Share

Keputusan Untuk Hijrah

Subuh ini, di sebuah rumah sederhana itu, tampak Safiyya tengah membereskan beberapa buku di atas rak. Gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja meraih Alquran usang milik almarhum ayahnya. Wanita itu memutuskan duduk di tempat dia tadi melaksanakan shalat subuh, kemudian memicingkan matanya ketika membaca surah An-Nur:31.

Tanpa disadari tubuhnya bergetar, ketika barisan asma Allah itu dia baca berulang-ulang. Entah apa maksud Allah hingga Dia memberi peringatan kepadanya melalui cara seperti ini. Niat awalnya membuka Al-quran untuk dibereskan. Tapi, halaman yang dibuka secara acak itu justru menampilkan ayat peringatan dari surah An-Nur.

Bagai sebuah mantra ajaib, mulutnya mengucap istighfar berkali-kali, sementara air matanya semakin deras mengalir. Dadanya terasa begitu sesak, teringat segala bentuk dosa dan kelalaian yang selama ini dia lakukan. Dosa-dosa itu seakan berputar dalam kepalanya satu persatu. Dari mulai nasihat almarhum ayahnya agar dia mengenakan hijab, menutup aurat dan berhenti menjadi penyanyi. Hingga nasihat ibunya tentang kewajiban manusia untuk selalu mendirikan shalat. Dan sayangnya, diabaikan semua nasihat itu.

Kini, ketika dia merasa arah jalan yang dilalui begitu sulit, dia baru sadar bahwa tak ada tempat yang bisa dijadikan penopang, dan pendengarnya saat merasa sendiri, kecuali Dzat Yang Maha Agung. Safiyya tahu sekarang mengapa ayah dan ibunya tak pernah lelah berzikir siang dan malam. Karena hanya dengan cara ini mereka mampu menjalani hari-hari yang berat.

"Astaghfirullah hal adzim. Ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba," gumam Safiyya berulang kali sembari bersujud. Berharap Allah mengampuni segala dosa-dosanya di masa lalu.

"Wey! Bengong aja kamu, Saf!" Teguran Maira membuyarkan lamunan Safiyya tentang kejadian subuh tadi. Gadis berhijab dengan mata bulat itu lantas duduk tepat di sebelah sang sahabat. Hijab berwarna pink yang Maira kenakan menambah manis penampilannya. Kemudian Maira membuka laptop yang dia pegang.

"Kamu lagi mikirin apa, sih? Udah ketemu dosbim belum?" tanya Maira tanpa melepas perhatiannya pada laptop. Safiyya menggeleng lemah dengan pertanyaan sahabatnya. Dia bingung harus memulai cerita dari mana.

"Aku mau berhijrah. Tolong, ajari aku menjadi muslimah yang baik." Ucapan Safiyya yang tiba-tiba itu kontan saja membuat Maira terdiam. Gerakan tangannya pada laptop terhenti. Ditatapnya lekat-lekat mata hitam Safiyya, memastikan kali ini dia benar-benar sedang tak salah dengar.

Pasalnya, sudah berkali-kali Maira memberi nasihat pada sahabatnya itu agar memikirkan akhirat, dan berhenti menjadi biduan. Selain menghindari maksiat, Maira juga ingin agar Safiyya tak terus-menerus menjadi bahan olokan di kampus. Tapi, wanita dengan lesung pipi itu tak pernah bersedia mendengarnya dengan alasan tak memiliki pekerjaan lain, dan sangat menyukai pekerjaannya. Padahal jika Safiyya mau, Maira dengan senang hati akan menolong.

"Saf, lo serius?"

Safiyya mengangguk mantap dengan pertanyaan Maira.

Tak berapa lama kemudian Maira mengucap syukur sembari mengangkat tangan. "Alhamdulillah ya Allah. Akhirnya Kau beri sahabatku hidayah juga,"

"ya udah, kamu ikut aku sekarang. Kita datangi ustaz Halim sekalian sholat dzuhur," sambung Maira. Tanpa menunggu lama dua wanita itu bergegas pergi.

