Share

Ragu

Jasmine menghela napasnya sesudah puas menatap Andrea yang berdiri di hadapannya selama beberapa menit. Dirinya sibuk berperang dengan otakanya— memikirkan apa yang harus dia lakukan kepada Andrea sebagai bentuk hukuman.

“Andrea, ini sudah kesekian kalinya kau tidak mengerjakan tugas rumahmu.” Jasmine menjelaskan pokok masalah mereka. Kelas itu hanya dihuni oleh mereka berdua. Sedangkan murid-murid lain bermain bersama di lapangan sebagai bentuk istirahat. “Sekarang aku ingin mengetahui alasannya. Kau tidak bisa hanya diam seperti yang dulu-dulu .... Apa tugas ini terlalu sulit?”

Sudah berminggu-minggu Jasmine mengajar di kelas ini. Menghadapi banyak murid-murid dengan tingkah usil yang beragam. Tapi untuk Andrea. Jasmine selalu geleng-geleng kepala— mencoba untuk bersabar dan berharap kalau Andrea berubah walau kenyataannya tidak. Jasmine kira dengan Andrea yang tidak diberi hukuman, bocah itu akan segera berubah.

Andrea mendongak. Menatap Jasmine yang sedang duduk di kursi guru dengan meja sebagai pembatas mereka. “Apa kau ingin mendengar jawabannya?”

Jasmine masih belum terbiasa dengan gaya bicara Andrea. Sudah diingatkan beberapa kali, tetapi dia tetap tidak berubah. “Maksudmu?” tanya Jasmine, mencoba untuk melupakan gaya bicara Andrea.

“Karena aku bosan!” Andrea menjawab dengan tegas. Dan jika seperti ini, Jasmine seperti melihat orang berbeda dari Andrea— seperti daddynya. Siapa yang tidak tahu Emir Zufran? Seorang pria yang selalu muncul di berita. Tapi bagi Jasmine, dia malah muak karena harus melihat wajah Emir di berita. Tak jarang Jasmine melangkahi berita jika sudah menampilkan wajah Emir. Oh, ayolah, itu sangat tidak penting. Dimana berita hanya mengeluarkan deretan kekayaan milik Emir Zufran. Mungkin bagi beberapa orang akan merasa iri, tetapi bagi Jasmine tidak sama sekali.

“Kau selalu memberikan tugas yang sudah diajarkan di sekolah. Aku tidak ingin mengerjakannya karena aku sudah paham! Kenapa guru-guru disini suka sekali memberikan tugas yang diulang-ulang? Apa kalian tidak ada materi yang lain? Lalu untuk apa aku sekolah? Lebih baik aku belajar dengan Deniz. Dia selalu memberikan materi yang bagus dan menarik ... tentang komputer! Itu lebih seru!”

Jasmine menelan salivanya bersamaan dengan menelan semua alasan Andrea walau masih dalam kondisi syok. Ini sangat jarang ditemukan! Dimana umumnya mereka tidak melakukan tugas dikarenakan tidak mampu mengerjakannya, Andrea malah merasa bosan karena terlalu mampu mengerjakan tugas.

“Andrea ... alasanmu tidak bisa dibenarkan. Jika aku memberikan tugas, maka kau harus mengerjakannya. Dengan begitu kau lebih memahami materi.”

“Aku sudah memberikan alasanku. Terserah jika kau ingin menerimanya atau tidak,” jawab Andrea acuh sambil mengedikkan kedua bahunya. “Apa sudah selesai? Aku sudah bosan berdiri. Aku ingin segera duduk.”

Jasmine menggeleng. “Ini belum jadwal masuk. Kau bisa keluar dan bermain dengan temanmu.”

Bocah itu memutar manik abu-abunya dengan malas. Oh ayolah ... haruskan Andrea menjelaskan alasanya kepada setiap guru yang mengajar di kelas ini? Terkadang Andrea berpikir, kenapa semua orang ingin sekali mengetahui masalah orang lain. Apa mereka tidak punya pekerjaan lain?

“Aku tidak punya teman!” Andrea menjawab malas tetapi masih terdengar tegas. “Jangan kasihan! Aku tidak membutuhkannya. Dan aku tidak peduli aku tidak punya teman. Mereka itu ribut! Aku tidak menyukainya. Aku lebih suka ketenangan .... Tunggu, apa kau mencoba untuk membuatku bergaul dengan mereka? Kalau iya, maka buang jauh-jauh, Miss Jasmine. Aku tidak akan melakukannya!”

Andrea terlalu pintar berbicara, sampai-sampai Jasmine tidak bisa menyainginya. Bocah itu pintar. Jasmine mengakuinya. Tidak hanya pintar bicara, tetapi dia juga pintar dalam kelas. Dia selalu memberikan jawaban dengan kalimat baru yang bahkan Jasmine tidak pernah jelaskan.

“Tunggu!” Sebelum Andrea berbalik badan, suara Jasmine terdengar terlebih dahulu. Alis bocah itu terangkat satu disaat disodorkan sebuah amplop berwarna putih.

“Apa ini? Tugas? Aku tidak ingin mengerjakannya—”

“Bukan!” Jasmine memotong dengan senyum lebarnya. “Ini surat. Kau harus memberikannya kepada mommy-mu. Kami akan bicara mengenai dirimu. Paham?”

“Aku tidak punya mommy.” Andrea mengambil sambil menjawab. “Jangan tunjukkan kesedihan! Aku tidak ingin dikasihani!”

“Tapi kau menyimpan luka yang sangat dalam.” Jasmine berbicara di dalam hati. Bocah dengan tubuh berisi itu masih bisa menyimpannya rapat-rapat. Ingin sekali Jasmine mengajak Andrea untuk berbicara. Tetapi dirinya masih sangat ragu.

“Tapi, apa kau yakin?” Andrea bertanya sembari mengangkat amplop itu. “Kau ingin memanggil seorang Emir Zufran ke sekolah ini?”

Jasmine mengangguk antusias. “Tentu!”

“Kuharap kau tidak menyesal,” tutur Andrea yang lalu berbalik badan sebelum berjalan ke tempat duduknya.

***

“Ada apa denganmu?” tanya Emir disaat bisa melihat ada yang tidak beres dari Deniz. