Share

Chapter 4

"Sebegitu putus asanya anda ingin menikah sampai tidak mempermasalahkan bahwa mempelai prianya itu siapa, begitu? Dengar, menikah itu bukan seperti berjudi. Kalau tidak menang ya kalah. Wanita terkadang nalarnya suka macet kalau sudah berhubungan dengan masalah cinta. Dengan mantan calon suami yang sudah anda kenal selama bertahun-tahun saja anda masih bisa salah memilih, apalagi dengan saya yang anda kenal hanya dalam hitungan jam. Wanita dan pemikirannya, benar-benar luar biasa absurdnya."

Badai melirik Ochi yang sedari tadi terus saja diam dengan pandangan kosong kedepan. Seperti nya gadis ini bahkan tidak menyadari kalau Badai tengah menasehatinya panjang lebar. Dia seperti tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

"Anda tidak mendengar kalau sedari tadi saya sedang berbicara dengan anda, Bu Oceania?" Badai melirik Ochi yang masih saja bersikap seolah-olah sedang bertapa mencari wangsit.

"Saya mendengarnya dengan jelas, Pak. Kata-kata yang bapak ucapkan tadi malah sebenarnya adalah kata-kata wajib saya bila ada teman yang curhat tentang masalah asmara. Seseorang yang menurut kita begitu kita pahami luar dan dalamnya saja, kita masih bisa salah persepsi. Apalagi dengan orang  yang baru kita kenal bukan? Tetapi makin kesini saya malah makin menyadari bahwa waktu dan hubungan yang lama tidak menjamin kelanggengan suatu hubungan ternyata."

Ochi mulai berpura-pura mengucek-ucek matanya bersikap seolah-olah dia sedang kelilipan, demi menyamarkan jatuhnya air mata dan tubuhnya yang mulai gemetaran hebat. Mungkin inilah yang disebut dengan reaksi lambat pasca insiden. Setelah dia mengalami begitu banyak kejadian menakutkan hanya dalam hitungan jam. Shocknya baru mulai muncul sekarang. Kesedihan, ketakutan, rasa kecewa dan marah berkumpul menjadi satu di dalam benak Ochi.

Badai menghentikan laju kendaraannya sejenak. Meraih botol air mineral yang masih bersegel dan memberikannya kepada Ochi. Tangan Ochi yang gemetaran hebat tidak bisa membuka tutup botol yang seharusnya bisa dibuka dengan mudah. Badai mengambil kembali botol air minumnya, memutar tutup botol dan memberikannya pada Ochi. Ochi masih saja berusaha menutupi kedua matanya. Ia tidak mau ada orang yang melihat saat-saat kalahnya. Tetapi tak urung ia menerima air mineral yang di sodorkan oleh Badai. Ia memerlukan pengalihan untuk menyamarkan kesedihannya.

Setelah minum beberapa teguk, bukannya merasa lebih tenang, Ochi malah merasa semakin galau saja. Air matanya semakin membanjir seperti keran bocor. Badai menarik nafas panjang. Dalam bidang pekerjaannya, tangis penuh amarah dan caci maki dari para korban kejahatan bukanlah suatu hal yang asing baginya. Bagi para penegak hukum seperti dirinya, hati mereka sudah kebal dengan yang namanya permainan emosi dan perasaan. Mereka semua di bentuk dan didoktrin untuk kuat dalam menghadapi segala situasi dan kondisi.

Ia sering melihat tangis buaya, tangis ketakutan karena berbohong, tangis penyesalan, tangis kemarahan, tangis kesedihan ataupun tangis kemenangan sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tetapi tangis sok tegar dan menahan perasaan yang bahkan tidak ingin mencari simpati seperti Ochi inilah yang belum pernah ditemuinya.

