Beranda / Horor / Misteri Desa Purnama / Bab 1. Kampung Paman

Share

Misteri Desa Purnama
Misteri Desa Purnama
Penulis: TasTag

Bab 1. Kampung Paman

Penulis: TasTag
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-28 23:43:35

"Sudah sampai, Dek! Ini rumah Pak Suwarno," ujar Pak Sarip sambil menunjuk dengan jempolnya ke sebuah rumah tua yang masih sangat terawat.

Pria tua ini adalah tukang ojek yang sudah dipesan oleh paman untuk mengantarku. Sejak awal, Pak Sarip begitu sopan saat menyambutku di pintu gapura desa. Senyumnya melebar dengan gigi depan yang ompong dimakan usia.

Di sepanjang perjalanan, beliau tak segan untuk memulai obrolan denganku. Aku hanya tersenyum dan menjawab seperlunya. Rasa lelah yang aku rasakan membuatku ingin segera sampai di rumah paman, terlebih lagi kami harus melewati jalan yang membelah hutan yang rimbun menuju desa paman. Entah karena merasa sangat lelah, atau hanya perasaanku saja, sejak tadi aku bahkan merasa sedang diawasi oleh seseorang dari jauh.

Kupikir itu mungkin hanya seekor binatang yang berkeliaran di malam hari. Maklum saja, desa ini melewati sebuah hutan yang cukup lebat dengan penerangan seadanya dari obor yang sepertinya sengaja dipasang warga sekitar untuk menerangi jalan masuk ke desa.

"Terima kasih, Pak!" ucapku sambil menyodorkan selembar uang 100 ribu padanya, "Ambil saja kembaliannya."

Suasana malam yang begitu sepi. Udara dingin kian menusuk sampai ke tulang. Aku berdiri di depan pagar sebuah rumah tua yang kosong. Perjalanan yang hampir enam jam aku lalui membuatku merasa sangat lelah. Badanku terasa ringkih.

Aku tidak menyangka bahwa perjalanannya akan begitu lama. Niatku dari kota ke desa ini sebenarnya untuk liburan cuti dari kuliahku. Mengingat rumah paman yang seorang perwira TNI ini sudah lama kosong karena harus untuk bertugas di daerah lain, aku akhirnya memberanikan diri ke sini sendirian.

Jalanan di sini penuh lobang dan sempit, sehingga sulit diakses kendaraan roda empat tidak bisa melewatinya. Kata paman, di desa ini sangat jarang sekali warga yang memiliki kendaraan pribadi, mereka lebih memilih menggunakan transportasi umum untuk bepergian ke kota. Selain karena jalan desa yang tidak memungkinkan, mereka juga tidak pernah kesulitan mencari bahan makanan karena hasil panen yang melimpah mereka dapatkan dari bercocok tanam.

Setelah selesai mengobservasi daerah sekitar, aku kemudian turun dari motor sambil menggendong tas ransel di pundakku. Aku ingin segera istirahat.

"Waduh! Ini banyak sekali, Dek!" teriak Pak Sarip heran ketika menyadari jumlah uang yang kusodorkan padanya.

"Tidak apa-apa, rejeki buat Bapak sekeluarga," ucapku.

"Ya sudah kalau begitu, terima kasih banyak ya, Dek. Semoga berkah." Pak Sarip segera memasukkan uang seratus ribu itu ke dalam saku jaketnya yang terlihat lusuh.

Tak lama kemudian, Pak Sarip pamit pergi dan berlalu secepat kilat. Kurasa tak sampai lima menit aku berpaling, Pak Sarip sudah lenyap dengan sepeda motornya melewati kegelapan malam.

Perlahan, aku mulai memindahkan barangku ke teras rumah. Aku melihat sekeliling, rumah-rumah yang masih jarang dengan jarak saling berjauhan, pohon- pohon rindang yang tinggi menjulang, ditambah suara-suara binatang malam yang bersaut-sautan membuat nyaliku semakin menciut.

Kupercepat langkahku menuju rumah, berharap seseorang ada dihadapanku untuk sekedar mengusir ketakutanku.

Kata paman, rumah ini dirawat oleh sepasang suami istri selama kurang lebih dua belas tahun ditinggalkan oleh paman. Mereka adalah Mbah Atmo dan Bi Sari.

Mbah Atmo dan Bi Sari sudah lebih dari dua puluh tahun tinggal bersama paman dan keluarganya. Sejak kepergian istri dan anaknya, paman memutuskan untuk tinggal jauh dari desa ini.

Kuketuk pintu dengan tergesa. Dengan perasaan takut, aku memberanikan diri melihat sekeliling rumah yang masih dikelilingi oleh pohon-pohon rindang yang gelap.

Tok ... tok ... tok ...

"Assalamualaikum! Permisi, apa ada orang?" ucapku setengah berteriak.

Dari dalam rumah, terdengar suara langkah kaki yang terdengar pelan. Langkah kaki itu perlahan mendekat ke arahku.

"Ya, tunggu sebentar!" ucap seseorang dari dalam rumah.

Seketika perasaanku menjadi lega, ternyata masih ada orang yang terjaga selarut ini.

Ceklek!

Suara pintu yang ditarik dari dalam.

Kulihat seorang nenek tua dengan rambut cepol yang penuh dengan uban membuka pintu dengan pelan.

"Malam, Bi. Saya Aldi, keponakan Pak Suwarno," ucapku memperkenalkan diri.

Nenek tua itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Misteri Desa Purnama   Bab 69. Kisah Jaka : Pulang

    Aku berjalan setengah berlari menelusuri jalan setapak yang melewati kebun teh siang itu. Dari kejauhan tidak terlihat asap yang biasa mengepul dari rumah tua itu. Ya, rumah Mbok Sum itu setiap saat selalu mengeluarkan asap tipis dari tungku. Mbok Sum bilang, dia ingin rumah itu selalu hangat walau dia tinggal sendiri. Aku semakin bergegas meninggalkan Aiden jauh di belakangku. "Mbok! Mbok Sum!" teriakku, setelah sampai di depan rumah Jaka. Kulihat pintu rumah itu sedikit terbuka. Aku dan Aiden pun memaksa masuk. "Mbok Sum ... apa Mbok ada di dalam?" Tak ada jawaban. "Mbok! " Aku pun segera berlari saat melihat Mbok Sum yang tengah berbaring di kamar dengan gorden setengah terbuka. Nafasnya terdengar lemah, badannya dingin. Sepertinya sudah beberapa hari Mbok Sum terbaring. "Mbok ..., ini Janis. Janis sudah datang, Mbok!" ucapku sembari menitikan air mata. "Maafkan Janis, ya, Mbok." Aiden yang berada di sampingku pun berbisik, "Siapa dia, Janis?" Aku menyek

  • Misteri Desa Purnama   Bab 68. Kisah Jaka : Pertemuan Tak Terduga

    Kring!! Suara telpon yang berdering memecah kesunyian sore ini di rumahku. "Mbok, ada telpon!" teriakku tak sadar. "Astaga! Apa yang aku lakukan?" Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur dan meraih gagang telpon. "Halo," sapaku saat memulai obrolan. "Janis, apa kau baik-baik saja? Kudengar kau sakit. Apa sudah membaik?" Suara Aiden yang khas itu terdengar gelisah. "Ya. Aku baik," jawabku singkat. "Syukurlah. Aku sangat khawatir." "Besok pagi aku akan datang ke rumahmu, tunggulah aku!" "Tut ... tut ... tut ...!!" "Hei!" Aiden sepertinya buru-buru menutup telpon. Mungkin dia takut aku akan menolah kedatangannya lagi. Tapi, dari mana Aiden tahu kalau aku sakit? Apakah Kak Bagas atau Ibu yang memberitahu? *** "Kau bermimpi tubuhku dipenuhi belatung?" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Kak Bagas. Ya, mimpi itu sudah berkali-kali aku alami. Setiap malam menjelang subuh, perasaan takut itu terus muncul. "Kau tahu dari mana asal belatung itu?" tanya Kak

  • Misteri Desa Purnama   Bab 67. Kisah Jaka : Energi Jahat Itu Terus Kembali

    Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu

  • Misteri Desa Purnama   Bab 66. Kisah Jaka : Akar Masalah

    "Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege

  • Misteri Desa Purnama   Bab 65. Kisah Jaka : Jaka yang Ceroboh

    Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da

  • Misteri Desa Purnama   Bab 64. Kisah Jaka : Dunia Luar

    Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status