Malaya dituduh oleh suaminya sendiri telah berselingkuh. Itu semua dikuatkan dengan bukti-bukti nyata berupa foto-foto dan video. Tapi dengan keyakinan penuh, Malaya menampik dan mengatakan jika itu semua adalah fitnah semata. Hingga suatu saat kecurigaan Malaya terbukti. Jika semua itu adalah fitnah untuk dirinya. Malaya tak akan melepas sesiapa pun yang turut aerta menghancurkan kehidupannya, dan pembalasan pun ... dimulai.
view morePlak!
Prang!Ragaku terhuyung ke belakang karena tak siap dengan tamparan di pipi, sehingga bokongku sukses mendarat di lantai dapur yang keras. Mangkuk kaca berisi sup daging pun melayang dan jatuh terburai. Isinya berserak bersamaan dengan kepingan pecahan kaca. Bahkan, pecahan dari mangkuk ada yang menyabet kaki. Perih.Aku kaget bukan kepalang mendapat perlakuan secara tiba-tiba dan kasar seperti itu. Apa ini? Kualihkan pandangan pada sosok tersebut. Netra membeliak tak percaya. Mas Reno?Ya, Mas Reno—suamiku. Pria tampan berperawakan tinggi dan tegap itu sedang bertolak pinggang menatapku nyalang."M-mas?! Ada apa? Kenapa pulang-pulang malah nampar Malaya?" tanyaku dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di pipi sekaligus di hati.Bekas tamparan Mas Reno kutekan kuat. Rasanya panas dan sedikit perih. Sejak kapan Mas Reno tiba? Mengapa aku tak mendengar suara deru mesin mobilnya? Apa karena terlalu asyik dengan kesibukan di dapur, sampai-sampai suami pulang pun aku tak menyadari? Dengan masih terduduk netraku kembali menyusuri lantai yang penuh tumpahan sup. Sayangnya, batinku."Kau keterlaluan Malaya. Sungguh keterlaluan! Apa kurangnya aku di matamu sampai tega ngelakuin ini semua?! Bahkan, kau sanggup mencoreng nama baik keluargaku! Kenapa, hah?!" bentaknya menudingku dengan telunjuk tepat ke arah wajah.DegAda yang berdenyut di sudut hatiku saat Mas Reno dengan gamblangnya menyebut kata 'Kau' padaku, padahal seumur-umur berumah tangga dengannya kata itu begitu 'Tabu' di telinga kami berdua.Netra lelaki yang kupanggil 'My love' itu memerah dan berair. Napasnya naik turun tak beraturan dengan cepat. Rahang yang tampak mengeras itu mengatup rapat. Aku sangat takut—takut melihat ia yang seperti bukan dirinya. Sungguh, aku benar-benar tak mengerti. Suamiku itu pergi pagi untuk mencari nafkah dengan kehangatan, mengapa malamnya pulang dengan penuh api dendam kemarahan, padahal ia adalah sosok yang sangat lembut dan penyabar.Sekesal apa pun Mas Reno terhadapku, ia tak akan pernah memasang raut muka semenakutkan itu. Pun, selama kami berpacaran hingga menikah tak pernah ia berlaku kasar. Jangankan memukul seperti ini meninggikan suara saja tak pernah ia lakukan.Tapi kini, tangan yang suka mengelus pipi dan membelai rambut hitam legam panjang milikku itu, tangan yang suka menautkan jari jemari jika kami saling berjalan bersama, malam ini, ya, malam ini mampu melakukan kekerasan terhadap fisikku."T-tapi kenapa, Mas? Malaya beneran nggak ngerti kenapa mas bisa marah sampai segitunya. Beri penjelasan, Mas," tanya dan ucapku dengan suara lemah dan bergetar sembari berusaha menahan tetesan bening dari pelupuk mata. Aku benar-benar syok diperlakukan seperti ini."Jangan banyak drama! Pura-pura nggak tau dan sok polos! Aku yakin, kau sebenarnya sudah tau kenapa aku begitu marah dan sanggup menamparmu!" cebiknya menatapku tajam."Mas ... Malaya beneran nggak tau apa-apa. Kalaupun Malaya melakukan kesalahan, beritahunya, kan, bisa baik-baik."Aku menekan nada bicara selembut mungkin. Berusaha menahan gejolak di dada walau hatiku sudah terlanjur sakit. Bagaimana pun ia suami yang harus aku hormati. Mas Reno orang yang lembut, pasti dengan kelembutan ini ia akan menyadari kesalahannya yang menegurku dengan kekerasan. Manalagi kurasakan ujung bibir yang semakin perih, membuatku tak bisa membuka mulut lebih lebar. Penasaran, kuraba di mana rasa sakit itu muncul dengan punggung jari telunjuk. Benar saja. Noda merah telah berada samar di sana. Sepertinya ujung bibirku robek."Tadinya aku nggak percaya Malaya. Kutepis semua kabar dan berita tantang tingkah lakumu di luaran sana. Tapi apa yang aku dapatkan! Pengkhianatan! Kau berkhianat, Malaya! Kau perempuan ular! Kau perempuan busuk!""Mas!" teriakku kecewa. Lelaki yang paling kusanjung itu begitu tega mengucapkan kata-kata yang tak pantas padaku. Demi Tuhan, aku tak pernah berkhianat di atas janji suci pernikahan kami. Apa alasan Mas Reno bisa berkata dan berpikiran sepicik itu terhadapku?Buliran bening tak mampu lagi kubendung. Akhirnya ia jebol juga. Bagai curahan air dari langit buliran itu terus saja membanjiri pipi. Dalam mata mengabur, kulihat Mas Reno membuka tas kerjanya dengan tangan bergetar dan terburu-buru."Apa ini? Siapa dia? Sudah berapa lama kalian saling berhubungan?!" teriaknya sambil melempar sesuatu ke arahku.Aku yang masih bergeming di lantai dengan pikiran yang berkelana tiba-tiba tersentak kala benda yang dilemparkannya mengenai wajah. Pedas di pipi dan sakit di bokong tak lagi kuperdulikan. Lembaran-lembaran yang beterbangan di udara, kini menjadi fokusku.Plek.Selembar foto jatuh di bawah kaki. Cepat kupungut salah satunya. Mataku membulat seketika begitu melihat apa yang tercetak di dalam foto."Astaghfirullah. A-apa ini?"Terlihat di sana seorang wanita yang sedang terbaring telentang dengan hanya ditutupi selembar selimut putih. Dari leher, bahu dan tangannya polos terbuka. Wanita itu terlihat kelelahan. Di sampingnya seorang pria juga ikut tertidur dengan posisi tertelungkup. Tangannya melingkar di perut sang wanita. Wajah mereka saling berhadapan hingga tak ada jarak yang memangkas di antaranya. Intim. Itulah yang bisa dideskripsikan jika se-siapapun melihat foto itu.Pria yang ada di foto membelakangi, hingga tak kelihatan dengan jelas wajah siapa itu. Namun, tidak dengan wajah sang wanita. Ia benar-benar terlihat dengan sangat jelas dan dia adalah ... aku sendiri."A-apa maksudnya ini, Mas?" jeritku histeris membuang foto seraya beringsut ke belakang dengan bokong. Tubuhku gemetar begitu juga dengan kedua tangan, turut gemetar seraya menjambak rambut. Takut—aku benar-benar takut dengan apa yang barusan kulihat.Tersadar dengan sekelilingku yang penuh dengan tebaran foto, kuraih kembali beberapa lembar untuk memastikan. Sama saja. Semua itu adalah foto-foto yang menampilkan wajahku dengan pose beraneka. Lelaki yang bersamaku pun tetap tak kuketahui siapa orangnya. Seluruh posenya membelakangi kamera, hanya wajahku saja yang tersorot."Kau bertanya apa?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, Malaya. Apa ini!? Kau berselingkuh di belakangku, hah?! Kau berani berbuat mesum lalu mengabadikannya seperti ini?! Menjijikkan Malaya. Sangat menjijikkan! Kusangka kau wanita terhormat, tapi ternyata kau tak ubahnya seperti wanita penjaja kenikmatan di luaran sana!"Deg"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments