Share

Bab 5 banyak alasan

[Wanita itu berjalan ke luar lewat pintu belakang, terus masuk ke bangunan kecil di belakang rumah mertuamu.]

Sabrina kembali mengirimkan pesan beserta gambar sebuah bangunan yang lebih mirip seperti kandang. Entahlah itu gubuk atau apa, aku belum pernah melihatnya. Datang ke rumah Ibu pun, baru tadi dengan cara memaksa pula.

[Oke, makasih, Sabrina,] balasku padanya.

[Sama-sama. Kalau butuh bantuan apa pun, tinggal hubungi aku, ya? Selamat tidur, Tsania.]

Pandanganku tak lepas dari foto yang diberikan Sabrina. Ternyata benar saja kecurigaanku, jika wanita itu kabur lewat pintu belakang.

Sialnya, aku tidak menyadari itu saat di rumah ibu mertua. Pikiranku buntu karena amarah yang terlalu menggebu.

"Sepertinya aku harus ke sana lagi," ucapku pelan, nyaris tanpa suara.

Kupandangi wajah Mas Rendra yang sudah terlelap sejak tadi. Demi Tuhan aku tidak percaya jika laki-laki itu telah berkhianat.

Dia bahkan tidak sendirian. Ibu mertua pun ikut andil dalam menutupi kebohongan putranya.

"Apa salahku pada kalian, hingga kamu dan Ibu setega itu, Mas?" Aku kembali bicara dengan satu tetes air mata yang keluar dari sudut netraku.

Perih, hatiku rasanya seperti ditusuk belati panas. Kewarasanku pun dipertaruhkan sekarang ini.

Aku dipaksa kuat, harus tersenyum, meskipun di dalam hati ada luka yang entah akan sembuh atau tidak.

Melihat pergerakan Mas Rendra, buru-buru aku membelakanginya seraya menghapus jejak air mata.

Aku tidak boleh menangis, aku harus bisa membongkar semua kebohongan Mas Rendra dan ibu mertua.

*

"Gimana keadaannya sekarang?"

Langkah kaki yang hendak pergi ke dapur, kuurungkan saat mendengar suara suamiku dari kamar tamu.

"Oh, syukurlah kalau hanya kontraksi palsu. Jadi, dia baik-baik saja sekarang?" ujar Mas Rendra lagi.

Kontraksi. Lagi-lagi kata itu yang dia ucapkan. Dan aku tahu, siapa yang menelepon suamiku sekarang ini. Pasti Ibu yang memberikan kabar tentang wanita hamil di rumahnya.

"Bukannya tidak sayang, tapi aku harus mempertimbangkan semuanya. Aku tidak mau pernikahanku dengan Tsania jadi berantakan karena masalah ini."

Di balik pintu yang tidak tertutup rapat, aku masih menguping pembicaraan Mas Rendra dengan orang di balik panggilan suara.

Sungguh serakah suamiku itu. Dia ingin tetap mempertahankanku di saat hatinya telah terbagi dengan wanita lain.

Dia pikir aku sudi berbagi suami?

Tidak! Aku akan menggugat cerai setelah semuanya terbongkar. Aku tidak ingin diduakan dengan alasan apa pun.

"Mana mungkin aku membawanya ke sini, Bu. Alasan apa yang harus aku berikan pada Tsania dan orang tuanya? Ibu lihat sendiri, kan, bagaimana Tsania mengamuk di rumah kemarin? Dia bisa saja berbuat lebih jika tahu aku membawa wanita lain ke kota ini."

Aku meremas baju bagian dada, menikmati tikaman busur panah yang menikam jantung. Tidak mengeluarkan darah, tapi sakitnya begitu parah.

Tega. Mas Rendra sungguh luar biasa jahatnya padaku.

"Oke, hari ini aku akan ke sana lagi. Tapi entah pukul berapa, aku tidak bisa memastikan. Aku harus kerja dulu. Kalau tidak, ayah mertuaku akan curiga," lanjut Mas Rendra lagi.

Tidak ingin merasakan sakit lebih lama lagi, aku memilih pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan.

Setidaknya, aku sudah tahu jika suamiku akan pergi ke rumah ibu mertua hari ini. Tinggal aku mengatur rencana untuk ikut ke sana tanpa diketahui Mas Rendra.

Dua gelas teh panas sudah terhidang lengkap dengan kue kering dan beberapa gorengan yang aku beli dari penjual keliling barusan.

Dengan senyum manisnya, Mas Rendra datang menghampiri, lalu mencium pucuk kepalaku singkat.

"Ya ampun, ini pasti sakit, ya? Maaf, ya, Sayang?" Dia berujar seraya mengambil tanganku yang mulai sedikit membiru.

"Lumayan sakit," jawabku singkat.

Jika saja dia tahu, hatiku justru lebih sakit daripada luka yang dia berikan di tanganku. Akankah dia peduli? Sepertinya tidak. Buktinya, dengan sadar dia mengkhianatiku sampai memiliki wanita lain di kotanya berasal.

"Hari ini kamu sibuk, gak?" tanyaku memancingnya bicara.

"Sepertinya begitu, Sayang. Ada beberapa pekerjaan penting yang harus aku selesaikan di pabrik. Oh, iya, aku baru ingat, hari ini akan ada kiriman daun teh yang lumayan banyak ke luar kota, jadi aku harus memastikan kualitas daun yang kita jual. Aku akan sibuk hari ini."

