Share

Misteri Bulan
Misteri Bulan
Penulis: Fidia Haya

Chapter 1. Penolong Misterius

“Anda penipu! Bukankah kemarin Anda menelpon saya, dan bilang bahwa saya telah diterima bekerja di sini. Kenapa sekarang tidak?!!” Suara Agil gemetar menahan amarah. Otot dadanya menyempit hingga lelaki kerempeng itu susah bernapas.

“Maaf, itu perintah atasan kami. Saya tidak bisa berkutik.” Lelaki botak itu lantas memberikan map merah pada Agil dengan wajah membantu.

 “Ini keterlaluan! Anda telah mempermainkan hidup saya,” ujar Agil. Dia berusaha membela diri dan memperoleh haknya.

Pria selaku Manager HRD itu melipat tangannya di depan dada. “Anda tahu jalan keluar kan? Maaf, saya masih banyak urusan,” ucapnya tanpa setitik simpati.

Agil mendengkus kesal, ingin sekali ia meraih gelas yang berisi kopi di atas meja tersebut lalu melemparkannya pada lelaki di hadapannya itu. Tapi… nyalinya ciut. Pria itu hanya bisa menunduk dan keluar kantor dengan raut merana.

Menyusuri trotoar, langkah Agil limbung melewati sekumpulan penjual kaki lima yang berderet menjajakan dagangan. Hatinya sangat sensitif. Ia muak mendengar sapaan dan senyuman para pedagang.

Senyum itu seolah mengejek dirinya untuk menerima kenyataan pahit tentang hidupnya. Ia kian frustrasi, hingga isi perutnya mendesak keluar dan memuntahkannya tepat di samping penjual bubur ayam yang sedang sibuk melayani pembeli.

 Penjual bubur ayam itu melotot pada Agil, “Waduh! Rugi bandar kalo begini. Lihat-lihat dong kalo mau muntah,” ujar penjual bubur itu dongkol karena pembelinya ngacir.

Agil menangkupkan kedua tangannya, minta maaf. Kemudian kembali berjalan sambil menertawakan nasibnya, “Hahahahaha, beginilah nasib orang miskin, punya predikat Cum Laude, tapi tak bisa membantu mendapatkan pekerjaan!” Pria itu terus berjalan tanpa tujuan hingga senja turun, membawa serta mendung tebal yang siap-siap tumpah.

Sedetik kemudian, titik-titik air hujan menampar tubuh pemuda ceking itu dengan kasar. Tubuhnya basah kuyup. Mata Agil memerah darah, menggerogoti seluruh emosi yang selama ini rapat disimpannya. “Apa yang harus ku katakan pada Ibu nanti?” gumamnya lara. Ia tak sanggup melihat ibunya bersedih.

Agil melemparkan mapnya ke selokan dengan murka. Map itu tersangkut pada tumpukan ranting pohon, di sebelah sepatu boots merah. Mulutnya terus menggerutu dan sesekali memaki, “Tuhan, aku muak dengan hidup ini!” Pikirannya buntu, dia merasa tak berguna.

Bertahun-tahun dalam dekapan kemiskinan, membuat dirinya terlampau lelah. Agil sudah putus asa menerima kemalangan dan ketidakadilan. Lantas, pria itu menyeret kakinya ke jembatan penyebrangan. Ia ingin mengakhiri perjalanannya di sana.

Pelan-pelan, ia menaiki tangga jembatan penyebrangan. Suasana di sekitar jembatan penyebrangan tampak sepi, meski begitu jalan di bawah sana tampak ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Saat tubuhnya menyentuh aspal, pasti mobil-mobil itu akan dengan cepat mengoyak tubuh kurusnya. Mungkin akan sangat sakit pada awalnya, tetapi kepedihan itu tidak akan berlangsung lama.

            “Ibu maafkan aku,” ucap Agil sedih. Diusapnya air mata yang mengalir deras di pipinya. Dia memejamkan mata dan bersiap melompat terjun dari jembatan penyeberangan. Ia berharap dengan tindakan ini semua masalahnya akan segera hilang.

Pria itu tidak akan lagi menanggung beban yang tak berkesudahan. Sungguh, ia bosan dengan kemelaratan. Dunia ini sangat tidak adil meski dirinya sudah berusahan dengan semua hal yang ia bisa.

Agil tertawa, “Tuhan, kenapa dunia tak adil? Aku udah mati-matian berusaha, tapi nggak pernah sekalipun berhasil!”

Agil kian dekat dengan batas jalan. Pria itu melihat pada padatnya lalu lintas jalan. Hanya dengan satu langkah, semua kemalangan dan kesialannya akan hilang. Setan di kepalanya terus merayu dengan penuh semangat, memberi gambaran jika mati adalah pilihan tepat.

“Ya, aku harus melakukannya,” gumamnya dengan seringai lebar, dia menarik napas panjang, sebentar lagi deritanya usai. 1…2...3 dia mulai menghitung.

Tapi… tiba-tiba benda keras menghantam kepalanya, membuat badan cekingnya terhuyung ke samping. Sebelum itu, dia melihat ada seorang gadis anggun menghampirinya dan memegang tangannya kuat. Rambut panjangnya menggelitik lembut pipi Agil. Semerbak harum bunga melati menyelimutinya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa.

            Agil tak ingat, berapa lama ia pingsan. Hingga samar-samar pria itu mendengar namanya dipanggil. Pelan-pelan pria itu membuka matanya. Cahaya lampu dan ruangan putih membuatnya kebingungan. “Apakah ini surga?” tanyanya serak. “Tapi, kenapa bau obat?” Lelaki itu menoleh ke kiri, tampak ibunya sedang menyusut air matanya. Dan di sebelah kanannya ia melihat sesosok laki-laki yang…

            Ibu memeluknya kuat. “Alhamdulillah Gusti, anak kesayanganku sudah sadar. Kami semua mengkuatirkan kamu!” kata Ibu lega.

“Kenapa aku di sini, siapa yang membawaku?” tanya Agil mengeluh. Dirinya kesal masih hidup.

“Arif yang menemukanmu. Apa kamu masih ingat Arif Wicaksono, sahabatmu dulu waktu SMP. Dia yang membawamu ke rumah sakit.”

            Agil mengangguk dan menyunggingkan senyum terpaksa, “Tapi di manakah gadis yang menyelamatkan aku, Bu?” tanya Agil gusar.

            “Lho, kok malah nanya orang lain. Setahu Ibu, yang menyelamatkan kamu adalah Arif.” Perempuan itu menoleh pada Arif, “Betul kan, Nak Arif?” Dia merupakan anak blasteran Jawa-Australia.

            “Iya, aku menemukanmu di tepi jembatan. Kepalamu terluka dan aku langsung membawamu ke rumah sakit. Setelah itu menjemput ibumu,” balas Arif. Ia menyandarkan tubuh atletisnya ke dinding. Meski tampak lelah, ketampanannya masih terpendar di wajah bulenya. Dia kelihatan gagah dengan setelan jeans, kemeja biru serta sepatu kets putih.

            Agil memejamkan matanya. Berulang kali mencerna kejadian semalam. Sebelum pingsan ia terkenang ada tangan seorang gadis yang mencengkram lengannya kuat agar ia tidak terjatuh dari jembatan penyebrangan. Ia yakin gadis itu yang telah menyelamatkannya, “Siapakah dia?” ucapnya mengambang.

            Pria itu membuang napas berat. “Terima kasih, Rif.” Hanya kata itu yang mampu diucapkannya. Dirinya belum rela, kenapa Arif tak membiarkannya tergeletak di sana dan mati kehabisan darah, supaya dia tak menyakiti hati ibunya. Tapi, kalimat itu tertahan di tenggorokan.

            “Kamu kenapa, Nak? Adakah beban yang memberatkan hatimu?” tanya Ibu dengan tatapan sayang. Dirinya tahu, ada sesuatu yang menghimpit dada anak lanangnya. Sehingga Agil selalu menghindari tatapan matanya.

Ada gerimis di mata Agil. “Mereka menipuku. Bu! Mereka memberikan posisiku untuk keponakan atasan mereka,” ungkap Agil geram. Kedua tangannya mengepal menahan emosi. Ia mengetahuinya secara tak sengaja saat berada di toilet.

“Sabar, Nak. Mungkin itu bukan rezekimu. Inshaallah nanti ada rezeki yang lebih baik.” Ibu mengelus tangan Agil, menutupi rasa gundahnya. Kesulitan-kesulitan yang mencambuknya, membuat perempuan berhati lembut itu terbiasa menghadapi dengan senyum, tanpa beban, tanpa complain. Semua diterimanya dengan legowo dan ikhlas.

            Sedangkan Agil, matanya terpaku pada sosok seorang gadis di belakang Arif. Wajahnya pucat, seperti mayat. Rambut ikalnya terurai panjang, serta poni yang dipotong rapi. Gadis itu menatapnya dengan tatapan sendu. Agil terus memperhatikan mulai dari atas hingga kakinya yang memakai separu boots merah. Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status