Share

4. Klaim

“SIAL!” umpat Remi.

Tak kupedulikan lagi karena aku sudah berlari dari ruangan itu, terlalu malu menjadi saksi skandal sebuah keluarga. Orang-orang kaya ini terlalu bosan dengan hidupnya sehingga mencari percikan dari hubungan terlarang.

Hatiku memanas karena itu tadi Remi! Merasa bodoh pernah membuka diri pada pria bejat sepertinya, amoral pula!

Tiba di ruangan yang jadi tujuanku sebenarnya, saat tanganku hendak membuka handlenya, urung. Berbalik menuju pintu depan, bodoh sekali aku sempat merasa bangga menjadi bagian dari mereka. Semu. Aku tak cocok menjadi penjilat. Lagipula topeng mereka telah terbuka, mereka bukan orang-orang suci tanpa cela yang diagung-agungkan berita.

Tak lagi memedulikan pesta, dengan tekad bulat aku melangkahkan kaki keluar. Sebuah tangan besar menarik lenganku, tubuhku di paksa masuk ke cloakroom yang penuh dengan mantel milik para tamu.

“Apa-apaan?!”

“Meha, gadis nakal. Kau sudah memergoki perbuatan terlarang dan sekarang hendak kabur? Mau kau jual kemana informasi tadi?” bisik Remi di telingaku dalam ruangan sempit itu.

Tubuh kami berhimpitan dan aku muak dengan glenyar rasa aneh dari area bawah perutku setiap berdekatan dengan Remi. Sadarlah gadis bodoh! Batinku sambil menggigit bibir.

“Lepas... Lepaskan!” aku mendorong badannya yang berat, ia dengan sengaja menghimpit tubuh mungilku dengan tubuhnya yang kekar, memutus ruang gerakku.

Tanpa aba-aba, Remi kembali melumat bibirku, membuat pertahananku runtuh. Belum lagi kecupan-kecupannya pada bahuku yang terbuka secara membabi buta, tak ada area yang dilewatinya, aku mengutuk diriku yang malah menikmatinya.

Mengapa aku bisa begitu benci dan cinta pada orang yang sama?

Sadarlah! Sadarlah Meha sebelum kau semakin terlena! Logikaku berkata. Ya benar, jika aku lengah maka aku akan terluka.

Saat tangannya dengan begitu berani masuk ke dalam celah pahaku. Cukup sudah.

“STOP!” teriakku yang membuatnya terkejut dan sukses membuatnya mundur mengangkat tangan.

“Thank you,” aku menghormati keputusannya dan hendak keluar dari ruangan sempit-laknat-yang-membuatku-ingin-menerkamnya-lagi ini.

Remi menahan tanganku lembut.

“Meha, apa yang kau lihat di perpustakaan tadi tak seperti yang kau duga.”

“Bukan urusanku tuan Remi.”

“Menjadi urusan untukku, karena jika itu orang lain maka aku tak akan ambil pusing. Tapi aku tak ingin jika itu kau yang salah persepsi terhadapku.”

“Aku bukan siapa-siapa tuan. Usah pedulikan.”

“Kau milikku Meha.”

“Tsk!” aku berdecak karena kesal dengan cara orang-orang kaya ini memandang orang lain layaknya properti.

“Sudah kukatakan tuan. Terimakasih, tapi tidak. Aku tak sedang mendaftar sebagai salah satu pelayan tuan.”

“Begitukah kau menilaiku Meha?”

Kulirik ia, mempertanyakan isi otaknya yang tampak lemot.

“Ayo, kukenalkan pada kedua orang tuaku,” ajaknya mengangsurkan tangan untuk kupegang. Aku sempat menimbang untuk sesaat, bijakkah menerima undangannya ini. Karena jika salah langkah, maka tak ada jalan lurus untuk kembali.

“Sebentar,” aku memperbaiki penampilan dibantu olehnya, well tidak juga karena jarinya tak henti-henti dimainkan di pundakku yang terbuka. Aku mengutuk setan yang tertawa melihatku hampir tergoda untuk tetap tinggal di ruangan ini dan melanjutkan adegan panas kami tadi.

“Huuuft...” ia menghembuskan napas kecewa karena melihat pendirianku yang tetap teguh dan reaksi jujurnya itu membuatku geli, tak tahu saja ia jika aku mengerahkan seluruh tekad yang kupunya untuk menahan diri.

“Ayo.” Ajakku dengan senyum tersungging, dikecupnya tanganku manis, dan aku meleleh.

Ia menuntun tanganku kembali ke ballroom. Kali ini saat kami masuk, ruangan yang semula bising tiba-tiba hening, seluruh mata memandang. Kutarik tanganku dari genggaman Remi namun ditahannya.

Dituntunnya tanganku menuju Mr dan Mrs Langdon yang memandang kami tanpa berkedip.

“Dad, Leah. Ini kekasihku, kenalkan Miss Meha Fumiko Azeeza.” Sempat terkejut karena ia tahu nama panjangku.

“Selamat malam Sir dan Mrs Langdon.” Sapaku berusaha tampak sopan.

“Remi, aku tak tahu jika ia milikmu.”

“Begitulah, dad. Kuharap kau tak mengganggunya.”

“Haha, kau bisa bercanda juga.”

“Aku serius dad.”

Kuperhatikan Mrs Leah yang menenggak gelas sampanyenya hingga habis, tak mengindahkan perdebatan ayah – anak di dekatnya, mungkin sebuah adegan yang sudah biasa di matanya.

“Oh, ini gadis tak tahu sopan santun yang menggeledah rumah orang-orang yang baru didatanginya? Dimana kau pungut dia Remi?”

“Tutup mulutmu Leah,”

“It’s MOM, Remi. Dan jangan buat kegaduhan di sini, semua orang sedang menonton. Kalian berdua, akurlah!” perintah Sir Langdon.

“Kau sangat tahu dad, sampai kapanpun aku tak akan pernah memanggilnya dengan sebutan yang tak pantas ia sandang itu! Permintaanmu berlebihan.”

“Baiklah, baiklah. Pergilah bergaul, sapa tamu-tamu kita. Mereka adalah aset masa depan. Aku sudah muak melihat pertengkaran kalian berdua. Senang mengetahui kau akan jadi bagian dari keluarga kita, Meha. Selamat bergabung.”

Aku menundukkan kepala hormat.

Mrs Leah menatapku dengan pandangan sinis yang tak disembunyikan. Saat Remi pamit untuk mengambilkanku minuman, jalang licik itu mendekatiku.

“Yang kau lihat tadi belum apa-apanya. Remi tak akan pernah bisa berpaling dariku. Camkan itu jalang kecil. Oya, di toko loak mana kau temukan pakaianmu? Baunya seperti sampah,” hinanya dengan bibir mengerucut yang membuat amarahku memuncak.

“Setidaknya, harga diriku masih lebih tinggi dibandingkan denganmu, Mrs Leah. Kemana saja kau umpankan bibir tua penuh silikonmu itu? Kau tak sadar seringai jijik pria yang jadi korbanmu?”

“KURANG AJAR!” teriaknya lalu tanpa diduga menarik rambutku yang tadinya tergelung ke atas kini sukses berantakan.

Aku menahan rasa sakit di kulit kepalaku. Orang-orang sudah riuh melihat pergulatan kami. Beruntung Remi dan Sir Langdon melerai sebelum aku semakin malu menjadi pusat perhatian untuk hal yang memalukan.

Remi membawaku pulang dengan mobilnya, syukurlah. Aku tak tahan harus menjadi pajangan jika tetap di sana.

“Hal baik apa yang sudah kau katakan sehingga membuat berang-berang itu marah?” goda Remi.

Mendengar pertanyaan konyolnya itu membuatku tertawa terbahak-bahak.

Remi menghentikan mobilnya di halaman parkir asrama yang sepi. Ia menatap mataku lekat-lekat, kami menelan ludah dengan susah payah. Saat bibir kami semakin dekat.

“Kruuk...” suara perutku tak sopan, aku memejamkan mata malu.

“Hahaha!” ganti Remi yang tertawa lepas. “Ayo, tak baik jika bercinta dengan perut lapar.” Remi memundurkan mobilnya dan mengajakku mencari makan. Perut sialan! Rutuk hatiku.

Diluar dugaan, Remi mengajakku ke pub kecil yang dipenuhi mahasiswa kampus kami. Aku senang karena menunya di sini sesuai dengan lidahku. Beberapa kawan yang kukenal menyapa dengan anggukan, namun saat dilihatnya aku bersama Remi mereka menghindar.

“Hei, Meha!” sapa Daniel menepuk pundakku akrab. Wajah Remi merah padam melihat tangan Daniel yang masih menempel di sana.

Melihatnya yang sudah siap memulai perkelahian, aku berinisiatif mencairkan suasana.

“Dan! Kenalkan temanku, Remi! Kau mau bergabung bersama kami?”

“Wah! Bo-,”

“Tidak, dia bisa cari meja sendiri.” Potong Remi dingin membuat suasana menjadi kikuk.

“Woah, oke. Sampai jumpa di lab, Meha!” Daniel yang tahu diri menyingkir.

“Apa katamu tadi? TEMAN? Aku sudah mengenalkanmu pada kedua orang tuaku sebagai kekasih dan kau mengenalkanku sebagai TEMAN?”

“Sabarlah, tuan Remi. Aku masih begitu bingung, kau sama sekali tak meminta persetujuanku atas klaimmu.”

“Tapi aku tak melihat penolakanmu saat tanganku berada di dalam blouse mu.” goda Remi nakal.

Aku memejamkan mata, mengutuk nasibku yang tak kunjung membaik.

“Berhentilah menggoda semua pria, Meha. Kau sudah menjadi milikku.”

Dahlah, aku menyerah. Benar-benar tak paham cara kerja otak orang-orang kaya.

*

*

*

Kembali ke masa kini, aku dibawa menuju entah kemana oleh si jalang licik. Yang pasti sudah tidak dalam sekoci lagi karena suara deru mesin mobil dan jalanan berbatu menyakitkan bokongku.

Wangi udara yang kami lewati tampak asing, sedikit beraroma asin laut? Kemana ia membawaku? Sepertinya inilah akhir hidupku.

Mobil berhenti. Hatiku semakin mencelos.

“Buka tudungnya!”

“SRAK!” kain yang menutupi kepalaku dilepaskan.

Mataku memicing karena sinar siang hari yang teramat terang.

“Meha....” sapa suara yang sangat kurindukan, aku mencari-cari sosoknya dan tak dapat menyembunyikan kegembiraan saat ekor mataku menangkap sosoknya yang sedang berdiri di tepi dermaga terpencil.

“Hmmph!” teriakku tertahan.

“Oh, aku lupa, maaf.” Seloroh Leah dan melepaskan sumbat di mulutku.

“Remi!” teriakku, pegangan pada kedua tanganku dilepaskan oleh anak buah Leah. Dengan langkah sempoyongan aku berlari ke arah Remi.

Remi terkejut melihat kondisiku dan menangkapku tepat saat tubuhku hendak membentur aspal.

“Aku sudah menepati janjiku. Kini saatnya kau memenuhi permintaanku, Remi.”

Aku memandang Remi bingung, Remi membuat kesepakatan dengan jalang licik ini? Apa yang dia minta?

Remi memerintahkan Raymond untuk menyerahkan apa yang Leah minta. Dengan sangat enggan Raymond melakukannya.

Leah memeriksanya dengan seksama, saat apa yang dimintanya sesuai ia tertawa terbahak-bahak “HAHAHA! Kau bodoh sekali Remi! Menyerahkan warisanmu hanya untuk seorang gadis yang asal usulnya tak jelas! Serang mereka!” perintahnya tiba-tiba.

Tiga lawan dua, Raymond dan Remi sepertinya sudah memperkirakan hal ini, karena detik berikutnya. Seluruh anak buah Leah tewas terkapar tertembak oleh mereka berdua.

Leah menganga kehabisan kata-kata, ia tak bisa sesumbar senang lagi.

“Re- Remi, kau tentu tahu jika tadi hanya main-main, aku tak mungkin melukaimu.”

“Andai kau tadi langsung pergi, aku tak akan meminta kembali apa yang sudah kuberikan Leah. Tapi kau masih saja tamak, untuk itu terpaksa aku ambil kembali apa yang memang menjadi milikku.”

“Ti-tidak! Jangan Remi! Aku berjanji tak akan mengganggumu dan jala- maksudku Meha. Aku merestui kalian. Biarkan aku pergi sekali ini, Remi. Setelah ini aku akan menghilang.”

“Apa tadi kau juga mau memberikanku kesempatan kedua? Kurasa tidak. Ray, selesaikan.” Perintah Remi dingin.

DOR!

Sekali tembak.

Dan kisah hidup Mrs Leah Thompson-Bortolomov itu tamat.

Aku terpaku menatap rentetan peristiwa bertubi-tubi yang terjadi padaku. Berakhirkah sudah? Apakah ini artinya aku boleh bernapas lega?

Remi berjalan ke arahku dengan seringai usilnya yang kurindu. Saat senyum hendak terkembang di bibirku, aku menyaksikan Raymond yang kini mengacungkan glock-nya ke arah Remiku dari arah belakang.

‘TIDAK! Jangan bercanda!’ suaraku tercekat di tenggorokan. Remi melihat ekspresiku yang berubah pias, ia berbalik namun.

DOR!

Bunyi tembakan pecah di udara, aku kesulitan bernapas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status