Share

Chapter 2. Ciuman Pertama

Rumah Agil tampak sunyi. Meski mentari telah menumpahkan sisa panas melalui daun-daun jambu air. Pohon jambu kesayangan Ibu, yang telah merekam sejuta memori di rumah sederhana itu. Bapak yang menanam pohon jambu, sebagai hadiah ulang tahun perkawinan mereka yang pertama. Mungkin karena dirawat dengan cinta, pohon ini selalu berbuah lebat.

            Ibu suka membaginya ke tetangga. Tapi, ada pula tetangga yang masih kurang dan tidak malu mengambilnya tanpa permisi lalu menjualnya ke pasar. Agil pernah menegur mereka. Parahnya mereka tidak merasa bersalah. “Halah, wong cuma jambu air kok pelitnya minta ampun.”

Setelah itu, ia dan Ibu males menghadapi. “Biarin aja, mungkin mereka sedang butuh uang,” ujar Ibu gusar. Padahal saat itu Ibu sedang butuh uang untuk biaya berobat almarhum Bapak.

            Sama seperti sore ini, ada 3 orang anak yang menyerbu pohon jambu di rumahnya. Agil hanya melihat mereka dari kamarnya, membiarkan mereka makan sepuasnya. Cahayanya kelihatan murung. Makanan yang disediakan Ibu belum disentuhnya sama sekali.

            Beberapa kali pria itu terlihat menarik napas panjang.

            “Kok melamun terus?” ucap suara perempuan di telinga Agil.

            Pria itu menoleh. Ia terkejut melihat ada seorang perempuan di dalam kamarnya. Pria itu bergegas merapikan baju kotornya yang berserakan di lantai, lalu menaruhnya di keranjang di sudut kamar.

            Gadis itu tersipu melihatnya.

            “K-kamu… siapa? B-bagaimana kamu masuk ke sini?” tanya Agil gugup. Ia masih mengawasi gadis di depannya itu dengan seksama dan waspada. Wajah pucat yang dilihatnya di rumah sakit kemarin.

            “Apa kamu ingat siapa aku?” balas gadis itu tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur Agil.

            “Entahlah,” sahut Agil gusar. Otaknya diliputi pertanyaan, bagaimana gadis ini bisa masuk ke kamarnya? Ia sendirian di rumah karena Ibu dan Arif pergi sejak pagi. Mereka belum kembali.

            Gadis itu mendengkus kesal. “Sepertinya kamu memang lupa! Baiklah, aku kasih clue kejadian di jembatan penyebrangan?” sindirnya tajam.

            Pria itu memutar kedua bola matanya. “Apakah kamu yang memukul kepalaku?” tanya Agil, suaranya berat dan gelisah. Ia kesal karena belum mati.

            Gadis itu menggeleng. “Aku tidak memukul kepalamu, yang benar adalah aku menarik lenganmu?”

Agil melengos. “Kenapa tak kau biarkan saja aku terjatuh! Pertolonganmu justru makin membuatku menderita. Aku capek hidup!” ucap Agil berteriak. Matanya melotot, tangannya mengepal menahan amarah.

PLAK! Tangannya menampar keras pipi kanan Agil.

Pemuda itu tak menyangka, mendapatkan perlakuan seperti itu dari gadis yang terlihat manis perilakunya.

 “Dasar bodoh! Bunuh diri itu dosa. Apa kamu pikir setelah bunuh diri, masalahmu selesai, huh! Justru kamu menimbulkan masalah baru. Kamu akan menyiksa ibumu pelan-pelan karena kamu meninggal dengan cara sia sia begitu!” seru gadis itu tak kalah lantang dari Agil. Matanya menyiratkan kejengkelan pada pemuda di depannya itu.

“Sok tahu kamu! Untuk apa aku hidup, aku anak jahat, aku tak berguna. Aku juga miskin serta pengangguran. Siapa yang akan menangisi kepergianku?” kata Agil menantang. Pria itu gemas, gadis itu telah berani menggagalkan aksi bunuh dirinya. Ia dongkol harus kembali menghadapi realita hidupnya.

“Aku hanya ingin menyelamatkan kamu. Supaya kamu bisa meraih mimpi dan membahagiakan ibumu. Sedangkan aku tidak bisa, meski aku ingin melakukannya,” jawab gadis itu melunak. Suara tangisnya tersekat di kerongkongannya

Agil tercenung lama. Andaikan dia mati saat itu, Ibu akan menderita dan menangis berkepanjangan. Almarhum Bapak pasti akan kecewa di alam sana. Siapa yang akan menjaga Ibu jikalau sakit. Selama ini mereka berdua saling menjaga dan mengasihi.

Pria itu menunduk getir.

Ibu adalah harta yang paling berharga yang ia miliki di dunia ini. Perempuan yang tidak pernah mengeluh pada nasib. Dia selalu tabah meski hidup sering membuatnya menangis. Mata pria itu berkaca-kaca. Dia ingin membuat ibunya bahagia.

“Terima kasih, kamu menolongku,” ujar Agil lebih tenang. ”Siapa namamu?” sambungnya pelan.

“Bulan...” jawab gadis itu lembut, tangannya menyibak poni di dahinya.

“Aku Agil,” sela Agil parau. Matanya malu-malu menatap Bulan.

Bulan tertawa, “Siapa yang nanya?” candanya riang. Ia berani membalas tatapannya. Pelan-pelan gadis itu menghampiri pria itu, kemudian mencodongkan mukanya dekat sekali ke muka Agil lalu tanpa diduga ia menempelkan bibir sensualnya pada pria di depannya dan mengulumnya dengan lembut.

Badan Agil menegang, ia tak dapat menolak serangan mendadak yang menaikkan hasratnya. Gerakan bibirnya kaku menerima ciuman pertamanya. Biarpun pelan ia larut dalam keindahan momen tersebut, kemudian membawa gadis itu ke dalam dekapannya.

“Hahaha… dasar anak nakal! Aku hanya mau memastikan kamu masih waras!” sosor gadis itu mendorong tubuh Agil. Ada rona merah di pipinya.

“Hei… kamu mengerjaiku,” kata Agil tergelak. Ia bermaksud menangkap gadis itu. Tapi Bulan terlalu lihai. Ia kini duduk di atas lemari dengan santai, badannya kelihatan ringan dan kaki menjuntai ke bawah. Agil terpana… “Bagaimana kamu bisa ke situ dengan mudah?”

Namun… konsentrasinya pecah. Ada suara derum mobil berhenti di pekarangan rumahnya. Agil melongok dari jendela. Arif keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk ibunya.

Ibu tampak sumringah dan cantik. Dia memakai pakaian baru, setelan kuning, warna kesukaan Ibu dengan motif bunga krisan putih. Rambut panjangnya tergelung rapi dan sandal selop anyar terlihat manis di kakinya.

Arif membantunya membawa tas belanja yang memenuhi tangan Ibu. Agil tersenyum kecut. Dia membukakan pintu untuk mereka. Pria itu menyibak perasaan cemburu yang merayap di hatinya.

Pikiran Agil kembali ke masa-masa SMP, di mana dia dan Arif sering menghabiskan waktu bersama. Arif anak orang kaya meskipun begitu ia betah berlama-lama di rumah Agil. Ibu menyukainya sejak lama. Anak itu memang pandai mengambil hati orang, termasuk Ibu.

“Maaf Gil, Ibu sampai lupa waktu, Nak Arif mengajak Ibu ke mana-mana tadi,” kata Ibu mengusap peluh di keningnya. Dia menoleh pada Arif. “Silahkan masuk, Nak Arif. Ibu mau masak sebentar untuk makan malam kita,” ajak Ibu gembira.

Agil mesem. Dia membantu Arif memasukkan barang belanjaan Ibu ke dalam rumah.

Arif masuk dan menepuk pungung Agil. “Bisakah kita bicara sebentar?” pintanya antusias. Pria itu berdehem. ”Aku sedang membangun perusahaan startup di bidang pertanian, dan butuh orang untuk membantu mengembangkan perusahaan tersebut. Apa kamu mau bekerja bersamaku?” tanyanya mendalam.

“Serius?” tanya Agil antusias. Sinar kebahagiaan menerangi wajahnya

“Iya! Bukannya dari dulu aku serius,” ledek Arif. “Kerjanya mulai besok, gajinya 8 juta untuk 3 bulan pertama. Kalau performa kamu bagus, gajinya naik lagi. Aku sudah menyediakan motor untuk mobilitas kamu. Sebentar lagi motornya sampai.”

Agil bengong. Ia tak mengira, kemalangan yang diterimanya berubah menjadi berkah. “Aku nggak mimpi kan Rif.”

Mereka berdua tergelak.

            Malam itu di rumah Agil suasananya ceria. Ibu, Agil dan Arif lahap menyantap masakan Ibu. Ada sayur bayam, sambal terasi, ikan asin jambal dan ayam goreng laos. Mereka tak henti bercerita.

            “Gimana Australia, Nak Arif?” tanya Ibu sambil menggigit ayam goreng. Setelah perceraian orang tuanya, pemuda itu mengikuti papanya lalu mereka kehilangan kontak.

            “Biasa saja. Tan,” jawab Arif merendah. “Enakan di sini, ada masakan Tante,” puji Arif, yang disambut tawa Ibu dan Agil.

            “Ah, kamu bisa saja, Nak.”

            Tiba-tiba Agil menghentikan tawanya. “Bagaimana kalo Ibu menjual makanan secara online?”

            “Setuju?” sahut Arif. “Modalnya biar saya yang bantu nanti.”

            “Nggak usah bro, kamu sudah terlalu baik sama kita,” balas Agil kalem. Dia ingin membuktikan dirinya bisa membahagiakan ibunya.

            “Baiklah kalau itu maumu.” Arif meneruskan makanannya. Wajahnya berubah kaku menerima penolakan Agil.

Setelah Arif pulang. Agil merebahkan badannya ke kasur dengan perasaan puas. Esok dia bekerja dan segudang rencana bermain-main di otaknya.

“Jangan terlalu bahagia, Gil, hati-hati,” bisik Bulan lirih. Pria itu terbuai dalam mimpinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status