Namika mencoba beberapa baju yang akan ia kenakan hari ini. Matanya kemudian tertuju pada sebuah dress berwarna putih. Ia dan Aruna sudah berjanji untuk bertemu lagi hari ini.
Sejujurnya Namika tidak pernah tertarik dengan tempat-tempat yang akan tuju. Namika hanya memiliki satu tujuan, yaitu menghabiskan waktunya berdua dengan Aruna.
Laki-laki bermata biru itu berhasil membuat Namika kembali bodoh. Dua belas tahunnya bersekolah terasa sia-sia. Namika terkekeh ketika ia mengambil catokan dan mulai membentuk rambutnya.
Waktu pun menunjukkan pukul lima sore. Namika menunggu Aruna sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tangannya terus memainkan ponselnya walaupun pikirannya tertuju pada Aruna.
Bel villa berbunyi dan Namika membuka dengan tergesa-gesa. Aruna melambaikan tangannya dan langsung terpana ketika melihat penampilan Namika. Namika juga merasakan hal yang sama.
Aruna menggunakan kaos putih disertai kemeja krem dan celana berwarna hijau gelap. Sementara itu, Namika menggunakan dress maxi berwarna putih dan ikat rambut yang menjuntai.
“Dressnya bagus banget,” puji Aruna setelah mereka terpana selama beberapa saat.
Namika terkekeh. “Kemejamu juga bagus banget kalau dijadiin outer. Oh iya, hari ini kita mau kemana?”
Aruna berpikir sejenak. “Awalnya aku mau ngajak kamu main di pantai dulu sih, tapi kan enggak lucu kalau aku malah ngerusakin dress kamu. Aku bakal tunjukin kamu salah satu spot favoritku.”
Gadis itu hanya mengangguk dan segera mengenggam tangan Aruna. Sudah enam hari sejak perkenalan mereka dan Namika merasa dia sudah lebih berani untuk melakukan hal itu.
Setelah berjalan selama beberapa menit, mereka tiba di sebuah sungai yang bermuara ke laut. Aruna menarik tangan Namika untuk duduk ke sebuah gazebo.
Namika dapat melihat beberapa orang di sana. Ia kemudian melirik Aruna dan menyadari jika laki-laki itu tersenyum lebar. Jarang sekali Namika bisa melihat Aruna tersenyum seperti itu.
“Kayaknya tempat favoritmu selalu punya gazebo ya?” kekeh Namika.
“Kalau yang di tebing itu memang aku yang minta dibuatin. Kalau yang ini sih, Sirius yang bikin untuk tempat pariwisata,” jawab Aruna.
Namika mengangguk mengerti. Dia masih belum terlalu mengerti hubungan Aruna dan Sirius. Tidak mungkin Sirius mau membiayai Aruna begitu saja.
Mereka berdua kemudian terdiam tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. Jantung Namika tidak berhenti berdebar. Jika dia melihat ke smartwatchnya, dia tahu jika detak jantungnya melebihi angka seratus.
Aruna mengusap bahu Namika dan tanpa sadar kepala gadis itu sudah berada di pundaknya. Namika tidak tahu mengapa dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Aruna.
Namika mencoba untuk tidak memikirkan itu. Tapi semakin dia berusaha untuk tidak memikirkannya, hal itu malah semakin menempel di otaknya. Ia kemudian menoleh dan melirik Aruna.
Mata biru laki-laki itu merefleksikan cahaya matahari yang terbenam. Lagu yang terputar di ponsel Namika adalah satu-satunya hal yang mengeluarkan suara. Suasananya menjadi sangat hening.
Matahari pun terbenam sepenuhnya dan Aruna menatap Namika. Namika tidak mengerti kenapa dia melihat perasaan sedih dan bahagia di mata Aruna.
“Kamu udah laper kan? Ayo kita ke tempat makan yang aku suka,” ucap Aruna sambil mengusap kepala Namika.
Namika menyetujui itu. Mereka kemudian berjalan menyusuri pantai hingga Namika menemukan sebuah tempat makan yang sangat ramai. Mereka berdua pun duduk di kursi yang tersedia.
“Di sini dominan seafood sama makanan eropa sih. Pilih aja yang kamu suka,” celetuk Aruna sambil menyerahkan buku menu.
