Share

Chapter 5 : The Airport

I can't take my eyes off you

I can't take my eyes off you

Did I say that I loathe you?

Did I say that I want to leave it all behind?

I can't take my mind off you

I can't take my mind off you

Damien Rice

(The Blower's Daughter)

***

"Saya tidak tahu, Dokter. Tadi, Dita sempat mengenali saya dan juga Ayah. Benarkan, Yah?" Dika dengan raut lelah yang tampak jelas mulai menjelaskan kepada Dokter yang bertanggung jawab atas Dita.

"Iya, benar. Dita bahkan memeluk kami," kata Pak Nyoman, mengiyakan sambil mengangguk dengan raut bingung.

"Apa pemicunya?" tanya Ibu Dokter.

"Pemicu?" Dika balas bertanya kebingungan. Mana mungkin dia bisa tahu bukan?

"Apa yang dia lihat sebelum dia seperti itu?" Dokter memperjelas kembali kalimatnya agar mereka bisa mengerti.

Dika mengangguk paham, buru-buru mengeluarkan cincin dari kantongnya.

"Jangan pernah tunjukan itu lagi padanya!" tegas Dokter setelah mengamati cincin itu sejenak.

Dika dan Pak Nyoman saling berpandangan satu sama lain kemudian menghela napas panjang.

"Dok, sampai kapan anak saya berhenti ... dengan kondisi seperti itu." Suara Pak Nyoman terdengar bergetar.

Kini pandangan mata Dita tampak kosong tanpa kehidupan. Air matanya hanya terus bergulir tanpa bisa ditahan. Diam, tak bersuara.

"Saya tidak bisa menjawab, Pak. Nanti saya akan merekomendasikan psikiater rumah sakit ini secepatnya," kata Dokter, mengatakan apa yang dia pikirkan secara jujur.

Pak Nyoman kembali menangis terisak hingga kehilangan kekuatannya untuk bangkit. Gayatri yang sejak tadi duduk di sebelah Dita, segera berlari memapah tubuh Pak Nyoman menuju kursi. Dika yang melihat itu hanya mematung.

Lina yang berada dalam ruangan perawatan melangkah keluar, berjalan menuju Ismi yang sejak tadi hanya bersandar di dinding.

"Ah, aku tak kuat di dalam, Mi. Sesak rasanya," ujar Lina kepada Ismi yang masih termenung.

Ismi menghela napas panjang. "Kayaknya baru kemarin kita lihat Kak Dita dan Kak Dika bahagia banget. Kita nggak tau hidup bakal bawa kita ke mana."

Saat itu, Ismi melihat sepasang ibu-ibu mencuri-curi pandang ke arah kamar perawatan Dita.

"Heh! Heh! Kalian sedang apa? Ini bukan tontonan!" Ismi membentak hingga keduanya tersentak kaget.

Dengan langkah lebar dan cepat, keduanya pergi dari sana.

"Ih,lingkungan kita sudah nggak aman ya, Jeng," kata Ibu-ibu berambut Dora dan kacamata kucing yang dikenakannya.

"Mbaknya sekarang jadi gila, ya. Korban perkosaan? Aduh merinding saya. Saya nggak berani pulang malam jadinya, Bu." Ibu-ibu dengan hijab berciput ala Hetty Koes Endang pun menimpali ngeri.

"Jeng, lihat ini apa yang saya dapet di timeline. Nggak jauh dari sini juga Jeng kejadiannya." Ibu dengan rambut Dora menunjukkan berita di smartphone-nya ke arah Ibu seperti Hetty Koes Endang.

Menit.com

Dua orang pria meninggal dengan luka tembak di kepala di tebing Bali. Diduga sepasang kekasih.

"Astagfirulloh, aduh zaman sekarang ada-ada aja. Ckckck." Ibu Hetty Koes Endang menggelengkan kepala dengan raut tidak percaya.

"Memang kayaknya harus ada upacara tolak bala di daerah ini ... eh aduh—" Si Ibu Dora menghentikan ucapannya karena bahunya tersenggol oleh Heon dan Meredith yang sedang berlari ke dalam.

"Joesonghabnida (Maaf)," ujar Heon lalu kembali berlari masuk ke dalam dengan langkah lebar.

"Nggak bisa marah aku kalau yang kayak begini," kata Ibu Dora dengan sudut bibir terangkat.

"Emang kenapa, Jeng?" tanya Ibu Hetty

"Nggak ngerti artinya," jawab Ibu Dora yang sontak membuat ledakan tawa keras di antara mereka

"Bagaimana ... Kak Dita ... kenapa ... WA nggak dijawab ...." Heon berkata terengah-engah dengan napas memendek.

"Buruk." Lina menjawab, menghindari pandangan langsung ke arah mereka berdua.

"Still unconsious? What is happening to her? Why nobody tell us," keluh Meredith setelah memperhatikan kondisi sekitar.

Ismi kemudian menjelaskannya dengan nada yang diturunkan serendah mungkin agar tidak terdengar oleh orang lain selain mereka.

"Tiba-tiba Kak Dita berteriak-teriak, lalu diam secara mendadak. Tak bereaksi terhadap apapun sampai sekarang," cerita Ismi dengan nada berbisik.

Hening. Tidak terdengar jawaban apapun karena mereka terdiam cukup lama.

"Apa yang bisa kita lakukan?" Heon bertanya, memecah kesunyian yang terjadi sejak tadi.

"Menunggu ... kayaknya," jawab Lina penuh keraguan.

Ibu Yeo Bin melangkah dengan segera menuju ruang perawatan Dita. Tidak ketinggalan, Pengacara Kim turut serta berjalan di belakangnya dengan langkah sama cepatnya.

"Pak Nyoman?" Ibu Yeo menyapa. Dia melangkah memasuki ruang perawatan, duduk di sofa. Ibu Yeo bisa melihat kepala pak Nyoman tengah bersender di bahu Gayatri.

Gayatri yang menyadari keberadaan Ibu Yeo segera memberi sinyal kepada Yeo Bin untuk tidak bicara padanya. Tentu saja karena kondisi Pak Nyoman sedang tidak baik-baik saja.

Pengacara Kim hanya berhenti sampai daun pintu. Dia kemudian memilih  tersenyum pada Gayatri. Gayatri tidak membalasnya sama sekali.

Berpaling ke arah ranjang, Ibu Yeo menemukan Dita dalam kondisi yang sudah sadarkan diri. Dengan senyum gembira, beliau segera mendatangi Dita.

"Dita. Dita perkenalkan nama saya Ibu Yeo," kata Ibu Yeo dengan ramah. Akan tetapi, Ibu Yeo melihat ada yang sesuatu yang salah dengan wanita yang berada di ranjang itu. Pandangannya terus menatap lurus ke depan.

Ibu Yeo memandang Dika yang kemudian langsung mengalihkan pandangannya dengan kening berkerut. Ia lalu kembali lagi melihat Dita dan membelai rambutnya penuh cinta.

"Nak Dika, Nak Dika pulang lah. Biar saya yang jaga Dita," ujar Ibu Yeo.

Dika terus memainkan genggaman Dita erat, pura-pura tidak mendengar ucapan Ibu Yeo.

"Ibu Yeo benar Dika. Kau sudah dari kemarin di sini. Setidaknya pergi ke kantorlah. Jaga reputasimu di sana. Kau tahu Dita nggak suka kamu bolos kantor," tegas Pak Nyoman sembari memandang pria itu dalam.

Dika menengok ragu. Terdiam cukup lama sampai akhirnya berkata, "Ibu, mohon jaga Dita, ya."

"Tentu, Nak Dika. Saya justru senang bisa jaga Dita. Kita harus lebih saling mengenal." Kemudian Ibu Yeo menengok ke arah Dita yang masih menatap kosong, "Ya? Nak Dita, ya?" sambil tersenyum manis.

"Pak Nyoman juga pulanglah, Pak. Biar saya yang jaga Dita. Itu juga ... oh iya, saya perkenalkan ini Pengacara Kim. Teman saya," kata Ibu Yeo, menunjuk Pengacara Kim yang sejak tadi menunggu di daun pintu.

Pengacara Kim langsung membungkuk sopan. "Nice to meet you all."

Mendengar itu, Pak Nyoman langsung bangkit dari sofa kemudian mendatangi Pengacara Kim "Bisakah Bapak membantu anak saya?" tanya Pak Nyoman sembari menjabat tangannya sungguh-sungguh.

"Keuneun Kim ssiga ttal-eul doul su issdago malhaessda?" Ibu Yeo mencoba menerjemahkannya kepada Pengacara Kim.

"Oh sure. I will help you the best as I can," jawab Pak Kim, mencoba meyakinkan.

"Terima kasih, Pak Kim. Terima kasih." Pak Nyoman kembali menjabat tangannya dengan penuh rasa syukur. "Berapa lama Pak Kim di Bali?"

"Ballieseo Kim ssineun eolmana olae?" Ibu Yeo kembali menerjemahkan.

"For quite a long time. I want to follow this case. I have few lawyer Indonesian friends. I'm sure I can consult few things with them," jawab Pak Kim, lagi-lagi mencoba meyakinkan Pak Nyoman.

Hati Pak Nyoman mendadak sedikit terobati ketika mendengarnya.

"Ayo pulang dulu, Pak. Bapak belum makan juga. Nanti saya masakin yang bapak mau. Bapak, 'kan,  jarang libat saya masak yang susah-susah." Dengan bercanda, Gayatri membujuk Pak Nyoman sampai pria tua itu tersenyum kecil.

Akhirnya Pak Nyoman berhasil tersenyum.

"Ya, 'kan? Oh, di depan ada teman-temannya juga." Gayatri beranjak keluar dan memanggil murid-murid Dita yang lain.

"Dika, Pak Nyoman, dan aku mau pulang. Kalian bisa temani Dita dan Ibu Yeo?" tanya Gayatri kepada Lina, Ismi, Heon, dan Meredith yang berada di depan ruangan.

"Siap, Tante. Lagi gabut juga hari ini," jawab Lina polos, tidak mengerti kalau Gayatri benci dipanggil tante atau ibu seperti itu.

Lina baru mengerti itu setelah melihat raut muka Gayatri berubah. "Eh, maksud aku kakak. Hehe." Lina buru-buru mengkoreksi kata-katanya.

Tak lama setelah Pak Nyoman, Dika, dan Gayatri pergi, Ibu Yeo memanggil murid-murid Dita untuk menceritakan pengalaman lucu bersama Dita. Ibu Yeo yakin itu akan membantu Dita menuju kesadarannya.

Pengacara Kim melihat betapa kontrasnya pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Kehampaan wajah Dita terlihat sangat jelas jika dibandingkan keceriaan dan tawa dari Ibu Yeo dan kawan-kawan Dita yang lain.

Dia akhirnya memutuskan untuk undur diri. "Ibu Yeo, saya permisi dulu, Ibu. Saya ada urusan," pamit Pak Kim dengan sopan.

"Iya tak apa, Pak. Terima kasih untuk bersedia membantu Pak Nyoman," jawab Ibu Yeo.

Pengacara Kim terburu-buru pergi ke mobil kemudian melakulan video call dengan Hyuk.

"Iya, Paman Kim?" balas Hyuk setelah panggilan tersambung.

"Hyuk, tolong panggilkan Kyung Soo dan Bo Hyun," ujar Pengacara Kim.

"Iya, kami sudah siap. Paman ada berita apa?" tanya mereka yang telah bersiap-siap di depan smartphone milik Hyuk.

"Mungkin kalian agak lega dengan berita ini." Pengacara Kim mengembuskan napas dengan senyuman.

"Apa, Paman?" tanya Bo Hyun yang benar-benar penasaran mendengar penuturan Pengacara Kim.

"Dita belum bicara dengan siapapun. Dia telah menjadi gila," jawab Pengacara Kim.

"Apa, Paman?!" Hyuk berteriak kaget. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. 

"Iya, aku melihatnya sendiri. Tatapannya begitu kosong. Dia tak bergerak, terkadang menangisnya hanya air mata saja," jelas Pak Kim sembari mengingat apa yang dia lihat di ruang rawat inap tadi.

"Ah, syukurlah!" Bo Hyun yang tengah berjalan mondar mandir itu mengembuskan napas lega sementara Hyuk justru terdiam.

"Jadi kalian bersiaplah. Besok pagi, kalian akan meninggalkan negara ini. Aku akan beritahu Jihoon setelah ini," perintah Pak Kim, pria tua itu kembali melanjutkan, "Setelah kalian di Korea, aku akan memantau situasi ini sampai kiranya aman. Nanti aku akan beritahu kalian."

"Terima kasih, Paman. Tanpa paman, kami tak tahu harus bagaimana," kata Kyung Soo diikuti helaan napas lega.

"Saya juga, paman. Saya biisa saja mati di tangan ayahku sendiri," saut Bo Hyun dengan senyum lebar di wajahnya.

Hyuk yang sejak tadi masih dalam keadaan terdiam itu tidak berkata apapun sampai akhirnya Kyung Soo menyikutnya keras.

"Ah, iya. Saya juga berterima kasih," ujarnya datar.

"Ckck, Hyuk, kau benar-benar tak tahu diri." Paman Kim sangat menyayangkan ketidaktahudirian Hyuk. "Ya sudah, jalankan apa yang sudah saya katakan, mengerti?"

"Mengerti, Paman! " Mereka menjawab bersamaan dengan begitu tegas dan tanpa keraguan.

Setelah panggilan terputus, Paman Kim lalu mencoba video call dengan Jihoon namun gagal. Kemudian tak lama kemudian muncul pesan WA dari Jihoon,

"Wa atau telpon saja. Aku tidak terbiasa dengan video call. "

Cih ... Benar-benar. Akhirnya, Pengacara Kim memutuskan untuk menelepon Jihoon.

"Kau di mana, Jihoon?" tanya Pengacara Kim setelah panggilan tersambung.

"Di kamar," jawab Jihoon singkat tanpa mencoba menjelaskan lebih lengkap lagi.

Pak Kim kemudian menjelaskan keadaan Dita secara rinci dan menegaskan ulang rencana untuk kembali ke Seoul besok pagi.

Jihoon yang mendengar itu semua merasa sangat lelah. Lelah akan rasa bersalah yang terus mengusik hidupnya. Lelah karena harus menuruti perintah orang lain.

"Kau sudah beritahu ibumu mengenai rencana ke Seoul?" tanya Pak Kim, kembali bertanya karena Jihoon lebih memilih diam sejak tadi.

"Belum," jawabnya singkat.

"Kau tetap stick to the plan, 'kan? " tanya Pak Kim curiga dengan tingkah aneh Jihoon saat ini.

"Tetap, Paman."

"Bagus kalau begitu. Sebelum matahari terbit, kau sudah harus ke penginapanku. Siapkan segala yang diperlukan. Okay." Pengacara Kim segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban Jihoon lebih lama lagi.

Memandangi pintu kamarnya, Jihoon kembali berpikir dalam diam. Kalau pintu itu tertutup dan orang bilang tidak boleh masuk,  apakah aku tidak akan masuk? Jihoon ... apakah kau yang memegang kendali atas dirimu sendiri?

Jihoon mengembuskan napas, dia menyambar kunci motor, lalu melesat pergi. Tidak lama kemudian, Jihoon sampai di rumah sakit. Ia lantas menghubungi ibunya.

"Ibu di kamar nomor berapa? Ruang apa?" Tiba-tiba Jihoon bertanya hingga membuat Ibu Yeo kebingungan.

"Jihoon, kau mau ke mari? E ... Ruang Anyelir nomor 201," jawab Ibu Yeo dengan kening berkerut dalam.

Setengah berlari, Jihoon melangkah ke lantai atas. Membaca tiap plang petunjuk dengan sorot sayu. Lalu sampai lah ia di pintu 201. Jihoon tentu tahu apa resikonya jika Dita mengenalinya sekarang. Menghirup napas dalam, dia akhirnya membuka pintu.

Karena pintu terbuka secara tiba-tiba, Ibu Yeo dan para gadis yang berada dalam ruangan tersentak kaget. Jihoon berjalan mengitari ranjang sampai ke tempat ibunya duduk.

"Ibu." Netra sayu Jihoon menatap ke arah Ibu Yeo kemudian ganti menatap ke Dita. Para gadis langsung melihat ke arah Ibu Yeo dengan mata melebar.

"Ibu?!" Lina berbisik ke arah Ismi dengan mata melebar. "Calon mertua sendiri nggak tau, gimana sih gue?" Lina berbisik lagi hingga dia akhirnya dia mendapatkan pukulan gemas Ismi di lengannya.

Dita apakah kau benar-benar tidak menyadari kehadiranku? Ternyata kesaksian Paman Kim benar adanya. Netra Jihoon terus saja memandang ke arah Dita yang tetap menatap sekelilingnya kosong.

"Jihoon-eun keopi syob-eul dolboji anhseubnikka? (Jihoon, kamu nggak jaga Coffee Shop?)" tanya Ibu Yeo, mengerutkan kening heran karena melihat keberadaan Jihoon di Rumah Sakit.

"Imi gyeongbiwon-i issseubnida. Naneun danji iteul dong-an eomeoniui gwansim-eul kkeul-eossdeon geos-eulbogo sipda. (Sudah ada yang jaga. Aku cuma ingin melihat apa yang menyita perhatian ibu, dua hari ini)."

"Ih, kok pada pakai bahasa Korea, sih. Aku, 'kan, nggak ngerti," bisik Lina kepada Ismi. Ismi memutar bola mata jengah, menyuruh Lina untuk membaca gerak bibirnya yang berkata 'BACOT'

Lalu gantian Lina yang memukul lengan Ismi keras-keras.

"Son-i wae geulae? (Ada apa dengan tanganmu?)" Ibu Yeo mengerutkan kening ketika menyentuh lengan bawah Jihoon yang dibalut perban dengan begitu erat.

"Geunyang tteugeoun mul-e maj-a. (Cuma kena air panas)," Kata Jihoon, menarik tangannya agar Ibu Yeo tidak memperhatikan tangannya lagi.

"Ya ampun, tangan Kak Jihoon luka. Kenapa, Kak?" Lina yang belum menyerah, mulai melancarkan aksinya.

"Cuma kena air panas. Nggak kenapa-kenapa. Sudah diobati," jawab Jihoon, mencoba menghilangkan semua perhatian yang tertuju padanya.

"Ibu, Dita sudah makan?" Tiba-tiba Jihoon bertanya dalam bahasa Indonesia.

"Belum." jawab Ismi. "Jam berapakah sekarang?" Dia menengok ke arah jam melihat sudah jam 12.00. "Ah iya, sudah waktunya ya. Saya tanya suster dulu. Sekalian saya sholat. Permisi ya."

Ibu Yeo dan para gadis yang berada dalam ruangan mengangguk paham.

Heo bisa melihat ada yang tak biasa dengan Jihoon. Cara dia memandang Dita, mata itu tak bisa berbohong.

"Jihoon, excuse me. Do you know where is your friend? The one at the Coffee Shop?" Meredith bertanya mengenai Hyuk yang sebelumnya menarik perhatian dirinya.

"He has already back to Korea," Jawab Jihoon datar.

"Oowh."Mendengar itu, Meredith tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

Tidak lama kemudia, terdengar suara troli ditarik. Seorang perawat berbaju biru muda membawa baki nampan, makanan, minuman, dan obat untuk Dita.

"Nah, yang ditunggu sudah datang," Kata Ibu Yeo dengan mata berbinar. "Dita, makan,  ya." Ibu Yeo menyendokkan makanan ke mulut Dita dengan hati-hati, namun sayangnya, Dita tidak mengunyahnya.

Perawat juga berdiri di situ sejak tadi, mengamati Dita yang masih termenung.

"Ibu, biar aku coba," ujar Jihoon mencoba mengambil alih sendok di tangan Ibu Yeo. Menyendokinya sekali lagi, namun bulir nasi malah jatuh di selimut.

"Aduh, bagaimana ini?" tanya Ibu Yeo dengan raut khawatir.

"Saya laporkan Dokter, Bu." Perawat yang sejak tadi menunggu di sana mengangkat piringnya. Memasukkan baki dan piring ke dalam troli kemudian melangkah keluar ruang inap.

"Permisi, siapakah namamu?" Jihoon bertanya pada Lina yang sejak tadi berada di tempatnya.

"Lina." Jantung gadis itu berdebar dengan brutal ketika menjawab.

"Lina, tau kah di mana biasanya Dita dan kekasihnya keluar makan? Apa menunya?" tanya Jihoon. Pertanyaan yang sangat di luar dugaan.

"Ooh, biasanya sih nasi goreng seafood di pantai Sanur," jawab Lina yang merasa kecewa dengan pertanyaan Jihoon.

"Bisa tolong kirim alamatnya? Berapa no WA-mu?" tanya Jihoon lagi.

Lina tersenyum kecil. Well, setidaknya aku dapat nomor WA-nya.

Bangkit berdiri, Jihoon segera pamit pada Ibu Yeo.

"Eodi gani? (Mau kemana?)" tanya Ibu Yeo dengan kening berkerut dalam.

"Bokk-eumbab-eul sada. (Beli nasi goreng.) Oh ya, kalian sekalian mau titip nggak?" tawar Jihoon sembari menatap murid Dita secara bergantian.

"Mau, mau, mau!" teriak para gadis dengan antusias berlebih.

"Oke, 7 bungkus, ya. Ibu juga, 'kan?"

Ibu Yeo mengangguk sambil tersenyum ketika mendengar pertanyaan anaknya itu.

***

Duduk di atas closet, Hyuk menguncang-guncangkan kakinya dengan ragu. Lalu, dia berdiri kemudian menatap dirinya sendiri di cermin.

Dia tidak selemah itu, aku yakin.

Bersiap memegang pisau cukur, Hyuk kembali berkata pada dirinya sendiri.

Everything will move as the plan. You have to believe in yourself. Just think the result, the dream.

Tersenyum lebar, Hyuk melanjutkan bercukur.

***

Terdengar suara pintu ruang rawat yang terbuka dan saat itu juga, Jihoon melangkah masuk ke dalam ruangan.

"Yang ditunggu sudah datang," kata Ibu Yeo Bin dengan raut senang.

Jihoon menyisihkan dulu untuk Dita, kemudian dia membagi-bagikan kepada yang lain.

"Yang pedas karet dua," kata Jihoon tanpa ditanya.

Heo dan Ismi mengambil yang karet dua sementara Heo dan Meredith pindah ke sofa.

Sambil membuka bungkus nasi gorengnya, Ibu Yeo berkata,"Nah, Nak Dita, makan dulu ya."

"Ibu, biar saya aja yang suapi Dita." Jihoon tiba-tiba berkata begitu hingga Ibu Yeo, Ismi, dan Lina tersentak kaget.

Setelah mengambil kursi,  dia mengambil alih nasi goreng milik Dita. Tangan Jihoon mulai menyendokkan nasi ke mulut Dita.

Semua perhatian sekarang tertuju kepada Dita yang masih mematung.

Apakah dia akan mengunyahnya?

Ya. Dia mengunyahnya

Ibu Yeo, Lina, dan Ismi bertepuk tangan dengan antusias. Meredith dan Heo bahkan mendatangi ranjang karena penasaran. Lalu dia turut senang karena Dita akhirnya makan.

Jihoon menyendokkan nasinya sekali lagi dan Dita mengunyahnya lagi.

Raut wajah Jihoon terlihat senang.

Heo menggandeng tangan Meredith menjauh.

"I think Jihoon likes Dita," bisiknya pada Meredith. Meredith mengembuskan napas lalu menggeleng.

"He is. Can you see his eyes? " kata Heo penuh keyakinan.

Tidak hanya Heo yang merasa begitu. Sebenarnya Lina juga kurang menyukai perlakuan baik Jihoon ke Dita.

"Aduh." Tiba-tiba Lina memegang pergelangan tangannya sendiri.

"Kenapa lo, Lin?" tanya Ismi dengan kening berkerut.

"Nggak tau nih, Mi. Tiba-tiba tanganku sakit. Jihoon, aku nggak bisa makan sendiri. Tolong suapi aku," kata Lina sambil membuka mulutnya dengan sorot berbinar di matanya.

Mata Ismi melotot mendengar itu.

"Nggak usah, Jihoon. Biar aku yang jejali mulutnya," kata Ismi, melirik Lina geram.

Ibu Yeo terkikik melihat kelakuan para anak gadis di depannya.

Seorang perawat  mendadak datang karena harus mengecek infus.

"Hei, itu makanan dari luar ya? Nggak boleh Gus (panggilan laki-laki), Gek (panggilan perempuan)."

"Boleh kok, boleh." Dokternya Dita juga datang ke dalam ruang rawat.

"Saya dengar Dita nggak mau makan. Akan tetapin sekarang saya melihat ini," kata Dokter dengan sorot kagum.

"Ah iya, Ibu Dokter. Anak saya yang usul untuk membelikannya makanan yang biasa dimakan oleh Dita dan tunangannya." Ibu Yeo menjelaskan dengan raut gembira.

"Wah, bagus itu. Memang sekarang dia ada di dalam pikirannya sendiri. Reaksi hanya bisa didapat dari apa yang sudah familiar darinya," jelas Ibu Dokter kepada mereka semua.

"Dokter tahu apa yang bisa membuat dia tersadar?" tanya Jihoon hati-hati.

"Ini terlalu beresiko. Tapi mungkin sesuatu yang membuat dia terkunci di pikirannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada kejadian itu."

Jihoon kembali terdiam.

"Suster mulai besok tidak usah diberi menu rumah sakit lagi, ya. Cukup diberi obat saja. Nanti saya yang akan tulis rekomendasinya."

"Baik, Dok."

Setelah dokter dan perawat beranjak keluar dari ruangan, Jihoon segera menyampaikan keinginan untuk pergi ke Korea besok.

"Mueos ttaemun-e? Keopi syob-eun eottaeyo? (Untuk apa? Bagaimana dengan Coffee Shop?)" tanya Ibu Yeo dengan kening berkerut dalam.

Kenapa diputuskan mendadak sekali.

"Sa-eob-eul wihae, eomeoni. naneun ttohan olae gaji anh-eul geos-ida. (Untuk bisnis, Ibu. Lagipula saya tidak akan lama di sana)," jelas Jihoon.

"Keopi syobdo machangajiibnikka? Hwag-in. Hwag-in. Naneun dangsin-eul meomchuji anh-eul geos-ibnida. (Apakah untuk Coffee Shop juga? Baiklah. Baiklah. Aku tidak akan menghalangimu.)" Ibu Yeo akhirnya mengizinkan  Jihoon untuk pergi.

***

"Kita berangkat, Paman." Hyuk segera menelepon Pengacara Kim dari dalam Grab Car yang tengah melaju.

"Ah, ya. Saya tidak bisa mengantar kalian karena saya sedang ada keperluan," kata Pak Kim di atas pangkuan seorang wanita. "Oh, Hyuk, coba perlihatkan mereka semua apa sudah lengkap."

Hyuk mengangguk, mengikuti perkataan Pak Kim, ia segera mengitari kamera. Memperlihatkan wajah Kyung Soo, Bo Hyun, dan Jihoon secara bergantian.

"Ah, ya, bagus. Tolong hubungi saya lagi setelah sampai Korea." Pengacara Kim mematikan video call-nya tanpa menunggu jawaban Hyuk. "It's about the angle, Honey." Kemudian ia kembali mencumbu wanita yang tengah bersamanya sejak tadi.

Sampai bandara mereka bergegas menurunkan bagasi. Berjalan menuju entrance petugas untuk mengecek identitas dan tiket penerbangan.

Melangkah memasuki check in bagasi, Jihoon berpikir, apakah itu adalah pintu yang ingin kau masuki Jihoon? Apakah jika pintu itu terbuka dan seseorang menyuruhmu masuk, apakah kau akan masuk?

Jihoon menghentikan langkahnya tanpa bicara.

Kyung Soo yang merasa aneh, segera menengok ke belakang.

"Aku tak bisa ...." Jihoon berkata lirih hingga Bo Hyun dan Hyuk menoleh dengan kening berkerut dalam.

"I can't take my eyes of her ...." Air matanya mulai menetes.

"I can't take my mind of her." Suaranya begitu parau hingga yang bisa Jihoon lakukan hanya berbalik dan berjalan menjauh.

"Kau tak bisa lakukan itu pada kami!"

Kyung Soo bergegas mengejar langkah pria itu.

"Jangan khawatir. Aku tak akan laporkan kalian." Jihoon tidak menoleh, ia terus saja berjalan lurus.

"Hyuk, apa yang terjadi?" Bo Hyuk berkata bingung ketika melihat apa yang terjadi di hadapannya.

Hyuk yang melihat itu hanya memilih diam.

"Kumohon, katakan padaku apa yang dia katakan?!" Bo Hyun berteriak frustasi karena pria di sisinya tetap memilih diam.

Tanpa bicara, Hyuk kemudian berbalik. Dia akhirnya meneruskan langlah ke arah Check in Bagasi.

"Aku nggak ngerti Bahasa Inggris!" Bo Hyun kembali berteriak frustasi, namun tidak ada seorang pun yang menjawabnya.

***

Di dalam Grab Car yang Jihoon naiki, lagu Damien Rice 'Blower's Daughter' mengalun sampai dia tiba di Rumah Sakit. Dia kemudian berjalan ke arah ruang perawatan. Saat pintu masuk dibuka dengan tiba-tiba, semua yang  di dalam ruangan tersentak kaget. Di sana ada Dika, Pak Nyoman, Gayatri, dan Ibu Yeo yang menatapnya bingung.

"Nak, bukannya kau harus ke bandara?" tanya Ibu Yeo dengan kening berkerut dalam.

Tidak mendengar perkataan Ibunya, Jihoon bergegas membuka perban yang melingkar di tangannya.

Semua yang berada dalam ruangan masih menatapnya tanpa bicara. Mereka tak mengerti apa maksudnya.

Jihoon mengembuskan napas, kemudian melangkah mendekati Dita. Memperlihatkan luka bekas gigitan yang Dita buat malam itu ke depan wajahnya.

Masih tanpa reaksi, Jihoon akhirnya mendekatkan luka itu ke bibir Dita.

"Apa yang kau laku—" Sebelum Dika sempat menyelesaikan kalimatnya, Dita terisak dengan tubuh bergetar hebat.

"Hah ... Hah ... Hah ... " Sekelebat adegan berputar di dalam kepala Dita tanpa bisa wanita itu cegah. Lalu netra sayunya menatap langsung ke arah Jihoon yang masih mematung.

"AAAAAAA!" Dita berteriak histeris. "Jangan bunuh aku! Kumohon jangan bunuh aku!" Wanita itu memberontak, berusaha berlari dari ranjang namun Dika menahan tubuhnya.

"Ada apa, Dita? Ada apa, Dita?!" tanya Dika dengan nada melengking panik.

Melihat Dika berada di dekatnya, Dita memeluknya erat sembari menangis terisak. "Dika, jangan pergi lagi ..." Dika juga balas memeluknya dengan erat.

Dokter datang ke ruangan dengan panik karena melihat Dita yang histeris. "Apa yang terjadi?!"

"Pergi, kau! Kumohon sembunyikan aku." Dita memohon dengan berlinang air mata pada Dika setelah menunjuk-nunjuk Jihoon yang tidak bicara apapun sejak tadi.

Dengan cepat, Dokter segera memeriksa luka fisik yang berada di lengan Jihoon. Dia mengembuskan napas kaget lalu segera beranjak ke luar kamar. "Tolong panggil keamanan dan telepon polisi!"

"Apa yang terjadi, Jihoon? Tolong jelaskan." Ibu Yeo menatap anaknya dengan kening berkerut bingung.

"Maafkan aku, Ibu," lirih Jihoon. Dia membiarkan tubuhnya diseret oleh petugas keamanan yang kemudian membawanya pergi menjauh dari ruang rawat inap. 

***

Bersambung ke Chapter 6

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
waah aku suka banget sama cerita romance yang kayak gini ... ngga sabar buat baca semua ceritanya~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status