"Seminggu besok gue nginep di rumah lo, ya?"
"Ngapain?"
"Belajar lah. Besok Senin kan udah ujian akhir, gue gak mau kalah dari lo."
Beberapa kendaraan berlalu-lalang di depan mereka. Jalanan juga ramai oleh orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Banyak anak kecil berlarian di toko mainan seberang jalan. Wajar saja, hari terus mendekati musim liburan sehingga pasti banyak yang melengkapi kebutuhan masing-masing.
Keenan dan Arga masih menunggu bus jemputan datang. Sekarang sudah pukul 3.00 pm, tetapi bus tak kunjung datang. Mereka sudah menunggu sekitar lima belas menit di halte sambil memerhatikan kesibukan kota.
"Gue ajak Finn juga, ya?" tanya Arga lagi.
"Ajak aja. Rumah gue selalu terbuka buat pengungsi kaya kalian," jawab Keenan lalu terkekeh kecil.
"Dasar lo. Btw, Finn belum pernah ke rumah lo ya?"
"Belum. Dia sibuk terus sama YOS."
“Hm gue jamin seratus persen habis Finn tau rumah lo, dia jadi sering main.”
“Kok gitu?”
“Yaelah jangan sok polos, Keen. Rumah lo tu udah kaya mall. Semua ada di sana. Lagian siapa juga yang gak betah.”
“Ish dasar lo. Jadi lo manfaatin gue doank?”
“Eh enggaklah. Kita simbiosis mutualisme, Bro!” jawab Arga sembari merangkul Keenan. Sementara orang yang dirangkulnya hanya memutar bola matanya.
Semburat cahaya langit ungu kemerahan menghias pemandangan kota. Lampu jalanan mulai dihidupkan. Pejalan kaki mulai berkurang karena sore hampir habis. Mereka pasti pulang ke rumahnya masing-masing untuk berkumpul dengan keluarga. Keenan masih berada di dalam bus yang hendak mengantarnya pulang, sementara Arga sudah turun di pemberhentian sebelumnya. Katanya besok sore ia akan ke rumah Keenan karena mulai besok lusa ujian akhir dimulai.
Setiba di rumah, Keenan langsung membenamkan dirinya di ranjang empuknya. Hari ini sangat melelahkan baginya karena beberapa kejadian menimpanya. Kejadian tadi pagi ketika ia harus berlarian menuju kelas karena bel berbunyi berbarengan dengan turunnya dari bus, kemudian kejadian tadi siang di koridor saat ia tidak sengaja menabrak guru yang membawa tumpukan buku hingga berserakan di lantai. Akibatnya ia disuruh membantu membawa tumpukan buku itu ke perpustakaan di lantai tiga menaiki tangga. Dilanjut dengan kejadian saat Keenan berjalan dari halte menuju rumahnya, ia harus ketiban sial lagi karena hoodie yang ia pakai menjadi kotor terkena cipratan lumpur dari mobil yang melaju kencang. Sungguh, hari ini memang hari sial baginya.
Pikiran Keenan melayang kemana-mana. Mulai dari project yang menjadi tanggungjawabnya hingga pikiran abstrak tentang imajinasi-imajinasinya yang ia buat. Lama kelamaan matanya mulai berat dan ia tak kuasa menahan rasa kantuknya.
Nada dering ponsel berbunyi menampakkan nama seseorang. Menyadari hal itu, Keenan membuka matanya yang masih berat dan beranjak ke nakas untuk mengambil ponselnya. Arga. Begitu nama yang tertera di layar.
"Apa sih, Ga? baru aja pisah udah telepon aja," ucap Keenan yang masih mengantuk karena baru saja bangun tidur. Suaranya masih serak.
“Gue di depan rumah lo.”
"Ngapain? Kan lo nginepnya masih besok."
“Udah buruan sini. Lo pasti baru bangun kan? Dari tadi gue telpon gak dijawab.”
"Hmm ... jam berapa emang sekarang?"
“Sepuluh.”
"Ha?! Gue tidur lama banget donk." Keenan melihat jam yang tertera di ponselnya. Benar saja, ternyata sudah menunjukkan pukul 10.09 pm. Tandanya Keenan sudah tidur sekitar lima jam.
"Lo masuk aja dulu. Ntar gue suruh bibi bukain pintu," lanjut Keenan.
“Okay.”
Dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti dirinya, Keenan beranjak ke wastafel untuk sekadar membasuh wajah. Bajunya juga belum ganti sejak pulang sekolah tadi. Ia lalu mengganti bajunya dan menyisir rambut supaya tidak terlihat berantakan. ”Nah, gini kan udah ganteng,” batin Keenan seraya tersenyum tipis. Tangannya masih sibuk menata rambut.
Di ruang tamu, sudah ada Arga yang duduk di sofa. Ralat, bukan duduk, tapi Arga tiduran. Kakinya ia selonjorkan dan dengan santainya ia memakan camilan yang telah dihidangkan di meja tamu. Arga sudah sering main ke rumah Keenan jadi ia tidak merasa canggung dengan rumah ini. Ditambah orang tua Keenan juga sedang tidak di rumah jadi ia bisa bersikap lebih santai.
"Lo ngapain?" Suara Keenan membuat Arga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Bosen, orang di rumah gue lagi pada pergi."
Mendengar jawaban itu, Keenan langsung membalikkan badannya. Ia kira ada urusan penting atau ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Kalau hanya karena Arga bosan, ia rasa itu sama sekali tidak penting.
"Eh lo mau kemana?" cegah Arga saat Keenan sudah mau meninggalkannya.
"Ke kamar lah, gue kira ada apaan."
"Tunggu-tunggu woy!!! Ngafe aja yuk," ajak Arga sembari mengubah posisinya menjadi duduk.
"Gak ah," jawabnya ketus.
Arga tidak pantang menyerah. Ia terus membujuk Keenan supaya mau diajak keluar. Dengan berbagai iming-iming dan perjanjian, akhirnya Keenan menyetujuinya. Lantas, mereka berdua menuju kafe yang terletak di pusat kota.
Pemandangan malam hari memang selalu memanjakan mata. Lampu-lampu gedung yang bersinar, jalanan yang ramai dengan kendaraan, orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan, ditambah bentuk bulan yang nyaris sempurna. Arga fokus menyetir sambil ikut bernyanyi bersama musik di radio yang ia putar.
Tidak sampai sepuluh menit, ia sudah memarkirkan mobilnya di sebuah kafe. Dari dinding kaca, beberapa anak muda terlihat sedang berkumpul bersama teman-temannya di dalam kafe. Ada yang bermain UNO, bridge, dan sekadar mengobrol santai sambil menyeduh minuman hangat.
Hiruk-pikuk alunan musik bercampur obrolan menyambut mereka ketika menginjakkan kakinya di area kafe. Keenan memesankan minuman, sedangkan Arga mencari tempat duduk.
"Hazelnut latte sama mochaccino satu," ujar Keenan kepada seorang barista.
"Atas nama siapa, Kak?"
"Yang hazelnut atas nama Keenan yang satunya Arga."
"Baik kak, mohon ditunggu dulu."
Beberapa saat kemudian, minuman yang dipesan sudah dihidangkan di atas nampan. Keenan menuju meja sambil membawa nampan sebagai alas dua gelas minuman. Arga telah menunggu sambil memainkan ponsel miliknya. Matanya melirik sedikit untuk memastikan yang datang adalah Keenan. "Thank you, bro!” ucapnya setelah Keenan menaruh kedua minuman tersebut. Sesuai kesepakatan sebelum berangkat, Arga mengambil dompetnya dan mengganti uang Keenan. Kali ini Arga yang traktir.
“Loh, nama gue kok jadi Arya?” tanya Arga setelah menyadari nama di gelasnya bukan Arga, melainkan Arya.
“Mana gue tau hahaha.” Keenan sendiri pun juga baru menyadarinya.
“Ish lo sengaja pasti.”
"Bodo amat. Udahlah gak usah lebay cuma persoalan nama. Hm btw gue mau tanya sama lo."
"Tanya apaan?"
"Lo udah mikirin tentang omongan Finn kemarin, belum?"
"Yang pasangan prom night?"
Keenan mengangguk. List nama dan foto siswi Silverleaf yang akan dibawa Finn hari ini terpaksa dibatalkan karena ia lagi-lagi sibuk mengurusi YOS.
"Belum sih. Besok kita bahas aja di rumah lo waktu nginep. Gue juga udah ngingetin Finn buat bawa daftar cewek itu."
"Oohh ..." Keenan kembali menyeruput sedikit minumannya.
“Ah tapi lo mau berangkat, Keen? Gue sebenernya ogah.”
“Entah. Tapi kan kita juga udah kasih syarat ke Finn. Kalau dia bisa jalanin keduanya ya otomatis kita ikut. Makanya gue tanya sama lo.”
“Iya sih lo juga bener.”
Beberapa saat kemudian mereka berdua hanya sibuk memainkan ponselnya masing-masing. Belum ada obrolan lagi.
"Lo bahas apa gitu daripada diem doank. Lagian lo kan yang ngajak ke sini," kata Keenan.
"Apa ya? Gue juga bingung. Tiap hari ketemu lo dan semua udah gue ceritain."
"Oh ada yang belum lo ceritain! Gue inget."
"Apaan?"
"Itu, cerita lo dulu waktu nembak si —"
"Jangan sebut namanya! Udah lah Keen, gue gak mau bahas itu." Arga mendengus kesal. Kalau diingat-ingat lagi, itu kejadian yang paling memalukan sepanjang hidupnya. Ia merasa trauma saat menyatakan cintanya di depan umum. Arga tidak pernah menceritakan kejadian memalukan itu kepada siapapun termasuk Keenan dan Finn. Namun, berita itu sudah menyebar sangat cepat sehingga Keenan dan Finn mendengarnya dari orang lain walau tidak secara detail.
Mendengar balasan itu, Keenan hanya tertawa. Ia senang menggoda temannya. Perbincangan mereka mengalir begitu saja. Walaupun tadi mereka kehabisan topik, tetapi akhirnya mereka bercerita mengenai masa depan dan impian masing-masing. Arga sempat bercerita bahwa impiannya yang paling dekat ingin masuk ke jurusan arsitektur. Namun, orang tuanya menyuruhnya masuk ke kedokteran seperti Ibunya. Bagaimanapun juga itu masih membuat Arga merasa pusing. Di satu sisi ia menyukai hal-hal yang berbau seni dan menghitung, tetapi tidak dengan orang tuanya. Memang, selama ini Arga juga tidak memiliki masalah dengan pelajaran Biologi, tetapi ia rasa Biologi bukan pelajaran favortinya.
Seorang gadis menabrak Keenan saat ia baru keluar dari toilet. Tadi ia izin ke toilet di sela-sela oborlannya dengan Arga. Gadis ber-hoodie pink dengan rambut ponytail itu langsung menundukkan pandangan.
"Maaf," ucapnya seraya berusaha menyingkir dari pandangan Keenan. Wajahnya tidak terlalu jelas karena ia menunduk. Ditambah lagi ia hanya memiliki tinggi sebahu Keenan.
"Lo gapapa kan?" tanya Keenan sebelum gadis itu pergi. Sepengelihatannya, setelah tabrakan kecil tadi, ia melihat gadis itu mengelus-elus dahinya.
"Iya gapapa." Hanya jawaban singkat yang terucap dari mulutnya, kemudian gadis itu pergi begitu saja.
Keenan hanya mengedikkan bahu lalu kembali ke mejanya.
"Lo kenapa? " tanya Arga setelah Keenan kembali ke kursinya.
"Engga kok, cuma ada orang nabrak gue terus langsung pergi gitu aja."
"Modus ya lo pasti?!"
"Enak aja. Dia yang nabrak masa gue yang modus."
"Cewek?"
Keenan mengangguk. Namun, sebenarnya itu bukan masalah baginya. Toh juga cuma tabrakan biasa tanpa menimbulkan korban atau luka yang serius. Keenan memilih melupakan itu semua.
Perbincangan mereka berdua terus berlanjut hingga larut malam. Arga seringkali melontarkan kisah-kisahnya semasa kecil saat ia bertingkah konyol. Kalau dibayangkan, Arga sering geli dengan perilakunya dahulu. Keenan lebih sering menyimak cerita Arga dan sesekali menimpali dengan kisah miliknya.
Hari sudah berganti. Jam telah menunjukkan pukul dua belas lebih. Keenan dan Arga memutuskan untuk pulang karena hari sudah larut malam.
Namun, tanpa disadari, ternyata ada yang mengamati Keenan secara diam-diam di kafe. Sejak kedatangan Keenan dan Arga, orang itu sudah memerhatikan Keenan. Seperti ada hal yang mengganjal dalam dirinya. ”Apakah dia?” batin orang itu.
Satu tahun pasca kejadian meteor jatuh di sebuah kota di Benua Amerika. Seluruh wilayah terdampak sudah kembali normal. Pelestarian alam dilakukan secara besar-besaran. Hutan yang gundul akibat tsunami kini sudah kembali ditanami oleh pepohonan yang rimbun. Kerusakan-kerusakan juga sudah diperbaiki sedemikian rupa. Di hari yang sama dengan kejadian itu, semuanya juga sudah terungkap. Mulai dari Keysha yang menjadi dalang dalam kasus teror hingga kisah-kisah rumit yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Hari itu juga merupakan hari dimana Keenan merasa lega karena project garapannya berhasil melindungi dari serangan bencana alam. Akan tetapi, rasa lega itu menjadi sirna saat Keysha menghancurkannya. Gadis itu memang tidak pernah main-main dengan ucapannya untuk menghancurkan hidup Keenan. Dengan sekali pencet pada remote di telapak tangannya, seluruh gedung langsung dipenuhi gas beracun berwarna ungu. Kode-kode dari teror itu benar-benar nyata terjadi, bukan ancaman belaka. Saat i
“Keysha?!” ucap Keenan yang kaget begitu topeng sang pelaku terbuka. Situasi sudah aman terkendali jadi ia bisa langsung pulang ke rumah untuk bertemu dengan pelaku teror. Kedua profesornya yang akan mengambil alih sementara sambil menunggu situasi benar-benar pulih. Di perpustakaan ini juga sudah ada Nathan, Zach, dan Alyesha.Keysha adalah gadis yang dulu menjadi pasangan prom night Keenan saat kenaikan kelas di Silverleaf. Ia juga yang pernah datang ke rumah Keenan untuk menanyakan project tongkat buatannya.“Arghh! Lepasin gue!!!” Keysha yang baru saja sadar langsung meronta-meronta. Kedua kaki dan tangannya sudah diikat oleh tali khusus.“Dia temen sekolah lo kan, Keen?” tanya Aleysha.“Iya, tapi gue sama sekali gak nyangka kalau dia pelakunya selama ini.”“Lepasin gue, Keenan!” Seluruh tubuhnya masih menggeliat berharap ada ikatan tali yang longgar lalu lepas.
