Share

Chapter 4. Terpikat

“Sial!” rutuk Agil, saat mengetahui ban motor belakangnya kempes. Ada paku besar menancap disitu. Matahari sudah mulai turun, sebentar lagi gelap dan posisinya berada di tengah persawahan. jauh dari pemukiman penduduk.

Ini sepenuhnya kesalahannya. Waktu berangkat tadi. Ia sudah tahu bannya agak kempes tapi ia tak peduli dan malas untuk mengecek. Agil memegang lehernya gelisah, sambil berpikir bagaimana membawa motor Yamahanya. Situasi begini, ia sangat mengharapkan kehadiran seseorang.

            “Perlu bantuan?”

            Pertanyaan yang entah darimana datangnya. Sepertinya datang dari arah belakang. Ia terperanjat hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terperosok ke parit. Sepatu ketsnya basah.  Pria itu geram, merasakan air merembes di celana dalam dan blue jeans yang ia pakai. Konyolnya sekarang ia kelihatan seperti mengompol. Agil semakin kesal dengan kesialan yang menimpa dirinya.

            “Hihihi… kamu lucu,” kata seorang gadis yang berdiri dengan angkuh di sampingnya. Memandangnya dari atas ke bawah, seperti melihat sebuah badut yang sedang bermain-main dalam di parit. Gelak tawanya berderai hingga keluar air mata.

            “Bukannya minta maaf dan menolong, kamu malah menertawakanku,” ucapnya dengan nada dongkol. Dia mengibas-ngibaskan sisa air yang menempel. Untung smartphonenya tidak terkena air, bisa repot dia.

“Ngapain aku membantumu, kamu kan bisa berdiri dan tidak kenapa-kenapa.” Gadis itu masih tertawa.

“Sialan!” rutuknya lagi. Setelah beberapa saat, Agil baru sadar siapa gadis yang sudah membuatnya terjatuh ke dalam parit. Bulan! Darimana ia datang? Tak ada motor lewat maupun jejak orang datang. Ia hanya sendirian disitu dari tadi. Sekuat hati ia berusaha mengendalikan dirinya.

            Pakaian Bulan masih sama. Blouse coklat panjang selutut dengan gaya seperti mantel dan sepatu boots warna merah. Rambut terurai panjang serta parfum beraroma melati. Aroma soft yang selalu dirindukan Agil setiap malam. Ia menghirup wanginya kuat-kuat, memenuhi rongga dadanya. Seribu pertanyaan muncul, Mungkinkah Bulan, hanya punya satu model baju? Sepertinya tak mungkin! Gaya Bulan modis, dan terlihat dari caranya memadu padankan warna. Enak dipandang mata.

            “Kamu datang dan pergi seenak hatimu, seperti hantu.” Agil ingin menarik ucapannya. Tapi terlambat. Ia menunggu jawaban Bulan dengan hati berdebar.

            “Aku memang hantu,” jawab Bulan santai. “Apa kamu takut?”

            “Nggak.” Gantian Agil yang tertawa terbahak-bahak, teringat kecupan lembut dibibirnya. Kecupan yang membuatnya susah tidur. Bulan cantik, senyum dan mata beningnya telah menghipnotis dirinya sejak awal jumpa. “Ngomong-ngomong, apa kamu mengikutiku?”

            Mata Bulan membulat, memberikan senyum manisnya. “Well, agak rumit menjelaskannya. Intinya aku punya radar. Soal motormu, jangan khawatir, aku yang akan mendorongnya, kamu naik saja.”

            “Bagaimana mungkin kamu kuat mendorong motor, badanmu kecil,” ejek Agil tak percaya.

            “Hey, apa kamu lupa Bung, aku seorang hantu.” Bulan mengedipkan matanya. “Cepat naiklah! Sebelum aku berubah pikiran.”

            Agil mengangguk. Tak ada salahnya menerima bantuan Bulan. Meskipun ia hantu sekalipun. Lelaki itu bersyukur ada teman menemaninya mengobrol saat ini. Setela itu wusss… ia dan motornya seperti terbang.

Sekejap kemudian, mereka sudah sampai di depan Tukang Tambal Ban Kang Rois.  “Wow, keren!” katanya takjub. “Bulan, jangan pergi. Tunggu aku,” pinta Agil, tangannya memberi isyarat.

            “Mas, bicara sama siapa?”

            “Ups, maaf Kang. Saya sedang latihan theater.” Pria itu nyengir. “Oh ya Kang, maaf, ban motor saya kena paku. Apa Kang Rois bisa bantu saya?” tanyanya berharap.

            “Iya, bisa! Silahkan duduk dulu Mas.” Lelaki berperawakan gempal itu gesit menyiapkan peralatan.

            Agil menunggu di bangku kayu yang disediakan. Bulan telah menghilang. Lelaki itu tersenyum kecut. “Dasar hantu cantik, sesukanya datang dan pergi”

***

            Tok.... tok… tok

“Buka jendelanya, Gil.”

            Jam 12 malam, Agil masih terjaga. Keningnya berkerut menekuri deretan laporan di laptopnya. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, iNiRice berkembang pesat. Agil dan Arif yang berbeda karakter, sepakat berbagi pekerjaan. Agil luwes dan tidak betah bekerja dalam ruangan. Sehingga pekerjaannya lebih banyak di luar, bertemu petani, investor atau mencari lahan baru untuk mereka garab. Sedangkan Arif yang jago IT, Ia lebih nyaman bekerja dalam ruangan yang tenang dan dingin di kantornya.

