Rumah Agil tampak sunyi. Meski mentari telah menumpahkan sisa panas melalui daun-daun jambu air. Pohon jambu kesayangan Ibu, yang telah merekam sejuta memori di rumah sederhana itu. Bapak yang menanam pohon jambu, sebagai hadiah ulang tahun perkawinan mereka yang pertama. Mungkin karena dirawat dengan cinta, pohon ini selalu berbuah lebat.
Ibu suka membaginya ke tetangga. Tapi, ada pula tetangga yang masih kurang dan tidak malu mengambilnya tanpa permisi lalu menjualnya ke pasar. Agil pernah menegur mereka. Parahnya mereka tidak merasa bersalah. “Halah, wong cuma jambu air kok pelitnya minta ampun.”
Setelah itu, ia dan Ibu males menghadapi. “Biarin aja, mungkin mereka sedang butuh uang,” ujar Ibu gusar. Padahal saat itu Ibu sedang butuh uang untuk biaya berobat almarhum Bapak.
Sama seperti sore ini, ada 3 orang anak yang menyerbu pohon jambu di rumahnya. Agil hanya melihat mereka dari kamarnya, membiarkan mereka makan sepuasnya. Cahayanya kelihatan murung. Makanan yang disediakan Ibu belum disentuhnya sama sekali.
Beberapa kali pria itu terlihat menarik napas panjang.
“Kok melamun terus?” ucap suara perempuan di telinga Agil.
Pria itu menoleh. Ia terkejut melihat ada seorang perempuan di dalam kamarnya. Pria itu bergegas merapikan baju kotornya yang berserakan di lantai, lalu menaruhnya di keranjang di sudut kamar.
Gadis itu tersipu melihatnya.
“K-kamu… siapa? B-bagaimana kamu masuk ke sini?” tanya Agil gugup. Ia masih mengawasi gadis di depannya itu dengan seksama dan waspada. Wajah pucat yang dilihatnya di rumah sakit kemarin.
“Apa kamu ingat siapa aku?” balas gadis itu tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur Agil.
“Entahlah,” sahut Agil gusar. Otaknya diliputi pertanyaan, bagaimana gadis ini bisa masuk ke kamarnya? Ia sendirian di rumah karena Ibu dan Arif pergi sejak pagi. Mereka belum kembali.
Gadis itu mendengkus kesal. “Sepertinya kamu memang lupa! Baiklah, aku kasih clue kejadian di jembatan penyebrangan?” sindirnya tajam.
Pria itu memutar kedua bola matanya. “Apakah kamu yang memukul kepalaku?” tanya Agil, suaranya berat dan gelisah. Ia kesal karena belum mati.
Gadis itu menggeleng. “Aku tidak memukul kepalamu, yang benar adalah aku menarik lenganmu?”
Agil melengos. “Kenapa tak kau biarkan saja aku terjatuh! Pertolonganmu justru makin membuatku menderita. Aku capek hidup!” ucap Agil berteriak. Matanya melotot, tangannya mengepal menahan amarah.
PLAK! Tangannya menampar keras pipi kanan Agil.
Pemuda itu tak menyangka, mendapatkan perlakuan seperti itu dari gadis yang terlihat manis perilakunya.
“Dasar bodoh! Bunuh diri itu dosa. Apa kamu pikir setelah bunuh diri, masalahmu selesai, huh! Justru kamu menimbulkan masalah baru. Kamu akan menyiksa ibumu pelan-pelan karena kamu meninggal dengan cara sia sia begitu!” seru gadis itu tak kalah lantang dari Agil. Matanya menyiratkan kejengkelan pada pemuda di depannya itu.
“Sok tahu kamu! Untuk apa aku hidup, aku anak jahat, aku tak berguna. Aku juga miskin serta pengangguran. Siapa yang akan menangisi kepergianku?” kata Agil menantang. Pria itu gemas, gadis itu telah berani menggagalkan aksi bunuh dirinya. Ia dongkol harus kembali menghadapi realita hidupnya.
“Aku hanya ingin menyelamatkan kamu. Supaya kamu bisa meraih mimpi dan membahagiakan ibumu. Sedangkan aku tidak bisa, meski aku ingin melakukannya,” jawab gadis itu melunak. Suara tangisnya tersekat di kerongkongannya
Agil tercenung lama. Andaikan dia mati saat itu, Ibu akan menderita dan menangis berkepanjangan. Almarhum Bapak pasti akan kecewa di alam sana. Siapa yang akan menjaga Ibu jikalau sakit. Selama ini mereka berdua saling menjaga dan mengasihi.
Pria itu menunduk getir.
Ibu adalah harta yang paling berharga yang ia miliki di dunia ini. Perempuan yang tidak pernah mengeluh pada nasib. Dia selalu tabah meski hidup sering membuatnya menangis. Mata pria itu berkaca-kaca. Dia ingin membuat ibunya bahagia.
“Terima kasih, kamu menolongku,” ujar Agil lebih tenang. ”Siapa namamu?” sambungnya pelan.
“Bulan...” jawab gadis itu lembut, tangannya menyibak poni di dahinya.
“Aku Agil,” sela Agil parau. Matanya malu-malu menatap Bulan.
Bulan tertawa, “Siapa yang nanya?” candanya riang. Ia berani membalas tatapannya. Pelan-pelan gadis itu menghampiri pria itu, kemudian mencodongkan mukanya dekat sekali ke muka Agil lalu tanpa diduga ia menempelkan bibir sensualnya pada pria di depannya dan mengulumnya dengan lembut.
Badan Agil menegang, ia tak dapat menolak serangan mendadak yang menaikkan hasratnya. Gerakan bibirnya kaku menerima ciuman pertamanya. Biarpun pelan ia larut dalam keindahan momen tersebut, kemudian membawa gadis itu ke dalam dekapannya.
“Hahaha… dasar anak nakal! Aku hanya mau memastikan kamu masih waras!” sosor gadis itu mendorong tubuh Agil. Ada rona merah di pipinya.
“Hei… kamu mengerjaiku,” kata Agil tergelak. Ia bermaksud menangkap gadis itu. Tapi Bulan terlalu lihai. Ia kini duduk di atas lemari dengan santai, badannya kelihatan ringan dan kaki menjuntai ke bawah. Agil terpana… “Bagaimana kamu bisa ke situ dengan mudah?”
Namun… konsentrasinya pecah. Ada suara derum mobil berhenti di pekarangan rumahnya. Agil melongok dari jendela. Arif keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk ibunya.
Ibu tampak sumringah dan cantik. Dia memakai pakaian baru, setelan kuning, warna kesukaan Ibu dengan motif bunga krisan putih. Rambut panjangnya tergelung rapi dan sandal selop anyar terlihat manis di kakinya.
Arif membantunya membawa tas belanja yang memenuhi tangan Ibu. Agil tersenyum kecut. Dia membukakan pintu untuk mereka. Pria itu menyibak perasaan cemburu yang merayap di hatinya.
Pikiran Agil kembali ke masa-masa SMP, di mana dia dan Arif sering menghabiskan waktu bersama. Arif anak orang kaya meskipun begitu ia betah berlama-lama di rumah Agil. Ibu menyukainya sejak lama. Anak itu memang pandai mengambil hati orang, termasuk Ibu.
“Maaf Gil, Ibu sampai lupa waktu, Nak Arif mengajak Ibu ke mana-mana tadi,” kata Ibu mengusap peluh di keningnya. Dia menoleh pada Arif. “Silahkan masuk, Nak Arif. Ibu mau masak sebentar untuk makan malam kita,” ajak Ibu gembira.
Agil mesem. Dia membantu Arif memasukkan barang belanjaan Ibu ke dalam rumah.
Arif masuk dan menepuk pungung Agil. “Bisakah kita bicara sebentar?” pintanya antusias. Pria itu berdehem. ”Aku sedang membangun perusahaan startup di bidang pertanian, dan butuh orang untuk membantu mengembangkan perusahaan tersebut. Apa kamu mau bekerja bersamaku?” tanyanya mendalam.
“Serius?” tanya Agil antusias. Sinar kebahagiaan menerangi wajahnya
“Iya! Bukannya dari dulu aku serius,” ledek Arif. “Kerjanya mulai besok, gajinya 8 juta untuk 3 bulan pertama. Kalau performa kamu bagus, gajinya naik lagi. Aku sudah menyediakan motor untuk mobilitas kamu. Sebentar lagi motornya sampai.”
Agil bengong. Ia tak mengira, kemalangan yang diterimanya berubah menjadi berkah. “Aku nggak mimpi kan Rif.”
Mereka berdua tergelak.
