Danish tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Sama sekali. Dia mungkin perlu memotong daun telinga untuk benar-benar memastikan bahwa, ini bukan mimpi. Sayna di hadapannya berwajah kuyu, mata sayu, bernapas pendek, menahan ringisan ngilu.
“Say...” Danish menyebut namanya dengan setengah tak percaya. “Bohong, kan?”
Sayna menggeleng, membiarkan Danish menangkup wajahnya, mengalirkan anak sungai dari mata cantiknya.
“Maaf,” bisik gadis itu pelan, yang tentu membuat Danish justru semakin tertekan.
“Jangan gila, Sayna.” Pemuda itu menggeram, tangkupannya di wajah Sayna berubah perlahan menjadi cengkeraman. “Bilang kalau lo cuma bohongin gue.”
Gadis itu menggeleng untuk kali kedua, air matanya turun semakin deras dari sana, dan ketika Danish memeriksa, dia menyadari ada darah yang turun di sela-sela kaki Sayna, menguarkan bau anyir yang khas. Danish langsung menjatuhkan tubuh, sementara Sayna berpegangan di kusen pintu, dia masih belum percaya pada penglihatannya. Danish menyentuh kaki Sayna yang dialiri darah segar, tangannya gemetar, ternyata benar, ini bukan gurauan.
“Ke rumah sakit!” Dia setengah membentak, menarik Sayna paksa, namun gadis itu bersikeras, bahkan tidak bergerak, tangannya kokoh berpegangan, kelapanya menggeleng berulang-ulang. “Sayna!”
Danish masih terus berusaha, melakukan berbagai cara.
“Nish, sakit...”
Dan baru berhenti saat Sayna mengeluarkan suara, mengerang tertahan, meminta Danish melepaskan, berhenti melakukan pemaksaan.
“Sayna, please...” Danish turun lagi, merosot di tempatnya berpijak, berlutut di bawah Sayna. “Jangan begini, please... gue akan lakukan apa pun,” ikrarnya. Dia bersujud di kaki gadis itu, mengabaikan darah yang berceceran di sana.
“Telat, Nish. Udah nggak ada harapan lagi.”
“Sayna—”
“Dia udah nggak ada.”
Sembari mengelus perut, Sayna mengatakannya, dengan air mata turun seperti hujan, menahan kesakitan. Danish meraung, suaranya menggerung, dia mencengkeram kaki Sayna, gemetar di sana, menangis dengan tak tahu malunya.
“Lo gila!” Dia mengumpat kasar. “Lo nggak waras, Sayna!”
Benar, Sayna memang sudah tidak waras, dia gila. Danish dan semua tudingan itu benar adanya. Gadis itu berjalan mundur untuk kembali duduk di lantai, bersandar di dinding, menunggu peluruhan itu benar-benar selesai.
“Sayna, ayo pergi...” Danish merangkak, tidak membiarkan Sayna melakukan hal yang lebih jauh lagi. “Ayo pergi dari sini...”
Mereka harus menyelamatkan diri...
Tangan Danish mulai menyentuh bagian bawah lutut Sayna, sementara yang satunya menyasar punggung, dia bergerak merengsek dan mengumpulkan kewarasan yang tinggal tersisa seadanya. Danish tahu dia tidak boleh diam saja, Sayna harus diselamatkan, dia yakin masih ada harapan.
“Nish...” Sayna berbisik lirih dan menatap Danish dengan mata sayunya. “Di rumah sakit nanti, kalau ketahuan, obatnya... ditemukan, gue dalam bahaya.”
Danish tidak sepenuhnya mengerti, tapi perkataan Sayna membuat dia berhenti.
“Udah nggak ada gunanya.” Sayna meyakinkan pemuda itu—kekasihnya, ayah biologis dari janin dalam kandungannya. “Dia udah nggak ada. Maaf, ya?”
Mata mereka bertatap nanar, Sayna mengusap wajah Danish yang basah, bersimbah air mata. Dan perlahan pegangannya jadi tak bertenaga, Danish melepas Sayna kembali. Dia tampak tak berdaya, duduk di lantai yang basah bersama Sayna.
“Tega, Sayna...”
Danish pasti tidak mengerti, Sayna melakukannya untuk kebaikan mereka bersama. Untuk kebahagiaan mereka juga nantinya.
“Lo lebih tega,” tuding Sayna pada kekasihnya. “Gimana bisa... lo pergi sama Dya, sementara gue begini, nungguin lo, sendirian, lebih dari dua bulan.”
Sayna menderita, asal Danish tahu saja.
“Gu..gue nggak cuma sama Dya.” Danish gelagapan mengatakannya. “Ada Hamam sama Anya juga. Gue nggak pergi berdua, Sayna.”
“Lo nggak bilang gitu kemarin.” Sayna menutup matanya rapat. “Dan tetap aja aneh, lo tega pergi liburan sementara kita... gue... begini, Nish.”
Danish hanya pergi satu kali, Sayna. Dia juga merana, menderita, tersiksa saat mereka berdua dalam masa jeda. Tapi bagaimana Danish harus menjelaskannya?
“Jadi... semuanya salah gue?” tanya Danish putus asa, dia menunjuk dada telanjangnya. “Lo begini... gara-gara gue?”
Sayna menatapnya nanar, matanya panas, seperti terbakar, lagi-lagi sebuah lubang besar, luka yang baru, yang mengakar, tercipta di antara mereka berdua.
“Kenapa lo tega?” Danish lagi-lagi bertanya, darah dagingnya sedang dibunuh, di depan matanya sendiri, saat ini. “Itu anak gue, Sayna. Gue punya hak atas dia. Harusnya... masa depan dia diambil atas keputusan bersama. Kenapa—”
“Apa bahkan lo akan mengakui statusnya setelah apa yang pernah gue lakukan?”
“Sayna.” Danish menggeram pelan sambil mencengkeram bahu kekasihnya. “Bahkan kalau pun lo main gila berkali-kali sama orang lain—di belakang gue, gue tahu, yang di dalam sini darah daging gue, gue nggak sepicik yang lo pikir.”
“Oh, dengan bereaksi kayak gitu tadi?”
“Lo mau gue gimana?!” Danish meneriakinya, memukul dinding yang jadi tempat bersandar Sayna. Kepayahan mengatur laju napas dan emosi di dada. “Gue harus gimana, Sayna?! Gue harus gimana biar di mata lo gue itu benar. Sekali aja!”
Danish akan bertanggung jawab, tentu saja. Memang apa lagi? Dia bisa apa selain itu? Tapi tetap, dia butuh waktu, Danish manusia, dia juga bisa takut dan panik, dia kaget mendengarnya pertama kali. Bingung harus bereaksi seperti apa agar tidak menyakiti kekasihnya, namun tetap salah juga.
“Lo... pergi sama Dya... Anya... saat keadaan nggak memungkinkan, Nish.” Dan kenyataan itu begitu menyakitkan, sementara Sayna menanti kedatangannya seperti seorang pesakitan.
“Kalau gue nggak pergi, apa lo bisa jamin nggak ambil langkah ini?” tanya Danish sambil menatap Sayna tajam. “Nggak kan, Sayna? Lo sengaja, cari alibi, buat menyalahkan gue.”
Kenapa Danish jadi pintar begini? Bagaimana dia bisa menganalisis cepat tindakan Sayna? Tentu saja Sayna sudah memikirkan matang-matang sebelumnya, minta bantuan lembaga berwenang yang menaungi kasus kehamilan tidak direncanakan, berkonsultasi dengan mereka, hingga mempelajari proses aborsi mandiri yang aman tanpa bantuan tenaga kesehatan.
Sayna sudah bersiap sejak lama, dia hanya menunggu Danish untuk memberi tahunya. Bukan untuk mengambil keputusan bersama.
“Lo ngapain aja sama Dya?” tanya Sayna mengalihkan pembicaraan mereka. “Lo udah pernah cium dia?”
“Sayna!”
“Nggak papa, lo pasti mau bales perbuatan gue sama Gio, kan?”
“Lo jangan gila, Sayna!”
“Cuma saatnya kurang tepat, Nish. Kenapa harus sekarang? Kenapa nggak nunggu gue selesai aborsi?”
“Berhenti nyalahin gue hanya karena gue nggak tahu soal kehamilan lo selama kita nggak bareng, Sayna!” Danish merasakan bulu kuduknya meremang sebadan-badan. Dia ngeri membayangkan jadi tersangka sendirian, dia tahu bahwa Sayna memang pantas menyalahkannya, tapi Danish punya alasan. “Berhenti nyalahin orang yang nggak lo kasih tahu, berhenti nyalahin ketidaktahuan gue buat banyak hal. Gue bukan cenayang, Sayna! Kalau gue tahu lebih awal, pasti nggak akan begini jadinya!”
“Gue harusnya kasih tahu lo lebih cepat, kan?”
Danish menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu, Sayna merasa bersalah sekali atas hal itu. Namun dia memang sengaja melakukannya, Sayna tidak mau Danish kembali hanya karena ada janin itu di antara mereka, yang jadi penahannya, yang mengikat keduanya. Sayna ingin Danish kembali karena hatinya sendiri benar-benar menginginkan itu semua.
“Gue yang harusnya datang lebih cepat...” Suara Danish teredam oleh tangis. Dia malu mengangkat wajah, dia tahu dirinya salah, dua bulan terlalu lama membiarkan Sayna sendirian untuk mengambil jeda.
Danish menyesal sekali, tapi boleh kan dia berusaha membela diri? Danish lelah jadi satu-satunya orang yang bersalah di sini. Dadanya nyeri sekali, Danish memeluk perut Sayna, masa bodoh dengan lantai kamar mandi yang dingin dan basah, juga bau anyir dari darah yang menguar, dia menggugu di sana. Darah dagingnya, anak yang sesungguhnya, calon manusia, mereka sedang membunuhnya bersama-sama.
“Nish...” Sayna mengusap rambut kekasihnya, mengelus punggung Danish yang mulus tidak tertutup apa-apa. “Maaf,” bisiknya pelan. “Lo benar, gue cuma cari-cari alasan buat menyalahkan, gue udah nggak waras, Nish...” Sayna menutup matanya rapat, mencoba untuk jujur meski sangat berat. “Bahkan, meskipun lo datang lebih cepat, gue nggak akan berubah pikiran. Ini yang bakal gue lakukan, gue akan tetap begini.”
Sayna harap, Danish berhenti menyalahkan diri sendiri. Dia tidak tega terus-terusan melukai hati kekasihnya, Danish orang baik. Hanya mungkin... tidak baik untuk Sayna.
“Gue cuma nunggu, buat ngasih tahu,” curhat Sayna pada pemuda itu. “Mungkin... mau menikmati masa kehamilan sebentar pas kita ketemu, tapi ini udah terlalu besar, gue takut kehabisan waktu.”
“Tega, Sayna...” Danish mengangkat wajahnya dari sana, dia pasti sudah seperti orang gila. “Dia... anak gue juga, gue punya hak atas hidupnya.”
Sayna menggelengkan kepala. Danish salah, logika itu tidak berlaku untuknya. “Dia milik gue sendiri, Nish.” Gadis itu mengelus perutnya yang mulas, menunggu semuanya luruh hingga organ janin jatuh. “Lo nggak punya hak apa-apa atas dia, karena dia di sini, di tubuh gue. Gue yang punya otoritas penuh sama diri gue, bahkan ibu yang melahirkan gue pun nggak ada hak mencampuri itu. Gue sangat berhak... memutuskan ingin melanjutkan kehamilan atau enggak, ingin melahirkan dia atau enggak.”
Jahat.
Danish tidak tahu apa gambaran yang lebih tepat dibanding satu kata itu untuk Sayna. Dia tidak mengenal gadis itu lagi saat ini. Sayna adalah antagonisnya, persis seperti yang pernah Danish dengar dari seseorang.
“Apa lo bahkan pernah... mikirin dia, kalau lo nggak mau mikirin gue?”
Sayna menarik sebelah sudut bibirnya lalu menggelengkan kepala. “Dia nggak tahu apa-apa, Nish. Dia nggak punya hak selama dia masih bergantung penuh sama gue, hak-nya belum berlaku selama dia belum jadi manusia sempurna. Jadi, nggak usah cari alasan yang mengada-ada.”
Itu hanya segumpal daging tanpa pikiran dan perasaan, jangan terlalu dibesar-besarkan.
Danish mengusap wajahnya perlahan, susah payah menahan isakan, dia di titik bingung untuk apa menangisi orang yang dengan sengaja menggugurkan kandungan. Danish kehilangan harapan, Sayna dan argumen yang selalu menuntut untuk dibenarkan, pasti setelah ini dia berdalih bahwa semuanya demi kebaikan.
Kebaikan siapa? Kebaikan dirinya sendiri, tentu saja.
“Ada masa depan kita berdua yang dipertaruhkan, beban mental, rasa bersalah ke orangtua, kecewanya mereka, impian-impian kita, dan... kebahagiaan seorang manusia, Nish.”
Danish bahkan sudah bisa menebak semua alibi itu tanpa harus mendengarnya lebih dulu.
“Gue nggak mau ada seseorang yang menyesal karena lahir dari kita berdua.”
Apa sebegitu buruknya mereka?
“Anak kita, nggak boleh lahir dari kesalahan.” Sayna mengusap wajah Danish yang tengah menatapnya nanar.
Benar. Tentu saja Sayna benar, kapan dia bisa salah memangnya? Sayna itu gadis pintar, dia pasti melakukan hal-hal yang benar.
Namun, bagaimana dengan Danish? Bagaimana dengan perasaannya? Ini terlalu menyakitkan untuk diteruskan.
“Lo harus tetap kuliah dan jadi dokter, seperti yang lo cita-citakan.” Danish menangis melihat kekasihnya menahan nyeri sambil meringis. “Jangan kecewain Ibu sama Ayah. Benar, kan?”
“Nish...”
“Terus gue gimana, Sayna?” Pemuda itu kembali tersedu-sedu. Persetan dengan label cengeng yang disematkan padanya setelah itu. Dia repot sekali, Danish tidak tahu harus bagaimana lagi. “Semuanya harus selalu tentang lo, tentang perasaan lo, tentang rencana-rencana dan pemikiran lo. Gue nggak pernah ada di sana, gue memang bukan apa-apa.”
“Nish, lo marah karena gue aborsi tanpa persetujuan?” Tentu saja, Sayna, dan masih banyak amarah terpendam lainnya. “Gue harus kasih tahu berapa kali? Itu hak gue sepenuhnya, ini badan gue, gue bebas mau apain aja. Ini otoritas gue sebagai manusia, sebagai Sayna, bukan sebagai pacar lo! Lo itu bukan siapa-siapa. Kalau lo mau, ambil ini! Masukin ke perut lo sendiri.”
Sebagai calon tenaga kesehatan, Sayna belajar hal seperti ini. Dan masyarakat awam tidak banyak yang tahu, mereka tidak mengerti, banyak yang belum paham tentang hak tubuh mereka sendiri. Terutama karena Danish dan Sayna tidak terikat pernikahan, tidak ada wewenang seorang suami atau kepala rumah tangga di sana. Namun meskipun begitu, seorang wanita tetap jadi pemilik tubuhnya sendiri, entah dia bersuami atau tidak.
Dia bebas menentukan ingin hamil atau tidak, ingin melahirkan atau menggugurkan kandungan. Mereka hanya tidak tahu, sering keliru. Anak yang lahir tanpa perencanaan, tanpa kesiapan orangtuanya, tidak benar-benar dianjurkan. Sebab dia akan hidup lama sebagai seorang manusia, bukan asal-asalan saja. Lupakan soal norma dan agama, Sayna membahas ini berdasarkan logika.
Dia belum siap untuk melahirkan dan membesarkan seorang bayi, pun tidak mau anaknya diadopsi atau dibesarkan orang lain, jadi aborsi memang jalan satu-satunya.
“Terus apa gunanya gue ada di sini?” Danish bicara lagi, meski kemelut di kepalanya seperti benang kusut. Dia harus bertanya, karena setelah ini Danish harus bagaimana lagi?
“Tanggung jawab, Nish.”
“Apa?”
“Tanggung jawab, karena ada janin di sini akibat perbuatan kita berdua.”
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se