Gadis itu sedikit mengerutkan keningnya ketika melihat buku menu. Makanan yang ditawarkan memang lumayan mahal. Namun sepertinya mereka melakukan itu karena mereka menjual pemandangan.
Namika menunjuk beberapa makanan dan menyerahkannya kembali pada Aruna. Kepalanya mulai terasa sakit karena ada beberapa orang di sekitarnya. Itu memang tidak terlalu banyak, namun cukup untuk membuat Namika merasa mual.
Jika saja bukan Aruna yang mengajaknya untuk pergi ke sini, Namika pasti sudah menolaknya mentah-mentah. Lebih baik dia dijuluki sebagai anti sosial dibandingkan harus menahan sakit.
Namika menatap makanan di hadapannya. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, dia akan sulit menemukan makanan lokal seperti ini. Tapi Namika tahu jika semuanya membutuhkan pengorbanan.
Dia juga mungkin tidak akan bertemu dengan Aruna lagi. Namika tidak tahu apakah dia bisa pulang ke Bali selama setahun sekali. Orang tuanya bahkan belum pernah menemuinya sejak mereka pindah.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam dan Namika menyerah ketika orang yang datang semakin banyak. Aruna tampak kebingungan namun laki-laki itu hanya menuruti keinginan Namika.
Namika yang masih merasakan dampak dari kekuatannya itu berusaha untuk berjalan. Aruna menatap Namika dengan khawatir. “Kamu enggak cocok sama makanan di sana ya? Maaf ya, lain kali aku enggak bakal ngajak kamu ke sana lagi.”
Gadis itu menggeleng namun dia tidak memiliki tenaga untuk menjawabb kata-kata Aruna. Laki-laki itu memutuskan untuk membawa Namika ke villanya. Ia segera memberikan teh hangat kepada Namika.
Keadaan Namika membaik dengan cepat karena satu-satunya masalah adalah karena ada terlalu banyak pikiran orang yang dia baca.
Namika melirik Aruna yang tampak ingin mengatakan sesuatu, namun Namika memutuskan untuk tidak menanyakan itu karena ekspresi Aruna yang sangat gugup.
Ia tidak tahu apa yang ingin Aruna katakan namun dia yakin itu berhubungan dengan rahasia yang ia sembunyikan.
“Maaf ya Runa. Aku mau pulang dulu. Makasih ya udah ngajak aku jalan-jalan hari ini,” ucap Namika lemas.
Aruna mengangguk. “Istirahat aja dulu ya, Mika. Biar kondisi badanmu fit lagi,” balasnya.
Namika mengangguk dan kembali ke villanya. Matanya langsung terpejam ketika tubuhnya menyentuh ranjang. Hari ini memang sangat melelahkan.
***
Namika melihat sebuah plastik yang terselip di gerbang. Ia mengangkat sebelah alisnya dan membuka surat yang ada di dalamnya dengan cepat. Wajahnya langsung memerah ketika ia membaca isi surat itu.
Halo Namika! Aku tadi maunya langsung ngomong sama kamu, tapi kayaknya kamu belum bangun karena kecapekan kemarin. Aku mau kasih kamu sesuatu sebagai permintaan maaf. Diterima ya!
Namika membuka isi plastik tersebut dan melihat beberapa makanan homemade. Ia membulatkan matanya dan segera membawanya masuk ke dalam. Aroma makanan itu terpancar dengan indah.
Namika yang bangun dengan perut lapar sontak menghabiskan makanan itu dengan cepat. Selama makan, Namika berusaha menahan senyumannya. Aruna memang benar-benar pantas menjadi laki-laki idamannya.
Ia segera membersihkan dirinya dan menunggu sore. Namika berencana untuk mengajak Aruna berenang di kolam renang villa. Dia yakin Aruna pasti menyukainya.
Namika segera bergegas menuju villa Aruna ketika waktu menunjukkan pukul empat sore. Dia menekan bel dan menunggu Aruna untuk keluar. Ia langsung tersenyum lebar ketika melihat Aruna.
“Aruna! Ayo berenang di villaku!” ajak Namika semangat.
Aruna yang terkejut langsung merubah ekspresinya dengan cepat. “Ayo. Tapi kamu yakin mau berenang sekarang? Kemarin kamu baru sakit lho,”
Gadis itu mengibaskan tangannya. “Itu cuma gara-gara angin pantai. Selama aku di dalam villa, aku pasti bakal tetap sehat kok,”
“Oke,” jawab Aruna singkat.
Namika dan Aruna segera masuk ke dalam villa Namika. Mereka berdua segera masuk ke dalam kolam renang tanpa melepaskan baju mereka. Namika tertawa kencang ketika baju mereka mengambang.
“Mau lomba enggak? Tahan napas di air selama mungkin. Yang kalah harus nurutin permintaan yang menang,” tantang Aruna.
Gadis itu sontak mengernyitkan keningnya. “Siapa takut! Gini-gini aku juga jago renang ya!” ucap Namika sombong.
Aruna hanya menyeringai. Dalam hitungan ketiga, mereka berdua masuk ke dalam air sambil menatap satu sama lain. Namika bisa merasakan paru-parunya yang mulai terasa sesak.
Di sisi lain, Aruna tampak sangat santai. Namika menatap hidung Aruna. Entah mengapa dia merasa jika Aruna tetap bernapas di dalam air. Namun oksigen di tubuh Namika habis dan gadis itu sontak mengangkat tubuhnya.
Aruna tertawa dan menjulurkan tangannya. “Karena kamu kalah, aku punya satu permintaan. Hari ini aku mau di villamu sampai jam dua belas malam. Kamu sanggup kan?”
Namika merenggut. “Permintaan yang sangat amat gampang. Jelas sanggup.”
Namika melirik beberapa orang yang kini sedang berdiam di villa yang Alora sewa. Entah mengapa gadis itu tiba-tiba merencanakan sesuatu yang sangat mendadak seperti ini."Jadi.. Kita sekarang mau ngapain?" tanya Yumi bingung.Alora tertawa kecil. "Ngapain aja juga boleh. Kalau aku sih hari ini mau minum aja. Dapet wine yang manis banget nih."Namika melirik Archie yang sedang menghisap vapenya. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa canggung walaupun mereka berempat menatap Archie dengan tatapan bingung."Ini kalian berdua udah baikan apa gimana?" tanya Namika.Archie terdiam sejenak dan menatap Namika. "Hmm, mungkin bisa dibilang gitu? Aku tahu kok kalau kamu sama Yumi masih ngerasa enggak nyaman sama aku.""Masalahnya kamu tuh brengsek banget, tahu. Untung aja waktu itu kamu sogok aku pakai uang. Kalau enggak, mungkin sampai sekarang kamu juga masih belum aku maafin," sahut Arjuna.Aruna mengangguk setuju. "Yaudahlah. Minta rokok dong, Juna. Masih pusing banget nih ngurusin anggota
Namika menatap kedua kakinya yang terbenam di kolam renang. Rasanya sangat aneh karena untuk pertama kalinya, hidupnya terasa tenang lagi. Kejadian kemarin terasa seperti mimpi buruk."Aku yakin kalau aku pasti udah mati kalau kekuatannya Tante Mutia enggak aktif," komentar Aruna. Paha laki-laki itu masih terlihat sangat menyeramkan karena luka yang disebabkan oleh Luke."Jujur aku kaget banget kemarin. Ternyata Tante Mutia masih bisa melampaui batasannya dia. Yah, walaupun lumayan terbatas karena untuk lawan yang kuat, kekuatannya enggak bisa jadi pasif."Laki-laki itu mengusap rambut Namika dengan lembut. "Aku bersyukur deh, kamu enggak ada luka sama sekali. Tante Mutia lumayan parah lukanya, mana psikisnya juga lumayan terluka gara-gara Luke."Namika memang sempat melihat kondisi Mutia sekilas. Namun, dia harus mendapatkan perawatan sehingga Namika meninggalkannya di kamar. Namika melirik paha Aruna."Kamu kenapa enggak minum mithril aja? Kan pasti langsung sembuh?" tanya Namika. D
