Share

Chapter 4 : The Cliff

"Saya ingin lapor anak saya hilang, Pak."

Sementara Pak Nyoman melapor, Gayatri dan Pak Joko lebih memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari ruang laporan. 

Polisi mengambil kertas yang tergeletak di atas permukaan meja dan mulai mengetik di komputer. 

"Nama bapak?"

"Nyoman Prameswara."

Tiba-tiba Pak Joko menginterupsi dengan suara menggebu-gebu. "Aa ... Saya juga, Pak. Saya Joko. Motor saya hilang."

"Bapak bisa tunggu dulu. Setelah bapak ini ya pak." Polisi meliriknya agak kesal. 

"Hehe, iya, Pak." 

"Ah, iya. Saya lihat KTP bapak saja." Polisi akhirnya melanjutkan pertanyaannya yang sempat tertunda. "

Ini, Pak." Pak Nyoman menyerahkan kartu tanda penduduknya.

"Nama anak?"

"Kadita Prameswari"

"Hmm, umur?"

"25 tahun."

Tiba-tiba pak polisi berhenti mengetik dengan mata melebar. "Sebentar ya pak."

Ia kemudian berbisik kepada polisi lain yang berada di ruangan itu juga. Polisi yang ia bisiki itu kemudian memanggil seseorang dari dalam. "Ibu Yeo, Ibu Kopral!"

Mereka berdua saling menengok kemudian mendatangi pak polisi ke dalam ruang laporan. 

"Ibu Kopral, ini mungkin keluarga korban," ujar Pak Polisi, memperkenalkan Pak Nyoman dengan hati-hati. 

"Korban?!" Pak Nyoman terlihat bingung lalu sontak matanya mulai berkaca-kaca. 

"Ada ciri fisik yang ibu temukan?" tanya Ibu Kopral ke Ibu Yeo yang berada di tempat itu. 

"Apakah anak saya sudah tidak ada Ibu?!" Pak Nyoman mulai menangis dengan histeris.

"Apakah dia memakai dress pink? Pak?" tanya Ibu Yeo, memastikan dengan hati-hati. 

"Iya, Ibu." Air mata Pak Nyoman kembali bercucuran, dadanya mulai terasa sesak. 

"Apakah ia berambut panjang dan bertubuh mungil? Di bahunya ada tahi lalat?" Ibu Yeo meneruskan pertanyaannya. 

"Iyaa, Ibuuuu ... Huuu ..." Pak Nyoman menangis keras-keras hingga dirinya menjadi sorotan. "Apakah anak saya sudah meninggal, Ibu?" 

"Tidak, Pak. Anak bapak tidak meninggal," jawab Bu Kopral dengan mata yang mengiba.

Tangisan Pak Nyoman mereda, pria itu menatap Bu Kopral lekat-lekat. 

"Tapi, bapak harus ikut kami ke Rumah Sakit."

***

"Kalian bodoh sekali! Bodoh sekali! Kenapa memperkosa?! Ya Tuhan!" Paman Kim berjalan mondar-mandir, dengan wajah yang memerah karena menahan amarah. "Kenapa kalian tak sewa saja pelacur, hah?!"

"Kami mabuk, Paman." Hyuk membela diri tanpa sekalipun menatap Paman Kim.

"Tiap hari kalian minum sampanye atau Soju, jangan coba beri alasan bodoh." Paman Kim dengan geram dan emosi yang memuncak, mulai menunjuk-nunjuk dahi Hyuk. 

"Hyuk beri kami obat, paman." Bo Hyun terus berkata masih dengan wajah memucat.

"Obat? Obat apa? LSD? Ekstasi? Sabu? Heroin? Tadi pemerkosaan ... sekarang drugs. Hebat sekali kalian hebat!" Paman Kim bertepuk tangan gemas bercampur emosi. 

"Soalnya ... Jihoon lagi sedih. Jadi, kalau pake obat itu, kali aja—" 

Tanpa aba-aba, tangan Paman Kim melayang ke arah rahang Hyuk hingga pria itu tersungkur. 

"Kupikir kau adalah yang paling pintar, Hyuk. Sungguh. Tapi karena kau tidak mampu menahan penismu di dalam celanamu, kau ajak teman-temanmu, hah?!" Paman Kim sudah sangat murka karena tingkah mereka yang sudah kelewatan.

Hyuk hanya terdiam, sudah kehabisan kata-kata untuk membela diri. 

"Saya tahu kami salah, Paman Kim. Tapi kami minta tolong. Berilah kami pencerahan keluar dari situasi ini. Kami tidak bisa kabur dari Bali hari ini. Pesawat hanya ada hari Rabu besok. Jadi saya mohon. Apa yang bisa paman lakukan untuk men-delay investigasi," ujar Kyung Soo mencoba menjernihkan masalah yang ada agar semua orang fokus.

"Ok, ok ... Saya akan bertanya pada kalian. Kalian harus jawab dengan jujur. Karena ini menyangkut hidup dan mati kalian. Juga hidup dan mati keluarga kalian!" tegas Paman Kim.

"Baik, Paman." Semua menjawab cepat kecuali Jihoon yang masih mematung.

"Jihoon -aaa!" bentak Paman Kim hingga Jihoon tersentak dengan mata melebar.

"Ba—Baik, Paman Kim."

"Pertama, adakah saksi?"

"Tidak, Paman."

"Kalian yakin?"

"Yakin," jawab mereka pasti karena malam itu memang tidak ada siapapun di pantai.

"Kedua adalah barang bukti di TKP."

Mereka semua terdiam, saling melirik satu sama lain dengan ragu.

"Tidak ada yang mau buka mulut?" tanya Paman Kim dengan suara yang mulai meninggi.

"Botol minuman, paman."

"Sial, kalian harus mengambilnya sebelum polisi datang, mengerti kalian? Setelah ini, kalian langsung ke sana."

"Paman." Jihoon menyela ucapan Paman Kim dengan penuh keraguan. 

"Apa?"

"Ibuku di TKP. Dia—"

"Bicara yang jelas, Jihoon!"

"Ibuku memungut sampah. Kemungkinan sampah itu ada di beliau." Jihoon bicara cepat dengan bibir yang terasa kelu. 

"Okay, berarti itu menjadi tanggung jawabmu. Ambil botol-botol itu sebelum polisi. Mengerti?"

Jihoon mengangguk pelan walaupun tatapannya masih terlihat kosong.

"Kalian bilang tentang drugs, di mana itu?" tanya Paman Kim, kembali memastikan.

"Ada di Jihoon, Paman," jawab Hyuk, melirik ke arah Jihoon. 

"Iya, di kantong celana." Jihoon membenarkan perkataan Hyuk. 

"Ketiga, apakah kalian memakai kondom?"

Mereka semua terdiam kaku. 

"Ya tentu saja tidak. Dasar bodoh, barang bukti sekarang ada dalam dirinya dan kalau dia hamil?!!"

Wajah Hyuk kembali menjadi tegang. Yang lain juga demikian, mereka saling berpandangan dengan ragu. 

"Ok keempat, apakah gadis ini sudah sadar? "

Mereka semua terdiam. 

"Ibu Jihoon tahu!" Hyuk tiba-tiba berseru hingga seluruh penghuni ruangan menatapnya dengan mata melebar.

"Apa?!" Jihoon memandang ke arah Hyuk dengan marah. 

"Ibu Jihoon yang pertama menemukan Dita. Kami tidak tahu dia sudah sadar atau belum."

"Hm, oke. Aku yang akan mengurus Yeo Bin dan juga mengawasi gadis itu. Iya Dita. Kau tahu nama lengkapnya, Hyuk?!"

"Tidak, Paman. Jihoon, kau tahu tidak?!" teriak Hyuk kepada Jihoon yang mematung sejak tadi.

Jihoon kembali menggeleng ragu. 

"Oke, nanti aku bisa cari lebih lanjut dan aku yang akan urus keluarganya. Kau, Jihoon, fokus saja pada botol minuman itu."

Jihoon mengangguk patuh. 

"Kalian semua kecuali Jihoon, tinggal di sini. Jangan ke mana-mana. Jihoon, kau kuantar pulang sekarang. Jalankan misi kita."

***

Dengan berbalut baju hijau muda, Dita masih tak sadarkan diri. Tangan kirinya menyambung dengan infus dan di sebelah kanannya terdapat monitor detak jantung yang dihubungkan pada jarinya. Mulut dan hidungnya tertutup masker untuk stabilisasi kadar oksigennya. 

Yeo Bin mengusap-usap bahu Pak Nyoman yang tak sanggup melihat keadaan putrinya saat ini. "Sabar ya, Pak," lirih Yeo Bin. 

"Gayatri ... tolong ... telepon Dika ... beritahu Dita di sini.. " Dengan lemas tanpa tenaga, Pak Nyoman menyuruh Gayatri. 

Sebelum Gayatri menelepon Dika, dia lebih memilih berjongkok dan memeluk Pak Nyoman erat. Sontak, Pak Nyoman meledak dalam tangis yang begitu keras. "Iya, sayang," jawab Gayatri sambil menghapus air mata di wajah Pak Nyoman. Suatu tindakan sang sangat langka dilakukan oleh Gayatri. 

Sebagai seorang pekerja keras yang merupakan mantan pegawai Pak Nyoman. Dia tegas, bicaranya menyakitkan, akan tetapi kadang ia lakukan itu semua untuk menegakkan disiplin agar semua orang bekerja dengan benar dan mentaati jadwal yang ada.

Gayatri bukan tipe orang yang bisa menunjukkan kelembutannya. Namun,  saat ini nampaknya Pak Nyoman memerlukannya. 

"Halo, Dika?" Gayatri berkata perlahan.

"Eh iya, Gayatri. Dita sudah pulang?" tanpa berbasa-basi, Dika segera bertanya hal yang mengganggunya sejak tadi. 

"Belum."

"Jadi, tadi aku sudah cek hall. Aku tanya-tanya siapa yang liat Dita terus ada yang bilang sempet lihat Dita lari-lari ngejar orang begi—"

"Dita sudah ketemu, Dik."

"Di mana, Kak?"

"RS Sanglah."

Dika terdiam. "Apakah Dita baik-baik saja, Kak?" Suara Dika terdengar begitu parau, nyaris tak terdengar. 

Gayatri ikut terdiam ketika mendengar pertanyaan Dika. "Kau datang saja ke sini segera." Lalu segera menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban Dika. 

***

Jihoon mengorek-ngorek gudangnya. Hah ... Di mana ... Apa ada di tempat sampah? Lalu dia segera melihat ke tempat sampah seluruh rumah terutama yang berada di depan. Dia mengeceknya sampai dua kali. Apa mungkin di dapur? Dia lalu pergi ke kamar mandi. Lemari-lemari? Semua tidak ada.

Tidak menemukannya. Jihoon memutuskan untuk segera menelepon Pengacara Kim. "Halo Paman Kim? Saya mencarinya ke mana-mana dan tidak ada. Saya berpikir apakah sampah masih ibu tinggal di pantai?"

"Iya, bisa jadi. Besok aku akan ke sana. Oh hari ini kau beritahu ibumu, kalau kau akan ke Seoul Rabu ini." Suara Paman Kim sama sekali tidak terdengar ramah.

"Apa alasanku, Paman? Dia tau punya Coffee Shop adalah impianku. Meninggalkan semua ini  adalah tentu sangat aneh baginya."

"Terserah kau mau alasan apa. Pokoknya itu sudah jadi kesepakatan bersama." Telepon langsung ditutup. 

Jihoon dan Paman Kim tentu saja tidak tahu bahwa seseorang telah mengambil botol-botol minuman itu beberapa saat yang lalu. 

***

Dika menggenggam erat tangan Dita, sementara bunyi konstan terdengar dari mesin pemantau di sebelahnya. Mata Dita terpejam, dadanya tampak naik turun teratur yang menandakan ia masih bernafas.

Mungkin itu sudah cukup? Dika tak kuasa menahan air matanya lebih lama lagi. Kalau saja hari itu aku menemanimu saja di tempat pertunangan ... kalau saja aku tidak ke Jimbaran ... Dika membenamkan kepalanya di selimut Dita. Terisak keras karena tak kuasa menahan tangis. 

Dika mengambil smartphone-nya, membuka Playlist, kemudian menaruh kedua earphone di telinga Dita. Dia kemudian menyalakan lagu favoritnya.

"Ayang ... Ini lagu favorit mu. Ayang bangun ya ... Dika nggak bisa sendiri ... Dika udah terlanjur ketemu ayang," lirih Dika yang masih terisak dengan suara parau. 

"Ayang, nanti kita dansa pakai lagu ini ya. Dika udah bayangin Ayang pasti cantiiik banget. Pakai baju pengantin ... apapun yang terjadi, Dika nggak akan tinggalin Ayang." Dada Dika terasa begitu sesak.

"Ayang kalo lari, nanti pasti Dika kejar. Kayak dulu..." Dika kembali menangis, membenamkan wajahnya ke selimut.

Melihat dari kejauhan, Yeo Bin tak kuasa menahan air matanya. Dia kemudian memilih keluar dari ruang perawatan itu. 

Pak Nyoman yang melihat itu segera menghampiri Ibu Yeo Bin. "Ibu Yeo Bin pulang saja. Hari sudah malam. Saya berterima kasih sekali atas apa yang telah ibu lakukan terhadap Dita. Mohon maaf bila kami tidak menyediakan makan atau minum. Saya lihat ibu belum makan dari tadi."

Yeo Bin mengulurkan seulas senyum. "Ah tak apa, Pak. Bapak sedang ada musibah. Besok mungkin saya ke sini lagi. Saya terlanjur sayang sama Dita. Walaupun dia belum mengenal saya."

"Kalau Dita sudah sadar nanti, saya yakin Dita akan menyukai Ibu," ujar Pak Nyoman.

Pengacara Kim melihat Yeo Bin yang tengah berpamitan kepada Pak Nyoman. 

Ini kesempatanku. Lalu ia berjalan lurus dan dengan sengaja menyenggol bahu Yeo Bin. "Oh maaf. Ya ampun, Nyonya Yeo?"

"Pak Kim. Ya ampun, apa kabar?"

Pengacara Kim memberikan seulas senyum. "Baik Nyonya Yeo baik."

"Sedang apa bapak di rumah sakit?" tanya Yeo Bin.

"Tenggorokan saya sakit akhir-akhir ini. Saya takut kenapa-kenapa."

"Ah, rajin-rajinlah makan buah-buahan segar dan teh hangat, Pak. Di sini harganya murah-murah lo."

"Hahaha iya, Bu, iya. Ibu Yeo sedang apa di sini?" Pengacara Kim balik bertanya hati-hati. 

"Ah, panjang ceritanya, Pak."

"Oh begitu. Ngomong-ngomong, apakah Ibu mau pulang? Kalo iya, biar saya antar. Saya juga sudah mau pulang."

"Ah, saya pikir bapak baru mau periksa." Yeo Bin mengangkat alisnya kebingungan.

"Ah, tidak saya tadi mau ke kantin beli minum."

"Ah, ayo, Bu."

"Beli minumnya?" tanya Yeo Bin yang masih kebingungan.

"Tidak jadi. Sudah tidak haus."

Ibu Yeo Bin akhirnya mengikuti pria itu ke tempat parkir. 

***

"Jihoon sepertinya sudah pulang," ujar Ibu Yeo.

"Benarkah?" Pengacara Kim bertanya sembari mengedarkan pandangannya.

"Benar. Itu motornya terparkir di depan."

Yeo Bin kemudian membuka pintu utama dan menyalakan lampu. "Jihoon, Ibu sudah pulang!"

Namun tidak terdengar balasan apapun. Ibu Yeo kemudian menuju pintu kamar Jihoon dan mengetuk pintunya keras-keras. "Jihoon? Kamu sudah tidur, Nak?"

Jihoon berjongkok di lantai kamarnya, menutup mulutnya dalam kegelapan. Ia tak sanggup berkata-kata saat ini. 

"Iya, Bu. Mungkin dianya sudah tidur," ujar Paman Kim yang sejak tadi memperhatikan dengan seksama. Dia tentu saja memahami situasi yang terjadi saat ini.

"Oh iya, mau minum apa? Kopi atau teh? Teh ya. Tenggorokan anda lagi sakit."

"Eh, iya Bu, boleh."

Ibu Yeo bergegas pergi ke dapur untuk membuatkan secangkir teh. Sementara itu, dengan mengendap-ngendap, Pengacara Kim menuju ke depan pintu kamar Jihoon. 

"Pakai lemon ya, Pak! Supaya sakitnya sembuh!" Tiba-tiba Ibu Yeo berteriak hingga Pengacara Kim tersentak. 

"Iya boleh juga, Ibu!" Pengacara Kim menjawab pertanyaan Ibu Yeo lalu mengelus dadanya karena terkejut. 

"Pssst Jihoon ...  Aku tahu kau masih terbangun. Kau harus pastikan keberadaan botol minuman itu oke. Setelah itu beritahu aku." Lalu Pak Kim buru-buru kembali ke sofa. 

"Ini, Pak Kim. Lemon tea-nya." Ibu Yeo menghidangkannya di hadapan Pengacara Kim lalu duduk bersama di sofa. 

"Ah, segar sekali Ibu. Terima kasih banyak." Pengacara Kim memuji teh Ibu Yeo setelah menyeruputnya. 

Ibu Yeo hanya tersenyum. 

"Jadi, mohon maaf Ibu. Saya jadi ingin tahu mengenai hal ceritanya panjang yang ibu maksud tadi."

Lalu Ibu Yeo mulai bercerita mengenai saat menemukan Dita, bagaimana keadaannya, lalu sampai kepada polisi, hasil pemeriksaan, dan terakhir bertemu keluarga Dita dan juga Dika.

"Saya nggak terbayang, Pak, bila nanti dia sadar. Hal seperti itu tidak akan mungkin bisa dilupakan sehari atau 2 hari. Saya hanya berharap keluarga dan tunangannya selalu menyertainya. Karena ini akan menjadi proses yang sangat panjang dan melelahkan."

"Betul, Bu. Betul, Bu. " Pengacara Kim terus saja mengangguk, berpura-pura menyetujui ucapan Yeo Bin.

"Saya juga berharap para pelakunya segera diketemukan."

Di dalam kamar, Jihoon meledak dalam tangis yang sunyi. Matanya basah akan air mata yang terus saja tumpah.  

Dita maafkan aku ... aku ... kalau aku bisa memutar waktu ... dengan nyawaku ... dasar laki-laki bodoh!  Jihoon kemudian memukuli kepalanya sendiri. 

***

Dengan topi cap, kacamata hitam, dan ransel besar, Hyuk bersiap melangkah keluar dari kamar Pengacara Kim. 

"Hei, kamu mau ke mana?" Kyung Soo menegur Hyuk dengan kening berkerut dalam sementara tangannya menyambar pergelangan Hyuk. 

"Cari angin sebentar, di sini sumpek."

"Kau tidak boleh keluar, nanti kau dihajar Paman Kim," ujar Bo Hyun, mengingatkan hati-hati.

"Aku keluar sebentar. Nanti balik lagi!" balasnya sembari menutup pintu rapat-rapat. 

Hyuk menyewa sebuah motor tak jauh dari penginapan. Dia mengendarai sepeda roda dua itu lalu tak lama kemudian berhenti di sebuah tebing. Berjalan cukup jauh hingga dia bisa melihat ada dua orang yang tengah menunggunya.

"Do you bring that? "

"We bring that." Salah satu dari mereka membawa kresek berisikan botol-botol minuman kemudian menyerahkannya pada Hyuk yang sudah menunggu.

"I thought that we had a deal."

"That is different deal. That is deal about I became a thief that stole ring and phone and him becoming a convincer so the girl can take the bike."

"So what do you want? "

"Ten millions more. So we don't go to the police. Or worse, tell your friends about this," katanya dengan seringai lebar di wajahnya.

Hyuk menghela napas panjang. "Okay okay. You two prepare your bank account number. I will transfer it through mobile banking. Wait. My smartphone is in my backpack."

Hyuk kemudian mengorek-ngorek tas ranselnya dengan kening berkerut dalam. "Okay, please mention the number."

"Zero four—"

Terdengar bunyi letusan senjata api dan pria yang tengah berbicara itu tumbang dengan darah mengalir dari tubuhnya. Kawan dari pria yang tertembak terlambat menyadari itu dan ketika dia melihat ke arah Hyuk, moncong senapan sudah mengarah kepadanya. 

Terdengar kembali suara letusan untuk kedua kalinya lalu pria itu ikut tumbang tanpa pergerakan. 

Darah dua orang itu mulai menggenangi pasir tempat Hyuk berpijak. Berjalan menghindari genangan, pria itu melepaskan plastik pada ganggang senjatanya. Dia kemudian meletakkan senjata itu di genggaman tangan salah satu dari pria yang tertembak. 

Dia menyambar botol-botol minuman itu kemudian meninggalkan tempatnya berdiri saat ini. Sambil menuruni puncak tebing, Hyuk menghapus jejak kakinya dengan menimbun dengan pasir. Mengendarai motor, dia kembali ke arah penginapan. 

Dita aku harap kamu bangun. Karena rencanaku untukmu akan luar biasa

***

"Haaahh!" Dengan napas terengah-engah dan peluh membanjir di wajahnya, Dita terbangun secara tiba-tiba. Dia melihat ruangan putih dengan tirai biru muda dan selimut putih yang membalut tubuhnya. "Dika?"

Melihat Dita yang akhirnya sadarkan diri, mata Dika membelalak lebar. "Ayang." Tak sanggup berkata-kata lebih banyak, Dika justru memeluk wanita itu erat-erat.

"Ini nirvana?"

"Bukan, Dita." 

Dita dapat melihat Pak Nyoman, Gayatri, dan kawan-kawan yang lain melangkah masuk ke ruangan rawat inap. Pak Nyoman langsung menciumi kening Dita penuh cinta dan air mata. 

"Anakku sayang," panggil Pak Nyoman dengan mata yang berkaca-kaca dan lingkaran hitam di bawah matanya.

"Aku masih hidup?"

"Tentu, Nak," jawab Pak Nyoman.

Dita kemudian menangis terisak. Dia merentangkan tangannya, memeluk mereka berdua erat-erat. 

Dika mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. "Lihat apa yang kutemukan."

Sebuah cincin pertunangan. Lalu pria itu memasangnya di jari manis Dita dengan hati-hati. Dita tersenyum bahagia, sorot matanya begitu berbinar. 

"Ini kamu yang temukan, Dika?"

"Bukan. Aku yang temukan." Tiba-tiba suara Dika terdengar begitu berbeda di pendengarannya. 

Dita terbelalak ketika melihat orang di hadapannya yang ternyata adalah Hyuk. Lalu, dia juga bisa melihat Bo Hyun, Kyung Soo, dan Jihoon di waktu yang bersamaan. 

Dita ingin berteriak keras-keras, namun tangan lebar Hyuk malah membekap mulutnya. 

"Apakah kau pantas memakai cincin itu?" Kemudian Hyuk mendekatkan wajahnya ke arah Dita yang memberontak. "Kau masih ingat reaksi tubuhmu saat aku memasukimu?"

Tidak! Itu bukan mauku, Kalian yang memaksaku!

Kyung Soo dan Bo Hyun kemudian mencengkram pergelangan tangan Dita erat-erat.

Jangan kumohon.... Dita menghiba dengan mata memanas. Air matanya kembali turun membasahi wajahnya yang memucat.

Tanpa banyak bicara, Jihoon mengeluarkan banyak tablet dari dalam tube yang ada dalam genggamannya. 

Kumohon jangan bunuh aku.

Tiba-tiba tubuh wanita itu terjatuh ke dalam permukaan laut yang dalam. Keempat pria itu membawanya jauh ke dalam hingga napas Dita terasa memendek. 

Tolong!

***

Bersambung ke Chapter 5

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status