"Lain kali jangan mengemis di masjid! Kita ini punya uang, kenapa tidak pesan makanan saja? Hah?!" tanya Mama dengan nada tinggi, tampak kekesalan di raut wajahnya."Sudahlah, Ma ... Darren pastinya juga belum begitu stabil pikirannya, mungkin saja dia masih bingung." Papa mencoba membelaku.Sikap Mama membuatku tertegun beberapa saat. Hanya makanan pemberian dari orang di masjid pun dia se-emosi itu."Ya sudah, kalau Mama masih lapar bisa pesan makanan delivery. Darren mau keluar," ujarku dengan hati dipenuhi rasa kecewa dengan sikap Mama.Aku tinggalkan mereka demi menghindari perdebatan. Apalagi kondisi tubuh ini juga memang belum begitu fit. Benar kata Papa, sepertinya setelah sadar berada di makam itu, kesadaran pikiran belum sepenuhnya pulih.Mungkin bisa dibilang tubuh dan pikiran masih belum seratus persen sinkron.Sejenak aku teringat pada masjid dekat rumah sakit, suasana yang kurasakan sangat berbeda. Begitu adem dan nyaman.Pandanganku mengedar mencari keberadaan Meisya, t
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Bunyi debum mobil yang ditabrak oleh sebuah truk besar terdengar begitu keras. Teriakan empat orang yang ada dalam mobil begitu histeris."Aaa!!!" teriakku seketika saat bayangan sebuah mobil itu mengarah dan menabrakku.Teriakan itu berbarengan dengan tersadarnya diri ini dari mimpi buruk. Aku terbangun dengan peluh yang telah membasahi tubuh. Jantung berdetak lebih cepat bak dentuman meriam yang meledak-ledak.Ah, lagi-lagi mimpi yang sama. Aku pun tak mengerti kenapa mimpi yang sama selalu datang menghampiri tidurku. Sudah hampir delapan tahun bunga tidur yang aneh terus hadir menghias pikiran alam bawah sadarku.Aku Darren, usiaku hampir genap 18 tahun dan sedang menyelesaikan pendidikan di SMA Elite di kotaku, aku masih duduk di kelas XII. Aku termasuk anak yang cukup populer di sekolahku. Tak hanya memiliki wajah tampan, namun prestasiku juga dapat dibanggakan.Beberapa kali memegang sabuk juara pertama karate tingkat nasional dan tahun kemarin masuk dalam tiga besar juara Olimp
"Maaf, Bulik. Aku terpaksa ngejar taksinya," tutur gadis itu dengan napas tak beraturan."Lho, kamu ini. Taksi kok dikejar.""Iya, Bulik. Ponsel aku ketinggalan di dalam taksi.""Oalah, Nduk. Kamu ini masih muda, kok sudah pelupa. Masih untung taksinya bisa dikejar.""Iya, Bulik. Eh, Bulik ... itu siapa, kok, lihat aku sampai nggak kedip, gitu?"Aku yang sejak tadi terpegun memperhatikan gadis itu segera tersadar karena mendengar ucapan dia yang blak-blakan. Logat medok Jawa khas gadis desa terdengar aneh di telingaku.Secara wajah, dia memang mirip gadis yang sering menemuiku. Tapi secara logat ... teramat jauh beda. Benar-benar aneh bagiku karena semua seolah menjadi dejavu."Ini Den Darren, anak majikan Bulik." Bik Atin memperkenalkan keponakannya yang terkesan norak itu.Dengan percaya diri, gadis bernama Meisya itu mengulurkan tangan meraih tanganku. Tanpa malu-malu ia memperkenalkan diri terlebih dahulu. "Kenalin Mas Darren, aku Meisya Anindya Ningrum anak dari Pak Joyo Diwiryo
Sudah seminggu gadis cantik itu tinggal bersama keluargaku. Anehnya, semenjak kehadiran dia di rumah ini, malam lelapku tak lagi bermimpi tentang dirinya. Ketenangan bisa lebih kurasakan, bahkan rasa nyaman saat menatap wanita itu begitu nyata hadir dalam relung batin. Aneh memang, tapi semua itu sungguh nyata.Seperti hari ini, kulihat ia begitu anggun memesona dalam balutan pakaian seragam putih abu-abu dengan rambut digerai dan ada kepangan kecil dari belahan tengah rambut menyamping di kedua sisi. Tak tampak seperti gadis desa, ia justru bak tuan putri yang mengalihkan duniaku. Entah sejak kapan tanpa aku sadari ada pendar asmara yang mulai mengusik istana hatiku yang telah lama kosong.“Meisya, hari ini kamu sudah mulai berangkat sekolah, ‘kan?” tanya mama yang melihat Meisya telah menggendong tas ransel dan membopong beberapa buku dalam dekapannya.“Iya, Nyonya. Aku sudah seperti anak kota belum, Nyonya?” tanyanya seraya memacak diri meminta pendapat.Mama tersenyum melilhat tin
“Mas Darren, dia siapa, sih?” tanya Meisya dengan tatapan penuh rasa penasaran.“Sudah jangan banyak tanya. Sebentar lagi bel masuk, buruan aku antar kamu ke kelas.” Dengan sedikit kasar kutarik tangannya menuju ruang kelas tempat ia akan belajar.“Ini kelas kamu, nanti saat istirahat jangan mencoba mencari aku!” titahku saat ia sudah ada di depan kelasnya.“Kenapa, to, Mas Darren? Takut aku minta dijajanin, yo?”“Udah, jangan banyak tanya!”“Iya.”Tanpa menunggu ia masuk kelas, aku sudah melenggangkan kaki pergi meninggalkan Meisya yang mungkin saat ini masih deg-degan di lingkungan barunya. Lebih baik aku jaga jarak dengan dia karena tak ingin gadis lugu itu terkena masalah dari Alea yang terus saja cemburu kepada setiap gadis yang mendekatiku.Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia melakukan perundungan terhadap Jenny si cewek cupu namun smart yang sering menghabiskan waktu bersamaku di meja perpustakaan.Aku memang nyaman saat diskusi dengan gadis berkaca mata tebal itu. Banyak i