“Nish, itu ada kiriman dari Anya. Baju couple lho, lucu katanya. Buat kamu sama Sayna.”
Danish mengangguk saja, melempar pandangannya pada kantong yang teronggok di sofa—Balenciaga. “Mama mau ke mana? Udah gaya aja.”
“Hm...” Ibunya tersenyum merona. “Ada janji makan makan malam sama Om Tio, mama udah cantik belum pakai baju ini, Dek?”
Danish tahu, dia tidak seharusnya bersikap seperti itu. Menunjukkan terang-terangan bahwa dia keberatan dengan hubungan baru yang dijalin oleh Melia. Namun tanpa bisa dicegah, senyum di bibirnya meluntur begitu mendengar kalimat sang ibu. Danish tidak bisa berpura-pura lebih lama, dia diam saja dan hanya pergi meninggalkan ibunya sambil menenteng kantong oleh-oleh yang dihadiahkan Anya, gadis itu pasti baru kembali plesiran dari Eropa.
Dan berjam-jam berikutnya, Danish menghabiskan waktu di perjalanan menuju ke tempat Sayna. Ini masih Jumat malam, harusnya mereka bertemu besok, tapi Danish tidak tahan berada di rumahnya lebih lama. Pun dia rindu sekali pada Sayna, mereka tidak bertemu sejak hari Senin, jarang bertelepon juga, Danish sangat ingin melihat dan memeluknya.
Namun sebelum benar-benar berangkat ke Bandung, dia menyempatkan beberapa menit untuk melihat keberadaan Pramudya—gadis itu seperti biasa datang, ini hari Jumat, jadwalnya terbang ke Jakarta. Tapi Danish sangat ingat perkataannya beberapa hari yang lalu, bahwa dia hanya datang dan memberi tahu, lalu menunggu, tidak berharap lebih jauh, tidak minta Danish datang atau apa pun itu.
Pramudya menunggunya sejak pukul 11 siang, dia mengirim lokasi salah satu kafe di kawasan Pantai Indah Kapuk, dan Danish masih melihatnya di sana hingga pukul tujuh. Ada beberapa gelas jus kosong dan botol air mineral di mejanya, biar saja, biar dia tahu rasa. Gadis gila dan angkuh itu beraninya membuat Danish tersinggung.
Suka tapi tidak menunggunya? Sialan memang, dia pasti bercanda.
Jadi, Danish hanya datang dan melihatnya sebentar—tanpa menunjukkan batang hidung, yang artinya Pramudya tidak tahu bahwa dia sempat ke sana, lalu pergi begitu saja, menyongsong Sayna-nya. Biarkan gadis itu menunggu lagi hingga tengah malam, seperti yang pernah dilakukannya beberapa waktu lalu.
Danish menghabiskan beberapa jam perjalanan hingga tiba di depan gedung kos Sayna dan menunggu di seberangnya. Gadis itu mungkin sudah di dalam atau justru baru akan pulang dari kampus, jadwalnya luar biasa, presiden saja kalah saing oleh Sayna.
Tidak perlu mengeluarkan ponsel untuk saling bertemu, Danish lebih suka menunggu, karena Sayna selalu muncul tiba-tiba, entah keluar dari kamarnya begitu saja, atau muncul dari arah kampus, seperti ada radar saat Danish berada di sekitarnya, gadis itu cepat tersadar.
“Danish!”
Bahkan tanpa membalik badan, Danish sudah tersenyum selebar daun teratai. Dia mendengar suara khas itu dan segera menerima tubrukan di punggung ketika akan berbalik, lalu dihadiahi pelukan dan kecupan bertubi dari gadisnya. Hampir jam sebelas malam, kawasan ini agak sepi, mereka bebas melakukannya.
“Mau masuk?” tanyanya ceria. Sayna dengan setelan kuliahnya sangat menggemaskan, kemeja, rok bahan, riasan sederhana, tampak sangat menawan dan sopan.
“Udah makan belum?” Danish menjawabnya perhatian.
“Belum.” Gadis itu menggeleng manja. “Habis latihan bareng teman-teman, besok ada skills lab, Nish. Kita mau ujian.”
Ujian di hari Sabtu, saat di mana seharusnya orang-orang sibuk liburan untuk menghabiskan waktu. Sayna tersenyum, senang karena elusan di kepalanya begitu menenangkan, setelah sempat sangat menegangkan.
Baru saja dia turun dari motor Giovani ketika melihat mobil Danish terparkir di depan bangunan kosnya. Buru-buru gadis itu berlari setelah meminta Gio cepat pergi dan menahan Danish untuk berbalik karena akan fatal akibatnya jika itu terjadi. Sayna tidak mau mereka bertengkar lagi.
“Latihannya sama siapa aja?” tanya Danish berbasa-basi, dia membukakan pintu mobil di sisi penumpang untuk Sayna, meminta gadis itu masuk segera. “Sampai malam gini,” lanjutnya.
“Sama teman lah, Nish, biasa. Ada Rafika, Lintang, yang gitu-gitu aja, yang punya boneka peraga. Kita baru masuk blok baru, ini ujian kompetensi pertama.”
“Oh... gitu.” Danish tersenyum kecil, dia tahu. Tentu saja tahu, Sayna tidak bau seperti itu. Ada wangi parfum samar yang bukan miliknya menempel di sana. Tapi Danish tidak berniat untuk menanyakan lebih jauh, biar saja, kalau memang Sayna dan Gio bersama, itu karena mereka ada keperluan saja.
Yang penting Sayna tidak berubah padanya.
“Lapar, Nish...” keluh gadis itu manja. “Makan yang berat proteinnya, yuk!”
“Karnivor aja, ya? Gue lagi pengen steak nih.”
“Oh, oke. Gue reservasi dulu dari sekarang.”
Tidak ada suara sampai Sayna selesai melakukan pemesanan tempat ke restoran steak langganan mereka. Danish dan Sayna paling sering menyambangi tempat itu untuk makan malam atau sekadar menghabiskan waktu saat kencan. Bukan tempat yang romantis, justru sangat ramai dan berisik, tapi suasananya nyaman bagi mereka, menunjukkan keriuhan kencan era baru, makanannya juga enak.
“Gue langsung pesen beef monster.” Gadis itu menunjukkan layar ponsel tanda pemesanan mereka telah dikonfirmasi. “Sampai ke sana, pesanan kita udah jadi dan bisa langsung makan. Gue lapar banget!”
Danish terkekeh kecil sambil mengemudi. “Lo belum makan dari kapan deh? Kelaparan banget.”
“Hm... cuma makan malam doang sih yang belum, tapi mungkin karena tadi capek dibawa mikir sambil merhatiin Kak Gio itu kan jadinya gue—”
Sayna menelan ludah, sadar bahwa ada yang salah dari kalimatnya. Perlahan-lahan dia melirik ke kanan, tempat pacarnya sedang menyetir kendaraan, takut sekali pemuda itu murka mendengar nama yang baru dia sebutkan. Takut sekali—
“Hahaha. Kak Gio lo itu kenapa, Say?” tanya Danish sambil tertawa dan menggelengkan kepala. “Kok nggak diterusin?”
“Nish...”
“Lo dari tadi sama dia dan nggak dikasih makan?” Sayna tidak mengiakan. Mereka terlalu sibuk mempersiapkan bahan untuk ujian, tidak ada yang ingat makan. Terlebih Gio memiliki jadwal berjaga malam di rumah sakit tempatnya coass.
“Nggak, Nish.” Sayna menyahut pelan sambil menundukkan kepalanya.
“Bisa gitu, ya? Masih mending gue ke mana-mana ternyata, meski nggak cerdas, tapi seenggaknya gue nggak akan biarin lo kelaparan.”
“Nish—”
“Semoga sukses buat ujiannya besok.” Pemuda itu menyunggingkan senyum tipis, meminta perdebatan yang ada Gio di dalamnya segera dihentikan, dan Sayna memilih untuk pengertian.
Danish sedang tidak ingin mendengar penjelasan, dia hanya memastikan, jadi memang tidak perlu diteruskan.
Hanya... Sayna merasa tidak enak saja karena Danish jadi sering menahan kekesalan. Dia memilih untuk mengerti meski sebenarnya marah setengah mati, karena memang tidak ada pilihan, Sayna tidak melakukannya dengan sengaja untuk mengkhianati hubungan mereka. Bukan itu, dia dan Gio tidak ada apa-apa, Sayna hanya butuh bantuan.
Keduanya sampai di restoran daging tujuan mereka di sekitaran Jalan LL RE. Martadinata yang selalu penuh meski di hari-hari biasa. Untungnya Sayna sudah memesan tempat untuk mereka berdua, di area bebas asap rokok, agak menjorok ke belakang, interiornya seperti di gua zaman purba. Kursi-kursi sofa dan kayu warna senada tertata, lampu kekuningan terpancar nyaman dan menyejukkan mata.
“Punya lo yang side dish-nya french fries.” Sayna sudah hafal di luar kepala, apa saja makanan kegemaran Danish dan apa yang sangat dihindari olehnya. “Gue mau makan banyak malam ini, mashed potato pake nasi.”
Danish tertawa geli. “Habis dari sini kita ke rumah makan Padang juga, Say.”
Sayna hanya mengangkat bahu tidak peduli, dia dan Danish tidak pernah bersikap jaim atau apa itu namanya. Mereka biasa makan dengan bebas tanpa memikirkan berapa banyak porsi yang masuk, berapa banyak uang yang harus keluar, atau serakus apa kelihatannya. Danish tahu kalau sejak dulu Sayna makan lebih banyak dibanding gadis-gadis langsing kebanyakan, tapi gadis itu juga membakar kalori dengan angka yang sama, makanya Sayna punya bentuk tubuh indah meski dia tidak pernah diet seumur hidupnya.
“Nish, gue sambil nonton nggak papa, ya? Janji deh besok pulang ujian gue buat lo sepenuhnya. Ya? Ya? Ya?”
Sayna yang menggemaskan saat membujuknya tentu membuat jantung Danish lemah.
“Iya, belajar dulu sana, lagian ini masih Jumat, belum jadwalnya kita pacaran.”
“Uhhh... makasih!”
Gadis itu mencubit pipinya gemas sebelum kembali fokus makan dengan mata tertuju ke layar ponsel. Ujian kompetensi ala anak kedokteran memang menyeramkan dibanding kedengarannya. Mereka masuk ke blok baru, saat ini Sayna berada di bab obgyn yang memperdalam ilmu tentang alat reproduksi wanita dan cara kerja serta permasalahan di dalamnya. Besok adalah ujian pertamanya menangani kasus kuretase atau membantu prosedur aborsi aman yang bisa ditangani oleh dokter umum.
Dan skills lab mereka tidak seserdehana itu, dosen pembimbing hanya memberikan skenario serta sedikit sekali—sangat sedikit arahan sebelum praktek dilakukan, selebihnya para mahasiswa harus belajar sendiri atau mereka akan mati saat ditunjuk nanti. Maka mengantisipasi dengan menonton video pembelajaran, membaca jurnal-jurnal berbayar, melakukan praktek lebih dulu sebagai simulasi dengan teman-teman merupakan jalan terbaiknya.
Danish sudah mengerti siklus ini sejak lama, Sayna dan dunia kedokterannya yang agung sangat berbeda. Jadi, kalau tidak bisa membantu minimal dia tidak mengganggu. Mereka berdua makan dalam hening yang tenang, Danish menikmati santapan sementara Sayna mungkin hanya asal mengisi perut yang memang keroncongan. Seluruh perhatiannya tertuju pada layar ponsel yang menyala. Bisa-bisanya dia makan sambil menonton video seperti itu, agak menjijikkan.
“Sini, gue suapin.” Danish menarik piring Sayna pengertian, membantunya memotong daging-daging panggang yang terhidang dengan saus jamur dan menyuap gadis itu pelan-pelan. Dia masih sibuk belajar, biasanya Sayna akan tidur setelah makan lalu bangun pada dini hari untuk belajar lagi sampai pagi.
Dia berusaha sekeras itu, Danish tidak boleh mengacaukannya lebih jauh.
“Nish, kenapa datang ke sini hari Jumat? Nggak biasanya.” Sayna berusaha mengajak berbincang, walau matanya tidak lepas dari layar tontonan.
“Kangen aja sama lo, udah nggak sabar mau ketemu.”
“Uh... jadi nggak enak...” Sayna mengalihkan tatap dan memandangnya khawatir. “Nish, sori....”
“Err... apa sih? Belajar lagi!” perintahnya dengan meminta gadis itu kembali menonton video simulasi kuretase. “Ini bukan jadwal kita ketemuan, jadi jangan sungkan, lo belajar aja, gue cuma mau bareng dan ketemu lo doang.”
Sayna tidak tahu kenapa, tapi ada nada sedih dari suara pacarnya. Dia benar-benar berhenti sekarang, sudah pukul 12 malam, Sayna bisa tidur sampai jam 3 nanti sepulang dari sini lalu melanjutkan belajarnya sampai pagi.
“Ada apa?” tanyanya peka, memandang Danish, dan masih minta disuapi olehnya. “Ada sesuatu di rumah?”
“Nggak ada apa-apa.” Danish itu tidak jago berbohong sejak dulu, Sayna sangat tahu. “Cuma... lagi pengen egois aja.” Dia mengangkat kepala, mereka bertatap mata, Danish akan cerita tanpa diminta.
“Ada hubungannya sama Mbak Dinara?”
Danish menggeleng, tidak ada hubungannya dengan Dinara, tapi kasus ini cukup mirip. Danish selalu ada di posisi dan perasaan yang menentang hubungan baru di keluarganya. Dulu Dinara dan Arya, sekarang ibunya dengan pria berstatus duda. Dia tidak suka. Tidak pernah bisa suka pada perubahan itu meski sudah bersusah payah mengatakan bahwa hal itu tidak benar.
Dia tahu kalau ibunya butuh hidup baru, orang baru, tapi Danish tidak mau mengerti. Dia hanya... tidak suka saja, tidak ada alasan khusus.
“Ya udah kalau belum mau cerita.” Sayna mengusap-usap lengannya. “Boleh egois, tapi jangan lama-lama, ya? Harus belajar dari kasus yang udah-udah.”
“Iya.” Danish menganggukkan kepala. Dia memang harus belajar, jangan sampai yang dulu terjadi pada Dinara terulang lagi di masa sekarang, itu memalukan.
Usianya 20 tahun, Danish sudah dewasa. Bukan lagi anak remaja.
****
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga