Share

Misi

  Kaisar menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia yang baru pulang dari kantor, tidak langsung masuk ke dalam rumahnya.

 

 Dia butuh untuk mengosongkan pikiran dengan cara merokok. Pria itu bukan perokok, tapi dia kadang melakukannya untuk mengosongkan pikiran atau menemani temannya merokok.

 

 “Ck. Sialan banget sih. Kenapa juga sih aku harus nikah sama dia,” geram Kaisar menendang puntung rokok yang baru saja dia buang ke rumput di taman.

 

 “Hah.” Helaan napas Kaisar terdengar.

 

 Pria itu menatap rumah yang sudah dia tinggali selama kurang lebih dua bulan terakhir. Rumah yang dibelikan oleh mertua dan membuat ego Kaisar sebagai lelaki sangat tersentil.

 

 “Kalau bukan demi uang investasi, aku pasti gak akan menikah dengan si bodoh itu,” geramnya benar-benar kesal.

 

 “Kalau begini, rasanya lebih baik menghabiskan waktu dengan si murahan Erika,” gumamnya lagi dengan wajah marah.

 

 Yes, dia merasa marah. Marah karena pada akhirnya Kaisar lebih memilih menyalahi prisip hidupnya dan menjalin hubungan dengan perempuan yang sebenarnya dia benci. Dan itu membuat dia marah pada dirinya sendiri.

 

***

 

 “Tidak. Tolong jangan,” rintih Erika tak henti-hentinya memohon, tapi tak ada yang mau mendengarnya.

 

 Air mata Erika mengalir dari sudut mata indahnya. Dia terkulai lemah di atas ranjang besar, setelah seorang pria yang bahkan masih lebih tua dari ayahnya beranjak. Sebenarnya bukan hanya ada satu pria, tapi dua. Ditambah satu pria lain yang sedari tadi memegang kamera.

 

 “Menyenangkan bukan?” seru pria yang memegang kamera, diikuti dengan kekehan puas.

 

 “Ya tentu saja,” pria lain menjawab dengan kekehan yang sama.

 

 “Sialan. Seharusnya aku yang harusnya duluan tadi, tapi gak masalah. Rasanya beda tipis,” pria yang satunya lagi ikut berbicara, kemudian diakhiri dengan tawa keras tiga orang itu.

 

 Tak ada yang peduli pada Erika. Mereka hanya peduli pada kepuasan diri sendiri. Mereka juga tak menyadari kalau pintu kamar besar itu sedikit terbuka, bahkan ada seseorang yanng mengintip di sana. Hanya Erika yang sadar.

 

 Mata Erika dan orang itu saling bertatapan. Perempuan dengan mata sembap itu berusaha meminta tolong lewat tatapan matanya karena suaranya tercekat ditenggorakan.

 

 “Tolong.”

 

 Mulut Erika terbuka. Dia mengeja satu kata itu sebaik mungkin, tapi tak ada suara yang keluar.

 

 Sialnya bukan pertolongan yang didapat. Erika malah mendapat tatapan jijik dari orang yang mengintip dari balik celah pintu itu.

 

***

 

 “Ha...”

 

 Suara tarikan napas Erika terdengar sangat jelas, bertepatan dengan matanya yang terbuka lebar. Dia baru saja terbangun dari mimpi buruknya.

 

 Erika memang sudah terbangun, tapi napasnya belum teratur. Setiap tarikan napasnya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menyangkut di saluran napasnya. Belum ditambah dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya, sampai gaun tidurnya yang tipis melekat ditubuh rampingnya.

 

 Dengan gerakan tergesa, Erika mengambil botol putih di atas nakas. Mengeluarkan sehutir obat dan menenggaknya dengan air putih yang selalu siap sedia di atas nakas.

 

 “Kenapa mimpi itu datang lagi?” gumam Erika setelah napasnya membaik.  Dia beranjak memeluk kedua lututnya.

 

“Padahal sudah cukup lama,” gumamnya sekali lagi sebelum berubah posisi.

 

 Erika bergelung di atas ranjang, berusaha menenangkan diri sebentar, sebelum akhirnya harus bangun karena sudah saatnya ke kantor. Apalagi karena ponselnya sudah berdenting.

 

 Itu adalah pesan dari nyonya bos. Dia meminta Erika melakukan sesuatu.

 

 “Kau bilang apa?” tanya Kaisar dengan kening berkerut.

 

 Erika telah sampai di kantor dan telah menyampaikan pesan dari nyonya bos pada Kaisar. Sesuai dugaan pria itu terlihat tidak senang.

 

 “Nyonya meminta saya membersihkan jadwal anda minggu depan,” Erika memberikan jawaban profesional.

 

 Umpatan langsung keluar dari mulut Kaisar tanpa henti. Dia sedang sibuk dan perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu malah meminta sekretarisnya mengosongkan jadwal. Yang benar saja.

 

 “Tolak.”

 

 “Tapi katanya ini untuk jadwal bulan madu. Anda sudah menundanya selama dua bulan dan Nyonya tidak ingin menundanya lagi.”

 

 “Kau sebenarnya kerja untuk siapa sih?” tanya Kaisar kesal sekali.

 

 “Saya kerja untuk Pak Kaisar, tapi tentu saja saya tidak bisa mengabaikan Nyonya begitu saja. Perusahaan bisa jatuh lagi.”

 

 Kaisar menggeram kesal. Kalimat yang dilontarkan Erika memang sangat benar. Mereka tidak bisa begitu saja mengabaikan Flora. Investasi yang sudah terlanjur ditanamkan bisa-bisa segera dicabut. Dan jika itu terjadi Kaisar sendiri yang akan pusing.

 

 “Maunya apa sih?”

 

 “Beliau hanya ingin bulan madu.”

 

 “Ya, maksudnya itu. Detilnya bagaimana, ke mana yang dia mau.”

 

 “Oh, untuk detilnya Nyonya tidak mengatakan apa pun. Dia menyerahkan semuanya pada saya,” jawab Erika tenang seperti biasanya.

 

 Kali ini Kaisar mendesah pelan. Dia sangat heran bagaimana istrinya bisa jadi sahabat baik Erika, padahal waktu pertama kali bertemu mereka sampai bertengkar. Entah apa yang terjadi di antara dua orang itu.

 

 Saking percayanya Flora pada Erika, sekretarisnya itu yang mengatur acara pernikahan mereka. Dan sekarang coba lihat. Erika kembali dipercaya untuk mengatur bulan madu.

 

 “Terserah. Tapi yang jelas aku tidak mau pergi selama seminggu penuh. Tiga hari sudah lebih dari cukup,” putus Kaisar akhirnya memilih untuk mengalah.

 

 “Baik, Pak. Akan saya beri tahu,” jawab Erika semringah.

 

 Perempuan itu merasa senang mendengar akhirnya sang bosnya akan pergi liburan. Itu berarti, dia punya banyak waktu untuk mencari berbagai macam informasi yang dia perlukan.

 

 Kalau beruntung Erika mungkin akan menemukan beberapa informasi berkaitan kasus beberapa tahun lalu. Dan semakin cepat ditemukan, semakin cepat pula dia bisa melaksanakan misi tersembunyinya.

 

 “Sepertinya mood Mbak Erika sedang bagus ya,” salah seorang rekan sekretaris bertanya.

 

 Kebetulan saja Kaisar punya 3 orang sekretaris. Dua orang perempuan dan seorang lelaki, juga sudah termasuk Erika. Sebagai info tambahan, sang bos tidak punya asisten pribadi.

 

“Ya. Saya baru saja mendapat kabar yang cukup bagus,” jawab Erika tetap menggunakan bahasa yang formal dengan rekan kerjanya.

 

 “Tapi maaf ya, ini bukan untuk dibagikan pada orang lain.”

 

 Lanjutan kalimat Erika itu membuat rekan kerjanya, menghela napas kecewa. Tentu tidak benar-benar kecewa karena setelahnya mereka kembali bercanda.

 

Erika ikut tertawa karena sedang senang. Dan makin senang lagi karena sepertinya sampai saat ini belum ada yang tahu hubungannya dengan bos besar.

 

 Walau hubungan itu adalah pilihan Erika, tapi dia tidak mau mengumbarnya. Bukan karena takut aib, tapi karena dia masih ingin bertahan di perusahaan itu demi misinya. Kalau terlalu banyak orang yang tahu, tentu tidak akan memudahkan dirinya.

 

 “Eh, bentar ya. Ponselku bunyi,” Erika menyudahi obrolannya dengan para sekretaris dan mengangkat telepon

 

 “Ya, Bu? Ada yang bisa dibantu?” Erika menyapa nyonya bos yang menelepon.

 

 “Eh? Apa? Nyonya yakin dengan hal itu?”

 

***To Be Continued***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Febri Anes
bagus alur narasinya.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status