“Mas Darren, dia siapa, sih?” tanya Meisya dengan tatapan penuh rasa penasaran.
“Sudah jangan banyak tanya. Sebentar lagi bel masuk, buruan aku antar kamu ke kelas.” Dengan sedikit kasar kutarik tangannya menuju ruang kelas tempat ia akan belajar.“Ini kelas kamu, nanti saat istirahat jangan mencoba mencari aku!” titahku saat ia sudah ada di depan kelasnya.“Kenapa, to, Mas Darren? Takut aku minta dijajanin, yo?”“Udah, jangan banyak tanya!”“Iya.”Tanpa menunggu ia masuk kelas, aku sudah melenggangkan kaki pergi meninggalkan Meisya yang mungkin saat ini masih deg-degan di lingkungan barunya. Lebih baik aku jaga jarak dengan dia karena tak ingin gadis lugu itu terkena masalah dari Alea yang terus saja cemburu kepada setiap gadis yang mendekatiku.Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia melakukan perundungan terhadap Jenny si cewek cupu namun smart yang sering menghabiskan waktu bersamaku di meja perpustakaan.Aku memang nyaman saat diskusi dengan gadis berkaca mata tebal itu. Banyak ilmu pengetahuan yang bisa menjadi bahan pembicaraan, bahkan kami pernah belajar tentang coding untuk menciptakan sebuah aplikasi belajar.Tapi sayangnya, Jenny memilih pindah sekolah karena tak tahan lagi dibully oleh Alea dan geng. Meski tak main fisik tapi mereka menyerang secara psikis. Tak jarang yang menjadi korban akhirnya memutuskan pindah sekolah karena jika mengadu pun sia-sia. Alea adalah anak salah satu pendiri Yayasan, sudah pasti memiliki kekuatan.Sejak saat itu aku memilih tak dengan dengan siapa pun agar semua aman dari serangan Alea yang seperti tokoh Bayangker Peri dalam film Balveer. Cantik tapi hatinya seperti penghuni rumah angker. Menyeramkan!Hari ini adalah hari pertama Meisya masuk sekolah, seharusnya aku bisa menemani dia. Namun, niat itu kuurungkan karena sedari pagi Alea terus saja memperhatikan gerak-gerikku. Parahnya, hari ini ia nekad duduk di kursi yang ada di seberang kiriku.“Darren, boleh nggak aku hari Minggu main ke rumah kamu?” tanya Alea setengah berbisik.Aku masih berpura-pura tak mendengar, sengaja kuabaikan panggilannya dan fokus dengan pelajaran Bahasa Inggris yang disampaikan oleh Miss Lena.Aku paling semangat jika memperhatikan pelajaran dari guru muda nan cantik itu, apalagi masih lajang. Ada lesung pipit di kedua pipi, kulitnya juga bersih dan wajah Miss Lena cerah bersinar. Ah, sempurna sekali wanita yang jadi guru Bahasa Inggris-ku itu.Tangan kiriku seketika kugunakan untuk menumpu dagu, sebuah ide muncul saat menatap wajah Miss Lena. Kalau saja aku bisa mengambil hati wanita dewasa itu, pasti Alea tak akan berani mengganggu.Tapi apa mungkin aku bisa menaklukan hati wanita yang usianya di atasku? Apalagi notabene Miss Lina adalah salah satu guru yang cukup ditakuti karena sikap tegasnya bahkan dalam memberi nilai tak pandang bulu.Pernah Alea dibikin marah karena mendapat nilai kurang dari KKM, sontak ia melaporkan Miss Lena ke ayah Alea. Sungguh tak kusangka, jawaban Miss Lena mampu membuat lelaki pemilik kuasa itu terdiam.Niat hati ingin memarahi guru Bahasa Inggris itu, tetapi dengan tegas Miss Lena berkata bahwa ia mengajarkan ilmu untuk digunakan siswa hingga kelak mereka besar, jika ada siswa yang masih salah, tak mungkin dibenarkan begitu saja.Ilmu tak memandang status, semua orang berhak mendapat ilmu dan begitu pun penilaian. Dalam menilai tak pandang status anak siapakah dia, karena seorang guru sudah seharusnya memberikan penilaian yang bersifat objektif.Sungguh Miss Lena adalah guru yang hebat. Aku suka dengan sikapnya yang tak pernah membedakan siswa. Meski ia sering bertentangan dengan kepala sekolah, tapi ia lebih suka dengan pendiriannya.Kurasa jika ia menjadi kekasihku, maka Alea tak akan punya keberanian lagi untuk menggangguku. Tak aka nada lagi korban bully akibat rasa cemburu Alea kepada setiap gadis yang mencoba mendekatiku.“Darren! Denger nggak kalau aku bicara! Huh!” Alea dengan kasar menyambar tangan yang sedang kugunakan untuk menopang dagu sehingga hampir saja aku terjatuh karena kaget.“Apaan, sih? Berisik!” bentakku dengan kesal.“Ada apa, Darren?” tanya Miss Lena dengan pandangan ke arahku.“Alea mengganggu sejak tadi, Miss!” Aku mencoba mengadu, berharap Alea akan mendapat teguran dari Miss Lena.“Bukan begitu, Miss. Dari tadi Darren hanya melamun, makanya aku ingetin dia untuk memperhatikan penjelasan Miss Lena.” Alea mencoba mencari pembenaran atas sikapnya.Huh! Dia memang paling pintar kalau berkelit. Dasar mulut ular, lidahnya bercabang dua. Jadi, pinter dia membolak-balikkan fakta. Eh, tapi bener juga, sih! Tadi aku memang sedang melamun tentang Miss Lena. Hihihi … untung saja wanita itu tak tahu.“Benar itu, Darren?”“Nggak, Miss. Dari tadi aku dengerin penjelasan dari Miss Lena, kok.”“Kalau begitu, coba jelaskan kembali yang telah Miss jelaskan tadi.” Dengan tatapan yang begitu tenang dan kedua tangan bersedekap ia mengujiku.Huff ….Tadi dia menjelaskan apa, ya? Kucoba melihat tulisan yang ada di papan tulis berwarna putih itu, kemudian membuka otak untuk memahami. Tapi ….“Maaf, Miss. Saya masih belum paham pelajaran hari ini. Boleh diulang sekali lagi?”“Hahaha ….” Sontak satu kelas menertawakan kebodohon yang baru saja kulakukan.Ini gara-gara sibuk berpikir tentang niatan hati untuk menjadikan Miss Lena sebagai pacar. Alhasil malah malu duluan sebelum maju perang.Hmm … tapi aku jadi punya ide untuk memanfaatkan kejadian ini. Aku akan membujuk mama agar meminta Miss Lena datang ke rumah untuk bimbingan privat. Jadi, aku punya banyak waktu untuk mendekati wanita dewasa itu.“Darren, kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Wah, sepertinya lagi jatuh cinta, nih? Sudah balikan dengan Alea, ya?” ledek Miss Lena saat melihatku tersenyum simpul membayangkan duduk berdua dengan dirinya.Mendengar ledekan itu sontak wajah ini berubah pias. Sungguh ia tak peka. Eh, mau peka gimana? Aku kan belum nunjukin sikap suka, hahaha ….Tunggu saja Alea, akan kuhentikan sikap posesifmu itu. Coba saja kamu lawan Miss Lena kalau berani. Biar tahu rasa dia, bakalan mengkeret nyali dia.Kulirik Alea yang masih bermuka masam, senyum sinis kuperlihatkan padanya dengan sengaja. Kali ini musuhmu beneran kakap, Alea! Hahaha ….Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga