Ara, gadis bernama lengkap Karaisa Naraya itu melangkahkan kaki dengan perasaan waswas menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Ara meninggalkan sekolah untuk memenuhi panggilan guru BK Bion.
Bagaimana jika kepala sekolahnya yang terkenal garang tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Ara tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa dia kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Ara bisa maju jika dia tidak bisa tetap sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bion yang membutuhkan uluran tangannya. ‘Enggak, enggak! Itu enggak boleh terjadi!’ Tanpa sadar, Ara menggeleng. "Jangan sampe, jangan sampe!" desis Ara pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali jemari kanan membenarkan letak kacamata tebalnya, hingga Ara pun tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah. "Ampun deh, Rara. Lo kalau jalan lihat-lihat! Mata aja ada empat, jalan selebar ini lo enggak lihat?" cicit laki-laki yang ditabrak. Ara merasa tidak enak saat mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Saga. "Maaf, maaf. Aku buru-buru," ucap Ara beralasan. Dia memberanikan diri mendongak dan menatap wajah Saga yang terlihat kesal. "Ada apa itu ribut-ribut?" Ratna, wakil kepala sekolah sengaja keluar ruangan untuk memeriksa kegaduhan yang terjadi. Sontak Ara dan Saga membalikkan badan menghadap Ratna. "Enggak ada apa-apa, Bu," jawab Ara dan Saga bersamaan. Setelah itu, mereka saling pandang beberapa detik. "Bagus deh kalau enggak ada apa-apa. Oh ya, bagus juga kalian sudah kompak duluan. Jadi nanti misal dikirim untuk bertanding, jangan sampai kalah, ya?" "Maksud Ibu?" Kali ini Saga lebih dulu bertanya. Ratna tersenyum tipis. "Oh, iya, masuk dulu aja kalian. Nanti akan dijelaskan sama Bapak kepala sekolah," titahnya. Ara dan Saga memasuki ruang kepala sekolah, mengikuti langkah Ratna. "Permisi, Pak," sapa Ara dan Saga yang lagi-lagi bersamaan tanpa sengaja. "Ya, silakan duduk." Bapak kepala sekolah beranjak dari kursi kebesarannya, menghampiri Ara dan Saga yang lebih dulu duduk di sofa tamu. ‘Duh, gimana kalau ternyata emang aku mau dikeluarin dari sekolah? Di depan Saga? Ya Tuhan, malu banget pasti. Mau ditaruh di mana muka aku nanti?’ Dalam hati, Ara masih merasa waswas. Dia mendadak tidak tenang. "Maaf, Pak. Sebenernya ada apa Bapak panggil kami?" tanya Saga memecah keheningan, karena sang kepala sekolah tidak kunjung membuka suara. "Pak, mohon dijelaskan. Waktu mereka tidak banyak," ujar Ratna mengingatkan. "Oh, iya. Saya mau menyampaikan pada kalian." Kepala sekolah bernama Badrun itu berdeham. "Pertama-tama, saya ucapkan selamat, karena kalian telah menjadi siswa-siswi yang terpilih untuk mengikuti Olimpiade matematika tingkat provinsi," ucap Badrun sembari menatap Ara dan Saga satu per satu. "Kok bisa, Pak? Saya kan baru kemarin pindah ke sekolah ini. Kenapa saya bisa terpilih?" Saga bingung. Ara pun sedikit heran. "Jadi begini, saya sudah lihat track record kamu dari Bu Risa yang kemarin menyerahkan berkas-berkas dari sekolahmu yang lama. Juga dari nilai-nilai kamu dalam rapor yang begitu bagus, Saga. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajukan kamu sebagai wakil peserta putra dan tentu saja Karaya sebagai peserta putri." "Maaf, Pak, Naraya. Karaisa Naraya. Biar lebih mudah, panggil saya Ara aja, Pak. Karena nama saya bukan Karaya," jelas Ara yang sedikit kurang suka jika kebanyakan orang salah menyebutkan namanya. "Ya, ya, ya. Kamu punya nama kenapa susah sekali dihafal?" Kepala sekolah menatap heran pada gadis yang biasa dipanggil Ara jika di sekolah, dan biasa dipanggil Raya jika di tempat kerja. Bukan apa-apa, Ara melakukan hal itu hanya untuk menyamarkan identitasnya supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui statusnya sebagai pelajar. Lagi pula, Ara tidak ingin mencampur-adukkan masalah pekerjaan dengan urusan sekolah. "Jadi, di mana kita akan mengikuti lomba Olimpiade matematika itu, Pak?" tanya Saga. "Tempatnya di Yogyakarta. Jadi kalian nanti akan menginap di sana selama Olimpiade berlangsung. Akan ada guru pembimbing yang mendampingi kalian nanti," jelas Badrun. Ara manggut-manggut. "Untuk akomodasinya, Pak? Apa tidak dijelaskan sekalian?" Lagi-lagi Ratna mengingatkan. Terkadang Ara merasa heran dengan kepala sekolah. Beliau selalu dicap sebagai kepala sekolah yang galak bagi sebagian siswa. Namun, ada juga yang menganggapnya sebagai kepala sekolah yang sedikit lucu karena pelupa, salah satunya Ara. Tetapi untung saja Ara selalu bisa membawa diri setiap kali berhadapan dengan Badrun, sehingga tidak tergoda untuk menertawakannya. Bisa-bisa Ara kena semprot. "Oh, iya. Jadi nanti untuk biaya akomodasi dan lain-lain, kalian tidak perlu khawatir, karena tentu saja pihak sekolah yang akan menanggung. Kalian hanya tinggal mempersiapkan diri saja untuk Olimpiade tersebut." "Siapkan koper untuk bawa baju ganti selama kalian di Yogyakarta nanti dan jangan sampai lupa, lombanya dilaksanakan tanggal lima belas bulan depan. Jadi mulai tanggal tiga belas, kalian sudah harus bersiap-siap, karena tanggal empat belas kalian sudah harus on the way Yogyakarta." Kali ini Ratna yang memberi penjelasan tambahan. Ara berpikir, mungkin saja wali kepala sekolah itu merasa lelah jika harus berkali-kali mengingatkan sang atasan. "Jadi, rencananya berapa hari kami di Yogyakarta, Pak?" Saga ingin tahu, sementara Ara masih terdiam dalam rasa lega karena panggilan kepala sekolah ternyata tidak seperti yang dia pikir sebelumnya. "Nanti tunggu info dari guru pembimbing saja, mungkin bisa sekitar empat hari," jawab Badrun. "Kamu tidak ingin bertanya, Ara?" Merasa terpanggil, Ara mengarahkan pandangannya pada sang kepala sekolah. Gadis itu bingung harus bertanya apa, karena Saga sudah mengambil alih semua pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Beberapa detik kemudian, Ara hanya menggeleng perlahan. "Ya sudah, kalau gitu saya rasa kalian sudah paham. Kalian boleh kembali ke kelas," ujar Badrun seraya berdiri dan kembali menuju kursi kebesaran. "Baik, Pak. Kami permisi dulu. Mari, Bu." Kali ini Ara mendahului. Tanpa menunggu lama, dia keluar dari ruang kepala sekolah. "Mari Pak, Bu." Saga mengekor di belakang Ara. Oh, jadi ternyata Saga ini murid berprestasi juga? Enggak nyangka, padahal kalau dilihat dari gayanya, nyebelin banget dia! Ara menggeleng samar. "Hei, Karaya," panggil Saga setelah mereka keluar dari ruang kepala sekolah. Ara mendadak menghentikan langkah. Gadis itu membalikkan badan. "Kara—" Dia berniat meralat saat Saga salah menyebut namanya. "Karaisa Naraya, sorry, gue lupa." Saga memotong sembari berjalan mendekati Ara. "Kenapa kemarin bolos?”“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb