Share

Miss Montok
Miss Montok
Penulis: Archaengela

Bab 1

“Dan berikut adalah nama sepuluh finalis secara acak!”

Berdebar-debar waktu menunggu namaku dipanggil panitia penyelenggara Literatur Fiksi 2020. Nama demi nama dipanggil, sampai akhirnya tinggal nama finalis terakhir...

“Finalis terakhir, Esenia Adelia! Tepuk tangan!”

Tepuk tangan membahana memenuhi hall JCC.  Sontak hatiku jadi kecut. Seharusnya namaku dipanggil. Dua minggu lalu ada pemberitahuan dari panitia. Namaku, bersama sembilan finalis lainnya, sebagai sepuluh orang finalis yang akan mendapat penghargaan malam itu. 

Pengumuman pemenang mulai dibacakan, aku sudah tidak peduli lagi. Menenggelamkan diri di kursi, alih-alih bersemangat seperti para finalis dan para pendukungnya, aku hanya meringkuk sedih. Menatap kosong pada wajah-wajah penuh kegirangan di depan sana. Riuh rendah suara memenuhi ruangan luas yang dipadati oleh cukup banyak peserta dan pendukungnya.

Semua tanda tanya mulai muncul di pikiranku. Kenapa namaku tidak ada? Apakah panitia salah kirim e-mail? Bagaimana ini bisa terjadi? Mataku memanas. Air mata mulai mengancam untuk turun. Mati-matian kutahan.  

Finalis Literatur Fiksi 2020 mendapat kesempatan untuk berkunjung ke London selama seminggu. Karya pemenangnya bahkan akan diterbitkan oleh penerbit buku terkenal. Sudah pasti siapa pun yang jadi pemenang akan langsung mengorbit. 

Dari tadi aku perhatikan, sejumlah lampu blitz terus menyala. Sepertinya banyak yang mengabadikan acara ini. Lampu kamera video tampak menyorot ke sana-sini, tanda acara itu diliput dan akan disiarkan dalam salah satu segmen acara di televisi tiga hari lagi. Setidaknya itu yang sudah diberitahukan dalam mailing list para peserta sebelumnya. Entah kalau itu bohong juga.

Akhirnya acaranya selesai juga. Segera berjalan cepat menuju arah lobi, sepuluh menit lalu aku sudah pesan taksi menuju ke Gambir. Pikiranku kosong. Hal yang kuinginkan saat ini hanya pulang. Menjauh sesegera mungkin dari tempat terkutuk ini.   

Sebelum mencapai lobi, Nana, salah seorang peserta yang datang dan juga tidak menang, melihat aku. “Ester, kok buru-buru pulang?” sapanya. 

“Ehm, iya aku kurang enak badan, nih. Sampai ketemu lain kali, ya, Na.” Sesudah cipika-cipiki, aku bergegas keluar. Untunglah tak lama menunggu, taksi yang kupesan datang. 

“Mbak Ester Aprianti, ya?” tanya supir taksi itu.

“Iya, betul. Ke Gambir, ya, Pak,” kataku, sambil mengempaskan diri ke kursi taksi. 

Sesudah duduk, pikiranku bolak-balik kembali ke dua minggu lalu. E-mail terkutuk itu yang menyebabkan semua penderitaan ini! Bayangkan, betapa akan sangat malu hari Senin besok. Teman kerja, yang juga sahabatku, Sisil, ikut membaca e-mail itu waktu aku membukanya. Malahan aku sudah janji akan mentraktirnya makan hari Senin besok. Belum lagi aku sudah mengabari keluarga juga. 

Tahu sendiri keluarga itu seperti apa? Satu orang dapat kabar gembira, satu keluarga besar tahu semua. Sekarang bukan kabar gembira yang ada, tapi kabar nahas. Harus di mana kutaruh muka ini? 

Tanpa terasa air mataku mengalir. Berkali-kali kuseka mata dengan tisu. Satu plastik kecil tisu habis dengan cepat. Menit-menit dari JCC ke Gambir jadi perjalanan paling menyebalkan seumur hidupku. Untuk pertama kalinya aku menangis di dekat orang asing, supir taksi yang sama sekali tidak tahu-menahu alasanku menangis. 

Waktu akhirnya sampai di Gambir, buru-buru aku membayar. 

“Mbak, ini kembaliannya,” ujar supir taksi menyodorkan uang kembalian.