Bila biasanya wanita menangis karena ingin mendapatkan dukungan dan simpati, Ochi malah berusaha menutupinya dengan berbagai cara agar terlihat tidak sedang menangis. Dia kini malah berusaha berpura-pura batuk-batuk hebat sambil terlihat seolah-olah sedang kelilipan, demi menyamarkan kesedihan hatinya. Selain Senjahari kakak iparnya, baru Ochi lah wanita yang tidak mengumbar sisi kefeminimannya demi memanipulasi para pemilik hormon maskulin. Dan untuk pertama kalinya perasaan Badai sebagai laki-laki sejatilah yang mulai bermain disini. Dia sudah bersikap tidak professional dan dia pun menyadari hal itu.

"Menangislah. Rasakan setiap bulir air mata. Sedih jangan dilawan, perih ada untuk dirasakan. Menangis tidak membuktikan bahwa anda itu lemah. Tetapi justru mengindikasikan bahwa anda itu hidup. Apa yang anda lakukan setelah menangislah penentu lemah atau tidaknya diri anda. Menangislah dan kemudian bangkitlah!"

Ochi pun mulai menangis tersedu-sedu dalam dekapan erat Badai yang juga balas memeluknya tak kalah erat. Badai tahu dia salah karena sudah melanggar kode etiknya sebagai seseorang yang harusnya selalu berdiri di luar garis teritori. Tetapi apa daya, dia hanyalah sosok pria yang berdarah dan berdaging, bukan seorang gatot kaca.

Ochi lah yang pertama sekali menyadari kalau perbuatannya ini sudah salah. Dia ini adalah seorang guru. Tidak pantas rasanya memeluk seseorang yang bukan apa-apanya apalagi sampai membasahi pakaian kebesarannya sebagai seorang abdi negara. Dia salah!

"Maaf. Tidak seharusnya saya memeluk bapak dan menjadikan seragam kebanggaan bapak menjadi basah karena ulah saya." Ochi segera menjauhkan diri sambil mencabut beberapa tissue dari dashboard mobil Badai.

"Tidak masalah selama kita sama-sama suka dan tidak ada yang merasa dirugikan disini. Apalagi kita berdua sudah berusia diatas 21 tahun. Jadi negara mengganggap kalau kita sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Tujuan saya adalah untuk menenangkan anda semata. Kalau anda dalam keadaan sehat lahir bathin, maka pekerjaan kami akan semakin cepat selesai. Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, saya suka bekerja secara efisien. Jadi selama anda tenang, saya senang, dan tidak ada pengaduan tentang pelecehan dan yang lain sebagainya, semua aman terkendali."

Badai menjawab datar-datar santai. Padahal hatinya sendiri mulai ketar ketir karena sedikit banyak dia punya andil juga dalam membuat situasi menjadi semelodramatis tadi.

"Oh iya, saya lupa. Anda adalah seorang polisi. Panduan hidup anda adalah menguak tabir kebenaran dan keadilan dengan segala cara dan upaya, titik."

"Anda salah. Panduan hidup kami para polisi adalah TRIBARATA dan Catur Prasetya. Yang artinya adalah Kami para polisi rela mengorbankan jiwa dan raga atas azas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjunjung tinggi kebenaran dalam menegakkan hukum. Menjadi pelindung, pengayom dan pelayan bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Apakah ada hal lain yang bisa saya tambahkan untuk membuat anda semakin yakin akan pedoman hidup saya, Bu Guru?" Badai semakin memanasi Ochi demi untuk meredakan ketegangan dalam dirinya sendiri.

"Ada."

"Apa itu, Bu?"

"Tolong tutup mulut Anda!"

===================

Badai membelokkan mobilnya memasuki satu kompleks perumahan mewah yang terkenal akan ketatnya penjagaannya. Selama dalam perjalanan tadi, Badai telah menjelaskan secara singkat dan padat tentang keadaan Ochi pada kakak iparnya itu.

"Ayo kita turun. Ini adalah rumah kakak ipar saya. Team kami akan berusaha seoptimal mungkin untuk menguak tabir ini, agar anda tidak perlu terlalu lama bersembunyi disini. Ayo sekarang kita masuk."

Ochi menatap kagum pada rumah mewah namun berkesan asri dan klasik ini. Buku-buku tebal dan kuno bertebaran disekat ruang tamu. Luar biasa, tampak sekali kalau penghuni rumah ini pasti berintelegensia tinggi. Rumah adalah cerminan jiwa kita. Banyak rumah mewah yang sering dikunjungi Ochi, terutama rumah Mas Banyu, kerabat dekat semua klan Siliwangi bahkan rumah para orang tua muridnya. Tetapi tidak ada yang membuat Ochi terkesan seperti ini. Rumah ini memperlihatkan kualitas dan integritas penghuninya.

"Eh tamu nya sudah datang ya? Ayo Bu Guru silahkan masuk." Ochi terpesona saat melihat seorang wanita cantik sedang menggendong seorang anak perempuan dan menuntun seorang anak laki-laki yang wajahnya nyaris sama. Pasti mereka kembar.

"Assalamuaikum, Mbak. Saya Oceania, biasa dipanggil Ochi. Salam kenal ya, Mbak." Ochi menyalami wanita cantik yang bernama Senjahari itu.

"Oh ya Mbak Senja, seperti yang sudah saya katakan tadi, saya titip ibu ini dulu selama beberapa hari disini ya? Elang dan team sedang berupaya semaksimal mungkin untuk menuntaskan kasus ini."

Drtt...drtt..drrt..

Ochi melihat Badai mengangkat telepon sambil menjauh sedikit mencari privacy demi kode etik pekerjaannya. Tetapi diam-diam Ochi mulai memasang telinganya. Dia tahu kalau menguping itu adalah perbuatan yang paling tidak terpuji. Tetapi dia penasaran, siapa tahu mereka sedang membicarakan tentang kasusnya. Ochi merasa berdekatan dengan Badai semakin lama akan semakin merubah akhlaknya. Bayangkan saja dalam setengah harian ini dia sudah dua kali melanggar prinsip hidup nya sendiri. Pertama, dia sudah memeluk dan menangis didada orang asing sembarangan. Kedua yaitu ini, dia juga sudah menguping penbicaraan orang sembarangan. Jangan-jangan besok-besok dia akan memukul orang sembarangan pula!

"Iya, Lang dia sama gue sekarang. Gue sih solo garut aja. Anak buah lo sih sampai sekarang masih solo bandung di lokasi. Oke besok gue bawa dia ke solo pati. Gila lo ya nggak mungkinlah gue bawa dia pulang kerumah. Kampret lo, gue nggak sebejat itu kali. Gue ini kan pria beriman, Bro. Pria beriman itu tahan godaan setan. Kecuali kalo setannya maksa. Itu rezeki namanya. Hahahahah...oke, Siap 8-6 !!"

Ochi mendengar derai tawa Badai yang seperti nya memang betul sedang membicarakan tentang keberadaannya. Dia bilang apa tadi, kecuali kalo setannya maksa? Berarti polisi kampret itu menganggap dirinya setan rupanya, kurang ajar!!!

"Bu Oceania, saya tinggal dulu anda sementara disini. Besok siang saya akan menjemput anda dan mengantarkan anda pada Pak Elang. Beliaulah yang seharus nya bertanggung jawab penuh atas diri anda. Tetapi karena ada sesuatu dan lain hal, makanya anda berada di bawah perlindungan saya untuk hari ini. Besok saya akan mengantarkan anda ke kantor polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar kasus ledakan digedung pernikahan anda kemarin. Oh ya, kami juga akan memanggil kedua orang tua anda dan penghulu yang akan menikahkan anda besok untuk memberi keterangan sesuai prosedur pekerjaan kami. Anda jangan khawatir, anak buah Pak Elang yang akan mengantar jemput kedua orang tua anda. Saya permisi dulu."

Drrtt...drrtt..drtt..

"Ya Reinhard, ada kasus baru? 8-1-0, Motif sama? Organ-organ tubuhnya bagaimana? Oke oke fixed, berarti orangnya sama. Modus operandi nya juga sama. Ini pasti sindikat penjualan organ tubuh manusia, bisa juga sekaligus trafficking. Saya akan segera meluncur kesana. 1-1 ? Tidak bisa, saya maunya 1-4 saja. Kalau bisa satu jam lagi kita 8-8 saja dengan Pak Elang sekalian. Biar clear semua. Oke 8-1-3, Pak AKBP!"

Ochi bingung melihat Badai yang berbicara dengan angka-angka semua. Yang Ochi ingat cuma 8-6 saja. Itu pun dia tidak tahu artinya. Dia cuma sering mendengar istilah itu di televisi.

"Bapak mau kemana?" Ochi seketika berdiri dan membuntuti Badai. Bagaimana pun cuma Badai yang dikenalnya disini. Ochi merasa ada perasaan takut yang menjalari hatinya saat tahu ia akan ditinggal oleh Badai. Dia ingat, dua kali ia nyaris tinggal nama saja. Yang pertama memang karena nasib baik atau nasib buruk, Ochi pun bingung menerjemahkan perasaannya sendiri. Sementara yang kedua, dia selamat berkat ketenangan dan kesigapan Badai dalam menangani situasi dan kondisi. Jujur Ochi merasa sangat aman kalau ada Badai didekatnya.

" Saya harus pergi sekarang, Bu. Saya sedang ada tugas penting."

"Jadi saya bagaimana?"

"Ibu tinggal saja disini dulu. Rumah saya hanya beberapa blok dari sini. Jadi kalau ada apa-apa saya pasti akan lebih mudah untuk menghubungi ibu. Mbak Senja, saya titip ibu guru ini ya? Nanti kalau ada apa-apa telepon saja saya. Saya permisi dulu Bu Guru, Mbak Senja."

Badai baru saja berjalan dua langkah saat instingnya menyuruhnya untuk berbalik. Dan benar saja, si ibu guru judes itu terlihat sudah mau menangis. Badai menghela nafas dan memegang bahu kecil Ochi.

"Semua akan baik-baik saja. Anda akan aman disini. Nanti setelah semua urusan saya selesai, saya akan menemui anda lagi disini. Oke?" Badai menarik sekilas buntut kuda Ochi. Apa yang bisa Ochi lakukan selain mengangguk bukan?

Drrtt...drtt...drttt...

Sayang, kamu tidak kenapa-kenapa kan? Mas lihat di breaking news kalau gedung tempat ijab kabul kita diledakkan. Kamu sehat-sehat saja kan, Sayang?

"Ochi tidak akan bisa mengangkat telepon mas, kalau Ochi sudah menjadi mayat, Mas. Maaf mas, mulai hari ini dan seterusnya sebaiknya kita tidak usah saling berhubungan la—"

Kamu marah Sayang? M-Mas minta maaf ya? Tadi—tadi Mas bahkan sudah setengah jalan menuju ke gedung pernikahan. Hanya saja..."

Ochi mendengar Banyu mulai terlihat gugup dalam saat mau menjelaskan faktor ketidak hadirannya tadi pagi. Ochi mengenal Banyu sudah cukup lama. Dia tahu kalau Banyu sedang sedang mencoba untuk mengarang bebas.

"Marah? Mas pikir ini hanya soal marah? Mas, yang telah mas permalukan itu bukan cuma Ochi, Mas. Tetapi kedua orang tua Ochi dan keluarga besar, Ochi. Mas seperti menelanjangi Ochi ditengah-tengah ramainya tamu undangan. Bagimana kalau Ochi yang melakukan itu pada Mas? Bagaimana Mas?"

Mas sungguh-sungguh minta maaf, Sayang. Mas—Mas bingung harus menjelaskan pada kamu mulai dari mana. Tetapi Mas kini sudah bisa menyelesaikan semuanya. Mas mohon berikan mas kesempatan sekali lagi, ya Sayang?"

"Kita sudah selesai sekarang, Mas. Dan mulai hari ini, jangan pernah menghubungi Ochi lagi. Ochi hanya ingin bilang satu hal pada, Mas. Jika mas tidak suka membuat alasan untuk meminta maaf, tolong berhentilah berjanji! Berhentilah menjadi seorang pecundang!"

Dan Ochi pun langsung mematikan ponselnya. Deraian air matanya mulai mengaburkan pandangannya. Finally, it's over!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status