"Daarrrr!" Sebuah teriakkan membuyarkan lamunanku.
"Hahaha ... Kakak takut, ya?" tanya seorang gadis muda di sebelahku yang tadi berteriak.
"Kamu, Nur?" tanyaku.
"Hmm ...." Gadis itu menganggukkan kepalanya.
Nur-gadis muda berusia sekitar empat belas tahun itu rupanya adalah sosok yang mengikutiku dari belakang. Aku terkejut, anak ini tiba-tiba berada di sebelahku.
"Jadi, tadi itu kamu yang mengikutiku?" tanyaku sedikit kesal.
"Iya. Aku sudah menunggu Kakak dari tadi. Kenapa bangun siang sekali?" tanya Nur dengan polos.
"Kupikir kau hantu," jawabku sinis.
"Dasar, penakut!" ejek Nur padaku. Anak ini seperti akan sangat merepotkan, pikirku.
Dan benar saja, dia terus mengikutiku seharian ini. Nur bilang, dia ditugaskan oleh Bi Sari untuk menjagaku dengan iming-iming uang jajan tambahan dari Bi Sari.
Di siang hari, udara semakin panas. Aku meminta Nur menyalakan kipas angin yang menggantung di langit-langit di ruang tengah.
"Nur, nyalakan kipasnya," perintahku.
"Siap, bos!" Nur segara berlari menghampiri saklar listrik, sedangkan aku mencoba rebahan di atas kursi kayu di ruang tengah sambil menyalakan tv.
Nur duduk di sebelahku, dia mulai bertanya tentang ibukota tempat aku tinggal.
"Kak Aldi, apa Kakak sungguh tinggal di kota? Bagaimana rasanya? Apa menyenangkan?" tanya Nur bersemangat.
"Tentu saja. Apa pun bisa kau lakukan di sana," jawabku.
Mata Nur bersinar, dia seperti sangat bersemangat mendengar cerita dariku.
"Apa Nur belum pernah pergi ke kota?" tanyaku pada Nur.
Nur hanya menggelengkan kepala, sinar matanya kian meredup. "Aku ingin sekali pergi ke kota," Nur terdiam. "Tapi, Bapak dan Ibu Nur bilang, orang-orang di kota itu semuanya jahat. Nur tidak boleh ke sana," jawab Nur lirih.
"Mana mungkin, lihat Kakak! Apa Kakak seperti orang jahat?" tanyaku dengan wajah yang kubuat lucu agar Nur mau tertawa.
Bibir Nur mulai merekah, dia sudah mulai tertawa seperti biasanya.***
Sore hari saat Nur berpamitan pulang, rumah ini kembali sepi. Mbah Atmo dan Bi Sari sepertinya akan pulang larut malam. Baru saja seorang pekerja ladang datang ke rumah dan memberitahukannya padaku.Walau dalam hati aku merasakan takut berada di rumah ini sendirian, aku tak tega menyuruh Nur menemaniku sampai malam. Jadi, aku menyuruhnya pulang agar orangtuanya tidak khawatir.
Setiap melihat lukisan Bulan, aku masih merasa takut. Entah kenapa bulu kudukku merinding saat melewati lukisan itu. Malam ini aku berencana tak melewatinya dan diam di kamar. Berharap tak ada kejadian aneh yang kualami malam ini.
Saat aku hendak membuka laptop di kamarku, lampu di kamarku tiba-tiba saja padam. Kulihat ke luar jendela, semua rumah warga juga terlihat gelap gulita. Sepertinya sedang ada pemadaman listrik malam ini.
"Ah ... sial!" gerutuku.
Aku memberanikan diri keluar dari kamar dengan penerangan dari ponsel. Aku bergegas mencari lilin di setiap laci di rumah ini.
Setelah hampir lima belas menit mencari, aku tak menemukannya di mana pun. Aku berinisiatif untuk mencari warung tedekat untuk membeli lilin atau penerangan semacamnya.
Di perjalanan ke warung, aku melihat seorang kakek tua yang sedang menyalakan tungku kayu bakar di sebuah halaman rumah. Aku mencoba menghampiri kakek tua itu. Rupanya, kakek itu juga sedang melihat ke arahku. Mata kami beradu, dia tersenyum menyeringai padaku sambil memasukkan kayu baru untuk mengganti kayu yang sudah habis terbakar dan menjadi arang.
"Permisi, Kek. Saya ingin bertanya, warung ada di sebelah mana, ya? Saya orang baru, saya belum paham daerah ini."
Kakek itu mengangguk pelan, lalu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Kamu lurus saja, di depan ada pertigaan, lalu belok kiri." Senyum kakek tua itu membuatku sedikit merinding.
"Baik, terima kasih, Kek!"
Kupercepat langkahku meninggalkan kakek tua itu, berharap menemukan seseorang yang kurasa sedikit normal. Kenapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri? Ah ... ini pasti hanya perasaanku saja.
Setelah melewati pertigaan, aku menemukan sebuah warung yang cukup ramai dengan orang- orang yang sedang mengobrol di malam hari dengan segelas kopi dan rokok di tangannya.
"Bu, ada lilin?"
"Ada, mau berapa?"
"Dua saja." Aku merogoh saku celana belakang untuk mengambil dompet yang berisi uang recehan yang kubawa.
"Gus, belakangan ini kau merasa ada yang aneh tidak?" ucap seorang lelaki berusia sekitar 40 tahunan yang kebetulan berada di warung ini juga. "Kata istriku, dia mendengar ada yang melihat arwah Kardun bergentayangan lagi di desa kita ini."
"Jangan bercanda kau Min, Kardun itu sudah lama meninggal," jawab seorang temannya.
Lelaki yang memakai kupluk pun ikut menjawab, "Benar kata si Amin, Gus. Kemarin juga, aku melihat lampu di rumah Kardun menyala seperti ada orang di dalam."
"Hus ... jangan bicara sembarangan!' ucap ibu warung menimpali. "Masa orang yang sudah meninggal bisa hidup lagi."
"Benar. Istriku juga bilang, sudah banyak warga di desa ini yang didatangi arwah Kardun," ucap Amin lagi.
"Hii ... jadi serem," jawab Yanto. Lelaki yang memakai kupluk di kepalanya.
"Eh, maaf, Dik. Ibu jadi asyik mengobrol. Ini lilinnya," ucap ibu warung padaku.
"Terima kasih, Bu. Ini uangnya," ucapku sambil menyodorkan uang pas padanya.
Aku bergegas pergi, perasaanku semakin tak karuan setelah mendengar percakapan ketiga lelaki itu.
Saat hendak pulang ke rumah, aku kembali melewati rumah kakek tua yang aku temui tadi. Tapi, anehnya aku tidak menemukan kakek itu, begitu pula dengan bekas pembakaran kayu di tungkunya.
"Ah ... aneh sekali."
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me