Share

Bab 3. Cerita di Malam Hari

 "Daarrrr!" Sebuah teriakkan membuyarkan lamunanku.

"Hahaha ... Kakak takut, ya?" tanya seorang gadis muda di sebelahku yang tadi berteriak.

"Kamu, Nur?" tanyaku.

"Hmm ...." Gadis itu menganggukkan kepalanya.

Nur-gadis muda berusia sekitar empat belas tahun itu rupanya adalah sosok yang mengikutiku dari belakang. Aku terkejut, anak ini tiba-tiba berada di sebelahku.

"Jadi, tadi itu kamu yang mengikutiku?" tanyaku sedikit kesal.

"Iya. Aku sudah menunggu Kakak dari tadi. Kenapa bangun siang sekali?" tanya Nur dengan polos.

 "Kupikir kau hantu," jawabku sinis.

"Dasar, penakut!" ejek Nur padaku. Anak ini seperti akan sangat merepotkan, pikirku.

Dan benar saja, dia terus mengikutiku seharian ini. Nur bilang, dia ditugaskan oleh Bi Sari untuk menjagaku dengan iming-iming uang jajan tambahan dari Bi Sari.

Di siang hari, udara semakin panas. Aku meminta Nur menyalakan kipas angin yang menggantung di langit-langit di ruang tengah.

"Nur, nyalakan kipasnya," perintahku.

"Siap, bos!" Nur segara berlari menghampiri saklar listrik, sedangkan aku mencoba rebahan di atas kursi kayu di ruang tengah sambil menyalakan tv.

Nur duduk di sebelahku, dia mulai bertanya tentang ibukota tempat aku tinggal.

"Kak Aldi, apa Kakak sungguh tinggal di kota? Bagaimana rasanya? Apa menyenangkan?" tanya Nur bersemangat.

"Tentu saja. Apa pun bisa kau lakukan di sana," jawabku.

Mata Nur bersinar, dia seperti sangat bersemangat mendengar cerita dariku.

"Apa Nur belum pernah pergi ke kota?" tanyaku pada Nur.

Nur hanya menggelengkan kepala, sinar matanya kian meredup. "Aku ingin sekali pergi ke kota," Nur terdiam. "Tapi, Bapak dan Ibu Nur bilang, orang-orang di kota itu semuanya jahat. Nur tidak boleh ke sana," jawab Nur lirih.

"Mana mungkin, lihat Kakak! Apa Kakak seperti orang jahat?" tanyaku dengan wajah yang kubuat lucu agar Nur mau tertawa.

Bibir Nur mulai merekah, dia sudah mulai tertawa seperti biasanya.

***

Sore hari saat Nur berpamitan pulang, rumah ini kembali sepi. Mbah Atmo dan Bi Sari sepertinya akan pulang larut malam. Baru saja seorang pekerja ladang datang ke rumah dan memberitahukannya padaku.

Walau dalam hati aku merasakan takut berada di rumah ini sendirian, aku tak tega menyuruh Nur menemaniku sampai malam. Jadi, aku menyuruhnya pulang agar orangtuanya tidak khawatir.

Setiap melihat lukisan Bulan, aku masih merasa takut. Entah kenapa bulu kudukku merinding saat melewati lukisan itu. Malam ini aku berencana tak melewatinya dan diam di kamar. Berharap tak ada kejadian aneh yang kualami malam ini.

Saat aku hendak membuka laptop di kamarku, lampu di kamarku tiba-tiba saja padam. Kulihat ke luar jendela, semua rumah warga juga terlihat gelap gulita. Sepertinya sedang ada pemadaman listrik malam ini.

"Ah ... sial!" gerutuku.

Aku memberanikan diri keluar dari kamar dengan penerangan dari ponsel. Aku bergegas mencari lilin di setiap laci di rumah ini.

Setelah hampir lima belas menit mencari, aku tak menemukannya di mana pun. Aku berinisiatif untuk mencari warung tedekat untuk membeli lilin atau penerangan semacamnya.

Di perjalanan ke warung, aku melihat seorang kakek tua yang sedang menyalakan tungku kayu bakar di sebuah halaman rumah. Aku mencoba menghampiri kakek tua itu. Rupanya, kakek itu juga sedang melihat ke arahku. Mata kami beradu, dia tersenyum menyeringai padaku sambil memasukkan kayu baru untuk mengganti kayu yang sudah habis terbakar dan menjadi arang.

"Permisi, Kek. Saya ingin bertanya, warung ada di sebelah mana, ya? Saya orang baru, saya belum paham daerah ini."

Kakek itu mengangguk pelan, lalu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Kamu lurus saja, di depan ada pertigaan, lalu belok kiri." Senyum kakek tua itu membuatku sedikit merinding.

"Baik, terima kasih, Kek!"

Kupercepat langkahku meninggalkan kakek tua itu, berharap menemukan seseorang yang kurasa sedikit normal. Kenapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri? Ah ... ini pasti hanya perasaanku saja.

Setelah melewati pertigaan, aku menemukan sebuah warung yang cukup ramai dengan orang- orang yang sedang mengobrol di malam hari dengan segelas kopi dan rokok di tangannya.

"Bu, ada lilin?"

"Ada, mau berapa?"

"Dua saja." Aku merogoh saku celana belakang untuk mengambil dompet yang berisi uang recehan yang kubawa.

"Gus, belakangan ini kau merasa ada yang aneh tidak?" ucap seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan yang kebetulan berada di warung ini juga. "Kata istriku, dia mendengar ada yang melihat arwah Kardun bergentayangan lagi di desa kita ini."

"Jangan bercanda kau Min, Kardun itu sudah lama meninggal," jawab seorang temannya.

Lelaki yang memakai kupluk pun ikut menjawab, "Benar kata si Amin, Gus. Kemarin juga, aku melihat lampu di rumah Kardun menyala seperti ada orang di dalam."

"Hus ... jangan bicara sembarangan!' ucap ibu warung menimpali. "Masa orang yang sudah meninggal bisa hidup lagi."

"Benar. Istriku juga bilang, sudah banyak warga di desa ini yang didatangi arwah Kardun," ucap Amin lagi.

"Hii ... jadi serem," jawab Yanto. Lelaki yang memakai kupluk di kepalanya.

"Eh, maaf, Dik. Ibu jadi asyik mengobrol. Ini lilinnya," ucap ibu warung padaku.

"Terima kasih, Bu. Ini uangnya," ucapku sambil menyodorkan uang pas padanya.

Aku bergegas pergi, perasaanku semakin tak karuan setelah mendengar percakapan ketiga lelaki itu.

Saat hendak pulang ke rumah, aku kembali melewati rumah kakek tua yang aku temui tadi. Tapi, anehnya aku tidak menemukan kakek itu, begitu pula dengan bekas pembakaran kayu di tungkunya.

"Ah ... aneh sekali."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status