Miskin itu memalukan 5
Lamaran dan makanan sisaSetelah memutar mata ke segala sudut, akhirnya aku menemukan mama. Perempuan itu duduk di deretan belakang dan dari sini terhalang pilar sehingga aku tidak dapat segera menemukannya. Mama duduk sambil memeluk tas barunya. Sorot matanya ke bawah, kosong dan seperti melamun.“Mama!” Aku memanggil.Mama masih diam seperti tidak mendengar. Orang yang duduk tak jauh dari mama rupanya melihatku.“Mama!” Panggilku lagi sambil menunjuk sosok mama. Budhe Lies sampai ikut menoleh ke belakang. Orang di sebelah mama menyadari lalu dia mencolek tangan mama dan menunjuk padaku. Mama mengangkat sedikit kepala dan melihat padaku. Tanganku melambai. Untung saja mama mengerti, dia lalu berdiri dan berjalan ke depan.“Malah duduk di belakang, sih, Ma!?” Tanyaku gusar. Sedikit melebarkan mata aku menegur mama. Suaraku pelan namun menekan. Mama diam saja dan langsung duduk di sebelahku.“Fatma, duduk di situ, acara mau di mulai. Lihat kamu jadi perhatian keluarga besan!” Budhe Lies juga menegur mama. Mama mengangguk tipis. Segera aku kembali fokus ke acara. Memasang wajah manis dan tak pernah melepas senyum.“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”“WaalaikumSalaam warahmatullahi wabarkatuh.”Suara berbalas salam menggema melalui sound sistem standar yang disediakan pihak restoran. Hatiku rasanya nervous, deg deg an banget. Wajah- wajah serius para orang tua menyimak wejangan pembuka dari Mbah Pujo. Sekaligus sebagai wakil dan juru bicara keluarga, Mbah Pujo pun masuk ke jantung acara yaitu nembung atau melamar diriku pada keluarga. Meski pada akhirnya aku nanti yang memberi jawaban, tradisi nembung ini tetap harus dilewati.“Maksud dari kedatangan kami sekeluarga ini selain bersilaturahmi juga ada maksud baik lainnya. Seperti diketahui, anak- anak kita yang sudah dewasa yaitu Dimas Ruly Parikesit Suwondo dan Diah Ayu Luthfita Ramadhani, sudah menjalin hubungan selama beberapa waktu. Sebagai bentuk keseriusan hubungan mereka, kami dari pihak keluarga Ruly melalui pertemuan dua keluarga ini bermaksud meminang Ananda Ufi untuk diikat dalam tali pertunangan dengan anak kesayangan kami yaitu Ruly. Demikian, mohon tanggapan dari ananda Ufi dan keluarga. Terima kasih, Wassalamualaikum.Byuh, rasanya tegang banget, aku sampai keringetan di ruang berAC. Mic sekarang berada di tangan Mbah Yanto sebagai wakil dari keluargaku. Aku melirik mama yang duduk diam tanpa suara. Entah apa yang ada di pikiran mama, terlihat dia lebih banyak melamun dari pada menyimak inti acara. Ini pertunanganku, lho, harusnya mama ikut gembira.Padahal aku gapapa lho, mama datang culun sendirian tanpa buah tangan apapun. Mungkin mama malu sendiri hadir dengan tangan kosong. Miskin itu memang memalukan dan membuat seseorang menjadi seperti tak punya harga diri.Aku melihat ke sudut ruangan tempat bingkisan dari keluarga Ruly ditempatkan. Sumpah banyak banget! Ini baru acara lamaran, gimana nanti pas kawinan … lebih wow pastinya.“Bagaimana, Nak Ufi, apakah bersedia menerima pinangan ini?”Eh! gelagapan aku tiba-tiba dilempar pertanyaan. Menenangkan hati sebentar aku lalu mengulas senyum untuk semua yang menatap. Ruly menatapku tak berkedip, tatapan cinta maksudnya.“Kalau Ufi sih, mau aja ….” Jawabku tersipu sipu. Rasanya wajahku sedikit panas mungkin pipi ini memerah menahan rasa. Ya senang, malu, bahagia jadi satu. Terdengar hadirin sedikit gaduh dengan ucapan syukur dan tawa gembira. Aku sudah menjawab lamaran dengan bersedia dipinang Ruly.Setelah itu, Pak Wondo mengambil alih mic. Dengan suara berat ciri khasnya, papanya Ruly itu menyampaikan sesuatu.“Singkat saja, nggeh, berhubung sudah sore. Ini ada sedikit peningset untuk mbak Ufi, mohon diterima.”Pak Wondo mengeluarkan amplop coklat panjang dari tasnya. Kulihat Pakdhe Sus berbisik bisik pada istrinya yaitu Budhe Lies.“Ufi, suruh mamamu maju buat menerima amplop,” bisik Budhe di telingaku. Aku mengangguk lalu berpaling pada mama.“Ma, tolong terima amplopnya,” kataku sambil menyenggol lengan mama dengan siku. Mama sedikit tergagap.“Mama?” Tanyanya tak percaya.“Ya iya lah, siapa lagi?” Kedua alisku menaut. Mama menaruh tas lalu berdiri dan berjalan pelan menghampiri Pak Wondo yang sudah berdiri duluan.Pak Wondo memberikan amplop pada mama diiringi tepuk tangan para tamu. Kilatan Blitz dari kamera membidik mama dan Pak Wondo saat serah terima amplop.Acara selanjutnya adalah acara bebas alias makan-makan. Di sela-sela acara tersebut aku dan Ruly duduk di pelaminan mini setelah sebelumnya ada prosesi tukar cincin. Acaranya sukses dan meriah. Semuanya terlihat gembira dan menikmati. Makanan tumpah ruah dengan menu yang enak-enak, ada siomay, selat solo komplet, pindang telor. Acar kuning, ayam goreng, bakso, bahkan nasi ramesan juga ada.Aku dan Ruly berkali kali diajak foto bersama dengan saudara-saudara. Aku juga berfoto dengan Hana, Weni sekeluarga, bulik, Om, Tante, bocil, pokoknya semuanya. Foto dengan keluarga besar masing-masing juga sudah.Saat foto dengan orang tua, aku mencari Budhe Lies dan Pakdhe Sus untuk mendampingi. Biar serasi karena yang mendampingi Ruly juga mama dan papanya. Aku tersenyum lebar saat sesi foto tersebut. Setelah semua kebagian berfoto aku menyadari kalau lapar hehe.“Rul, ayo makan.” Ajakku. Ruly mengangguk. Aku duduk sendiri dan menyantap makanan dengan lahap. Ruly duduk bersama para lelaki dan saudaranya. Biarin aja, jangan nempel terus kayak perangko, ntar diomongin orang.“Ufi, selamat, ya, sudah tunangan.”Aku menoleh. Mama. Astaga, aku sampai lupa dengan mama karena sibuk berfoto.“Mama sudah makan?” Tanyaku.“Sudah.” Angguk mama.“Sudah foto?”“Sudah tadi pas bareng-bareng,”Ya Ampun, aku sampai lupa ngajak mama berfoto denganku dan Ruly. Habis ini deh, Gapapa telat.“Fi, boleh nggak mama berkenalan dan ngobrol dengan mamanya Ruly?” Tanya mama hati-hati. Aku melempar pandangan mencari di mana Tante Rosita. Rupanya perempuan yang hari ini tampil cantik dengan baju atasan model kebaya dan bawahan kain batik itu sedang duduk sendiri di deretan seberang. Tante Rosita sedang sibuk dengan ponselnya. Mungkin lagi bikin status hihi, secara Tante Rosita ini punya sirkel sendiri dengan teman-teman sosialitanya yang dia sebut geng semut. Mereka sering membuat acara seperti senam bareng, arisan atau gowes.“Emm, Gapapa, kenalan aja, Ma, mumpung dia lagi sendiri. Tapi, nggak usah ngobrol macam-macam, ya.” Mama pun berdiri dan melangkah mendekati Tante Rosita. Ekor mataku mengikuti sampai mama bersalaman dan duduk di sebelah tante Rosita. Hm, untung aku sudah belikan baju baru dan mendandani mama, jadi nggak terlalu jomplang penampilan mama dengan tante Rosita yang elit. Kalau mama juga elit tapi, ekonomi sulit. Ups! Bercanda hehe.Setelah menaruh piring kotor, akupun berpindah tempat duduk, bergabung dengan mama dan tante Rosita yang tengah mengobrol. Duduk di samping mamanya Ruly, aku ikut mengobrol.“Jadi sekarang Ruly usianya berapa, Bu? Tanya mama pada Bu Rosita.“Ruly baru 25 besok Agustus,” sahut Tante Rosita.“Selisih sedikit ya, Ufi baru 23, tahun ini.” Balas mama.Para tamu terlihat sibuk sendiri-sendiri. Ada yang meneruskan aksi berfoto ria, merokok sambil mengobrol di smoking area, yang emak-emak pada asyik ngerumpi dan sesekali memecah tawa.Acara makan-makan sudah selesai. Terlihat petugas katering membereskan sisa makanan. Acara pun telah sukses digelar.“Jeng Fatma, main ayo ke rumah saya.” Tante Rosita menawarkan. Mama tersenyum.“Iya inshaAllah kalau ke Solo tak mampir,” sahut mama.“Sama Ufi itu lho, yang usah sering ke sana.” Tante Rosita menyentuh paha aku.“Iya, Tan, kapan-kapan aku ajak mama,” jawabku.“Nanti kalau acara ngunduh mantu mampir rumah saya, lho ….” Tante Rosita sepertinya berharap mama mengunjungi rumahnya. Nanti kalau acara ngunduh mantu kan mama datang pastinya.Acara telah usai. Keluarga Ruly berpamitan pulang ke Solo. Ruly ikut pulang juga. Budhe Lies dan rombongan juga berpamitan tak lama kemudian.“Ufi, Budhe pamit dulu,” kata Budhe sambil mencium pipiku. Aku menyalami sambil mengucapkan terima kasih pada keluarga Budhe.“Ufi, itu bingkisan dari keluarga Ruly mau kamu bawa tidak?” Tanya Budhe dengan menunjuk deretan bingkisan yang memenuhi meja.“Nggak Budhe, bawa aja,” jawabku. Biarlah dibawa Budhe sebagai tanda terima kasihku atas kehadiran mereka. Bingkisan itu nanti bisa dibagikan buat keluarga Budhe yang ikut menemani di acaraku ini.“Ya sudah, terima kasih, Budhe pulang dulu.”Saat bersalaman dengan mama, Budhe bilang sesuatu, “Fatma, itu sisa makanan catering sudah dibungkus sama pelayan. Kamu boleh bawa semuanya, lumayan itu buat lauk satu RT masih cukup,” kata Budhe diiringi tawa. Mama tersenyum tipis dan mengangguk.Sekarang tinggal aku, mama, dan keluarga kecil Weni.“Fi, pulang kos, ya? Ayo aku antar,” kata Weni. Aku melirik mama. Kasihan juga melihatnya pulang sendirian. Ini sudah malam dan hujan belum reda.“Nggak, Wen, aku pulang ke rumah mamaku aja.”“Oh, ya sudah. Aku duluan, ya?”“Ayo, Ma, kita pulang,” kataku sambil memesan taksi online.“Kamu mau tidur rumah mama?” Tanyanya tak percaya.“Iya, mau tidur mana lagi?” Jawabku sedikit ketus dan berjalan duluan keluar.Mana sih mama, kok nggak keluar-keluar padahal taksi online sudah mau sampai. Aku menoleh ke dalam restoran. Huh! Lagi ngapain sih dia? Dengan kesal aku masuk lagi ke dalam mencari mama.Ya Ampun, ternyata mama lagi keteteran membawa sisa makanan yang dibungkus dalam beberapa kantong plastik. Kasihan banget, makanan sisa itu pasti sangat berharga buat mama ….BersambungMiskin itu Memalukan 6Biaya Pernikahan“Cepetan, Ma, mobilnya udah mau datang,”kataku dengan berdiri di depan mama. Mama membungkuk mengemasi beberapa kantong plastik. Agak repot memang membawa semua berbarengan. Terpaksa aku membantunya.“Sini aku bantuin.”Memilih buntelan yang kecil-kecil aku menentengnya keluar. Total ada lima kantong plastik. Mama membawa tiga kantong gendut yang kelihatannya berisi makanan berkuah. Entah lah mungkin kuah bakso atau sambel kacang siomay. Di dalam mobil grab aku langsung me-recline sandaran kursi dan duduk santai. Pegel semua rasanya kakiku kelamaan berdiri. Mama duduk di sebelahku. Mengambil ponsel, aku segera chattingan dengan Ruly yang sedang dalam perjalanan ke Solo. Kebetulan Ruly tidak sedang menyetir. [aku nginep rumah mama] tulisku. [ya, gapapa] balas Ruly singkat. Biasa cowok malas ngetik. [nanti kalau sudah sampai rumah kabari aku] tulisku lagi. [eh, Fi, uangnya tadi nggak lupa, kan?]Uang? Oh iya, uang peningset dari keluarga Rul
Miskin itu Memalukan 7Mama yang malang“Dari mana, kamu?” Terdengar suara mama dengan nada tinggi. Aku menggigit bibir dan menyimak dari dalam kamar. Sepertinya akan ada keributan. Melirik pada Siva yang memejamkan mata, aku berharap anak itu beneran tidur agar tidak mendengar keributan orang dewasa. “Bukan urusanmu!”“Ini urusanku! Suami apa kamu itu, kerjanya keluyuran, mabok, nggak jelas!”“Banyak bacot lu, tua!” “Ngomong apa, kamu!?”berteriak. Srek, srek, terdengar langkah diseret menjauh dari ruang tamu. Mungkin Om Arif masuk kamar diikuti mama. Sayup aku masih mendengar perseteruan mereka. Kenapa masih ada orang yang bertahan dengan siksa batin seperti itu? Saling menyakiti tetapi tetap terikat dalam tali pernikahan. Apakah salah kalau aku menyebut mamaku orang bod oh?Melayang ke masa lalu membuat air mata ini menetes. Mamaku yang cantik, baik dan penyayang. Aku kecil selalu menunggu momen mama habis gajian. Saat itu aku merasa paling bahagia. Dengan naik angkot berwarna k
Miskin itu Memalukan 8Istri yang berbakti?“Ufi, Ufi, cepat kejar dia!” Dengan wajah panik, tangan Mama menunjuk-nunjuk ke luar rumah. Aku yang sebenarnya masih bingung berlari ke halaman tapi, terlambat. Punggung Om Arif pun sudah tak nampak. Berlari aku kembali masuk rumah, perasaanku tak karuan dan penuh tanda tanya, apa yang terjadi? “Mama ada apa?” Aku kembali dan berdiri di depan mama yang menangis. Mataku tertuju pada amplop koyak yang didekap mama. Bendelan uang merah nampak mengintip di sudut amplop yang robek. “Kenapa amplopnya koyak, Ma?” Menatap mama penuh selidik, jangan-jangan ….“Huhuhu,” mama tersedu-sedu menangis. Nafasnya sampai tersendat. “Uangmu diambil Om Arif, Fi, huhuhu,” tangis mama menjadi. Aku kaget bukan main. Uang peningsetku diambil Om Arif? Keterlaluan, kurang ajar benar orang itu. Berani sekali dia. Aku akan lapor Polisi, itu yang saat ini terlintas di pikiranku. Merebut amplop rusak dari tangan mama aku segera mengambil isinya. Tunggal tersisa empa
Miskin itu Memalukan 9Wali Nikah Aku masih bekerja seperti biasa karena pertunangan kemarin itu mengambil hari libur reguler yaitu Sabtu dan Minggu. Rencana aku akan ambil cuti tahunan untuk menikah nanti. Aku tidak tahu apakah setelah menikah masih bekerja lagi atau tidak. Pinginnya sih kerja tapi, dari gelagatnya Ruly sepertinya tidak akan mengizinkan. Gapapa sih, berani memintaku berhenti kan artinya dia mampu untuk menopang hidup dan gaya hidup aku. Hari ini sepulang kerja, Budhe Lies memintaku untuk mampir ke rumahnya. Budhe bilang akan membicarakan surat-surat dan administrasi untuk keperluan menikah. Aku memang masuk di kartu keluarganya Budhe Lies maka dari itu seluruh administrasi kependudukan di urus di sana. Karena tidak bisa libur di hari kerja, aku sudah meminta tolong Budhe jauh-jauh hari. Setengah enam sore kurang sedikit aku baru keluar dari kantor. Kerja di bank, apalagi sebagai Teller jarang pulang ontime. Harus balance dulu antara pemasukan dan pengeluaran. Bila
Miskin itu Memalukan 10Telepon nggak, ya?Bimbang“Budhe tahu di mana Papa?” Masih dengan tidak percaya aku bertanya. Ruly turut menatap Budhe dengan wajah serius. Semua ini membuatku gi-la.Budhe mengangguk, lalu menarik nafas dalam, “ya, Budhe tahu,” jawabnya pelan. Ada perasaan lega, senang bercampur aneh menggelayut hatiku. Jadi, kalau selama ini Budhe Lies tahu keberadaan Papa, kenapa tidak pernah bilang dengan mama atau denganku? Apa yang disembunyikan Budhe sebenarnya. “Berita bagus, Budhe … jujur saya kaget mendengar papanya Ufi masih ada. Di manakah dia sekarang, Budhe?” Tanya Ruly kemudian, mewakili apa yang ada di benakku. Aku juga sangat ingin tahu di mana Papa sekarang. Melihat pada Pakdhe yang tidak menampakkan keterkejutan, aku semakin yakin bahwa mereka berdua menyembunyikan sesuatu. Pakdhe terlihat tenang. “Papamu sekarang tinggal di kota Purwokerto,” sahut Budhe mengangguk. Purwokerto? Itu kan masih Jawa tengah? Lima belas tahun lebih ternyata papaku hanya bers
Miskin itu Memalukan 11Bertemu Papa setelah 15 tahunAku akan menelepon! Iya, sudah aku bulatkan hati untuk menelepon papa. Sebentar, biarkan otakku merangkai kata dulu apa yang akan kuucapkan. Lima belas tahun berjarak, membuat lidahku serasa kelu untuk menyapa. Ting!Sebuah pesan masuk di ponselku. Menunduk aku membacanya. Dari Mama.[Ufi, maaf, mama butuh banget uang tolong ditransfer 100 aja, ya]Bola mataku berputar usai membaca chat dari mama. Apa-apaan mama ini, bukannya baru seminggu lalu suaminya mencuri uangku 10 juta, sekarang mama memintaku mentransfer 100 ribu? Apa mama nggak dibagi sedikit pun uang curian itu oleh Om Arif? Rasanya tensiku naik seketika! Benar-benar marah aku kali ini. Sepuluh juta itu banyak. Sebulan aku kerja putar otak, pulang malam saja tidak sampai segitu gaji yang aku terima. Ini 10 juta sudah habis dalam seminggu saja. Bener-bener gi-la aku dibuatnya. Mama itu bukan tanggung jawabku tapi, tanggung jawab Om Arif sebagai suaminya. Aku tidak akan
Miskin itu Memalukan 12PoV Fatma 1(Mama Ufi)Gair_ah sang Berondong“Mas, mana uangnya Ufi yang kamu curi!” Kataku pada mas Arif yang sedang sibuk dengan alat pancingnya. “Sudah habis,” jawabnya singkat bahkan tidak menoleh padaku.“Habis buat apa? Cepat banget?” Mataku melebar. Kaget. Uang sepuluh juta habis dalam sekejap, padahal aku sendiri belum melihat wujudnya. Mas Arif langsung menghilang secepat kilat setelah membawa lari uang Ufi. “Ya buat macam-macam lah,” ujarnya santai sambil menghisap dalam rokoknya. “Mas, itu tuh uangnya Ufi buat menikah!” Gemas rasanya. Aku berpindah duduk di samping Mas Arif. Suamiku itu melirik sekilas. “Anakmu yang pelit itu memang pantas diambil uangnya. Masih untung aku tidak mengambil semuanya.” Lagi-lagi mas Arif menjawab dengan tidak peduli. “Pelit bagaimana, Ufi itu sering memberiku uang buat beli beras!” Aku berbicara dekat telinganya. Biar suamiku ini tahu, Ufi tidak pelit seperti yang sering dia sebutkan. “Itu kan sama kamu. Sama aku
Miskin itu Memalukan 13POV Fatma 2(Mama Uvi)Kenyataan Pahit“Siva, ayo, itu bisnya sudah datang.” Menggandeng Siva, anak bungsuku dan mengajaknya agak mendekat ke badan jalan raya. Bis antar kota antar provinsi yang kunanti selama hampir 15 menit sudah datang. “Agak ke sini, Siva.” Menarik pelan badan gadis mungil itu merapat ke dekat kursi penumpang. Bis penuh hari ini terpaksa aku, Siva dan beberapa orang lainnya berdiri. Siva tidak rewel, dia berdiri diam dengan berpegangan pada kakiku. Demi menuruti kemauan Mbak Lies, aku berangkat jam 7 pagi dari rumah agar bisa sampai sana sebelum jam sembilan. “Duduk sini, dek.” Seorang cewek cantik dengan tas punggung bertengger di punggung memberikan tempat duduk kepada Siva. Aku tersenyum padanya. Dari penampilannya sepertinya gadis baik hati itu seorang Pelajar atau Mahasiswi. “Terima kasih. Siva ayo duduk cepat,” kataku mendorong Siva masuk. Siva duduk dengan menatapku, mungkin takut karena duduk sendiri sedangkan aku tetap berdiri.