Keenan dengan kapsulnya sudah menunggu di luar gedung. Begitu terlihat Zach dan Aleysha keluar, ia langsung memberikan kode agar kedua temannya masuk ke kapsul. Kondisi kapsul masih dalam mode invisible sehingga mereka bertiga bisa bebas kemanapun tanpa diketahui sang pelaku teror yang mengawasi melalui kameradrone.“Hai Zach, Aleysha, akhirnya lo berdua ketemu sama tubuh gue yang asli,” sapa Keenan sambil mengendarai kapsulnya.“Isshh pembelahan diri lo bikin gue serem bayanginnya,” balas Aleysha.“Yaudah gak usah lo bayangin. Btw, kalian udah susun rencana kan?”“Gak ada rencana. Kita cuma ngelakuin semuanya secara spontan,” jawab Zach.“Eh?! Lo berdua tau kan kondisinya sekarang? Tsunami aja belum reda dan pelaku itu bisa dengan mudah non-aktifin selaput pelindung.”“Iya gue paham. Lo kasih ke kita aja denah rumah lo, nanti kita pikirin cara
Satu persatu posisi drone yang semulanya membentengi dari gelombang tsunami kini berpindah untuk melindungi meteorit dari serangan tsunami. Jutaan volume air itu seperti mengamuk dan dalam hitungan detik menerjang kota. Hal yang mengerikan yaitu seluruh kota tenggelam karena ketinggian dari tsunami melebihi seluruh bangunan di kota, melewati atas kubah selaput.Selaput pelindung masih bekerja efektif walaupun keadaannya seperti berada di akuarium bawah laut. Barang-barang yang terseret ombak dapat terlihat dengan jelas. Untung saja selaput mampu menahan kekuatan tsunami dengan baik, sehingga hanya menimbulkan tetesan-tetesan seperti hujan.Seluruh penduduk bergidik ngeri melihat seluruh kejadian. Mereka seperti terperangkap di dalam sebuah dome di bawah air. Tidak bisa kemana-mana sebelum tsunami mereda. Apalagi ditambah ada hujan batu akibat proses pemecahan meteorit. Semuanya terlihat kacau.“Nathan, air tsunami bisa sampai kota sebelah
WHRROOMMM!!! Getaran hebat terjadi di setiap daerah yang dilintasi oleh meteorit itu. Api yang menyelimutinya sempat membuat sejumlah area di hutan yang dilaluinya terbakar. Orang-orang yang melihatnya menjadi terpaku di tempat.“Tiga puluh detik lagi satu meteorit mendarat di laut dan disusul meteorit yang menabrak kota dengan perbedaan waktu sekitar sepuluh detik!” seru Keenan dengan tegas.Gigi Nathan sampai menggeretak karena membayangkan apa yang akan terjadi. Ia juga belum bisa berbuat apa-apa selagi menunggu.Ratusan kilometer hanya dilalui dengan sekejap mata. Meteorit berukuran enam puluh meter itu sekarang sudah di depan mata. Melewati atas kota dan berakhir di arah tenggara. Lebih tepatnya jatuh di laut dan menimbulkan dentuman yang luar biasa hebat.Air laut di sekitar titik jatuh meteorit langsung menyebar ke segala arah. Membentuk gelombang raksasa yang jauh lebih besar daripada tsunami pada umumnya. Kekuatan dari
Zach sudah berkeliling lebih dari lima kali. Tidak ada jalan keluar selain pintu masuk utama. Maksudnya, semua pintu sudah terkunci rapat. Ia mulai pasrah dengan keadaan. Menghadapi beberapa penjaga tentu saja bukanlah hal yang mudah. Apalagi siatuasi sedang tidak mendukung seperti ini.“Gue mau pasrah, tapi gue kan udah janji sama diri sendiri kalau gue bakal bantuin Keenan. Arghh!!!” Zach meremas rambutnya. Membuat rambut yang sudah disisir menjadi berantakan.“Zach lo—” panggil seseorang dari belakang.“Udah gue bilang jangan ikutin gue!” seru Zach sembari menoleh ke belakang.“Gue gak ngikutin lo.”“Eh? Aleysha? S-sorry gue kira … ah lupain.”“Lo kenapa? Ada sesuatu yang ganggu lo, kah?” tanya Aleysha penasaran.“G-gue … gue gak nemu pintu lain untuk keluar selain pintu utama. Ada banyak penjaga yang berada di sana jadi gue b