Share

Chapter 3. Teror

Pemuda itu menggeliat, menggulingkan badannya ke samping dan mulutnya menguap lebar. Matanya masih mengantuk tapi masih sempat melirik jam weker di atas mejanya. Jam 4 pagi.  Pemuda itu melompat dari pembaringannya, menyiapkan peralatan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Dia tak mau datang terlambat.

Perutnya mules, bergegas ia pergi ke kamar mandi yang berada di luar rumah. “Aduh!” Pria itu mengaduh. Kaki kirinya terantuk lumpang batu yang biasa Ibu pakai untuk menumbuk kopi. Di luar gelap gulita karena lampu penerangan di sana mati.

“Hihihi… makanya kalau jalan jangan meleng dong.”

            Suara tawa perempuan membuat bulu kuduk pria itu berdiri tegak. “Kuntilanak sialan,” sungutnya dongkol. Tangan lelaki itu mencari kerikil di sekitar kakinya lalu melemparkannya pada bayangan putih di dekat pohon pisang. Bayangan itu masih di sana, diam.

            Agil bersungut, hasrat ke belakangnya hilang. Dia kembali ke kamarnya selanjutnya ia hampir melompat melihat Bulan berada di kamarnya. Gadis itu duduk di kursi.

            “Etdah, kapan kamu masuk ke sini?” tanyanya keheranan. “Bulan, tolong pergilah! Aku tidak mau membuat Ibu jantungan melihatmu di kamarku.”

            Gadis itu menyeringai. “Jangan khawatir, semua aman. Ibumu tak bisa melihatku,” ujarnya santai sambil mengayunkan kaki jenjangnya.

            Ibu keluar dari kamarnya mengetuk pintu Agil. Dia melongok ke kamar putranya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Keningnya berkerut. “Ibu tadi dengar kamu berbicara dengan seseorang, apa Arif kembali lagi semalam?” tanyanya menyelidik.

“Temanku menelpon,” jawab Agil ragu. Khawatir Ibu akan bertanya lebih dalam.

            Ibu terlihat heran mendengar jawaban Agil. “Temanmu yang mana, bukankah kita tak punya telepon.”

            OMG! Agil lupa. Ibu bisa mengendus kebohongannya. Keringat di keningnya bergerombol. Sial! Umurnya 21 tahun, tapi ia masih seperti anak SD yang ketakutan karena ketahuan menyontek. Tubuhnya menjadi kikuk menerima tatapan Ibu.

            “Agil… kamu tak menyembunyikan sesuatu dari Ibu, kan?” keluh perempuan itu setengah menghardik. Ia tak suka anak lelakinya berbohong.

            “Oh… tentu saja tidak, Bu,” kata Agil gagap. Ia merutuki Bulan yang tertawa di samping Ibu yang tak bisa melihatnya. ”Tidurlah kembali, Bu. Aku tidak apa-apa.”

            Ibu mengiyakan, sebelum berbalik ke kamarnya ia berkata lagi.” Kamu tidak menyembunyikan perempuan di kamarmu kan?” Matanya masih menatap tak percaya.

“Soalnya Ibu tadi mendengar kamu menyebut nama Bulan. Siapa itu Bulan?” ungkapnya penasaran.

            Agil menghela napas. Percuma juga berbohong sama Ibu. Dia punya naluri kuat. “Gadis yang menyelamatkanku di jembatan.”

            “Jadi benar ada gadis yang menolongmu kamu? Di mana dia sekarang, Ibu pengen kenalan.”

            Agil menaikkan kedua bahunya. “Dia sudah pergi,” kilahnya. Pria itu memijat lehernya yang tegang. Matanya mencari ke sekeliling kamar. Bulan sudah pergi seperti hantu yang datang sesuka hatinya. Apakah dia memang hantu?

            Ekpresi Ibu menjadi datar. “Sepertinya, Ibu harus pergi ke rumah Ustad Sodiq. Rumah ini perlu di ruqyah.”

            “Tidak usah, emangnya Ibu punya uang?”

            “Heee… Ibu lupa. Apa kita cerita saja sama Arif. Ibu yakin dia punya solusi,’ usul Ibu dengan mata membulat.

            Agil mengalihkan pandangannya. Ia tak suka ibunya tergantung pada Arif. Dia memang baik. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, kemunculan pemuda itu yang mendadak masih membuat tanda tanya. “Tolong, nggak usah curhat apapun mengenai permasalahan di rumah pada Arif. Selama kita bisa, kita tangani masalah kita sendiri.”

            “Kok kamu berubah dingin begitu. Bukankah Arif itu sahabatmu. Ingat! dia telah memberimu pekerjaan,” ketus Ibu. Ia tak suka dengan ide Agil. Seketika raut wajahnya menekuk.

            Agil enggan berdebat, membiarkan percakapan itu menggantung.

            ***

            Kembalinya Arif ke Indonesia, membawa perubahan baru dalam kehidupan Agil. Kehidupannya semakin membaik. Setelah menerima ajakan Arif bekerja di iNiRice, perusahaan startup milik Arif yang bergerak di bidang pertanian.

            Indonesia adalah negara agraris. Ironisnya, keran impor terus membombardir negeri dan lambat laun menghancurkan hasil pertanian petani. Mereka kurang makmur di negerinya sendiri. Wajar bila mereka enggan meminta anak-anaknya mengikuti jejak mereka. Mereka memilih menjual sawah dan bekerja dengan orang lain atau menjadi pekerja di luar negeri. Hasilnya lebih kelihatan.

            Kenyataan itu yang membuat hati Arif berontak. Dia bertekad untuk menyelamatkan pertanian Indonesia dengan startup miliknya. Perusahaannya membeli beras dari petani dan menjualnya secara online maupun offline. Selanjutnya membuka lahan serta memberikan kredit lunak untuk petani.  Mereka membuat komunitas serta mengedukasi mereka untuk beralih menggunakan pupuk organik. Kerja keras mereka berdua kelihatan. Orang-orang tertarik dengan produk yang mereka jual.

            “Menurutmu, apa kita perlu menambah staff lagi?” tanya Arif sambil menikmati menu makan siang buatan Ibu, lothek.

            Agil menggeleng. “Jangan dulu, kita tunggu hingga 2 sampai 3 bulan ke depan,” jawab Agil, mulutnya penuh dengan lothek. Masakan Ibu memang tiada duanya.

“Sepertinya kamu kurang tidur, bro.” Arif memperhatikan pria itu dengan seksama. Lingkaran hitam terlihat jelas mewarnai mukanya. Badannya terlihat lesu, hanya sorot mata pria itu yang masih memancarkan semangat.” Apa perlu ku minta Pak Maman membuatkan double expreso buatmu?”

Agil menggeleng. “No, thank you. Sudah bergelas-gelas kopi ku minum dari pagi. Aku hanya sedikit kelelahan dan kurang tidur beberapa hari ini.”

“Sebaiknya meetingnya ku undur besok siang. Aku tidak mau partner terbaikku terkapar karena pekerjaan,” usul Arif. Ia tahu sudah beberapa minggu Agil tak mengambil libur.

            “Tidak perlu, meeting ini penting. Kalau aku ketiduran pas meeting, kamu tinggal putar musik dangdut keras-keras,” jawab Agil berkelakar. Semenjak sering berinteraksi dan nongkrong bersama petani di warung kopi, telinganya terbiasa mendengarkan musik dangdut.

Musik yang dipandang sebagai musik kampungan, murahan dan genre yang melekat pada masyarakat menengah ke bawah. Dulunya ia antipati karena ingin dianggap sebagai barisan kekinian. Lambat laun rasa itu pudar dan berganti dengan rasa bangga dengan musik dangdut sebagai musik khas Indonesia.

            “Hahahaha… ada-ada saja kamu. Tapi, em… setelah meeting selesai, ku sarankan kamu mengerjakan tugas dari rumah. Kamu harus nurut! Aku tidak mau mendengar omelan Tante gara-gara kamu sakit.”

            “Baiklah, aku setuju,” celetuk Agil. Arif benar, saat ini ia hanya butuh tidur. Tidur yang nyenyak tanpa memikirkan Bulan. Gadis misterius yang mengganggu pikirannya.

 “Apakah kamu pernah dekat dengan perempuan?” tanya Arif tiba-tiba sambil menyeruput kopinya.

            “Tentu saja!” celetuk Agil. Tumben Arif bertanya begitu padanya. Pria itu menautkan kedua alisnya. Ia sudah menyelesaikan makan siangnya.

            “Siapa?” tanya Arif setengah memaksa.

            “Bukankah, kamu sudah mengenalnya dengan baik?”

            “Oh ya, siapa dia? Aku tidak ingat sama sekali.” Arif mengernyitkan dahinya, seingatnya Agil belum pernah mengenalkan teman perempuannya. Selama ini mereka sibuk bekerja dan sering lembur bersama.

            “Ibuku, bukankah kamu sudah mengenalnya dengan begitu baik,” jawab Agil, tanpa perasaan bersalah.           

“Ahh… bukan itu, maksudku, teman dekat, teman kencan atau pacar,” protes Arif. Suaranya terdengar kesal sebab Agil masih suka mengolok-ngoloknya.

            Agil menggeleng.

            Arif tak percaya, semenjak mereka SMP, ia tahu Agil digandrungi oleh perempuan. “Serius? Sorry, kamu…em... straight kan?” Ia tak enak untuk melanjutkan. Kenapa ia jadi kepo? Stright atau bukan, toh bukan hak dia menjudge. Baginya bukan masalah, dia tetap menerima Agil apa adanya. Dirinya seperti ingin mengorek kehidupan pribadi sahabatnya.

            Arif menunggu dengan sabar.

            “Tentu saja aku straight, aku masih normal dan membutuhkan seorang wanita. Lagipula, you knowlah. Fokusku belum ke situ saat ini,” balas Agil.  Ia sama sekali tak tersinggung dengan pertanyaan yang dilontarkan Arif. Ia tahu, ia butuh seorang wanita. Wanita lembut seperti Bulan. Pria itu tersenyum sendiri, mengingat bagaimana semalam ia sangat agresif menerima ciuman Bulan. Ciuman sempurna, lembut dan menuntut. Ciuman yang memunculkan gejolak aneh yang indah dalam dirinya.

            “Kamu berhak bahagia, Gil. Jika nanti kamu perlu bantuan mencarikan pacar, kamu bisa… “ Arif mengedipkan matanya.

Kemudian keduanya di kejutkan oleh kehadiran Pak Maman Office Boy yang bekerja di kantor mereka. “Maaf Pak, apa tamunya, perlu saya buatkan minuman”

            “Tamu? Saya tidak ada tamu hari ini,” jawab Arif, bingung.

            “Lho, tadi ada Nona cantik yang masuk ke sini?” kata Pak Maman. Dia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya saat matanya melihat kaca di belakang Arif. Di sana, tiba-tiba muncul sebuah tulisan. Tetesan darah segar dari tulisan itu menetes mengotori lantai. Pria tua itu membacanya dengan menggigil. “Kamu harus bertanggung jawab!”

            Arif dan Agil saling berpandangan. Kedua lelaki itu menyembunyikan ketakutannya.

 “Mungkinkah gadis itu penunggu gedung ini?” gumam Pak Maman, bulu kuduknya merinding. “Tapi, kok siang-siang ada hantu.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status