Share

Kemarahan Emir

“Andrea Zufran!”

Ini adalah ketiga kalinya sang guru memanggil. Tapi sayang, murid yang bernama Andrea tidak menyahut. Yang membuat sang guru akhirnya mengedarkan pandangan ke murid-murid yang juga balik menatapnya.

“Dimana Andrea? Kalian melihatnya?” tanya guru itu lagi kepada mereka. Bisa disimpulkan kalau murid-murid yang berada di kelas ini sudah bisa berbicara dan membaca, maka dari itu sang guru bertanya kepada mereka.

“Aku tidak tahu, Miss Jas,” jawab seorang perempuan yang duduk di bangku depan.

“Kapan kita akan memulainya, Miss?” Lagi, seorang murid laki-laki menyahut. “Jangan cari Andrea. Biar saja dia pergi. Kami tidak membutuhkannya!”

Dan betapa terkejutnya guru itu ketika melihat murid-muridnya mengangguk kompak. Sesaat dia ingin menyahut, suara ketukan dari pintu membuat kalimat guru itu berhenti.

“Miss Jasmine,” panggil seorang wanita berambut pendek yang tak lain berprofesi sama seperti Jasmine. “Andrea dari kelasmu baru saja datang.”

“Ah, baiklah,” sahut Jasmine sambil berjalan ke arahnya.  Dia mengerti maksud temannya. Jasmine harus menyambut muridnya. Semuanya. “Tapi mereka ....”

“Biar aku yang menggantikanmu sebentar,” sahut perempuan itu yang membuat Jasmine mengangguk lalu melangkah ke luar kelas.

Jasmine mengeluarkan senyumannya kepada bocah cilik yang berjalan ke arahnya. Walaupun bocah itu datang dengan wajah yang datar, itu tidak membuat Jasmine melunturkan ekspresinya.

“Bagaimana kabarmu, Andrea?” Setelah Andrea sampai ke Jasmine yang sedang berjongkok, barulah Jasmine bertanya. “Kuharap kau baik-baik saja .... Ehm, untuk lain kali, Miss berharap Andrea datang tepat waktu.”

Sesaat setelah mendengar pertanyaan itu, Andrea menatap Jasmine dengan pandangan yang aneh. Pasalnya guru itu seperti merasa sangat dekat dengan Andrea yang notabanenya tidak mengenal Jasmine.

“Kau guru baru?” Bukannya menjawab, Andrea malah balik bertanya. Dikarenakan dirinya merasa asing dengan wajah Jasmine.

“Iya. Perkenalkan ....” Jasmine mengulurkan tangannya. Dia memang seperti ini. Jasmine tidak ingin menjadi guru yang disegani. Tapi dia berharap mereka bisa menganggapnya sebagai teman, juga teman bercerita. “Jasmine Geor. Kau bisa memanggilku Miss Jasmine.”

Andrea dengan sombongnya hanya menatap tangan Jasmine. Dia tidak berkeinginan untuk menyambut tangan itu. “Baiklah ... Ku harap kau bisa berlaku adil kepada semua muridmu!” pinta Andrea bak seperti sang daddy yang suka mengatur.

Jasmine mengernyit bersamaan menarik tangannya. Melupakan sejenak masalah Andrea yang tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Miss’. “Berlaku adil? Maksudnya?”

Andrea menghela napasnya kesal. “Semua guru yang berhadapan dengan kelasku selalu berlaku tidak adil. Mereka selalu membedakanku dengan mereka. Apa bedanya mereka denganku? Harusnya mereka hormat kepadaku. Karena aku bisa membuat daddy mereka dipecat dari jabatannya. Begitu juga dengan guru-guru di sini!”

Dan Jasmine sukses terbelalak. Jasmine sudah bisa melihat dari gaya berjalan, berpakaian, dan berbicara—menunjukkan kalau Andrea memang orang berada. Tentu memecat orang lain akan mudah bagi keluarga Andrea. Tapi itu bukan masalahnya .... Masalahnya adalah saat bocah cilik ini bercerita tentang perilaku tidak adil yang dilakukan oleh guru-guru. Jasmine jelas tahu kalau Andrea tidak berbohong. Dia bisa melihat dari mata Andrea .... Pantas saja murid-murid tadi berperilaku seperti itu—mereka membenci Andrea.

Dan bukan Jasmine namanya kalau dia langsung mengambil kesimpulan .... Pasti ada alasan dibalik ini semua. Kalau begitu, Jasmine akan menyelidiki ini. Kalau perlu dia akan menelepon guru lama yang sudah pindah tugas.

“Baiklah ... Miss tidak akan melakukan hal seperti itu,” sahut Jasmine dengan tersenyum. “Kalau begitu kita bisa masuk ke kelas?”

“Dari tadi aku sudah ingin melakukan itu,” sahut Andrea yang malah melenggang duluan, meninggalkan Jasmine yang masih jongkok dan tersenyum.

Dari sini Jasmine tahu kalau Andrea memang berbeda dari teman-temannya. Bukan ... Jasmine tidak beranggapan kalau Andrea punya kelainan. Melainkan sifat Andrea yang memang sedikit angkuh ... juga gampang emosi.

***

Ozan melambaikan tangannya ke arah Andrea yang terlihat baru keluar dari sekolah. Dia tersenyum ketika Andrea melihatnya dan berjalan ke arahnya. Tapi satu hal yang membuat Ozan mengernyit bingung, yaitu ketika ia melihat raut wajah tertekuk Andrea.

“Ada apa, Tuan?” tanya Ozan sesudah berjongkok. Menyamakan tingginya dengan Andrea. Seperti biasa, dia mengambil tas Andrea dari punggung Andrea. “Apa ada masalah di dalam? Tuan bisa menceritakannya kepada saya.”

Andrea menghela napasnya kesal. “Banyak, Ozan!” gerutu Andrea yang malah membuat Ozan menggigit bibirnya supaya senyumannya tidak keluar. Sungguh, Andrea terlihat sangat mirip dengan Emir ketika marah. Ozan tahu, kalau Andrea akan punya pesona yang sangat kuat seperti Emir ketika dewasa nanti.

“Aku kesal dengan guru baruku!” seru Andrea. “Dia memberikan tugas yang banyak. Dan topiknya sudah sering aku kerjakan. Itu membuatku bosan, Ozan! Mereka tidak memberikan topik yang baru!” Memang, guru itu yang tak lain adalah Jasmine memberikan tugas dengan topik yang sama seperti minggu-minggu lalu. Andrea sudah sangat paham dan dapat menjawab itu dengan hitungan detik. Dia butuh tugas yang baru dengan soal yang lebih menantang.

“Mungkin guru Tuan ingin supaya kalian bisa memahami topiknya lebih mendalam,” seru Ozan yang berusaha meredam kekesalan Andrea.

“Tapi aku sudah paham, Ozan. Sangat paham! Lalu untuk apa aku berada di sini kalau mereka hanya memberikanku tugas itu-itu saja?! Membosankan! Lebih baik aku diam di rumah dan belajar hal baru bersama dengan Deniz!”

Ozan mengangguk paham. Ini adalah kelebihan Andrea. Dia sangat pintar dan punya IQ diatas rata-rata. Tak heran jika dia mudah memahami semua hal tetapi juga mudah bosan dengan hal yang terus diulang-ulang ....  Ozan berharap semoga Andrea tidak lagi bermasalah dan mengakibatkan guru itu akan dipindahkan lagi. Sudah cukup. Semoga ini tidak kejadian untuk ke 3 kalinya.

“Baiklah. Saya akan menghubungi Deniz dan Tuan akan belajar lagi bersama dia. Tapi untuk saat ini, kita harus pulang ke mansion.”

Dan Andrea menggeleng. “Tidak mau!” tolak Andrea tegas. “Kita pergi membeli donat! Setelah itu baru pulang!”

“Tapi, Tuan ... saya akan menyuruh pelayan membuatkan donat,” sahut Ozan. Mereka harus pulang sekarang. Sesuai dengan apa yang Deniz katakan.

“Tidak ada bantahan, Ozan,” lontar Andrea yang lalu berlalu masuk ke dalam mobil.

***

“Selamat sore, Tuan Andrea.” Sapaan itu keluar dari seorang security yang membukakan pintu untuk Andrea. Segera saja dari dalam mobil, Andrea keluar dengan tangan yang penuh akan donat. Andrea mengedarkan pandangan. Dan berhenti disaat dia melihat limousine hitam di dekat mobil yang ditumpanginya berada.

“Ozan!” Andrea memanggil Ozan yang baru saja turun dengan tas dan juga beberapa kotak donat di tangannya. Mendengar panggilan itu segera saja Ozan mendekati Andrea. “Oh ... jadi ini alasanmu membuatku cepat pulang,” seru Andrea sembari menunjuk limousine dengan dagunya.

Sebelum itu, Andrea dengan cepat memutar otaknya disaat ia melihat limousine. Itu tandanya sang daddy sudah ada di dalam mansion sebelum Andrea pulang. Pantas saja dari tadi Ozan selalu mendesak Andrea agar dia cepat memilih donat. Benar-benar menyebalkan!

“I—iya, Tuan,” sahut Ozan yang merasa tidak enak karena berbohong. “Saya juga baru mendapat kabar kalau daddy akan pulang cepat. Maka dari itu saya meminta Tuan untuk cepat pulang agar tidak dimarahi oleh daddy.”

Dan Andrea memutar bola matanya malas. Sebelum berbicara, dia memasukkan donat di tangannya ke dalam mulut, mengunyah, lalu menelannya. “Aku tidak takut, Ozan,” kata Andrea santai. “Biar saja dia marah. Kita akan menyaksikannya,” lanjutnya yang lalu melenggak masuk ke dalam.

“Aku tidak tahu kalau ternyata jam pulang anak sekolah sama dengan jam pulang pekerja kantoran.” Dan disaat Andrea sudah melangkah masuk lebih dalam, suara berat yang sudah meninggi langsung menyambutnya. Membuat Andrea dan Ozan yang dibelakang menghentikan langkahnya. Tak jauh dari sana sudah ada Emir dengan pakaian jasnya yang melangkah mendekat.

“Katakan darimana saja kau!” Dan sesudah sampai di hadapan Andrea, langsung saja Emir mengeluarkan bentakannya dengan kuat. Beberapa pelayan juga terlihat mengintip di beberapa sudut ruangan. Dan Ozan hanya bisa menunduk, tak kuasa melihat apa yang sedang disajikan di hadapannya.

“Kenapa?” tanya Andrea. Menatap wajah Emir dengan penuh keberanian. “Apa pedulimu? Terserahku ingin kemana saja! Aku tidak perlu menjelaskan kemana aku pergi, karena aku tidak mau!”

Ozan tidak akan bersuara. Itu peraturannya selama daddy dan anak itu adu debat. Tidak ada yang boleh melerai mereka sampai salah satu dari kedua manusia itu pergi meninggalkan lapangan.

Emir mengangguk paham. Menatap Andrea dengan mata yang sudah memerah. Anak itu benar-benar berhasil membuatnya emosi. Dan disaat seperti ini, kenangan-kenangan masa lalunya semakin cepat berputar di otaknya. Membuatnya ingin menghancurkan salah satu dari bagian kenangan itu yang tertinggal di dalam tangannya. Dan itu adalah Andrea sendiri.

Emir berjongkok. Menyamakan tingginya dengan Andrea. Menunjuk dada Andrea dengan jarinya. “Tanpa aku, kau sudah mati di luaran sana,” desis Emir. “Dan apa yang kau lakukan kepadaku? Kau hanya membuatku malu dengan tingkahmu! Apa kau tidak bisa membalas kebaikanku? Setidaknya dengan diam dan menuruti perkataanku itu lebih baik.”

“Sudah kubilang aku tidak ingin menurutimu—”

“Andreaaaaa!” Dan suara Andre terpotong oleh Emir yang berteriak kencang memanggil Andrea. Emir benar-benar Emosi. Setelah Andrea berhenti berbicara, barulah Emir melanjutkan kalimatnya. “Aku jadi ragu .... Kau putraku atau bukan—”

“Tuan Emir,” panggil Ozan untuk memperingati apa yang baru saja Emir keluarkan dari bibirnya. Ini pasti melukai hati Andrea. Sangat .... Ozan melupakan peraturan tadi, dimana dia harus diam disaat mereka berdebat.

Disaat Ozan ingin melanjutkan kalimatnya, disitu juga Emir mengangkat tangannya. Mengartikan untuk Ozan segera berhenti.

“Kau siapa, heh?” lanjut Emir menatap Andrea dengan tatapan yang masih sama— penuh emosi membara. Emir mengangguk setelah beberapa saat. “Sebaiknya kita melakukan tes DNA saja.” Dan apa yang Emir katakan sukses membuat semua orang yang menyaksikan terbelalak. Terkejut dengan apa yang Emir katakan.

Apa Emir benar-benar akan melakukan itu? Padahal, hanya dengan melihat dari manik matanya sudah menunjukkan kalau itu adalah darah dagingnya sendiri. Mereka memiliki mata abu-abu .... Bukan hanya Andrea yang terluka, tapi semua orang disana juga terluka. Terkhususnya Ozan. Pria tua itu hanya bisa menggeleng tak menyangka dengan apa yang Emir lakukan.

“Dan jika tes itu menunjukkan kau bukan anakku ....” Lagi, Emir menunjuk Andrea. “Maka siap-siap untuk keluar dari mansionku!” Setelah mengatakan itu barulah Emir keluar dari mansion bersama dengan Deniz.

“Tuan Andrea ....” Bahkan panggilan yang diberikan Ozan tidak digubris sama sekali oleh Andrea. Bocah itu malah melangkah menaiki tangga untuk masuk ke dalam kamarnya. Bohong besar kalau Andrea akan tetap kuat setelah dibentak seperti itu. Pasti setelah sang daddy keluar dari mansion, maka Andrea akan masuk ke dalam kamarnya dan akan menjalankan mogok makan. Dan ketika Ozan ingin mendekat ke kamar Andrea untuk membujuk Andrea agar makan, dia dapat mendengar suara tangisan Andrea .... Itu berarti Andrea benar-benar sakit .... Emir pun tidak mengetahui kabar ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status