Safiyya melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit. Wanita berhijab itu terlihat cantik dalam balutan blus berwarna pink, berpadu celana kulot hitam. Pagi ini sebelum bekerja Safiyya memutuskan terlebih dulu menemui ibunya untuk memastikan kondisi Halimah sudah jauh lebih baik atau belum. Pasalnya akhir-akhir ini ia sibuk di kantor dan jarang bisa menemani sang ibu selama dua puluh empat jam."Ass-" Ucapannya terhenti begitu ia membuka tirai, dan mendapati laki-laki yang paling dihindarinya setengah mati kini duduk di samping ranjang Halimah. Tiga orang di sana tengah asyik mengobrol. Nalen bahkan terlihat akrab dengan ibu dan Gibran.Safiyya mendekat meski ragu. Ia meletakan kantong plastik berisi makanan ke atas nakas. "Anda kenapa di sini?" Safiyya bertanya tanpa melepas perhatiannya pada makanan yang tengah ia keluarkan.Nalen bangkit dan menyunggingkan senyum ke arah Safiyya "Saya kebetulan ada keperluan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Ada hal penting juga yang ingi
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi rumah Safiyya. Mengalir tanpa henti ke sekujur tubuh kuyu itu. Safiyya meringkuk seperti bayi dalam kandungan dengan baju masih membalut tubuhnya. Sudah seharian lebih dia berada di sana tanpa berniat menyudahi aktivitasnya. Benar, bahwa Safiyya memang berpikir lebih baik mati saja.Tangannya terus menggosok kasar sisa-sisa sentuhan biadab itu. Seolah dengan begitu dia bisa menghapus noda yang telah ditinggalkan. Noda yang mungkin tak akan pernah hilang selamanya."Kotor ...." Bibir pucatnya mengucapkan kalimat itu tanpa henti. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, bahkan ketika gesekan-gesekan yang ia lakukan mulai menimbulkan rasa nyeri, Safiyya tetap tak peduli. Baginya rasa perih itu tak sebanding dengan apa yang telah hilang darinya.Tak banyak yang tahu, meski Safiyya seorang biduan, ia berusaha keras untuk melindungi kehormatannya. Tapi segala bentuk perlindungan yang ia usahakan selama ini sudah berakhir sia-sia. Harusnya ia menuruti per
Safiyya masih bergeliat di dalam selimut siang ini. Sudah satu minggu setelah ibunya meninggal, dan selama itu pula ia seakan tak memiliki tenaga untuk melakukan apa pun. Bahkan hingga acara tahlil yang digelar selesai, wanita itu tak pernah keluar dari kamar. Jika saja Safiyya tak ingat masih ada Gibran yang membutuhkan keberadaannya, ia pasti lebih memilih menyusul ibu.Bulir bening meluncur dari pipi wanita itu ketika bayang-bayang ibu menari dalam ingatan, mengirim beribu penyesalan yang tak berkesudahan. berganti dengan kejadian pilu yang dialaminya.Andaikan waktu itu ia tak begitu saja mempercayai Mr. Harry, andaikan waktu itu ia memilih pulang lebih awal, semua kemalangan ini pasti tak akan pernah terjadi. Yang Safiyya sesali adalah kenyataan ia tak bisa berada di sisi ibu bahkan di saat terakhirnya.Safiyya kembali menarik selimut, wanita itu merapatkan tubuh, dan meringkuk seperti bayi dengan bulir bening terus meluncur dari matanya. Dadanya sesak sekali. Tubuhnya kuyu, tak
Safiyya menatap kertas di atas meja rias dengan was-was. Sudah sejak pagi ia ragu antara harus membuka kertas itu atau tidak. Pasalnya beberapa hari ini perutnya selalu mual, Safiyya juga sudah telat datang bulan. Karenanya tanpa sepengetahuan siapapun ia memeriksakan diri ke dokter. Bukannya bahagia dengan kabar itu, Safiyya justru semakin kacau.Tak berapa lama suara dering ponsel membuyarkan lamunan Safiyya. Diangkatnya panggilan itu yang ternyata dari Maira. Ia sampai lupa bahwa hari ini ada janji dengan sahabatnya."Saf, kamu udah siap, kan? Buruan dong ke sini. Aku butuh kamu nih." Maira terdengar panik."Iya, aku sama Gibran udah siap kok. Tinggal berangkat.""Okey, aku tunggu, ya, jangan lama-lama. Assalamualaikum."Safiyya mengangguk, meski orang di seberang tak melihat. "Ya. Wa'alaikumsalam." Sambungan terputus setelah itu.Hari ini Maira menyuruh Safiyya ikut meninjau persiapan gedung yang akan dipakainya untuk acara pertunangan. Sekaligus membantunya membeli semua keperlua
Nalen mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh. Rahangnya mengeras menahan gejolak dalam dada. Ia sama sekali tak menghiraukan Safiyya yang duduk di sebelahnya dan terus melayangkan protes. Bahkan terus berteriak histeris."Kamu nggak bisa kayak gini sama Maira! Kamu nggak boleh nyakitin dia, Mas Nalen berhenti!" ujar Safiyya setengah berteriak. Air matanya luruh, wanita itu berharap Nalen tak melakukan hal nekat mengingat hari ini acara pertunangannya dengan Maira akan segera digelar. Safiyya tak ingin menjadi sebab kehancuran sahabatnya. Sudah cukup selama ini ia menjadi benalu bagi Maira."Kamu sendiri, kan, yang bilang nggak ingin hidup menanggung malu. Janin dalam kandungan mu butuh Ayah. Maka saya yang akan menjadi ayahnya.""Mas Nalen, please ... jangan seperti ini. Saya nggak mungkin menyakiti Maira," ujar Safiyya dengan nada putus asa. Air matanya mengalir deras bersama rasa bersalah yang tiada akhir. Membayangkan Maira menatapnya dengan wajah penuh benci, Safiyya sungguh
"Bagaimana perkembangan kafe saat ini, Kadek?" tanya Nalen pada seorang pria yang kini sedang serius mengemudi. Laki-laki berpenampilan khas orang Bali itu sekilas mengalihkan perhatiannya pada Nalen. Kemudian fokus kembali pada jalan raya."Kafe lumayan ramai, Bli. Musim liburan kali ini banyak yang mampir," jawab Kadek tanpa mengalihkan perhatian dari jalan raya."Syukurlah," Nalen menjawab singkat. Laki-laki itu memilih mengalihkan perhatian pada pemandangan di luar sana. Kedepannya Nalen harus memutar otak demi kafe itu, karena ia yakin sang ayah akan mencabut semua saham, dan fasilitas setelah semua yang dirinya lakukan. Sekarang ini hanya kafe peninggalan mama satu-satunya yang akan jadi sumber penghasilan Nalen. Meski dirinya masih memiliki tabungan pribadi, tetap saja Nalen harus mulai berhemat. Mengingat dia sudah menjadi kepala keluarga saat ini.Safiyya dan Gibran yang duduk di belakang memilih tak bersuara. Keduanya asyik dengan pikiran masing-masing. Safiyya tak menyangka
Matahari menyeruak dari balik tirai yang sedikit terbuka. Safiyya menggeliatkan tubuh karena menyadari matahari sudah terik. Ia terkejut saat mendapati lengan kokoh menopang kepalanya. Buru-buru ia mengangkat tubuh dan beranjak ke luar, khawatir Nalen akan terbangun.Bibir Safiyya melengkung membentuk senyum samar, kala mengingat semalaman ia dan Nalen bersama. Memang tak terjadi apapun, tapi begini saja sudah cukup baginya. Bahkan sangking nyenyaknya Safiyya tak mendengar azan subuh yang berkumandang dari masjid di dekat pesantren.Dengan gerakan pelan Safiyya turun dari ranjang untuk membersihkan diri. Beruntung ia bangun lebih dulu, sehingga Nalen tak harus melihat muka bantalnya yang pasti tak enak dipandang.Beberapa saat setelah selesai, Safiyya menyembulkan kepala di pintu, ia ingin memastikan Nalen masih terlelap atau sudah bangun.Cuaca Bali pagi ini begitu cerah. Suara doa-doa dari para pemeluk agama hindu pun samar-samar terdengar. Di tempat ini semua pemeluk agama hidup be
Dua minggu setelah kepindahan Nalen dan Safiyya ke Bali, rutinitas wanita itu hanya dihabiskan untuk mengurus villa, serta sesekali ia akan datang menemui Nalen ke cafe saat suaminya meminta mengantar sesuatu.Berbeda dengan Safiyya yang lebih suka di rumah, Nalen justru kebalikannya. Laki-laki itu hampir setiap akhir pekan akan pergi ke pesta dan pulang dalam keadaan mabuk. Sejujurnya, Safiyya sangat sedih saat melihat semua itu. Ia belum terbiasa dengan gaya hidup Nalen yang bebas. Tapi Safiyya harus sadar posisinya di hidup laki-laki itu. Ia tak ingin banyak menuntut. Meski begitu Safiyya tak pernah lelah mendoakan sang suami agar kelak bisa berubah lebih baik."Saf, kamu sedang apa?" Suara bariton Nalen membuyarkan lamunan Safiyya."Ah, biasa. Saya sedang membaca buku. Mas mau kopi?" tanya Safiyya. Ia menatap suaminya yang terlihat baru saja selesai mandi kemudian bangkit. Safiyya seperti telah terbiasa dengan Nalen yang bertelanjang dada di depannya. Ia sudah tak risi lagi.Nalen