Share

Masalah Bulan Madu

Kaisar memijat pangkal hidungnya. Kepalanya yang sudah penuh dengan pekerjaan, kini harus ditambah bebannya. Membuat kepalanya nyaris pecah.

 

“Argh.”

 

 Geraman kesal Kaisar menyentak seisi ruang rapat. Mereka sontak menatap pimpinan tertinggi perusahaan itu, bertanya dengan tatapan mata apa yang salah. Terutama pembawa materi yang sudah terlihat pucat.

 

 “Lanjutkan saja,” hardik Kaisar terlihat tak sabaran.

 

 Hembusan napas lelah terdengar setelahnya dan Erika yang melihat itu bisa menebak apa yang terjadi. Erika sudah menyampaikan keinginan sang nyonya dan Kaisar tentu menolak ide itu.

 

 Padahal Kaisar sudah berusaha menahan diri. Padahal dia sudah berjanji tak akan termakan omongan Erika lagi. Tapi kalau istrinya yang selalu berusaha mendekatkan mereka walau tidak sengaja, lama-lama dia bisa terjebak lagi.

 

 Istrinya yang bodoh itu meminta Erika ikut dalam acara bulan madu. Luar biasa kan?

 

 “Sialan.”

 

 “Kenapa, Pak?”  Seseorang yang mendengar gumaman itu bertanya sepelan mungkin.

 

“Tidak ada apa-apa. Kalian coba buat simulasi pemasarannya saja dulu, setelah itu laporkan padaku. Rapat hari ini selesai.”

 

 Merasa tidak lagi bisa fokus, Kaisar memilih menghentikan rapat. Dia mungkin harus mengistirahatkan pikirannya sejenak. Terutama dari ide gila istrinya.

 

 Dia ingin menghentikan semua kegilaan yang dilakukannya bersama Erika. Bukan karena dia ingin hidup pernikahan yang baik, tapi karena dia membenci perempuan itu.

 

 “Silakan teh chamomilenya, Pak.”

 

 Kaisar yang sedang bersandar di kursi kerjanya dengan lengan menutup wajah, mengintip sedikit. Dia menengkus kesal ketika lagi-lagi harus melihat orang yang sebenarnya ingin dia hindari.

 

 “Aku tidak memintamu membuat teh.” Kaisar kembali menutup wajahnya.

 

 “Saya hanya membuatkan karena sepertinya anda sedang banyak pikirian,” jawab Erika tetap bisa tersenyum.

 

 “Aku membencimu.”

 

 “Ehm... Apakkah Pak Kaisar tahu kalau perkataan itu terdengar sangat kekanakan?”

 

 Pria itu tidak membalas. Dia tahu akan kalah jika membalas sekretarisnya itu. Erika punya pikiran yang cerdas dan selalu bisa diajak berargumen, walau dia pada akhirnya lebih banyak mengalah.

 

 “Kalau sebenci itu kenapa menerima saya?”

 

 “Menurutmu karena siapa? Kalau bukan karena Flora mengancam, aku tidak akan menerimamu kerja di sini.”

 

 “Lalu kenapa anda menerima tawaranku yang satunya lagi?”

 

 Kali ini suara geraman yang terdengar dari bibir Kaisar. Pria itu pun tak punya jawaban untuk yang satu itu. Jangankan Erika, dia saja heran.

 

 “Lalu kenapa kau menawarkan itu?” Kaisar balas bertanya.

 

 Sama seperti Kaisar, Erika tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bukan karena tidak punya jawabannya, tapi karena tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya.

 

 “Karena anda selalu mengejek saya sebagai perempuan murahan dan sebagainya,” jawab Erika baru teringat dengan kalimat yang dulu pernah dia katakan pada pria itu. “Jadi ya sekalian saya benar-benar jadi murahan saja.”

 

 Sekali lagi Kaisar menggeram marah. Dia masih ingin berdebat, tapi sudahlah. Dia sedang ingin mengistirahatkan otaknya dan mencari jalan agar istrinya tidak terus-terusan ngambek. Ngambek karena dia menolak usulan sang istri.

 

 “Cobalah pergi membujuk Flora agar kau tidak perlu ikut. Dan lakukan apa pun agar dia berhenti merajuk.”

 

 Erika tidak lagi menjawab. Dia hanya sedikit menunduk, kemudian segera mengundurkan diri. Pekerjaan sedang menunggunya.

 

 “Dia hari ini pulang ke rumah orang tuanya,” Kaisar yang sudah menutup wajah lagi menambahkan, sebelum Erika menutup pintu ruangan.

 

***

 

 Setelah seharian mengurus kerjaan kantor, kini Erika terpaksa harus mengurus urusan pribadi bosnya. Ddia malas melakukan ini, tapi akan susah menolak juga. Erika masih butuh pekerjaan itu demi kelangsungan rencananya.