Mutia menatap Luke yang sedang merangkulnya. Siapa pun yang melihat mereka sekarang pasti berpikir jika mereka berdua adalah kekasih. Yah, mereka tidak salah jika itu terjadi sepuluh tahun yang lalu.Perempuan itu tidak mengerti kenapa Luke sampai harus melakukan ini. Mutia sangat yakin jika Luke masih memiliki akal yang sehat walaupun dia memang posesif saat mereka berpacaran."Sebenarnya ilmu hitam apa yang kau gunakan sampai kau bisa bangkit dari kubur?" tanya Mutia dengan sedikit malas. Entah apa yang harus dia lakukan supaya Luke mau membiarkannya pergi."Yah, entahlah. Ilmu hitam ini berasal dari para roh yang sudah mati. Kau tahu jika pengguna ilmu hitam akan tetap berada di dunia ini jika mereka belum melepaskan ilmu hitamnya, bukan?"Mutia mengernyit. "Aku tahu. Tapi roh? Bukankah mereka tidak bisa mati selama mereka belum melepaskan ilmu hitam mereka itu? Lalu gimana bisa kamu mengambil itu dari mereka?"Luke menyentil dahi Mutia. "Bukannya aku sudah bilang jika aku adalah s
Mutia menatap air laut yang terus menerjang. Kini dia sudah menjadi orang dewasa, namun masa lalu tidak pernah berhenti mengejarnya. Rasanya sangat menyebalkan. Tentu saja Mutia tidak dapat melupakan titik-titik terendah dalam hidupnya. Dia masih mengingat bagaimana sakit yang ia rasakan saat dia sadar bahwa dia dan Galen tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Saat itu Mutia yakin jika Galen hanya akan menjadi salah satu orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Mutia sudah ikhlas dengan kenyataan itu dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Kedatangan Angkasa membawa angin segar ke dalam kehidupan Mutia. Laki-laki yang pintar memasak itu selalu berhasil membuat Mutia tersenyum. Mutia bahkan mengira jika Angkasa akan menjadi pasangan hidupnya. Sayangnya khayalannya itu menghilang saat Angkasa meninggal karena tabung gas yang meledak. Saat itu Mutia merasakan sakit yang lebih daripada saat dia tahu bahwa dia dan Galen tidak bisa bersama. Ibu Namika adalah seseorang yang membuat
Namika membuka pintu gerbang villanya dan menatap Tante Mutia yang terlihat sangat lelah. Perempuan itu mengerutkan keningnya dan segera mempersilahkan tantenya itu untuk masuk. “Tante kenapa?” tanya Namika khawatir. Gadis itu tidak pernah melihat Mutia dengan kondisi yang sangat berantakan seperti itu. Mutia mengembuskan napasnya dan menatap langit-langit villa. Dia tidak tahu apakah dia bisa mengungkapkan hal itu kepada Namika. Tapi Mutia tahu jika Namika harus mengetahui hal itu. “Luke yang selama ini kalian bilang.. Aku kenal sama laki-laki itu,” ucap Mutia sambil memejamkan matanya. Tubuh Namika langsung menegang ketika Tante Mutia mengatakan itu. Dia dan Aruna memang sudah menduganya, tapi ia tidak menyangka jika Tante Mutia akan menceritakannya secepat ini. “Aku juga enggak tahu kenapa dia ganti nama jadi Luke. Waktu kita pacaran, namanya dia Galen,” lanjut Tante Mutia. Namika membulatkan matanya dan menahan napasnya sejenak. Namun, dia tetap duduk di samping tantenya dan
Mutia menggigit bibirnya ketika ia mendengar kabar dari Namika. Ia semakin yakin jika tujuan utama Luke adalah dirinya. Namun kenapa dia dulu sering menyerang Aruna? Tangannya memegang setir dan jantungnya tidak berhenti berdebar. Mutia sudah mengalami pahit dan manisnya hidup walaupun ia bahkan belum mencapai kepala tiga. Lagu yang mengalun di radio pun ia abaikan. Menjadi seseorang yang memiliki hadiah memang membuat hidupnya tidak pernah tenang. Kini Mutia menjadi takut jika Namika akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dia rasakan. Pandangannya menatap matahari yang mulai tenggelam. Ah.. Sebuah kenangan tiba-tiba muncul di ingatannya. Sebuah ingatan yang ingin dia lupakan, karena hubungan mereka yang memburuk. Bukannya Mutia membenci hubungan Aruna dan Namika, hanya saja dia melihat mereka setiap dia melihat pasangan itu. Dia melihat mereka yang tidak bisa menyatu karena takdir. “Apa yang bakal terjadi kalau aku enggak pernah pergi ke sini ya?” gumam Mutia pelan. Itu su