            Tok… tok… tok

Agil mendengar suara ketukan lagi di jendelanya. Ia acuh. Seseorang menjitak kepalanya. “Aduh!” Agil memegang kepalanya.

            “Sombong!” kata Bulan langsung duduk di tempat tidur. Aroma melati memenuhi kamarnya.

Agil diam, matanya masih asyik menatap layar laptop. Sudut matanya sesekali memperhatikan Bulan. Jantungnya berdegup kencang. Sebagai lelaki normal, daya tarik Bulan nyata.

Gadis itu memiliki lekuk tubuh ideal, wajah cantik, bibir penuh serta senyum yang sering membingkai wajahnya. Ia yakin banyak lelaki yang jatuh hati padanya. “Sayang, ia hantu. Aku tak boleh jatuh cinta padanya,” ucapnya dalam hati.

            “Hihihi… aku bisa membaca pikiranmu.” Bulan melirik manja. Tangannya memainkan ujung bantal.

            “Nggak percaya?”

            “Kamu jatuh cinta kepadaku, kan?” Bulan mengerling manja.

            “Wkwkwkw…. impossible, bagaimana mungkin aku bisa mencintai hantu?” katanya. Lelaki itu menyembunyikan kegugupannya.

            “Cieee, kenapa harus malu! Bilang juga nggak ada yang tahu, kok! Sekarang aku nanya, emang ada undang-undang yang melarang manusia jatuh cinta sama hantu?”

            “Hmm, setahuku nggak ada, Non. Tapi, manusia menganggap itu aneh. Kita berbeda alam,” balas Agil pongah.

            “Hush, stop!” Tangan Bulan mengusap wajah Agil dan berhenti di bibir lelaki itu, perlahan tangannya membelainya lembut lalu menempelkan bibirnya pasrah di mulut Agil yang reflek melumatnya dengan gugup. Wangi melati membuat kesadaran Agil terhenti beberapa waktu. Dia memeluk perempuan itu erat. “Persetan dengan hantu,” desahnya dalam hati.

            “Aku cinta kamu, Bulan,” bisik Agil lirih di telinga Bulan. 

            Bulan menyorongkan badan Agil. Raut mukanya berubah tak berdaya, “Aku perlu bantuanmu,” katanya melas.

            “Maksudmu? Apakah kamu di kejar-kejar pinjol,” tanya Agil. Napasnya memburu, Ia masih ingin mengulang ciumannya dengan Bulan.

            Bulan memukul lengan Agil. “Huh, kamu pikir di dunia perhantuan ada debt collector begitu?”

            “Ya siapa tahu, pinjol juga ngetrend disana.” Agil terkekeh. Dia mematikan laptop. “Katakan saja. Jika aku bisa, pasti aku membantumu. Hmmm… apakah kamu lama di sini? Aku sudah mengantuk.” Dia menguap beberapa kali. Badannya meronta ingin tidur.

            “Kamu mengusirku?” tanya Bulan nakal.

            Agil menggeleng. “Aku suka kamu disini, tapi badanku lelah. Aku perlu istirahat. Tolong, kalau pergi, pamit dulu, jangan asal kabur.”

            “Aku suka memberimu kejutan.”

            “Nggak lucu! Apa kamu suka, orang mengangapku gila karena melihatku bicara sendiri.”

            “Ih, itu salah kamu, mestinya kamu yang harus bisa membaca situasi” Bulan berkelit. “Aku lapar, pingin makan nasi goreng di ujung gang sana. Kita pergi keluar makan yuk!” ajaknya manja. Ia merebahkan kepalanya di dada Agil.

            Hati pria itu makin tak karuan. Ia tak mampu menolak permintaanya. “Sudah larut, bagaimana kalau aku masak nasi goreng buat kamu.”

            Bulan mengangguk, membiarkan Agil sibuk sendiri membuatkan nasi goreng untuknya.

            Bunyi peralatan makan beradu, membuat ibu terbangun. Ia heran menemukan anaknya di dapur dengan setumpuk piring dengan sisa nasi goreng di hadapannya. Tergopoh-gopoh, ia menghampirinya. “Kamu kenapa, Nak?”

            “Makan nasi goreng,” jawab Agil kekenyangan. Perutnya membuncit. Tadi, Ia seperti kerasukan dan tak sadar makan 5 piring nasi goreng.

            “Hah, sebanyak itu?” Ibu jadi khawatir. “Kamu tadi dari mana?”

            “Biasalah Bu, ngecek lahan baru untuk digarap.”

            “Duh, jangan-jangan ada jin yang menempel di badanmu, Nak.” Ibu mengambil segelas air, mulutnya komat kamit membaca doa, sebagian diberikan kepada Agil.“Minumlah, biar jinnya pergi.” Sisanya ia percikkan ke badan Agil.

            “Ibu ada-ada saja. Agil tidak kenapa – kenapa kok, Ibu saja yang kebanyakan nonton sinetron azab.” Padahal Ibu benar.  Ada Bulan yang duduk disampingnya. Gadis itu senyum-senyum melihatnya.

            “Apa yang dibaca Ibu? Kenapa Bulan tidak pergi,” ucap Agil membatin.

“Ibu sepertinya harus ke Ustad Sodiq supaya meruqyah rumah ini,” tutur Ibu gamblang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status