 

 Sore ini Erika sudah berhasil mendapatkan buket bunga dan cokelat untuk nyonya bos. Itu adalah hal yang disukai wanita, terutama Flora yang posesif pada Kaisar.

 

 “Apa Nyonya Flora ada di rumah?” Erika bertanya pada petugas keamanan, setelah menyerahkan kartu identitas dirinya.

 

 Yah. Keamanan di rumah orang kaya memang menyebalkan. Bukan hanya di depan kompleks saja yang harus melapor, tapi di rumah yang bersangkutan juga. Untungnya Erika sudah cukup terbiasa dengan hal seperti ini.

 

 Rumah mantan bos Erika yang di Amerika juga seperti itu, teknologinya lebih canggih malah. Bukan hanya lebih cannggih rumah itu juga lebih mewah dari rumah orang tua nyonya bos.

 

 Mobil Mini yang dibawa Erika melaju melewati pagar dan diparkir tak jauh dari teras. Dia kemudian mengambil tas dan buket bunga di kursi penumpang, kemudian bergegas masuk.

 

 “Astaga Erika. Apa yang membuatmu kemari?”

 

 Pekikan senang Flora itu membuat Erika menoleh. Dia menemukan perempuan itu baru keluar dari lift yang jaraknya tak jauh dari ruang tengah dan refleks mengembangkan senyum.

 

 “Maaf karena datang tanpa pemberitahuan.”

 

 “Datanglah kapan pun kau ingin. Tak akan ada yang melarangmu datang,” jawab Flora memeluk Erika dengan erat.

 

 Perempuan berkulit eksotik itu sepertinya baru selesai mandi. Dia terlihat segar dan sangat harum. Belum lagi rambutnya yang masih agak basah. Jujur saja, kalau Erika pria dia pasti akan terposona pada kulit eksotis yang sangat terawat itu.

 

 “Saya datang atas permintaan Pak Kaisar, beliau menitipkan ini.”

 

 Erika segera memberikan buket bunga mawar merah segar, berikut sekantong cokelat mahal merk Jepang pada Flora. Memang atas perintah Kaisar, tapi Erika yang membelinya. Dan sesuai dugaan Flora menyukainya, walau masih pura-pura kesal.

 

“Saya mengambil yang Nama Chocolate Champagne Pierre Mignon. Katanya coklat bisa menaikkan mood, tapi rasanya akan terlalu hambar tanpa tambahan alkohol.”

 

 “Ck. Dia pikir ini akan membuatku senang,” keluh Flora sambil mengulum senyum.

 

 Flora makin tersenyum riang. Dia senang sekali karena sahabat barunya ini sangat pengertian dan tahu seleranya. Tanpa perlu diperintah lagi, Flora memeluk Erika.

 

 “Kau memang yang terbaik,” seru Flora terdengar sangat terharu.

 

 Tak ada yang dilakukan Erika. Dia hanya bisa membalas pelukan itu dengan hangat. Inilah yang memang diinginkannya. Mengambil hati Flora agar suatu hari nanti tidak dicurigai. Sama yang dia lakukan dengan istri mantan bosnya.

 

 Jahat memang, tapi mau diapa. Kali lalu dia melakukan hal itu karena terpaksa. Kali ini dia melakukannya karena keharusan. Demi kebahagiaannya sendiri.

 

 “Saya sangat berharap tidak diikutkan untuk liburan anda berdua kali ini. Kebetulan saya sedang ada urusan.”

 

 “Oh, ayolah. Kenapa kau plin plan sekali sih? Ini kan sudah di luar jam kerja, kenapa malah jadi bicara sopan. Dan tidak Erika kau akan tetap ikut.”

 

 Erika langsung meringis mendengar itu. Meringis karena tujuan datangnya malah ditolak dan dia malah ditegur. Bukannya Erika tidak bisa bersikap santai, tapi dia sengaja. Dia sekedar enggan berbicara santai terlalu sering.

 

 Entah mengapa Erika kurang nyaman dengan Flora. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal dengan perempuan ini di depannya ini, tapi Erika belum tahu makanya dia lebih banyak diam saja.

 

 “Oh, ada tamu. Apakah ini teman barumu?” suara berat yang samar-samar dikenali Erika terdengar.

 

 “Oh, Daddy sudah pulang,” Flora memekik riang melihat ayahnya datang. Erika membiarkan Flora berlari pergi dari depannya untuk menyambut sang ayah.

 

 Awalnya sih Erika tidak terlalu memperhatikan. Dia tidak peduli dengan ayah Flora, tapi ketika pria itu mendekat Erika terkejut.

 

 Bukan hanya sekedar terkejut biasa, tapi dia benar-benar kehilangan kata-kata. Pupil mata Erika melebar, seolah sedang melihat hantu. Tubuhnya gemetar dan napasnya tertahan. Dia mengenali pria itu.

 

***To Be Continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status