Share

Chapter 3 : The Beach

I'll make it through it

And I cannot compete

My inner voice's singing

No

No

No

No

Isyana Sarasvati

(Winter Song)

***

Rasa sakit terasa menusuk-nusuk seiring ritme pria di atas tubuhnya yang semakin cepat. Yang ingin Dita lakukan hanya mengosongkan pikirannya, namun suara desahan berat Hyuk terdengar terlalu dekat di daun telinganya.

Tangannya mulai terasa mati rasa karena cengkraman kuat Kyung Soo dan Bo Hyun yang berada di dekatnya. Yang bisa wanita itu lakukan hanya mencoba terus dan terus berteriak hingga suaranya menipis. Namun karena telapak tangan besar di atas mulutnya, teriakan Dita hanya terdengar seperti sebuah erangan tertahan.

Dita tidak suka sensasi menggelikan saat putingnya bergesekan dengan dada pria itu. Oh Tuhan, maafkan aku. Kumohon hentikan ini. Air mata Dita mengalir membasahi wajahnya yang mulai tidak karuan.

Cairan deras mengalir ke dalam tubuh Dita yang masih menangis terisak. Setelah Hyuk mencapai orgasme, kepalanya terkulai di bahu Dita. Napasnya berat dan Dita bisa mencium bau alkohol yang kuat. Tubuh wanita itu mulai bergerak tak terkendali.

Hyuk mengangkat wajahnya, memberikan seulas senyum lebar kepada Dita yang masih terisak keras. "Your body can't lie."

Dita terisak semakin keras hingga bahunya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Bahkan menarik napas membuatnya begitu tersiksa saat ini. Ia sangat membenci dirinya sendiri yang terasa begitu menjijikan dan hina.

Menutup resleting celananya dengan hati-hati, Hyuk kemudian berlalu hingga cengkraman Kyung Soo dan Bo Hyun di pergelangan tangan Dita pun melonggar. Kesempatan! Dita bergegas merangkak dan mencoba berlari menjauh. "Tolong!"

Melihat hal itu, seorang pria langsung menindih tubuhnya yang ringkih. Mulutnya yang sebelumnya bebas untuk berteriak kembali dibekap lagi dari belakang.

Sia-sia ... Semua sia-sia ...

Tangan Dita berusaha mencakar-cakar pria yang berada di atas tubuhnya. Namun, Kyung Soo justru menarik kedua tangannya ke depan sementara Bo Hyun memperkosanya tanpa kenal ampun dari belakang. Rasa sakit itu muncul kembali tanpa bisa Dita tahan..

Aku ingin mati...

Saat Kyung Soo mulai memperkosanya, tubuh Dita sudah tidak merasakan apapun lagi. Apapun yang Kyung Soo lakukan sekarang, mengecap payudaranya atau pun genitalnya, roh Dita seakan telah pergi. Mengingkari segala hal yang telah terjadi.

Jihoon mematung melihat semuanya terjadi di hadapannya. Perasaannya sudah bercampur tidak karuan. Dia merasa dirinya menjadi bodoh, lemah, dan tidak berdaya.

Hyuk menghampiri Jihoon, memberikan tube berisi tablet obat yang mereka minum sebelumnya. "Setelah kau melakukannya, berikan dia semua ini."

Jihoon mengangguk dan tanpa membantah, dia mengambil obat-obat itu dari tangan Hyuk. Jihoon kemudian melangkah mendatangi Dita yang terkulai lemas. Dita dapat melihat Jihoon yang datang sembari membawa tube obat. Pria itu berdiri di hadapannya tanpa ekspresi.

Oh Tuhan, kapan ini akan berakhir? Apakah dia akan menjejaliku dengan itu setelah selesai denganku? Apakah aku akan mati? Apakah jasadku akan dibuang ke laut? Apakah ayah akan mengenali jasadku? Atau mungkin aku tidak akan pernah ditemukan? Bagaimana perasaan ayah, Dika, Lina, Ismi, Meredith, dan Gayatri. Tuhan, apakah aku akan bertemu mereka lagi? Oh Tuhan, aku ingin hidup.

Lalu secara perlahan, kesadaran Dita mulai menghilang, dan lelah gelap pun mulai menghampiri gadis itu.

***

Dika menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum-senyum sendiri karena perasaannya begitu ringan hari ini. Sembari mendudukan diri di kursi restoran Jimbaran, dia menopang dagunya dengan senyuman. Kepalanya sejak tadi terus saja mengingat saat dirinya memberikan kartu undangan pada Dita. 

Melihat Dita menangis haru, Dika tidak bisa menyembunyikan senyumnya lebih lama. Ih, nangis aja kamu lucu. Dika ingin sekali mencubit pipi kenyal Dita saat ini.

"Kok belum datang-datang ya? Masih dua jam setelah lamaran, Dik. Sabar-sabar...." Dika mengembuskan napas sembari mengelus dadanya, berusaha menunggu Dita dengan tenang.

Kemudian Dika mengingat kembali saat dirinya melamar Dita, kemudian Dita menjawab I will. Astaga, Dika benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya karena dia sudah terkikik geli dengam mata berbinar.

Sembari memandang ke arah bintang-bintang di langit luas, Dika menyalakan lagu Isyana Sarasvati di smartphone-nya. Sibuk membayangkan mereka berdua berdansa di bawah langit penuh bintang-bintang itu. Dengan gaun pengantin dan tuxedo, diiringi debur ombak yang lembut.

Remember on the night we wished upon the stars

The melodies from heaven were singing Thou Art

Inspired us to do the things we could

And to keep what I feel

(Winter Song)

***

Memakai kaus pink bertulisan 'Save the environtment for better future', Yeo Bin melanglah keluar dari mobil Ayla-nya. Dia membawa penjepit dan 2 kantong plastik besar, yang satu berwarna hitam dan yang satu lagi berwarna oranye. Yang hitam untuk sampah yang tidak bisa terurai lagi seperti plastik, kaca, dan logam. Sementara yang oranye untuk sampah yang bisa terurai namun yang kira-kira mengganggu pemandangan indah pantai. Tangannya juga sudah dilapisi sarung tangan karet.

Yeo Bin tidak melihat ada kendaraan satu pun di sepanjang pantai yang sepi. Dia sendirian di pagi hari yang cerah ini. Padahal biasanya sang putra, Jihoon, akan menemaninya melakukan kegiatan sosial seperti ini. Namun, sayangnya dia tidak dapat menghubungi Jihoon sama sekali.

Di sepanjang pantai, dia menemukan berbagai macam sampah. Mulai dari botol plastik, sterofoam bekas makanan, kaleng bir, botol bir, dan bahkan beberapa jarum suntik.

Yeo Bin mengembuskan napas. Untuk penemuan benda yang terakhir mungkin nantinya akan dirapatkan dengan anggota komunitas, apakah penemuan ini akan dilaporkan ke pihak berwajib atau tidak.

Wanita itu semakin giat menelusuri sisi pantai sampai netranya tidak sengaja menemukan bra. "Oh ya ampun, anak muda zaman sekarang," ujarnya dalam hati.

Keningnya berkerut semakin dalam ketika ia juga menemukan celana dalam dan dress pink yang sudah tidak karuan. Netranya juga melihat setumpuk daun kelapa.

Perasaan tidak enaknya mulai menjadi nyata ketika dia melihat sepasang kaki dan tangan menyembul dari balik dedaunan itu.

"Oh Ya Tuhan!" Yeo Bin berseru, bergegas mendatangi sosok itu dan ketika membuka daunnya hati-hati, dia bisa melihat sesosok gadis dalam keadaan telanjang bulat.

Cepat-cepat ia menaruh jarinya di hidung gadis itu. Tidak sampai sana, dia juga meletakkan telinganya di atas dada gadis ringkih yang terbaring.

Ketika mendengar deru napas, Yeo Bin mengucap syukur karena gadis itu masih hidup!

Yeo Bin bisa melihat memar di kedua pergelangan tangan dan pipinya. Apakah ...

Dengan ragu, wanita itu menyingkap daun di bagian bawah tubuhnya. Memar di bagian paha dalam dan darah di ...

Iya, gadis itu korban pemerkosaan.

Segera ia mengambil smartphone-nya lalu menghubungi ambulance.

"Iya, Bu, korban perkosaan. Kumohon cepat ke sini ya, Bu. Saya tidak tahu gadis ini sudah dalam fase kritis atau tidak. Dia tidak sadarkan diri ... iya, Bu. Luka-luka, memar, dan darah di bagian ... Ibu tahu ... Iya, ada mobil Ayla parkir nggak jauh dari situ. "

Setelah menutup teleponnya, Yeo Bin membelai rambut gadis itu dengan perlahan. Dita.

"Kasihan sekali kamu, Nak."

Gadis ini tampak begitu familiar di matanya. Dia berusaha mengingat siapa gadis itu. "Oh iya, Sang gadis penari."

"Di mana orang tuamu, Nak? Mereka pasti khawatir sekarang." Yeo Bin terus saja membelai rambut Dita. Dia tidak berani menggerakan atau mengangkat kepalanya. Takut ada cedera yang serius di sana.

Tidak lama kemudian, Yeo Bin bisa mendengar suara sirine ambulance dan tiga paramedis melangkah ke arahnya. Mereka tergopoh-gopoh sembari membawa tandu, selimut besar, selimut alumunium untuk kondisi hypothermia, dan alat medis lainnya. Dengan sigap, paramedis memasangkan bantalan leher lalu mengecek denyut jantung dan pernafasan Dita.

"Tidak dalam kondisi kritis, Bu. Denyutnya masih normal."

Yeo Bin mengembuskan napas lega setelah mendengar penuturan paramedis."Syukurlah."

Paramedis menggotong Dita ke tandu dan mulai membungkusnya dengan selimut tebal. Tabung kecil oksigen dan maskernya langsung dipasangkan ke alat pernafasannya agar Dita bisa bernapas dengan baik. Setengah berlari menuju ambulance, Yeo Bin mengikuti langkah cepat mereka.

Begitu masuk ke ambulance, tubuh Dita segera dipasangkan alat-alat medis untuk memantau kondisinya.

"Saya akan mengikuti kalian dengan mobil," ujar Yeobin.

Paramedis mengangguk, segera menutup pintu ambulance-nya dengan sigap dan tak lama kemudian, kendaraan roda empat itu mulai melaju.

Yeo Bin segera berlari masuk ke dalam mobilnya yang terparkir kemudian mengikuti ambulance yang sudah melaju lebih dulu ke rumah sakit.

***

Terbangun dari tidurnya, Jihoon berjalan seperti mayat hidup yang kehilangan arah. Antara bermimpi atau nyata, dia tidak tahu itu. Yang dia tahu, kepalanya terasa begitu pening saat ini.

Teman yang lain nampaknya masih tertidur di dalam satu kamar kosong di villa tempatnya berada sekarang. Ada yang menumpuk di atas tempat tidur dan ada juga yang berbaring tak tentu arah di lantai. Jihoon sendiri baru saja terbangun di atas armchair.

Di depan kolam renang yang riaknya tak terlihat, dia berusaha menggali semua memori dan kesadarannya yang sempat menghilang. Di mana HP-ku di mana?! Dia memegang kantong celananya, mencoba mencari ponselnya namun nihil. Ini celana pendek. Celana ... Celana panjang .... Dia segera berlari ke dalam kamar dengan langkah panjang.

Mencarinya di kasur kemudian berganti ke arah kamar mandi dan akhirnya ketemu.

Jihoon membuka ponselnya, dia bisa melihat banyak panggilan masuk untuknya. Sepuluh panggilan dari ibu, tiga dari Ibu Jung, dan satu dari ayah Bo Hyun. Dia menjambak rambutnya sendiri, kemudian berkata, "Apakah itu mimpi? Atau kah semua itu benar terjadi?"

Berjalan gontai tanpa tenaga, dia kembali ke tepi kolam renang. Tanpa bisa ditahan, jantungnya berdegup sangat cepat saat ini. Dia merasa sesak. Ponselnya tiba-tiba menyala dan bergetar samar. Telepon dari ibu. Apakah harus kuangkat? Apa yang harus kukatakan pada Ibu?

Telepon terus saja bergetar, tampaknya Ibu Jihoon belum menyerah menghubungi Jihoon. Dia mengembuskan napas sebelum akhirnya mengangkat panggilan.

"Ha-Halo, Bu?"

"Jihoon!! Ke mana saja kau? Main dengan mereka lagi? Kenapa telepon ibu tak diangkat? Habis mabuk kalian, benar?!"

"Ah ... tidak, Bu."

"Ibu tidak tahu harus bicara apa lagi denganmu. Hati-hati, Nak! Orang jahat di mana-mana. Kita tidak tahu. Ini negeri asing, Nak. Kamu mau saja diajak ke mana-mana dengan putra Han dan Jung."

"Ma-maksud, Ibu?"

"Aku menemukan korban pemerkosaan di pantai saat mencari sampah."

Jihoon menutup mulutnya sendiri dengan mata melebar. Jantungnya terasa terhenti seketika hingga bernapas pun membuatnya sakit.

"Maka dari itu, Nak, hati-hati. Hati-hati! Barangkali ada yang sok bersahabat atau kemudian merampok dan aduh ... Ibu tak bisa bayangkan."

Mata Jihoon mendadak berlinang dan tanpa diminta, air mata mulai mengalir dari netranya yang terasa kosong. Dadanya sesak seketika.

"Mungkin ibu akan seharian di rumah sakit. Mungkin ibu akan ditanyai polisi juga dan kau, cepat pulang ya?!"

"I-Iya, Ibu."

Ibu Jihoon menutup telepon tanpa menunggu putranya menjawab terlebih dahulu. Jihoon yang tak kuasa menahan dirinya lagi itu berlutut di lantai. Dia tak kuasa menahan tangis hingga suara tangisnya terdengar begitu keras. Tubuhnya tak bisa menahan gravitasi lagi. Itu nyata! Itu nyata! Dita!

Kemudian dia merasa sangat mual hingga Jihoon berlari ke semak-semak terdekat. Dia memuntahkan seluruh isi perutnya yang tak seberapa. Dia jijik dengan dirinya sendiri karena sudah bertingkah begitu jahat dan tak beradab.

Hyuk yang mendengar itu seketika terbangun dari tidurnya. Dia bisa melihat jika Jihoon baru saja mengeluarkan isi perutnya. Hyuk langsung berlari menghampiri Jihoon.

"Ada apa?!" tanya Hyuk dengan raut khawatir yang tampak jelas dari wajahnya.

"Ibu menemukannya, Hyuk." Jihoon yang terisak keras kesulitan untuk melanjutkan penjelasannya. "Ibu menemukan Dita."

Hyuk terbelalak dengan mata melebar.

"Kita ... kita sudah memperkosanya, Hyuk ... kita harus bagai-"

"Shhhhhttt, nanti ada orang dengar." Hyuk segera menggeret Jihoon ke kamarnya dengan cepat.

Sesampai di kamar, Hyuk mengunci pintu agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk untuk mendengar pembicaraan.

"Jihoon, apakah kau memberinya tablet-tablet itu?"

Jihoon terdiam lalu menggeleng dengan wajah memucat.

"Sial!!" Hyuk mengumpat marah ketika mendengar penuturan Jihoon. "Bangun kalian semua! Bangun!" Hyuk juga segera membangunkan Kyung Soo yang berada di atas ranjang dan Bo Hyun di permukaan lantai.

Kyung Soo pun terbangun dengan wajah mengantuk, namun Bo Hyun masih saja terlelap di alam mimpinya. Melihat itu, Kyung segera membangunkan Bo Hyun sementara Hyuk berjalan mondar-mandir dengan kening berkerut dalam.

"Apa sih?" ketus Bo Hyun dengan mata yang masih sayu.

"Kita harus berkemas segera. Pagi ini kita harus meninggalkan negara ini!" tukas Hyuk panik.

"Kenapa?" tanya Kyung Soo, mengerjapkan mata berkali-kali. Mencoba membuat dirinya lebih sadar.

"Kau tidak ingat apa yang kita lakukan tadi malam?" bentak Hyuk.

Mereka semua terdiam, mencoba mengingat segala hal yang terjadi lalu seketika raut wajah mereka berubah pucat. Tanpa bicara, Jihoon melangkah gontai ke sudut ruangan, berjongkok, menutup wajahnya, dan akhirnya terisak lagi.

"Ayahku akan membunuhku! Aku sudah bertunangan. Keluarga mereka akan membunuhku! Aaaa ... mati aku ... mati aku ...." Bo Hyun mulai menangis dengan panik.

Kyung Soo terdiam lama sampai akhirnya dia tiba-tiba berteriak, "Diam kalian semua! Hyuk benar. Ayo mulai berkemas!"

Mereka mulai sibuk berkemas dan tanpa aba-aba, Hyuk yang emosi berkata, "Kau sih, Jihoon. Coba kau berikan semua obat itu padanya, dia mungkin tidak akan pernah bicara pada polisi."

Geram Jihoon bangkit dan tangannya melayang, memukul rahang Hyuk hingga pria itu tersungkur ke lantai. "Kenapa kau suruh aku hah? Kenapa tidak kau lakukan saja sendiri!" Jihoon yang matanya gelap karena emosi mulai menghajar Hyuk.

"Diam kalian! Jihoon, kau harus ikut kami ke bandara. Sesampainya di Seoul baru kita memikirkan tentang semua ini," ujar Kyung Soo, mencoba menenangkan suasana yang semakin memanas.

***

Yeo Bin masih menunggu di ruang gawat darurat dengan raut cemas. Di dalam sana, Ginekolog sedang memeriksa Dita ditemani Dokter dari Kepolisian. 

Ketika keluar dari ruang pemeriksaan, Yeo Bin langsung menanyakan hal yang terjadi kepada Ginekolog.

"Apakah ibu keluarganya?" tanyanya, memastikan hubungan Yeo Bin dengan korban.

"Bukan, saya yang menemukannya."

"Kalau begitu, ikut saya ibu," ujar Dokter dari Kepolisian.

Mengikuti ke tempat parkir, Ibu dokter polisi mengambil mobil yang diparkirkan di tempat itu. Bukan mobil polisi, hanya mobil biasa berplat merah.

"Mari, Bu, masuk."

Setelah berada di dalam mobil, Yeo Bin bertanya tentang segala hal yang terjadi. "Ibu, apakah benar itu pemerkosaan."

"Dari luka-lukanya mengarah ke situ, Bu. Kami sudah mengambil bukti dari tubuhnya. Cairan dan lain-lain."

"Jadi apakah bisa ditemukan sang pelaku?"

"Kami akan periksa orang-orang terdekat dan juga saksi, seperti Ibu. Korbannya sendiri juga akan diperiksa jika dia sudah sadar. Jika korban mengenali para pelakunya, itu akan lebih mudah."

"Para pelakunya?!"

"Iya, lebih dari satu orang."

"Oh, Ya Tuhan!" Yeo Bin berseru, menutup mulutnya dengan mata melebar.

"Ibu tampak seperti bukan orang lokal?"

"Iya, Bu. Saya orang Korea."

"Oh, wow. Sudah berapa tahun tinggal di Bali? Bahasa Indonesianya bagus sekali."

"Sudah lima tahun, Ibu. Saya dan putra saya," jawab Yeo Bin, memberikan seulas senyum tipis.

"Oh, begitu."

"Iya. Putra saya punya Coffee Shop tak jauh dari Sanur, kalau Ibu mau berkunjung."

"Tentu, Ibu. Kapan-kapan, yah. Nah, kita sudah sampai."

Setelah keluar dari mobil, Yeo Bin kembali bertanya lagi dengan hati-hati. "Ibu, bagaimana dengan keluarga dari gadis itu?"

"Saya belum menerima berita kehilangan, mungkin pagi ini."

***

Dika yang sedang menyisir rambutnya karena harus bersiap pergi kerja itu melirik ponselnya mendadak berdering nyaring. Apakah dari Dita?

Tapi nadanya bukanlah nada yang biasa. Apa mungkin pakai HP ayahnya? Mungkin HP-nya lowbat.

Iya benarkan ... dia pakai HP ayahnya? Mungkin mau minta maaf karena kemarin capek banget dan Hp-nya mendadak lowbat, jadi dia nggak bisa ngangkat telpon.

Dika segera mengangkat teleponnya.

"Halo?" sapa Dika setelah hubungan tersambung.

"Dik ... Dika ..." Bukannya suara Dita, Dika jusru bisa mendengar suara bapak-bapak. Berarti ini memang benar bapak Dita.

"Pak Nyoman?" tanya Dika memastikan.

"Iya, bener ini Pak Nyoman."

"Oh iya, Pak. Ada apa, ya?"

"Dita ada sama kamu nggak?"

Dika mengerjap bingumg. Dugaannya ternyata salah. "Nggak, Pak."

"Tadi bapak juga telepon Lina, katanya juga nggak sama dia. Bapak minta tolong Lina untuk telepon temen-temennya yang lain, tapi kata Lina juga nggak ada yang tahu. Kamu bener nggak tahu Dita ke mana?"

"Dita sama aku tadi malem malah janjian makan malam di Jimbaran. Tapi nggak dateng dianya, kutelepon juga nggak dia angkat. Di wa, nggak dibales." Nada suara Dika mendadak berubah menjadi sangat khawatir.

"Begitu ya, Nak? Haduh gimana, ya?"

"A-Ayah. Mungkin aku balik ke tempat tunangan kemarin dulu. Nanya-nanya kali ada yang liat Dita, Yah."

"Ah iya, Nak. Terima kasih. Saya juga ada tamu. Nanti saya telepon lagi, ya."

"Permisi!"

"Ah iya. Eh, Pak Joko. Ada apa, ya?"

"Begini, Pak, kemaren sampai lupa. Tukang bapak sampai pagi ngobrol sama saya. Begini, Mbak Dita-nya ada?"

"Lah, ada apa ya, Pak?"

"Kemaren ... anu ... Dita minjem motor saya. Belum dibalikin. Begitu, Pak ... hehe."

"Kapan, Pak?"

"Kemarin malem. Minjem motor terus wussh pergi gitu aja."

"Oh, Ya Tuhan, di mana?"

"Ya tempat tunangan, Pak."

"Bapak tahu Dita ke mana?" Pak Nyoman kembali bertanya dengan penuh harap.

"Lha, ya saya nggak tahu, Pak. Saya nggak sempet nanya. Saya tahunya Pak Nyoman, makanya saya ke sini."

"Dita-nya belum balik dari tadi malem."

"Wadu, motor saya gimana?"

"Motor gimana, Pak! Anak saya ilang." Pak Nyoman mulai menangis terisak hingga Pak Joko mengerjap kaget.

"Eh, tenang, Pak, tenang. Di rumah temennya kali atau pacarnya."

"Nggak ada!" Pak Nyoman kembali menangis lagi.

"Ya sudah, Pak. Ayo kita ke kantor polisi saja. Biar belum 24 jam. Nanti kalau ternyata kelayapan, tak maki-maki itu anak," ujar Gayatri, mengembuskan napas.

"Iya ayo, Pak. Sekalian mau lapor soal motor saya," jawab Pak Joko yang langsung mendapat pelototan tajam Pak Nyoman. "Iya iya, saya yakin Mbak Dita bukan pencuri. Cuma mau kasih tau Mbak Dita dan motor saya ilang. Udah."

"Iya, ayo, Pak. Berangkat, saya yang nyetir," ujar Gayatri, bergegas keluar dari rumah dengan langkah lebar.

***

Dengan langkah terburu-buru bak dikejar setan, Hyuk, Kyung Soo, Bo Hyun, dan Jihoon memasuki bandara Ngurah Rai.

Mereka memakai kacamata hitam dan topi cap untuk menghindari CCTV yang ada di bandara. Bo Hyun dan Hyuk membawa troli, Kyung Soo membawa ransel, dan Jihoon hanya membawa ponsel, paspor dan dompet. Mereka kemudian melangkah menuju Garuda Costumer Service.

"Four tickets to Seoul please," kata Hyuk tanpa berlama-lama. Dia menghentakan kakinya berkali-kali, tanda tak sabar.

"Reserved for what time, what day?"

"For today. Now!" tukas Hyuk, mengedarkan pandangannya.

"I'm sorry we can't book that sir."

"What?! " Hyuk, Bo Hyun, dan Kyung Soo terkejut dengan mata melebar ketika mendengarnya.

"Aku sudah bilang padamu," lirih Jihoon dengan raut khawatir di wajahnya yang pucat pasi.

"Please. We are in hurry. How much we can pay?" Kyung Soo mengambil alih terburu-buru.

"Nothing, sir. They are all full books. If you want it, you can take it on Wednesday."

"How about today?" Hyuk kembali bertanya dengan penuh harap.

"You could take it at least six hours from now. It is under the law. But for now there are only for Wednesday."

Mereka semua mengerutkan kening, berpikir keras tentang keputusan apa yang harus mereka ambil saat ini.

"You will have a change if some peoples cancel their flight. But for 4 peoples. I doubt it. Today is Monday. It's a busy day for flight."

"Nugungaga jug-eossdago malhae! (Bilang saja ada yang meninggal!)" seru Bo Hyun yang sudah tidak bisa berpikir jernih.

"Nan dangsin-euldeul-eul su issseubnida (Saya dapat mendengar Anda)," ujar Mbak Costumer service yang menatapnya dengan kening berkerut.

Bo Hyun terbelalak, membuang muka panik karena baru menyadari jika costumer service itu bisa berbahasa Korea.

"Ottoke?! (Bagaimana?!)" tanya Bo Hyun, menoleh panik kepada kawan-kawannya yang masih mematung.

"Kita harus menemui seseorang yang kenal baik dengan kita dan keluarga kita, dan sebaiknya, dia masih berada di Bali." Kyung Soo akhirnya menekan perkataannya, memperlihatkan betapa serius keadaan kali ini.

Hyuk berpikir keras dan dia pikir, dia sepertinya tahu siapa orang yang tepat. Membuka smartphone-nya, Hyuk mulai menghubungi pria itu.

"Paman Kim! Paman ada di mana? Saya, Bo Hyun, Kyung Soo, dan Jihoon ingin menemui paman ... Ah ya, sekarang ... Baiklah ... Ah paman, bisakah kami ke penginapan paman sekarang? Iya, sekarang. Alamat? Oh, oke kami meluncur ke sana."

***

Bersambung ke Chapter 4

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jasmin Mubarak
crita ni mirip drama yg prnh q tonton✌✌✌
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status