Aku menggeleng. “Nggak usah, Pak. Buat Bapak aja.”

“Makasih banyak, ya, Mbak,” sahut supir itu sambil tersenyum girang. 

Aku bergegas masuk ke dalam stasiun. Masih cukup ramai lalu-lalang calon penumpang maupun pengantar. Sesudah melewati pos pemeriksaan tiket, buru-buru aku masuk ke peron, lalu mencari kereta sesuai yang tertera di tiket. Ah, itu di sana! Untung tidak terlambat! 

Begitu menemukan tempat duduk, aku langsung mengatur posisi yang pas. Pura-pura tidur. Terlalu lelah secara emosional, bahkan untuk hanya sekadar melakukan pembicaraan ringan basa-basi dengan orang asing. Tak lama kursi sebelahku terisi. Aku membuka sebelah mata untuk lima detik. Seorang bapak paruh baya. Bapak itu juga tertidur tak lama sesudah menyandarkan punggungnya di kepala kursi. 

Sekitar lima atau sepuluh menit kemudian, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Gambir. Bunyi gesekan roda kereta dengan rel seperti menjadi lagu pengantar tidur. Aku pun tertidur. 

Lonjakan kereta yang tiba-tiba membuatku terjaga. Begitu melirik jam tangan di pergelangan kiri, pukul sebelas malam. Lewat jendela yang tidak ditutup kain gorden, aku mencoba melihat keadaan luar kereta. Terlalu gelap. Para penumpang lain mulai sibuk membereskan barang-barang bawaan mereka. Aku pun ikut menyiapkan tas. Sepertinya sudah dekat ke stasiun.  

Sesudah tiga jam perjalanan, pukul 23.20 kereta akhirnya sampai di Stasiun Bandung. Aku buru-buru turun. Beberapa portir menawarkan untuk mengangkat tasku. Sesudah menggeleng, bergegas aku menjauh. Banyak supir taksi yang masih menunggu di stasiun menawari taksinya. Aku mengiyakan salah seorang di antaranya. 

Pukul 11.45 sampai juga aku di rumah. Rumah besar bercat putih dengan pintu dan jendela dari kayu bercat coklat gelap, itulah rumahku. Satu pohon pepaya menjulang tinggi di kebun kecil yang ada di depan rumah. Kumasukkan kunci ke gembok yang terpasang di pagar yang berwarna abu-abu tua. Sesudah membuka pintu pagar dan menutupnya lagi, aku menarik napas panjang. Suasana sepi sekali. Sepertinya Papa dan Mama sudah tidur. Lagi-lagi aku menarik napas panjang. Kali ini dengan lega. Setidaknya aku bisa menenangkan diri dulu malam ini.

Dengan perlahan aku memutar kunci di pintu depan. Baru saja mendorong pintu, tiba-tiba lampu menyala terang.

Surprise! Selamat ulang tahun!” teriakan dari dalam rumah terdengar serempak.

Ternyata dugaanku salah! Hari ini belum selesai. Om, Tante, bahkan sepupu-sepupu ada di sini! Astaga!

“Selamat ya, Ester! Gimana hasil akhirnya?” tanya Tante Olin. 

Rava, sepupu aku, anak Tante Olin, ikut menyeletuk, “Wah, pas banget ya? Pas ulang tahun, pas dapat kado keren banget!”

“Akhirnyaaaa! Selamat ya, Kak! Nggak sia-sia usaha Kakak selama ini!” ujar Annie, salah seorang sepupuku yang lain, menyelamati. 

“Kak, jangan lupa kalau buku Kakak terbit, aku dikabari. Aku kan mau pamer ke teman-temanku.” Vinda, adiknya Rava, ikut menyelamatiku.

Beberapa Om dan Tanteku yang lain ikut menepuk bahu dan menyalamiku. 

Aku berdeham beberapa kali. Mencoba berbicara, tapi kata-kata yang mau kuucapkan tidak juga muncul. Malah satu butir air mata bergulir ke pipiku. Dari satu, menyusul satu lagi. Tahu-tahu pipiku sudah basah. 

Semua langsung terdiam. Suasana hening itu tidak bertahan lama. Beberapa detik berlalu, mereka mulai berlomba-lomba menanyaiku.

“Ada apa, Ester?”

“Kak, kok malah nangis?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Archaengela
Terima kasih, Kak🤗♥.
goodnovel comment avatar
GLASSESHY
ikut sedih merasakan perasaannya Ester😭
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status