mengurungkan tindakannya.

“Ma, gimana udah nabung belum, sebentar lagi aku menikah, lho,” kataku membuka percakapan. Seperti biasa mamaku diam membisu.

“Aku nggak maksa jumlahnya berapa, Ma, berapa pun mama ngasih aku terima. Sebenarnya kan aku ini masih tanggungan mama,” uraiku dengan menatap lurus ke depan. Aku nggak ingin melihat wajah mama.

“Iya, Fi,” terdengar suara mama menjawab pelan.

“Semua anak itu kalau menikah orang tuanya yang biayain, Ma … aku juga seharusnya begitu, makanya aku menuntut tanggung jawab mama.”

“Iya, Fi …”

“Biaya pernikahan aku tuh mahal, Ma, ratusan juta. Aku sudah memesan paket pernikahan di Hotel Larasati, mama tahu kan Hotel itu?” Aku menoleh. Mama mengangguk. Hotel Larasati adalah Hotel sekaligus resort yang paling megah di kotaku. Bulan lalu aku dan Ruly ke sana untuk melihat paket wedding yang ditawarkan. Aku dan Ruly sepakat untuk mengambil paket gold dengan tamu undangan 300 orang saja. Paket tidak termasuk riasan dan dokumentasi tetapi sudah mencakup gedung, catering, WO, dekorasi standar, sound sistem, dan entertainment berupa live musik.

Harga paketnya 120 juta. Sejatinya mau dibayar semua sama papanya Ruly tapi, aku menolak. Aku minta dibantu separuh saja selebihnya akan diselesaikan oleh keluargaku, begitu aku berdalih. Malu lah kalau semua ditanggung oleh keluarga Ruly, pesta di pihak perempuan kan harusnya tanggung jawab keluargaku. Aku masih punya harga diri, nggak mau aku dianggap nggak modal.

Uang tabunganku selama hampir empat tahun kerja di bank lumayan banyak. Apalagi satu setengah tahun terakhir aku sudah tidak ada pengeluaran untuk membayar kost. Sedianya aku ingin membeli mobil seken dengan tabunganku tapi, alhamdulillah calon suamiku sudah memiliki mobil bagus sehingga aku nggak perlu beli mobil sendiri. Uangnya aku pakai buat modal nikah ini.

Uang peningset dari keluarga Ruly besarnya 50 juta saja, aku yang minta segitu. Biarlah untuk pesta aku kucurkan uang pribadi 50 juta lagi, selebihnya Ruly yang menutup. Sebagai anak aku merasa nelangsa. Dari lulus SMA sampai bekerja, mama sudah tidak mengurusi aku lagi baik secara perhatian atau finansial. Aku ini anaknya, aku juga ingin diperhatikan sama mama. Mama terlalu sibuk dengan kehidupannya yang miskin. Terlalu sibuk memikirkan beras.

Aku begini juga untuk menjunjung harga diri mama. Aku katakan pada orang tua Ruly kalau mamaku yang akan menutup biaya pesta. Padahal itu semua tabunganku. Supaya mama tidak dipandang sebelah mata oleh mereka. Itu sebabnya aku sengaja menuntut uang dari mama untuk ikut mendanai biaya pernikahan. Berapa pun dari mama akan aku terima. Dua juta, satu juta, akan aku terima. Bukan nominalnya yang aku harapkan tapi, pengorbanan mama yang aku tuntut.

Sampai rumah mama sekitar jam sembilan malam. Taksi berhenti di ujung gang. Kubantu mama membawa kantong plastik berisi makanan sampai rumah. Hujan sudah tidak lebat tetapi gerimis masih menetes. Berjingkat jingkat aku berjalan menghindari kubangan air. Agak ribet juga karena aku masih mengenakan kebaya dan sepatu high heels.

“Sepi, Ma, pada ke mana?” Tanyaku saat masuk rumah.

“Siva sudah tidur mungkin,” sahut mama.

“Lha Om Arif ke mana?”

“Keluar mungkin.”

“Malam-malam ke mana? Bukannya ngelonin anaknya.” Aku mengomel sembari duduk. Membuka tas, aku mengambil peralatan mandi. Mama masuk ke kamar.

“Aku mau cuci muka dulu, Ma,” kataku sambil berlalu.

Masih seperti dulu. Kamar mandi sempit dengan bak kecil dan WC jongkok berwarna biru. Tidak ada yang berubah, bahkan gayungnya pun masih gayung yang sama dengan dua tahun yang lalu. Terakhir aku nginep sini hampir setahun yang lalu yaitu saat Lebaran. Aku tidur di rumah mama dua malam.

Selesai membersihkan wajah, aku keluar. Mama memberikan daster padaku. Ini dasterku sendiri bukan punya mama. Memang masih ada beberapa helai bajuku di rumah ini dan mama menyimpannya dengan baik.

“Tidur sama Siva, ya, Fi.”

Aku mengangguk. Rumah ini hanya ada dua kamar. Dulu ditempati satu untukku dan satu untuk mama. Sekarang kamarku dipakai Siva, adikku. Gegas aku masuk ke kamar. Ternyata Siva belum tidur atau mungkin dia terjaga karena mendengar mama pulang. Gadis kecil itu mengintip dari balik guling.

“Siva, belum tidur, ya?” Aku tersenyum padanya. Siva menyingkirkan guling dari wajahnya. Sederet giginya yang gugus dia pamerkan padaku. Aku duduk di tepi ranjang, Siva bergeser memberi tempat padaku.

“Mbak Ufi bobok sini?” Suara Siva parau bertanya.

“He’em,”

Membaringkan tubuh di samping Siva aku menarik selimut untuk menghalau hawa dingin yang menyergap. Mengeluarkan ponsel akupun berselancar dalam dunia maya. Foto-foto tunangan tadi aku post di I*******m milikku. Tak lupa aku tag Ruly dan beberapa teman dekat.

Melirik ke samping ternyata Siva sedang memperhatikan aku. Bocah itu kepo dengan layar ponselku.

“Siva punya HP?” Tanyaku.

“Enggak,” gadis itu menggeleng.

“Minta dong sama mama,” kataku.

“Nggak dibeliin,” jawabnya sambil menarik ingus. Aku memalingkan wajah padanya. Siva nggak pilek, dia hanya menarik nafas sampai hidungnya berbunyi aja, membuatku tersenyum kecil.

“Minta sama Bapak dong,”

“Bapak nggak punya uang, nanti Siva dimarahin,” ucapnya memelas.

Menghela nafas, aku lalu menyimpan ponsel di bawah bantal. Tidur miring menghadap Siva. Bocah kasihan … kenapa harus lahir di keluarga miskin.

“Siva mau HP?” Tanyaku sambil menatapnya.

“Mau!” Jawabnya bersemangat. Wajahnya seketika semringah, matanya berbinar dan membulat. Aku yakin pasti kantuknya Siva melayang jauh.

Bisa saja aku membelikan Siva ponsel tapi, aku takut kalau nanti malah diminta mama dan dijual buat beli beras. Atau nggak malah dijual Om Arif.

“Makanya Siva, kamu harus belajar yang rajin biar jadi orang. Jangan kayak mama yang miskin dan nggak punya uang, mengerti?” Pelan, aku usap kepala bocah tak berdosa itu.

Brakk!

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang digebrak. Siva buru-buru bersembunyi di balik selimut.

“Siapa itu, Siva?” Tanyaku berbisik.

“Bapak pulang.” Jawab Siva dengan mata terpejam. Sepeti ketakutan.

Pulang kenapa menggebrak pintu? Keningku mengerut.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status