Malam itu di rumah Agil suasananya ceria. Ibu, Agil dan Arif lahap menyantap masakan Ibu. Ada sayur bayam, sambal terasi, ikan asin jambal dan ayam goreng laos. Mereka tak henti bercerita.
“Gimana Australia, Nak Arif?” tanya Ibu sambil menggigit ayam goreng. Setelah perceraian orang tuanya, pemuda itu mengikuti papanya lalu mereka kehilangan kontak.
“Biasa saja. Tan,” jawab Arif merendah. “Enakan di sini, ada masakan Tante,” puji Arif, yang disambut tawa Ibu dan Agil.
“Ah, kamu bisa saja, Nak.”
Tiba-tiba Agil menghentikan tawanya. “Bagaimana kalo Ibu menjual makanan secara online?”
“Setuju?” sahut Arif. “Modalnya biar saya yang bantu nanti.”
“Nggak usah bro, kamu sudah terlalu baik sama kita,” balas Agil kalem. Dia ingin membuktikan dirinya bisa membahagiakan ibunya.
“Baiklah kalau itu maumu.” Arif meneruskan makanannya. Wajahnya berubah kaku menerima penolakan Agil.
Setelah Arif pulang. Agil merebahkan badannya ke kasur dengan perasaan puas. Esok dia bekerja dan segudang rencana bermain-main di otaknya.
“Jangan terlalu bahagia, Gil, hati-hati,” bisik Bulan lirih. Pria itu terbuai dalam mimpinya.
Pemuda itu menggeliat, menggulingkan badannya ke samping dan mulutnya menguap lebar. Matanya masih mengantuk tapi masih sempat melirik jam weker di atas mejanya. Jam 4 pagi. Pemuda itu melompat dari pembaringannya, menyiapkan peralatan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Dia tak mau datang terlambat.Perutnya mules, bergegas ia pergi ke kamar mandi yang berada di luar rumah. “Aduh!” Pria itu mengaduh. Kaki kirinya terantuk lumpang batu yang biasa Ibu pakai untuk menumbuk kopi. Di luar gelap gulita karena lampu penerangan di sana mati.“Hihihi… makanya kalau jalan jangan meleng dong.” Suara tawa perempuan membuat bulu kuduk pria itu berdiri tegak. “Kuntilanak sialan,” sungutnya dongkol. Tangan lelaki itu mencari kerikil di sekitar kakinya lalu melemparkannya pada bayangan putih di dekat pohon pisang. Bayangan itu masih di sana, diam.&n
“Sial!” rutuk Agil, saat mengetahui ban motor belakangnya kempes. Ada paku besar menancap disitu. Matahari sudah mulai turun, sebentar lagi gelap dan posisinya berada di tengah persawahan. jauh dari pemukiman penduduk.Ini sepenuhnya kesalahannya. Waktu berangkat tadi. Ia sudah tahu bannya agak kempes tapi ia tak peduli dan malas untuk mengecek. Agil memegang lehernya gelisah, sambil berpikir bagaimana membawa motor Yamahanya. Situasi begini, ia sangat mengharapkan kehadiran seseorang. “Perlu bantuan?” Pertanyaan yang entah darimana datangnya. Sepertinya datang dari arah belakang. Ia terperanjat hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terperosok ke parit. Sepatu ketsnya basah. Pria itu geram, merasakan air merembes di celana dalam dan blue jeans yang ia pakai. Konyolnya sekarang ia kelihatan s
Rumor teror hantu, rupanya telah menyebar di kantor iNiRice. Desas-desus miring adanya permintaan tumbal, membuat suasana mencekam. Produktivitas kerja menjadi lebih lamban, karena ada beberapa staff wanita yang kerasukan. Setelah itu mereka bersama-sama mengundurkan diri dengan alasan takut. Kejadian yang bertubi-tubi membuat emosi Arif naik. Kesalahan sepele bisa membuat amarah pria itu meledak.Sore itu, Agil hendak masuk ke ruangannya setelah seharian keliling melihat proyek pertanian yang mereka garap. Di depan pintu dia tercekat ketika mendengar suara tinggi Arif sedang memarahi seseorang. “Kenapa kopinya pahit? You punya telinga nggak?” Belum hilang kekagetannya. Dia menden
“Di sini pengap, aku kedinginan dan ketakutan, Gil.” Gadis itu menangis dan berjalan tertatih-tatih berusaha meraih Agil. Wajahnya kesi, sebagian daging pipinya terkelupas memperlihatkan tulang di dalamnya.“Tidak! Tidak! Aku tak bisa membantumu, Bulan!” teriak Agil histeris. Teriakannya membangunkan Ibu, Ibu menggoncang-goncangkan tubuh Agil. “Bangun Gil!” Keringat dingin membasahi tubuhnya, mimpinya tadi seperti nyata. Beberapa kali pria itu menarik napas dalam-dalam, Ibu mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Agil. “Maukah kamu menceritakan mimpimu pada Ibu?” kata Ibu. Dia bisa merasakan keresahan hati anaknya.
Agil merasakan perutnya melilit ketika melihat Arif berdiri di samping Ibu. Penampilan pria itu amat payah, baju kumal, muka brewok, mata kuyu serta rambut acak-acakan seperti zombie. Pemuda itu enggan bertemu Arif yang telah melecehkannya. Kakinya gelenyar, ia hendak menghindar, tapi tak enak dengan tatapan Ibu. Ketegangan mulai menyusup mengaliri darahnya. Tetapi dia paksakan untuk bersikap biasa saja. “Hi… apa kabar?” tanyanya basa basi. Agil menarik mulutnya ke atas membentuk senyum palsu. Arif tampak canggung, badannya kaku. Pria itu lebih banyak menunduk, seperti pesakitan menunggu vonis mati. “Maafkan kesalahanku Gil. Tolong kembalilah bekerja denganku, aku tak sanggup menangani iNiRice sendirian,” jawab pemuda itu terbata-bata, egonya runtuh berceceran. Kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Lelaki itu tertegun, dia tak menyangka problem iNiRice separah itu sejak kepergiannya. Ada 200 orang lebih yang menyandarkan hidupnya di sana.
“Kamu sudah jadi milikku, cantik, tak usah malu-malu ayo lepaskan pakaianmu!” bujuk Ronald penuh nafsu. Matanya liar menelusuri tiap jengkal tubuh montok di hadapannya. “Sabar dulu, Om, bukankah kita baru sampai, bagaimana kalau kita melakukan permainan dulu,” ucap Chandra menolak membuka bajunya. “Em, misalnya foreplay.” Bah! Memangnya permainan foreplay seperti apa? Apakah semacam permainan kartu, tebak-tebakan atau gundu… entahlah! Ia tidak tahu. Gadis itu menguping dan meniru apa yang di katakan Mba Sri dengan teman lelakinya. Mba Sri adalah saudara jauhnya yang mengajaknya mencari pekerjaan di kota. Sebagai gadis dusun, Chandra mengagumi penampilan Mba Sri yang wah. Ia seperti artis, kulit Mba Sri terawat dan selalu memakai bedak, make up tebal serta bulu mata lentik yang membuat mata
Mata Chandra lelah setelah memainkan hape pemberian Agil. Gadis itu menoleh ke samping ke ranjang teman sekamarnya. “Halo Tante,” sapa Chandra ramah ketika melihat tangan perempuan itu merapikan selendang biru yang dipakainya. Perempuan itu menoleh, wajahnya amat pucat dan badannya kurus. Mata mereka bertemu. Tanpa di duga wanita itu histeris saat melihat Chandra. Dalam hitungan detik perempuan itu sudah berada di sampingnya dan merengkuh kepala Chandra, lalu mendekapnya erat hingga membuat gadis itu susah bernapas.Jantung Chandta terkesiap. Perempuan itu menciumi Chandra dengan terus meratap. “
Sepulangnya dari rumah sakit, Agil melepas dan menendang sepatunya ke sudut kamar. Romannya murung, kedua alisnya menyatu menandakan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia lantas membaringkan tubuhnya ke pembaringan di atas tumpukan koran yang baru dibelinya tadi pagi. Ingatannya melayang-layang tak tentu arah, pertemuan yang tak sengaja dengan Chandra, Mirna, dan kemunculan Bulan di samping ranjang Mirna membuat otaknya berpacu keras. “Apakah antara mereka memiliki ikatan keluarga?” gumamnya lirih. Lelaki itu menghembuskan napas berat ke udara. Adalah Bulan, hantu cantik yang diam-diam mencuri hatinya dan menyiksanya dengan kerinduan. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia menyayangi seorang wanita selain ibunya. Kebalikan dari sifat Agil, Bu