Setelah lelah berputar-putar tak ada tujuan, Mirna Dewi mengarahkan mobilnya ke klub tempatnya bekerja. Ia langsung masuk dan mencari Lilian di kantornya.
“Aku mau menari malam ini!” kata Mirna Dewi datar setelah 2 hari mengambil libur. Dia tidak mau tertekan sendirian di apartemennya karena menunggu kabar Luke yang tidak ada kabar sama sekali. Daripada senewen memikirkannya lebih baik ia bekerja.
Bagi Mirna Dewi night club bukan hanya sekedar tempat meraup uang, tapi sebagai tempatnya melarikan diri mencari kebahagiaan sesaat dan melupakan masalah yang ia hadapi.
“Kamu yakin? Bagaimana mualmu?” sahut Lilian, ia menangkap kemurungan di wajah Mirna Dewi. Sepertinya masalahnya dengan Luke belum selesai, pikirnya.
 
“Apakah dia istri Luke?” tanya Mirna Dewi bengis dan menatap Lilian dengan benci. Lilian tidak menjawab. Tadi dia salah bicara dan Mirna Dewi curiga padanya. “Ini untuk kebaikanmu Mir, kehadiran bayi akan membuatmu repot nanti. Lebih baik gugurkan saja kandunganmu. Aku akan membantumu mencarikan tempat terbaik untuk melakukan aborsi. Aku juga akan tutup mulut.” “Omong kosong! Ini bukan tentangku kan? Tapi tentang perempuan posesif dan cerewet itu. Dia membayarmu untuk mengorek informasi dariku supaya bayi ini tidak menjadi duri dalam daging dalam kehidupan mereka kelak, betul kan?!” tuduh Mirna Dewi langsung. “Kamu jahat sekali Lilian! Kamu rela menjual temanmu untuk kepentingan dirimu!” dengusnya dengan senyum mengejek.
Mirna Dewi yang lebih senang disapa Mirna mengusap perutnya. Ia memejamkan mata, ketika tangannya menyentuh luka parut pasca operasi cesar. Mendadak wajahnya melunglai teringat peristiwa menyakitkan yang mengoyak batin dan meninggalkan jejak trauma mendalam pada perempuan itu. Kesedihan jelas terlukis di wajahnya. Trauma yang Mirna pendam rapat selama puluhan tahun meski pada Bulan, anaknya sendiri. Hingga gadis itu mati terbunuh dengan membawa pertanyaan yang ingin ia ketahui, lalu Chandra tiba-tiba hadir membawa kenangan pahit itu kembali. Mirna menghembuskan napas ke udara. Anehnya… saat stress begini justru hasrat bercintanya meningkat. Seks dengan di selingi minum alcohol membuatnya kecanduan. Kedua aktifitas itu memberinya kenikmatan sejenak, meluruhkan re
Semburat cahaya mentari masih malu-malu menyapa. Agil mengayuh sepedanya dengan bersemangat menyusuri gang- gang sempit mencari Chandra. Tak segan ia berhenti bertanya pada sekumpulan ibu-ibu di warung maupun tempat kos tentang Chandra. Peluhnya bercucuran membasahi badan, ia lantas berbelok ke jalan raya. “Ya Allah, tolong beri aku petunjuk di mana Chandra berada,” doanya dalam hati. Selama gadis itu belum ditemukan, hati Agil tak bakalan tenang. Dia merasa berdosa karena tidak memegang amanah Ibu Muji, ibunya Chandra untuk menjaga gadis itu. Maka tiap hari dia mencari Chandra bergantian dengan Pak Maman. Kerongkongan Agil kering, ia menepikan sepedanya di tepi jalan. Kemudian, matanya
“Jangan balik ke rumah Mirna, titik!” bentak Agil tak sadar dan membuang pandangannya ke jalan raya. Ia gusar, apa yang membuat Chandra ingin kembali ke rumah perempuan itu. “Aku kasihan dengan dia, Gil. Tante Mirna sendirian di rumah itu, pasti dia kesepian,” ujar Chandra bersikap tenang. “Bagaimana kalau arwah Bulan datang menakutinya?” Agil tertawa masam. “Apa itu alasan kamu sebenarnya? Atau…” tanya Agil menyelidik. Setelah mendengar cerita Bik Ami, Agil berpikir Mirna tak mungkin kesepian. Ia pasti mencari teman untuk menemaninya. “Atau apa?” balik Chandra. “Kenapa tidak kamu teruskan?” 
“Apakah cinta bisa membuat orang gila?” tanya Chandra setelah kedua orang itu pergi. Ia ngeri membayangkan ada lelaki yang jatuh cinta padanya gila gara-gara ditolak cintanya. Agil melenguh. Ia belum pernah jatuh cinta, bagaimana dia harus menjelaskannya pada Chandra? “Mungkin saja! Cinta bisa membuat perasaan euoforia, tetapi efeknya buruk bila cinta berubah menjadi cinta obsesif, mencintai orang lain hanya untuk mereka sendiri. Lambat laun perasaan itu akan merusak diri sendiri terutama saat orang yang dicintai menolak,” jawab Agil kemudian. Chandra menopang dagu dengan tangan kanannya. “Hmm… menurutmu apakah Arif sangat mencintai Tante Mirna?” Dulu dia menganggap sikap pemuda itu gila saat ber
“Kemana nih si Chandra. Kenapa dia gak nongol-nongol?” gerutu Agil, matanya melongok jam tangan di lengan kirinya. Sudah 1 jam dia menunggu di depan mini market sesuai kesepakatan semalam. Tapi gadis itu belum menampakkan batang hidungnya. Mana dia kebelet ke belakang pula. Hosh! Terpaksa dia harus menahan keinginan itu hingga Chandra datang. Agil meraih ponsel dan menelpon Chandra. Tapi, mukanya beringsut kecewa. Ponsel gadis itu mati! Duh! Masih saja dia seneng jahilin aku di saat genting begini. Pria itu ngedumel dalam hati lalu ia menunduk memainkan botol air mineral di tangannya. “Hai Agil! Kamu gak bosen nunggu aku kan?” canda Chandra renyah. Ia langsung duduk di depan pemuda itu. “Kenapa l
“Lepaskan! Lepaskan! Aku bukan orang gila!” Samar-samar telinga Agil mendengar suara teriakan orang yang sangat dikenalnya. Ia mencari sumber suara itu. Sepertinya dari arah parkiran rumah sakit jiwa. Agil lalu meletakkan gelas es, kemudian berlari ke rumah sakit jiwa. “Hei Mas bayar dulu!” pekik penjual es kelapa muda, dengan nada kesal karena Agil adalah pembeli pertamanya. Agil menoleh. Ah sial! Ia lupa bayar. “Nanti saya balik lagi ke situ.” Ia lalu berlari ke arah kerumunan orang-orang. Di sana dia melihat ada dua orang kekar sedang memegang kuat lelaki berambut gondrong. Ia mengenali salah satu lelaki itu, dia adalah
Arif kaget setengah mati melihat perempuan setengah baya itu. Otaknya segera mengumpulkan file memori. Yah tak salah lagi, dia adalah Bik Eha, pembantunya. Pemuda itu gembira, karena ingatannya masih waras, dia tidak gila! Seperti yang dikatakan mamanya. Tapi… mukanya kembali menekuk, bukankah Bik Eha sudah lama meninggal saat dia berada di Australia? Iya dia ingat, sewaktu pulang sekolah papanya mendapatkan telepon dari mamanya di Indonesia dan mengabarkan kalau kalau Bik Eha meninggal. Setelah itu mamanya mengajak anaknya Bik Eha menjadi pembantunya.` Lantas siapakah perempuan yang mirip Bik Eha tadi? Arif berpikir keras. Dia duduk di tepi ranjang memikir