Ustaz Halim yang mereka cari rupanya tengah berada di mushola. Laki-laki paruh baya itu adalah ustaz pemilik pondok pesantren kecil di dekat tempat tinggal Safiyya. Mereka biasa bertemu ketika melaksanakan shalat Zuhur atau ketika sedang senggang. Terkadang Maira sengaja mendatangi mushola itu hanya untuk sekedar mendengar ceramah beliau. Maira sangat menyukai gaya berdakwah Ustadz Halim yang terkesan santai.

Keduanya memilih mengerjakan shalat Zuhur terlebih dulu sebelum memutuskan menemui Ustaz Halim. Ketika usai shalat mereka menunggu laki-laki itu usai dengan zikirnya.

"Permisi, Ustaz," sapa Maira. Ustaz Halim yang sudah selesai dengan zikirnya memutar duduk menghadap dua wanita itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Nak Safiyya, Nak Maira?"

Maira menatap Safiyya agar sahabatnya memulai pertanyaan. Tapi, Safiyya menyikut lengan Maira agar dia saja yang bertanya. Agaknya Safiyya masih merasa canggung dan gugup.

"Jadi begini, Ustaz. Safiyya bilang dia ingin berhijrah dan memperbaiki diri."

Safiyya menundukan kepala ketika Ustaz Halim menatapnya dengan senyum, usai mendengar ucapan Maira.

"Syukur, alhamdulillah. Saya senang mendengarnya, Nak. Sudah lama saya ingin kamu mengambil jalan ini. Mengingat ayahmu dulu adalah salah satu guru ngaji di sini. Apa yang mau kamu tanyakan?" ujar Ustaz Halim. Safiyya tak langsung menjawab pertanyaan itu. Gadis berambut hitam sebahu tersebut tampak berpikir sejenak.

"Saya butuh alasan agar hijrah saya tetap istiqomah. Saya ingin memiliki sebuah pengingat agar ketika dalam hijrah ini saya ditimpa cobaan, saya tetap teguh memegang agama Allah."

Ustaz Halim kembali tersenyum menatap Safiyya. "Luruskan niat. Ingat selalu apa tujuan manusia hidup di dunia ini. Tanamkan dalam dirimu rasa takut akan kemurkaan Allah. Ingatlah bahwa negeri akhirat itu lebih baik dibanding dunia dan seisinya. Coba lah selalu melihat yang dibawah ketika kamu merasa lelah dengan ujian hidup yang kamu jalani agar kamu selalu bersyukur. Berserah diri adalah cara terbaik ketika kamu merasa tak mampu menghadapi semua sendiri. Sebab tak ada tempat lain yang lebih nyaman untuk bergantung selain Allah. Berharaplah hanya pada-Nya agar kamu tak pernah kecewa."

Safiyya mengangguk paham dengan penuturan Ustaz halim.

"Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Q.s Al-Baqarah ayat 153)"."

"Tapi saya takut, Ustaz. Saya takut menjadi bahan olok-olokan semua orang setelah saya hijrah."

Ucapan Safiyya kembali dibalas senyum oleh ustaz Halim. Sebelum kemudian laki-laki berperawakan kecil itu menjawab perkataan Safiyya.

"Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan (Q.s Ad-Duha:4) Cukup itu yang harus kamu ingat. Manusia yang menentukan adalah akhir hidupnya akan bagaimana. Belum tentu orang yang terlihat shaleh atau shalehah mereka akan berakhir baik, dan sebaliknya."

****

Safiyya menatap berani pada seorang wanita bertubuh gemuk yang mengenakan wig berwarna coklat terang. Bibir merah wanita itu menyunggingkan senyum sinis ke arah Safiyya, mata besarnya menatap tajam, seakan sengaja membuat nyalinya menciut. Sementara beberapa rekannya yang lain pun menatap wanita itu dengan senyum mengejek.

Usai menemui Ustaz Halim, Safiyya menemui Bu Sinta. Berbekal saran dari Maira gadis itu memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk mundur dari grup musik. Dan di sini lah dia sekarang, di sebuah ruangan enam kali enam meter yang biasa grup musiknya gunakan untuk latihan sebelum manggung. Ruangan yang dicat dengan warna kuning menyala itu semakin ramai dengan ornamen-ornamen khas dangdut. Alat-alat musik berjajar rapi di sudut ruangan, dengan satu sofa panjang yang biasa digunakan Bu Sinta duduk untuk mengawasi mereka. Ada pula sebuah meja yang biasa digunakan untuk makan ramai-ramai sambil menonton tv.

"Kamu bilang apa tadi? Coba ulangi!" ulang wanita gemuk itu sekali lagi.

"Saya ingin berhenti menyanyi, Bu Sinta." Wanita bernama Sinta mendengus sinis. Menatap Safiyya dari atas ke bawah. Lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri Safiyya.

"Kamu sadar dengan yang kamu katakan?" Bu Sinta menekankan kalimatnya. Nada geram terdengar dari mulutnya.

"Saya sangat sadar, Bu. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berhijrah."

Semua orang tertawa mendengar ucapan Safiyya. Kata-kata hijrah yang dilontarkan gadis itu terdengar seperti lelucon bagi mereka.

"Heh, Safiyya! Koe yo mbok mikir. Orang-orang seperti kita meski menutup tubuh dengan rapat, tetap akan dipandang sebelah mata. Karena apa? Mau kemanapun kamu lari. Kamu tetap lah mantan biduan. Yang menjual lekuk tubuh dan suaramu di depan banyak orang," ucap Marni, rekan sesama penyanyi.

"Apa sing di omongno Marni bener, Saf. Pikir-pikir sek keputusanmu. Bukannya kamu harus membiayai hidup ibu dan adikmu, toh? Kalau kamu berhenti menyanyi, kamu mau hidup dari mana?" ucap Ranti menambahkan. Wanita bertubuh mungil itu menepuk bahu Safiyya. Dari sekian banyak rekannya, Ranti adalah yang paling tulus pada Safiyya

"Nggak, Mbak. Keputusan Fiyya sudah bulat. Fiyya mau berhijrah menjadi wanita yang lebih baik. Insyaallah rezeki Allah bisa datang dari mana saja."

"Walah, Saf ... Saf. Wong ora duwe be yo belagu. Macam-macam mau hijrah segala. Hijrah kui belakangan, toh umurmu masih muda," ejek Mas Pur, penabuh genderang di dalam kelompok grup musik. Yang di angguki setuju semua orang.

"Usia nggak ada yang tahu, Mas. Fiyya cuman mau hidup Fiyya lebih baik. Nggak cuma mentingin dunia."

"Ya sudah, kalau itu keputusanmu. Tapi, ingat, kamu jangan menyesal setelah ini. Karena saya nggak akan pernah bersedia membantu kamu lag, dan hutang-hutangmu saya tunggu pelunasannya." Akhirnya meski setengah hati, Bu Sinta bersedia melepas Safiyya.

Gadis itu pun mengangguk senang.

"Terima kasih, Bu. Saya janji akan mencari pekerjaan secepatnya, dan membayar hutang-hutang saya pada Ibu. Terima kasih untuk semua kebaikan Ibu selama ini."

Safiyya hendak menyalami Bu Sinta karena terlalu senang. Tapi, wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya. "Sudah ... sudah ... kamu boleh pergi."

Dengan senyum tersungging di bibir Safiyya akhirnya pergi. Rasanya begitu lega sudah mengutarakan niatnya. Sekarang yang harus  dilakukan adalah memikirkan hari besok, serta rencana-rencananya ke depan. Dia begitu tak sabar menjalani hidup barunya setelah berhijrah.

"Bismillah, semoga ini yang terbaik ya Allah. Hamba mohon permudah semuanya," gumam Safiyya, gadis itu lantas memutuskan pulang cepat untuk mengutarakan berita ini pada ibu dan adiknya. Mereka pasti senang, pikirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status