Aku manggut-manggut seolah-olah percaya dengan alasannya.

Pabrik dan teh yang dia jadikan alasan. Dia pikir aku bodoh dan tidak tahu apa-apa mengenai perkembangan pabrik teh milik orang tuaku itu?

Aku bahkan tahu kapan harus mengirim daun teh kering ke agen, dan jadwal-jadwal pengiriman teh kemasan lainnya.

"Kenapa diam? Enggak percaya? Mau ikut ke pabrik sekalian?" tantangnya.

"Percaya, Mas. Aku percaya sama kamu. Tapi ... boleh juga kalau aku ikut ke pabrik. Sudah lama juga aku enggak main ke sana, dan menyapa karyawan pabrik. Oke, aku ikut ke sana."

Mas Rendra melebarkan mata, kemudian dia mengangguk lemah seraya menyesap teh manisnya.

Terlihat sekali dia keberatan, tapi tidak berani mencegah.

Syukurin. Kemakan omongan sendiri, kan?

Aku tersenyum di balik cangkir yang menyentuh bibir.

"Eh, tapi kalau karyawan nanya, kamu mau jawab apa soal tangan yang membiru itu, Sayang? Apa kamu akan mengatakan itu perbuatanku?"

Kali ini aku yang melebarkan mata tentang kekhawatirannya.

"Tenang saja, Mas. Aku akan memakai manset yang menutup pergelangan tangan. Kupastikan tidak akan ada yang bertanya tentang ini," jawabku santai.

Mas Rendra tak lagi bicara. Pandangannya kosong seraya tangan menyuapkan gorengan ke dalam mulut dengan cepat.

Sedangkan aku, mengirimkan pesan pada Sabrina, menyuruh dia bersiap jika nanti aku membutuhkannya.

Kami akan pergi ke Jakarta mengikuti Mas Rendra. Bahkan kalau bisa, aku harus sampai terlebih dahulu di sana.

"Bukannya mau ikut? Cepat ganti pakaian," ujar suamiku. Aku mengangkat kepala, melihat dia lalu mengangguk.

Dengan perasaan senang dan tak sabar akan petualangan hari ini, aku pergi ke kamar untuk mengganti dress rumahan yang aku kenakan dengan celana jeans yang dipadukan bersama kaus over size. Tidak lupa, aku juga memakai manset warna hitam agar menutupi pergelangan tangan yang membiru, juga topi untuk melindungi kepalaku dari panasnya sinar matahari.

"Sudah siap, Mas. Yuk, berangkat!" seruku seraya beridiri di ambang pintu ruang makan.

"Bentar, Tsa. Semangat banget kamu ini. Habiskan dulu tehnya, lalu cuci biar gak dikerumuni semut. Setelah itu baru kita pergi. Aku juga masih mau makan gorengan ini," tutur Mas Rendra dengan mulut penuh makanan. "Ngomong-ngomong, siapa yang jualan gorengan? Kayaknya rasanya beda dari yang biasa kita beli."

"Mak Minah." Aku berucap singkat.

Kesal pada Mas Rendra yang terkesan mengulur waktu. Entah apa yang dia pikirkan dan rencana apa yang sedang dia susun agar aku tidak jadi ikut dengannya. Namun, aku tidak akan goyah. Aku akan tetap ikut ke pabrik karena tidak mau kecolongan.

"Udah abis tehnya?" tanya Mas Rendra beberapa saat kemudian.

"Udah."

"Cuci gelasnya, sekalian punyaku. Aku mau ke kamar mandi dulu. Kebelet."

Aku berdecak kesal karena Mas Rendra terus saja mencari alasan. Dengan hati yang dongkol, aku pun mencuci dua gelas yang tadi kamu gunakan untuk minum teh. Setelahnya, aku duduk kembali di kursi seraya memainkan ponsel.

"Mas! Cepetan!" teriakku setelah beberapa menit dia tak jua datang.

"Bentar lagi, Sayang!"

"Lama." Aku menggerutu kesal.

*

"Tsa, bangun!"

"Emmh ...." Aku menggeliat seraya menggaruk kepala.

"Tsania! Astaga ... ini anak susah sekali dibangunin."

Aku berdecak kesal saat mendengar suara yang mengganggu tidurku.

Tidur? Tunggu. Bukannya aku akan pergi ke pabrik bersama Mas Rendra?

Buru-buru aku membuka mata lebar-lebar, lalu melihat sekitar. Dan bertapa terkejutnya aku saat tahu aku tengah berada di atas tempat tidur.

"Mana Mas Rendra?" ujarku seraya menatap Sabrina yang tiba-tiba ada di rumahku. Aku beringsut duduk, terus menatap Sabrina yang berdiri di samping tempat tidur.

"Mana aku tahu?" Sabrina mengedikkan bahu dengan wajah kesalnya "Ada juga aku yang harusnya bertanya. Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Dari pagi aku telepon kamu sampai malam, gak diangkat juga. Karena khawatir, aku pun datang ke sini. Pas nyampe, rumah gelap tapi gak dikunci. Kalau ada maling gimana? Tidur kayak orang mati."

"Malam? Emang ini jam berapa?" tanyaku pada seraya mengumpulkan ingatan.

"Jam tujuh malam."

"Hah?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status