Seketika lampu kamar Bintara menyala, dan ia datang mendekati Alieen dengan cemas ketika mendengar teriakan Alieen.
“Hei! Ada apa?”
Alieen perlahan membuka matanya dan ia kembali berteriak untuk kedua kalinya.
“Eh! Hei kenapa lo teriak lagi?”
“Woyy, lo gak pakai baju kak!” Teriak Alieen yang segera beranjak keluar dari kamar itu. Bintara juga terkejut, ia lupa sedang mengganti pakaiannya. Lalu lampu kamarnya tiba-tiba saja mati.
Alieen masih menggerutu dan mencaci dirinya sendiri, karena bodoh. Seharusnya ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar itu, bukan asal buka dan masuk.
“Tapi walau sekilas, ternyata Bintara punya otot perut yang...”
“Astaga! Apa sih yang lagi lo pikiran Alieen! Gila lo, ya?”
Alieen merasa malu, sampai wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari kamar Bintara.
Alieen segera membuk
Pagi hari yang cerah tepatnya sesaat sebelum upacara di mulai. Rini sedang tertawaria dengan teman-teman nya. “Eh lo tau? Gue kemarin ketemu sama siapa?” ujar Rini yang duduk di atas meja dengan kaki menyilang dan sebatang permen lollipop di mulutnya. Semua temannya memandang penasaran dengan kisah yang akan di ceritakan Rini. Hal ini membuat ia senang danmeminta semuanya untuk saling mendekat. “Gue kemarin ketemu sama Bagas!” serunya. Mereka menatap tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan, sekali lagi Rini menegaskan kebenaran ucapannya. Lalu menambahkan sebuah kisah lain, di mana ia bertemu dengan Alieen yang masih di cap sebagai gadis yang buruk. Di saat itu Alieen kebetulan baru saja memasuki ruang kelasnya, membuat semua murid yang membicarakannya terdiam, hanya menyisakan Rini yang tertawa. Rini pun menyadari jika ada sesuatu di belakangnya, dan saat menoleh alien berdiri di dengan sorotan mata yang tidak pernah ia da
Alieen akhirnya berhasil menggapai tangan Rini yang tidak berhenti untuk melangkah. Rini segera menghempaskan tangan Alieen kasar.“Apa lagi yang mau lo lakuin? Apa belum puas lo membuat gue menunjukan siapa gue sebenarnya? Huh!” Rini bertolak pinggang, karena ia mengira jika dirinya sudah tidak lagi berurusan dengan Alieen.“Lo belum jelasin ke gue soal foto ini!” Alieen menunjukan foto yang ia dapat dari nomor misterius sebelumnya.Foto itu ternyata wajah Rini yang sedang memposting sesuatu di ruang khusus untuk para murid yang berekstraklikurer di penyiaran sekolah.“Oh, itu. Gue gak tau kalau ada cctv di depan ruangan itu, ternyata menyerot kelakuan mulia gue, ya? Maaf tapi artinya gue gak perlu merasa bersalahkan?” Rini menaikan sudut bibirnya ke atas, membuat Alieen terdiam seribu bahasa.Ia membiarkan Rini pergi kali ini, Alieen tidak lagi memiliki tempat untuk bersandar, tidak ada lagi yang mau mend
Bel sekolah berdering panjang, menandakan sekolah hari ini telah berakhir. Kebetulan hari ini adalah jadwal Alieen untuk piket, tapi tidak ada satu murid pun yang mau mengerjakan tugas ini bersama dirinya. Ia sudah mulai terbiasa dengan situasi baru di kelasnya ini, dan memilih untuk acuh dengan pandang orang lain tentang dirinya. Tiba-tiba seseorang merebut sapu dari tangannya. “Ngapain lo masih di sini?” tanya Alieen kepada seseorang di hadapannya ini. Belum sempat menjelaskannya, Shintia datang dan merebut sapu itu lagi. Bahkan ia tersenyum dan berkata, “Gue bantu ya, biar lo cepat kelar.” Alieen merasa itu senyuman yang tidak wajar, dan ia tau jika itu tidak lah sungguhan. Apa kali ini ia hanya mengenakan sebuah topengnya semata? “Ngapain lo ke sini?” Bagas yang tidak akan tertipu lagi dengan senyuman manis berbisa itu, sekali lagi menanyakan tujuan sesungguhnya kepada Shintia. Tapi shintia hanya tersenyum dan tidak mengakui tujuan utamanya.
Selama perjalanan keduanya hanya diam menikmati jalanan yang sedang mereka tempuh.“Jadi apa kalian memiliki sebuah hubungan spesial?” tanya Damar, pria yang sudah berusia 45 tahun. Pertanyaan nya membuat Alieen bingung dengan siapa sosok pria ini. Sedang Bagas, ia merasa malu dengan pertanyaan yang di lontarkannya.“Tolong pak, jangan bertanya yang aneh-aneh.”“Haha, saya hanya bertanya.”Lalu Alieen melihat sebuah foto yang tergantung di sebuah kaca spion mobil. Damar yang kebetulan memperhatikan Alieen, ia memberitahukan jika pasangan dalam foto itu adalah kedua orang tua Bagas yang sudah lama meninggal.“Pak, kenapa di jelaskan segala? Itu kan enggak penting.” Ujar Bagas.“Maaf den, Saya hanya merasa Pacar aden harus tahu.” Ucapan Darma membuat Bagas dan Alieen merona.“Gak perlu lo dengerin apa kata kakek-kakek kesepian itu. Dia begi
Alieen baru saja akan bersantai di depan televisi, tapi Bintara datang merebut remot yang di genggamnya lalu mematikan tv yang baru saja di nyalakan.Alieen berseru memanggil namanya karena kesal. Tapi tatapan Bintara lebih menyeramkan di bandingkan amarahnya.“Lu kenapa selalu balik sama dia? Apa lo sama dia pacaran?” tanya Bintara dengan dingin.“Emangnya kenapa? Suka-suka gue dong mau pulang sama siapa.”“Tapi kan ada gue, seharusnya balik sama gue.”Alieen hanya diam, ia sudah lelah untuk berargumen saat ini. Ia tidak mau menambah lelah pikiran dan hatinya. Tapi hal itu tidak di mengerti oleh Bintara. Ia ingin berbicara lagi tapi Ibu mereka muncul, di saat itu lah Alieen memutuskan pergi dari sana menuju kamarnya.“Kalian ribut ya?” tanya Ratih.“Bukan begitu kok bu, cuman aku negor dia supaya hati-hati jika berteman.”“Hm? Kok begitu? Memangnya siapa yang di
Suara bel terdengar nyaring, menandakan seseorang baru saja masuk ke tempat itu. Petugas yang berdiri di kasir menyapanya dan menanyakan apa yang ingin di butuh kan nya. “Ice blend satu dan roti bakar” Suara perempuan ini terdengar sangat familiar. Wanita itu duduk manis di cafe dan menatap keluar jendela. “Shintia!” teriak seorang pelayan. Oh pantas saja suaranya tidak asing di telinga. Ia lah orang yang sudah membuat janji dengan Alieen. “Di sini!” Shintia berlari menghampiri kasir dan mengambil pesanannya. Setelah itu, ia kembali ke bangkunya, dan menikmati pesanannya sambil tersenyum memikirkan rencana yang sempurna untuk hari ini karena rasa bosannya. Saat menikmati dan menanti, sebuah notifikasi pesan masuk dan berhasil membuat moodnya seketika hancur. Pesan itu tertulis atas nama ‘Pak tua menyebalkan’, Shintia hanya membaca pesan itu yang berisi ungkapan kasar dan memaksanya untuk membelikan minuman untuk sang pengirim pesan. Kenapa gue haru
“Eh, Alieen! Cepet bantu gue sini. Kok lo cuman main sama dua curut itu?” ujar Shintia yang sembari membawa sekeranjang penuh pakaian yang baru saja ia cuci. “Kak! Jangan bicara seperti itu kepada anak-anak kecil seperti kami!” seru seorang gadis kecil berusia 8 tahun. “Iya, kalau kita berdua saja sih gak masalah. Tapi yang lain nanti salah paham sama ucapan kak Shintia loh...” sahut gadis kecil lain yang seusia 10 tahun. “Aduh, iya deh maaf. Kalau begitu kakak yang ini, kakak pinjam dulu buat bantuin kakak.” Ucap Shintia sembari menarik lengan baju Alieen untuk keluar. Alieen tidak mengerti dengan Shintia yang berada di depannya ini. Ia masih tidak percaya dengan sifat yang bertolak belakang dengan apa yang ia tahu selama ini. “Lo pasti lagi berpikir kalau apa yang gue lakuin sekarang aneh.” “Hah? E-enggak kok!” Shintia memeras baju di tangannya, ia segera menjepit pakaian itu dan menggantungnya. Ia mendongakkan kepalanya ke atas, melihat lan
“Shintia,” panggil seorang wanita saat mereka sedang menonton film di tv bersama-sama.“Ikut bunda dulu yuk.” Ajak wanita yang sering di sapa ‘Bunda’ oleh anak panti dan warga sekitar.Shintia di ajak ke belakang dapur dan hanya ada mereka berdua saja di sana. Sepertinya bunda ingin berbicara sesuatu yang serius dengan dirinya.“Ada apa bunda?”“Kamu enggak bermaksud kabur dari rumah, kan?” tanya bunda khawatir melihat Shintia yang tiba-tiba datang kemari sampai membawa seorang teman, tanpa memberikabar kepadanya. Tidak seperti biasanya.“Bunda, jangan khawatir.” Jawab Shintia singkat, seolah ia sudah terbiasa dengan sikap Bunda yang amat memperhatikan dirinya tidak seperti kedua orangtuanya.“Bunda mengerti, kalau begitu. Sejak kapan kalian berteman? Jarang sekali loh kamu bawa teman, sampai menginap.”Shintia terdiam sejenak, sesungguhnya pertanyaan