Share

Chapter 5

Senjahari memandang gadis yang terlihat mengikuti punggung Badai yang menjauh, dengan lirikan matanya. Mungkin ibu guru ini malu kalau terlihat terang-terangan ketakutan di tinggal sendiri oleh Badai. Wajar saja, setelah melalui saat-saat yang berat dan menguras adrenalin, gadis ini pasti memerlukan seorang kesatria berbaju zirah untuk melindunginya.

"Bu, Tante ini siapa? Kok bawa-bawa tas besar? Tante mau tinggal di sini dengan Bintang ya? Hore!"

Ochi melihat kalau anak yang ada di gendongan Senja mulai menggeliat meminta turun. Sementara kembarannya terlihat sudah duduk anteng sambil membaca buku.

"Oh ya Bintang, Langit. Ayo salim dulu dengan ibu guru Ochi, sayang. Bu Ochi akan tinggal sementara di sini untuk menemani kita semua. Senang tidak  Nak?"

"Senang bingits, Bu. Rumah kita jadi nambah orangnya ya, Bu?" Bintang kembali melonjak-lonjak kegirangan.

"Selamat datang di rumah kami ya, Bu guru. Semoga saja Ibu senang tinggal bersama kami untuk sementara."

Ochi tertegun saat Langit yang merupakan kembaran Bintang bisa berbicara lugas dan sopan seperti orang dewasa.

"Hallo, Mas Langit. Ibu minta maaf ya kalau Ibu membuat Mas jadi tidak nyaman, karena ada Ibu yang ikut tinggal sementara di sini."

Ochi berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan bocah kecil yang berpikiran dewasa itu.

"Tidak apa-apa, Bu guru. Langit malah gembira sekali kalau ada Bu guru di sini. Jadi Bintang nanti ada teman mainnya. Kalau tidak biasanya Bintang itu terusss... saja mengintili Langit. Sekali lagi selamat datang di rumah ini ya, Bu guru. Semoga Bu guru senang tinggal di rumah kami ini."

Ochi terkesima melihat cara berpikir Langit yang sama persis dengan omnya. Sepertinya efisiensi memang benar-benar nama tengah keluarga besar ini.

"Hahahaha... kamu tidak usah kaget melihat cara berinteraksi kami semua di sini ya, Ochi? Kami memang menerapkan sistem demokrasi bagi semua anggota keluarga. Setiap anggota keluarga boleh menyuarakan pendapatnya asal dengan cara yang sopan dan masuk akal," terang Senjahari.

"Nah anak-anak, sekarang sana main sendiri dulu. Bu gurunya 'kan capek, jadi akan Ibu bawa istrirahat dulu, ya?"

Dan dua bocah kembar itu pun segera berlari menuju taman belakang untuk bermain dengan para pengasuh mereka.

"Ayo Ochi silahkan masuk. Asisten mbak telah menyiapkan kamar untuk Ochi beristirahat. Ochi pasti pasti seharian ini lelah sekali menghadapi banyak masalah bukan? Mari mbak antar kamu beristirahat dikamar."

"Saya—Saya sangat tidak enak sekali sudah merepotkan Mbak Senja dan keluarga di sini. Tetapi Pak Badai punya pendapat lain. Saya hanya bisa menuruti perintah Pak Badai sebagai warga negara yang baik. Sekali lagi saya minta maaf sudah mengganggu ketentraman hidup Mbak Senja sekeluarga."

Ochi membungkukkan tubuhnya sedikit, sebagai tanda bahwa ia menghormati Senja, dan bersungguh-sungguh dengan semua ucapannya.

Senja tersenyum. Gadis ini santun dan taat peraturan sekali. Tata bahasanya sopan dan jelas. Setiap kalimat selalu mempunyai makna. Bila kaum hawa biasanya suka berbicara ngalor ngidul playing victim sambil berurai air mata menceritakan kemalangan nasib buruknya, akan tetapi gadis ini pengendalian dirinya luar biasa. Ia hanya menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik katanya? Aha! adik iparnya sudah bertemu imbang kali ini sepertinya.

"Mbak mengerti, Ochi. Ayo kita masuk saja dulu." Senja berjalan mendahului Ochi dan naik ke lantai dua. Dalam diam dan sungkan Ochi pun mengekori sang nyonya rumah. Mereka berhenti di sebuah pintu kayu jati berwarna kecoklatan.

"Mbak tinggal dulu ya, Chi? Anggap saja rumah sendiri. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja Mbak atau Mbak Nur yang ada di dapur ya? Selamat beristirahat."

Dan perempuan yang mempunyai tatapan teduh itu pun pun mulai meninggalkan Ochi sendirian. Membuka pintu kamar. Tatapannya menelusuri interior kamar yang mewah dan berkelas. Setiap ornamennya berunsur kayu yang artistik.

Ochi melemaskan otot-ototnya yang kaku dan pegal. Ia membaringkan tubuh pada spring bed nyaman nyonya rumahnya. Pikirannya sejenak teringat pada saat pertama sekali mengenal Mas Banyunya. Ayahnya dulu adalah supir kepercayaan keluarga konglomerat Singgih Siliwangi. Ayahnya adalah seorang supir yang rajin dan sangat loyal terhadap majikannya. Awal mulanya Pak Singgih dan Ibu Gendis sangat baik terhadap mereka sekeluarga, sampai putra tunggal kebanggaan keluarga mereka, Banyu Biru Siliwangi jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya, yang kala itu masih berstatus sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas negeri.

Dirinya yang tidak pernah sekali pun berpacaran, merasakan dadanya membuncah saat seorang Banyu Biru mengejarnya mati-matian. Bahkan

sampai berani menentang ancaman kedua orang tuanya. Ochi yang baru pertama sekali mengenal cinta, terpesona oleh segudang perhatian yang ditunjukkan oleh seorang executive muda yang kebetulan adalah anak majikan ayahnya sendiri. Begitulah, mereka pun akhirnya berpacaran dengan romantisme ala anak-anak zaman now. Sampai pada suatu hari, ayahnya tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi dan terkena serangan stroke. Ayahnya akhirnya lumpuh dan tidak bisa lagi mencari nafkah. Mata pencaharian mereka yang hanya mengandalkan gaji ayahnya otomatis berantakan. Tidak mungkin bagi mereka untuk meminta bantuan pada Rainy kakaknya, yang suaminya juga hanya seorang pekerja kantoran biasa.

Ochi pun mulai berusaha mencari penghasilan dengan menjadi guru private bagi anak-anak orang kaya yang membutuhkan jasanya. Sambil tetap berusaha menyelesaikam kuliahnya yang hanya tinggal menyusun skripsi dengan sedaya upaya. Ochi tidak pernah mau menerima bantuan apapun dari  Banyu. Ia mencintai Banyu pribadi, bukan uangnya. Makanya ia selalu menolak keras semua bantuan yang pernah Banyu tawarkan padanya. Tetapi ternyata malah ibunya sendiri lah yang menerima semua bantuan dari Banyu tanpa sepengetahuannya.

Ochi sebenarnya sempat heran saat melihat Ibunya terlihat sangat royal dan mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, tanpa meminta bantuannya lagi. Setiap ia bertanya, ibunya selalu beralasan, kalau keluarga Siliwangi memberi sejumlah pesangon yang cukup besar untuk ayahnya. Tapi ternyata semua itu omong kosong belaka. Pantas saja kedua orang tua Banyu selalu menghinanya sebagai perempuan materialistis. Ternyata memang ada sebabnya!

Dengan terus memikirkan masalah-masalah hidupnya, Ochi yang sedang lelah lahir bathin pun, akhirnya tertidur setelah menangisi nasib kurang beruntungnya.

===================

"Anda benar-benar akan mengajar hari ini? Apa tidak sebaiknya Anda tetap mengambil saja cuti bulan madu Anda? Toh ini memang hak Anda, terlepas dari jadi atau tidaknya pernikahan Anda?"

Badai mulai memasang safety beltnya. Hari ini ia terpaksa berangkat ke kantor lebih awal, karena harus mengantar Ochi terlebih dahulu ke sekolah tempatnya mengajar. Badai sempat mengira bahwa seperti kebanyakan perempuan lainnya, Ochi pasti akan lama dandannya, dan dia akan menjadi kambing congek di ruang tamu.

Namun semua perkiraannya itu salah besar. Karena Ochi bahkan sudah berdiri menunggunya di depan gerbang rumah kakak iparnya. Luar biasa!

"Itu artinya saya akan melakukan dua kesalahan sekaligus, Pak Polisi. Pertama, saya berbohong. Karena saya 'kan memang tidak sedang berbulan madu. Kedua, itu artinya saya juga mengail di air keruh. Mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Tidak mau rugi istilah kasarnya. Dan kebetulan saya bukanlah jenis orang yang seperti itu," sahut Ochi datar sembari ikut memakai safety belt.

Setelah kendaran berjalan kira-kira tujuh menit, Ochi mengeluarkan ponsel saat mendengar notifikasi pada aplikasi chatnya. Dania dan Fahrani rupanya. Dua sahabat terdekatnya itu menasehatinya untuk pasrah dan tawakal pada Allah subhanawaatala. Ochi pun membalas agar mereka tidak usah terlalu mengkhawatirkan keadaannya, karena ia dalam keadaan baik-baik saja.

"Apakah Anda memang terbiasa hidup lurus seperti ini, Bu guru?"

Badai merasa hatinya tercuil saat melihat ternyata ada orang yang sama persis wataknya seperti dirinya sendiri. Seperti bercermin saja. Semua kata-kata Ochi persis sama jika ditanyakan oleh orang lain kepadanya.

Wanita jujur dan tidak manipulatif rupanya masih ada di dunia ini. Bodohnya si Banyu Biru. Shitt! Dalam dua hari ia sudah mengatai Banyu bodoh dua kali.

Hati-hati dalam menempatkan hatimu Badai!

Setelah Danti cinta remajanya, Senja cinta dewasanya dan Lily cinta tidak sampainya, baru dengan Ochi lah hatinya mulai berdesir lagi terhadap seorang wanita. Namun masalahnya ibu guru ini dalam perlindungannya. Ia takut tidak bisa bersikap objektif dan professional dalam menjalankan tugasnya, apabila ia sudah mulai menggunakan hatinya. Dan itu bisa berakibat fatal dalam tugasnya dalam melindungi korban.

"Manusia yang suka KKN sudah banyak sekali di dunia ini, Pak. Saya hanya berusaha mengurangi populasi manusia yang tidak berintegritas seperti itu. 'Kan lebih baik berkurang satu, daripada tidak ada sama sekali."

Drtt... drrtt... drtt...

Ochi melihat nama Banyu Biru memanggil. Ia mendiamkannya saja. Ochi tahu, Badai juga ikut melirik sekilas nama pemanggil ponsel Ochi. Ochi adalah type orang yang keras hati. Setiap kata yang sudah diucapkannya pasti akan dilaksanakannya. Dia bukan type orang yang suka menjilat ludahnya sendiri. Saat ia mengatakan pada Banyu bahwa mereka sudah berakhir, itu artinya Ochi sudah tidak ingin saling berhubungan dalam bentuk apapun lagi dengannya.

Badai meliriknya sekilas. Gesture tubuh Ochi yang mendadak tegang dan mulutnya yang terkatup rapat, sedikit banyak membuat Badai tahu kalau ibu guru ini memang benar-benar tidak mau lagi berhubungan dengan mantan calon suaminya. Gadis yang sungguh-sungguh keras hati.

"Mengapa tidak diangkat? Setahu saya, Anda bukannya type seseorang yang pengecut."

Badai mulai memancing-mancing sisi sensitif Ochi. Dia tahu Ochi paling tidak terima kalau dibilang takut terhadap sesuatu.

"Saya tidak mau mengangkat teleponnya, bukan karena saya pengecut. Saya hanya tidak mau mendengar ia berbohong lagi kepada saya. Saya takut kalau penyakit tukak lambung saya akan kambuh lagi mendengar segala alasan basinya pagi-pagi begini," sahut Ochi lugas.

"Begitu? Menurut hemat saya, masalah kalian itu sebaiknya dibicarakan. Untuk apa saling diam dan menduga-duga satu sama lain, kalau sebenarnya kalian berdua masih saling mencintai dan ju—"

"Anda salah, Pak Polisi. Saya sudah tidak mencintai orang itu sama sekali! Untuk apa mencintai laki-laki pengecut dan tukang bohong seperti itu? Buang-buang energi saja!" Ochi mendengkus.

"Nah, sikap Anda yang seperti inilah yang sesungguhnya memperlihatkan bahwa masih adanya cinta di hati Anda untuk calon suami tidak jadi Anda. Kalau memang Anda memang sudah benar-benar tidak mencintainya, sikap Anda tidak akan sedramatis ini hanya karena menerima teleponnya. Anda tidak akan mudah emosi jika hanya mendengar suaranya. Bahkan Anda mungkin akan bisa berbincang santai dengannya kalau Anda memang sudah tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya."

Ochi tergugu. Kata-kata Badai itu telak sekali. Kalau memang ia tidak memiliki perasaan apa-apa lagi, harusnya ia tidak usah uring-uringan seperti ini juga bukan? Tetapi ia hanyalah manusia biasa. Tidak mudah baginya memaafkan, apalagi melupakan perlakuan perbuatan Banyu kemarin pagi. Lukanya masih basah dan berdarah!

"Kenapa Anda diam? Anda terkesima dengan kebenaran absolut dari kata-kata saya bukan?" Badai memindahkan persnelling dengan anggun. Cara menyetir Badai ini excellent sekali. Tidak grasa grusu seperti para pemilik hormon terstoteron lainnya. Bahkan pada saat disalip dan berkali-kali diklakson pun ia tampak santai saja. Pengendalian diri pak polisi ini memang luar biasa.

"Bukan. Saya terkesima karena setelah saya pandang-pandang, ternyata Anda lumayan tampan juga." Ochi menjawab kalem.

Sabar Ochi sabar. Menghadapi orang seperti ini harus memakai teknik tarik ulur. Angkat saja dulu dia tinggi-tinggi, baru bantingkan!

"Ah, setelah dua hari Anda baru menyadarinya?" Badai menaikkan sudut bibirnya. Dia sempat tertegun sejenak mendengar jawaban tidak terduga Ochi. Sebelum akhirnya kembali bersikap acuh tak acuh demi menyelamatkan jantungnya.

"Saya 'kan juga perlu observasi untuk menentukan wajah Anda itu lebih condong mirip pada siapa." Ochi lagi-lagi menjawab kalem. Santai sekali gaya bicaranya.

"Dan hasil akhirnya? Mirip Channing Tatum atau Chris Hemsworth?" Badai menaikkan sudut bibirnya.

"Tidak dua-duanya. Saya cenderung melihat Anda mirip dengan seorang pria bergigi terang bersinar, yang selalu muncul dalam film-film horor Suzanna zaman dulu."

Badai mengertakkan gerahamnya dengan geram. Sialan! Ibu guru ini menyamakan wajah tampannya dengan Bokir rupanya!

"Astaga!"

Ochi mengumpat saat melihat Banyu telah menunggunya di gerbang sekolah. Entah mengapa saat ini Ochi malah merasa risih dan tidak siap untuk berkonfrotasi dengan Banyu. Dia sebenarnya ingin sekali menghindari Banyu. Tetapi kaca mobil Badai ini terang sekali. Banyu pasti sudah melihatnya ada di dalam mobil ini. Dan benar saja. Melihat kehadirannya, Banyu langsung melangkah lebar-lebar menghampirinya.

"Ochi, Kamu ke mana saja, Sayang? Mas nyariin kamu ke rumah orang tuamu. Kata mereka kamu dalam perlindungan polisi. Kita harus bica— Badai! rupanya pacar gue ada dalam perlindungan lo?" Banyu tampak tidak senang saat melihat Ochi malah sekarang memegang erat lengan kiri Badai.

"Pak Polisi, saya 'kan dalam perlindungan Anda sekarang. Saya tidak mau bertemu dengan Mas Banyu. Anda harus bisa melindungi saya dari Mas Banyu juga ya? Suruh dia pulang, dan jangan mendekati saya lagi." Ochi sekarang bahkan ikut menyembunyikan wajahnya di lengan Badai dan tidak mau keluar dari mobil.

Wajah Banyu sudah mulai memerah. Ia merasa cemburu melihat Ochi yang bahkan tidak pernah dekat dengan pria lain, terlihat sebegitu mesranya dengan Badai di depan kedua matanya sendiri!

"Apa Anda lupa kalau Bokir itu cuma tim hore di film-film Suzanna? Dia kan tidak bisa berkelahi?!"

Sialan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status