Mentari telah condong ke arah barat saat kaki ini melangkah keluar dari pintu gerbang sekolah. Rasa lelah memaksaku ingin cepat sampai di rumah dan merebahkan diri.
Beruntung sopir yang bertugas menjemputku telah standby di tepi jalan dekat dengan gerbang sekolah. Hanya saja kejadian menyebalkan membuatku ingin marah.“Den Darren, Meisya belum pulang?” tanya sopirku sembari melongok keluar jendela mobil.“Mungkin sebentar lagi, Pak Jo. Kita tunggu aja.”“Baik, Den. Den Darren kayaknya capek banget, pelajarannya susah, ya, Den?”“Pelajaran, mah, gampang. Yang bikin capek itu adalah kegiatan mikirnya, Pak Jo.”“Oh, begitu … maklum, Den. Dulu Pak Jo sekolahnya hanya sampai SMP saja,” ujar pria setengah baya itu diiringi tawa kecil.Kulirik penanda waktu di pergelangan tangan. Sudah hampir lima belas menit aku menunggu Meisya, tapi tak tampak juga batang hidungnya. Apa jangan-jangan ia nyasar dan tak tahu jalan pulang?Atau … ah, Alea! Jangan- jangan Meisya dihadang oleh Alea and the gengs. Aku harus cepat menyusul, kasian kalau sampai gadis lugu itu dibully oleh gadis yang sok populer itu.“Den Darren mau ke mana?” tanya Pak Jo yang melihatku tergesa saat turun dari mobil.“Mencari gadis kampung yang nggak ngerti jalan pulang!” seruku dengan emosi.Kaki ini berlari menyusuri lorong gedung sekolah yang telah lengang menuju ruang kelas Meisya. Sepi. Tak ada satu pun siswa tersisa di sana. Lalu di mana gadis kampung itu?Antara emosi dan kekhawatiran bercampur aduk tak karuan. Kepalaku melongok setiap ruang kelas yang ada di lantai tiga. Tapi tetap tak kutemukan Meisya.Ya, Tuhan … di mana dia. Ini adalah hari pertama ia masuk sekolah, sudah pakai acara ngilang segala. Ponselnya juga tak aktif pula.Rasa lelah menggerayangi tubuh, kusandarkan tubuh pada tiang penyangga gedung. Saat itulah sayup-sayup kudengar suara beberapa siswi dari arah kantin. Canda tawa mengiringi langkah mereka. Sontak tubuh ini bangkit dan memasang indera pendengaran dengan baik.“Itu bukannya suara Alea dan gengnya? Kok, mereka tertawa bahagia? Wah, ada yang nggak beres ini. Pasti mereka sudah melakukan sesuatu kepada gadis kampung yang malang itu,” gumamku.Segera kusambangi arah suara itu dan berteriak sekeras mungkin. “Alea! Kamu apain Mei - Mei ... Sya ….” Ucapanku terhenti saat mata ini melihat Meisya ada di antara mereka.Sungguh bola manikku membeliak melihat pemandangan yang tak biasa. Tangan Alea merangkul bahu Meisya dan mereka tertawa ceria, seakan mereka telah bersahabat lama.“Kenapa, Darren? Kok wajahmu tegang begitu?” tanya Alea yang melihatku menelan saliva karena terhenyak melihat keakraban mereka.“Nggak apa. Aku hanya mencari gadis kampung yang tak tahu jalan pulang!” jawabku ketus untuk menutupi keterkejutanku.“Kamu ini kenapa, sih? Dengan sepupu sendiri, kok, begitu. Meski dia dari kampung, tapi di aitu sepupu kamu. Masih saudara dengan keluarga kamu, jadi nggak boleh bersikap seperti itu ke Meisya,” tutur Alea yang sok bijak menasihati.Mata ini makin mendelik mendengar ucapan Alea yang tetiba berubah 180 derajat. Ini sebuah hal yang tak mungkin, apalagi bersikap manis terhadap gadis kampung seperti Meisya. Aku tahu betul karakter Alea. Sepertinya ada tujuan terselubung yang sengaja ia rencanakan.Feeling aku tak enak, bisa jadi Alea memanfaatkan Meisya untuk mencari tahu segala hal tentangku. Dia itu kan Miss Kepo, selalu penasaran dengan urusan orang.Jujur, aku tak yakin dengan perubahan Alea yang tiba-tiba. Sebisa mungkin aku harus bisa mengingatkan Meisya untuk berhati-hati.“Buruan pulang! Jangan bikin orang khawatir aja!” kusambar tangan Meisya dan menariknya dengan kasar.“Mas Darren ini kenapa, toh? Jalannya jangan cepet-cepet, Mas. Aku kepontal-pontal, nih!”Tak kepedulikan celoteh Meisya yang penuh keluhan atas sikapku yang masih menarik tangannya. Enak saja dia bikin aku makin capek gegara mencari dia, nggak tahunya malah dia asyik bercengkrama dengan makluk posesif itu.“Cepet masuk!” titahku seraya mendorong tubuh Meisya untuk masuk ke dalam mobil, kemudian ikut duduk di sampingnya.“Jalan, Pak Jo! Cepetan jangan pakai lama karena aku lagi capek setengah mati, apalagi habis muter-muter nyariin gadis kampung yang tersesat!”“Iya, Den.” Pak Jo langsung melajukan mobil menuju rumah ternyamanku.“Mas Darren itu bisa nggak kalau nyebut aku pakai nama. Nggak usah manggil dengan sebutan gadis kampung.” Meisya protes dengan sikapku yang semakin jutek.“Kenapa? Nggak ikhlas aku sebut gadis kampung? Coba aku tanya, kamu asalnya dari mana?”“Dari desa.”“Desa itu kampung apa kota?” “Ya, de-desa. Tapi nggak harus begitu juga kali!”“Udah diem! Protes aja kerjaan kamu. Nggak mikir orang capek harus nyariin kamu muter-muter!”“Tadi itu sudah mau pulang, Mas. Tapi dicegat sama Mbak Alea, katanya mau ditraktir makan di kantin. Ya aku mau lah … namanya rejeki nggak boleh ditolak, ‘kan?”“Dasar norak! Baru juga diiming-iming traktiran nggak seberapa udah nurut aja!”“Hish, Mas Darren ini nggak tahu. Tadi Mbak Alea traktir aku bakso dua mangkok, lho. Terus aku nambah jus binatang berapi juga dikasih.”“Jus binatang berapi? Apaan, tuh?”“Yaelah … gitu aja nggak tahu,” ledek Meisya dengan senyum mencibir.“Hampir tiga tahun aku sekolah di situ, nggak ada kantin jual jus binatang berapi.”“Sebentar aku carikan di g****e.” Jari lentik itu tampak menggeser layar ponsel dan mengetikkan huruf di pencariaan.“Nih, lihat baik-baik. Biar tahu jus apa itu.”Sekali lagi mata ini dibuat mendelik oleh gadis aneh di sampingku ini. Gambar yang ia tunjukkan kepadaku tak lain dan tak bukan adalah jus buah naga. Gila saja dia memberi sebutan tak masuk akal.Itu buah naga, bukan binatang berapi!” Emosiku memuncak ke ubun-ubun gegara menghadapi gadis aneh macam dia.“Sekarang aku tanya, hewan yang bisa mengeluarkan api, hewan apa namanya?”“Naga lah … gitu aja pakai tanya.”“Jadi, bener donk apa yang aku bilang tadi,” selorohnya sembari tersenyum menggoda dan mengerjapkan mata dengan lucu.‘Tahu, ah! Percuma bicara sama orang kampung!”Segera kubuang pandangan keluar jendela, namun sempat kulihat dari kaca kecil Pak Jo tampak menahan tawa sehingga kuurungkan niatku menatap langit.“Kenapa, Pak Jo?”“Nggak apa-apa, Den.” Pak Jo sedikit salah tingkah karena ketahuan sedang menertawakan aku, tapi kurasa bukan aku yang ia tertawakan. Kemungkinan ia tengah menertakan si aneh yang duduk di sampingku.Suasana kembali hening. Hanya ada suara deru mesin yang membelah jalanan di sore hari. Jujur, aktivitas pembelajaran yang berlagsung dari pagi hingga menjelang sore cukup membuatku penat.Memandang cahaya emas mentari senja dan semilirnya angin yang menerpa wajah akan membuatku tenang. Aku ingin segera ke roof top untuk menikmati semua itu.Perjalanan pulang sekolah akhirnya sampai juga, mobil memasuki halaman rumah berpagar besi yang cukup tinggi menjulang. Pak Dalim yang bertugas sebagai sekuriti bergegas menutup kembali pintu gerbang setelah mobil masuk.Kulihat mama yang masih sibuk dengan tanaman bonsai, ia melakukan pekerjaannya dengan dibantu Bik Atin. Melihatku turun dari mobil, mama langsung menghambur dan memelukku seperti biasa. Tak hanya sekedar memeluk, tapi juga mendaratkan kecupan di kedua pipi ini.“Kok pulangnya telat, Sayang? Mampir dulu ke mana?”“Gadis kampung pakai acara ngilang, Ma!”Mama mengernyitkan dahi, “Kok, ngomongnya begitu?”“Habisnya Darren sebel, Ma. Aku, tuh, lagi capek banget. Eh, malah dia asyik ngelayap dengan cewek sok populer itu!”“Anak Mama kenapa, sih? Nggak biasanya jutek begini.”“Udah, ah, Ma. Darren mau mandi terus ke roof top. Suruh Bik Atin bawain camilan dan secangkir kopi latte kesukaanku, ya, Ma. Serius Darren lagi capek hari ini.”“Iya. Sudah sana masuk,” ucap mama semba
Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”“Oh, begitu.”“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”“Tapi kata Darren ….”“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumo
Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”“Kemana, Mas?”“Ke kafe.”“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa ka
“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen s
Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cuk
Dengan gamang kulangkahkan kaki yang sebenarnya terasa berat menuju gazebo yang kini telah berubah menjadi tempat belajar. Semakin dag dig dug saat harus duduk di dekat Miss Lena, mencium harum bau parfum sweet romance yang mengusik indera pembau.“Sudah siap, Darren?”“Iya, Miss.”“Sekarang kamu bisa baca ringkasan materi ini dan silahkan mana yang belum paham.”“Baik, Miss.”Kuterima lembaran kertas yang telah distaples menjadi bandelan, namun tak segera kubaca. Tatapanku justru terarah ke Meisya yang ternyata sejak tadi memperhatikan wajahku tanpa berkedip, sebuah senyum juga terurai dari bibir itu.Mama kenapa juga nyuruh gadis katrok itu untuk ikutan belajar. Ganggu rencana saja. Kalau begini bagaimana cara aku merayu Miss Lena. “Ehm, ehm ….” Kucoba berdehem untuk menghentikan sikap konyol dari gadis kampung itu, namun ternyata tak ada efek sama sekali.“Eh, gadis kampung! Kamu mau belajar apa mau lihatin aku?” Tak dapat kusembunyikan sikap ketusku terhadap gadis itu meski ada M
Dari arah lain kulihat Meisya dan Bik Atin membawa penampan berisi makanan yang akan disajikan untuk makan bersama. Mereka meletakkan seluruh makanan dan alat makan di lantai gazebo.“Meisya, kamu ikut makan di sini, ya. Temani Miss Lena,” pinta guru kesayanganku itu.“Maaf, Bu guru. Meisya tadi pagi sudah makan, dia kalau makan di dapur.” Bik Atin segera menyambar ucapan Miss Lena, kemudian menarik tangan Meisya agar segera pergi dari sini.Miss Lena tampak keheranan dengan sikap Bik Atin. Ia melepas pandangan ke arah mereka yang hendak pergi.“Itu asisten rumah tangga kamu, kok, bersikap begitu dengan Meisya?”“Meisya itu keponakannya Bik Atin, Miss. Dia ikut ke sini karena ayahnya ingin Meisya sekolah di kota.”“Ooh … itu sebabnya kamu bersikap seenaknya ke Meisya?”“Bukan, Miss. Tapi ada hal lain yang tak bisa kuceritakan.”“Rahasia?”Mata ini kembali menelusuri wajah cantik di hadapanku. Hanya sebuah senyum yang kuberikan sebagai jawaban.“Makan, Miss. Semoga suka dengan masakan
Samar-samar terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kemungkinan itu papa yang baru saja sampai setelah hampir dua minggu mengurus usahanya yang di luar kota.Mama menghentikan tangis dan melepas pelukan, ia seka air mata yang telah membasahi pipi sehingga ada sedikit sembab terlihat di sana. Semburat kekhawatiran semakin menggurita di wajah itu, aku tahu pasti ia sedang bingung harus bicara apa ke papa nanti.“Ma, Mama tak perlu khawatir. Nanti kita akan sampaikan ke Papa secara bersamaan agar Papa bisa mendengar langsung cerita dari Darren.” Aku mencoba menenangkan mama yang tampak kebingungan, kuelus punggung tangannya.“Kita sambut Papa, yuk! Darren sudah kangen dengan Papa.”“Iya, Sayang.”Kugandeng tangan Mama untuk menuju ruang depan, menyambut kehadiran lelaki luar biasa bernama Tuan Zain Bakri, yaitu seorang ayah sekaligus suami yang sangat menyayangi keluarga.“Sudah pulang, Pa,” sambut mama ketika melihat lelaki yang sangat ia cintai itu memasuki ruang tengah.“Iya, Ma