Saat hendak berkeliling desa, kulihat warung Bu Wangsih terlihat ramai. Wajar saja, ini adalah jam pulang para petani yang baru saja menggarap ladang, dan pekerja kebun teh yang baru selesai bekerja berkumpul di warung tersebut. Aku menyempatkan berkunjung hanya untuk menyapa penduduk desa yang tengah bersantai itu. "Mau ke mana, Aldi?" tanya Bulan. Dengan mimik muka ketus dia mencoba mencegahku menemui penduduk desa. "Kau tak ingat apa yang mereka lakukan padamu semalam?" Aku tersenyum, kemudian menatapnya. "Yang berlalu biarlah berlalu. Aku ingin lebih akrab dengan mereka, itu saja." "Kau ini benar-benar aneh. Apa kau tidak takut? Aku menggeleng dan meneruskan langkahku. "Kalau kau tidak mau ikut. Tunggu saja di sini. Aku tak akan lama." "Cih, dasar keras kepala," gumam Bulan. "Kau bilang ingin menemui Mustika, tapi malah pergi ke warung." Aku terus berjalan tanpa mempedul
"Aku sudah mendengar dari Bapak tentang kejadian semalam di perkebunan," ucap Rosmala memulai percakapan "Kau hebat bisa melakukan itu." Senyum manis terukir di bibirnya, entah mengapa setiap kali Rosmala tersenyum, jantungku terus berdebar tak beraturan. "Ah, bukan apa-apa," ucapku tersipu. "Semua orang akan melakukan itu bila berada di posisiku," ucapku kembali merendah. Rosmala tersenyum. Tak terasa kami pun terbawa suasana sampai beberapa menit telah berlalu. Sungguh singkat pertemuan kami kali ini, karena Rosmala harus mengantarkan pesanan ibunya. Aku berjalan di belakangnya, mengantarnya keluar dari warung tempat kami tadi bercengkrama. Hari mulai gelap, rupanya waktu maghrib sudah dekat. "Apa perlu aku antar?' Rosmala menggeleng. "Tak perlu. Ini sudah sore, kau juga harus pulang dan istirahat." Setelah mendengar ucapan Rosmala, kami pun berpisah menuju rumah masing-masing. Diperjalanan, Bulan mulai berbisik padaku dengan raut wajah yang terlihat masih kesal. "Ada y
Aku tak dapat berkata-kata. Saat ini, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Salah satu hal yang kutakutkan selama ini terjadi. Aku takut peringatan dari Mbah Atmo benar-benar terjadi. Bahwa aku tak bisa berhenti dengan keinginanku sendiri. Sekali mencoba mau tak mau aku akan terus berhubungan dengan mereka."Tapi, Pak. Mohon maaf, sepertinya Bapak salah orang. Saya bukan orang yang seperti Bapak kira," jawabku. Semoga penjelasanku ini dapat dimengerti oleh Pak Yanto. Tatapan mata Pak Yanto mengisyaratkan kekecewaannya. Dia kemudian menunduk sangat dalam."Saya sudah sangat putus asa melihat keadaaan istri saya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saya memiliki 4 orang anak yang masih sangat kecil.""Saya tak sanggup kalau harus kehilangan istri saya," ucapnya lirih."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu Bapak. Lebih baik, Bapak mencari orang yang lebih mengerti dengan keadaan istri Bapak." "Tapi, Nak. Kami penduduk Desa Purnama melihat langsung apa ya
Nur dengan girang segera mengambil sepeda tuanya yang terparkir di pelataran rumah.Aku juga sudah bersiap untuk mengajaknya berbelanja di warung Bu Wangsih. Saat hendak pergi, dari kejuhan aku melihat Mustika berjalan ke arah kami dengan membawa beberapa keranjang."Aldi, Nur, apakah kalian akan pergi?" "Iya. Kakak sudah baikan?" tanya NurMustika mengangguk. Dia lalu melirik ke arahku."Kau bagaimana, Aldi?""Ah. Aku baik-baik saja."Aku belum sempat berterima kasih padamu. Ini, aku bawakan sedikit makanan dan buah-buahan. Kebetulan tadi pagi aku sempat ke pasar," ucap Mustika."Kenapa repot-repot. Aku senang bisa membantumu."Aku mengambil keranjang itu, kemudin menaruhnya di atas meja di teras rumah."Oh, ya. Kalian mau pergi ke mana? Apa aku mengganggu?""Tidak, Kak. Tidak mengganggu sama sekali. Kebetulan kami akan pergi berbelanja ke warung Bu Wangsih. Kakak mau ikut?" ajak Nur ramah.Mustika kembali melirik ke arahku, sepertinya dia ingin meminta izin dariku. Tentu saja aku
Sebelum berpamitan pulang, aku merasa ada yang aneh saat melewati kamar mandi yang berada di sebelah kamar. Aura yang menyesakkan untukku kembali ku rasakan."Pak. Bolehkah saya numpang ke kamar mandi?""Boleh, Nak Aldi. Silahkan, di sebelah sini."Pak Yanto langsung menunjuk ke kamar mandi yang baru saja aku maksudkan.Aku benar-benar terkejut kali ini. Sosok yang kulihat di pangakalan ojek yang menggangggu Pak Sarip tempo hari telah berada di sini. Sosok hitam besar itu berdiri di balik pintu kamar mandi sembari melotot ke arahku yang sedikit gemetar.Taring panjang dan tanduk yang melingkar menjadi ciri khasnya. Sebenarnya makhluk apa itu?"Aduh maaf, Nak Aldi. Saya belum sempat mencuci baju jadi sangat menumpuk," ucap Pak Yanto, melihat tumpukkan baju kotor di samping bak mandi yang berserakan.Sepertinya Pak Yanto melihatku yang nampak terkejut tapi dengan maksud yang lain."Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya tidak jadi ke kamar mandi. Kita kembali ke dalam saja, Pak."Aku bergidik, ru
Jadikan hanya aku satu-satunyaSang garwa pambage, sang pelipur laraNyanyikan 'ku kidung setia Tak! Suara nyanyian dari radio itu berhenti. Aku menghela nafas dalam. Hari ini ditemani Mbah Atmo aku akan mengunjungi kembali istri Pak Yanto, Bu Rusmini. Di malam harinya aku tidak bisa istirahat dengan baik. Hatiku masih dengan dua pilihan yang belum aku putuskan, antara membantu Pak Yanto atau memilih melupakan semuanya dan kembali ke kota. Itulah tujuan orangtuaku dan paman mengirimku kemari. Mereka ingin aku menentukan pilihanku sendiri, seperti percakapan tadi malam antara aku dan paman. "Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Menerima atau melepaskan, hanya itu. Kami tak bisa terus menutupi semuanya. Karena, suatu hari nanti kamu pasti akan mengetahui kebenarannya." Ucapan Paman Suwarno itu membuatku sadar akan sesuatu. Bahwa aku memang sudah ditakdirkan untuk berhubungan dengan mereka. Ini bukan lagi soal kutukan dan ramalan. Melainkan soal keinginanku untuk membantu penduduk D
"Nana! Ke mana saja selama ini? Aldi sudah mencari Nana ke mana-mana. Kenapa menghilang begitu saja?" ucapku menahan tangis. Nana hanya tersenyum tanpa beban. Sungguh anak kecil yang lugu. "Saat di perkebunan, Nana melihat kelinci putih yang lucu lalu mengikutinya. Tanpa sadar Nana tersesat dan banyak yang mengganggu Nana," ucap Nana polos."Lalu apa yang terjadi?" Suaraku bergetar, entah mengapa pertemuanku kali ini dengan Nana membuatku sangat bahagia."Mereka ingin Nana tinggal bersama mereka. Tapi, Nana tak mau, Nana ingin selalu bersama Aldi. Nana tak mau lagi jauh dari Aldi. Nana takut Aldi berada dalam bahaya." Rengekan Nana begitu membuat hatiku sakit. Bagaimana tidak, dia pasti kesulitan saat tersesat dan mencari jalan. Tapi dia malah terus mengkhawatirkan keadaanku. "Baiklah. Aldi akan selalu bersama Nana," ucapku spontan. Baru kali ini, rasanya aku sangat dibutuhkan. Aku merasa menjadi orang yang berguna walaupun untuk Nana, anak kecil yang sudah meninggal sekalipun.
"Ayla?" ucapku spontan."Kapan Ayla tiba di sini? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" bentakku pada Ibu di seberang telepon.Aku mendapat kabar yang membuatku sangat terkejut. Adik perempuanku Ayla akan datang. Dia adalah anak yang sangat menyebalkan bagiku.Tak seperti gadis lain. Dia punya kepribadian yang sangat buruk. Sehingga tak ada yang mau berteman dengannya."Baiklah. Atur saja. Dia tidak akan lama di sini, kan?""Tentu saja aku akan menjaganya, Ibu tenang saja.""Ya sudah, aku ada urusan. Nanti berkabar lagi. Dah, Bu."Telepon pun ku matikan segera. Kalau tidak, Ibuku akan terus mewanti-wanti tentang keberadaan Ayla di sini."Kapan Kak Ayla datang?" tanya Nur yang sedari tadi mendengrkan percakapanku dan Ibu."Akhir pekan ini. Semoga saja tidak jadi.""Eh, apa kau mengenal Ayla?" tanyaku heran."Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja tidak.""Lalu kenapa kau menyebutnya Kak Ayla?" "Supaya nanti kita jadi lebih akrab saja. Hehe," jawab Nur.Nur belum tahu saja semenyebalka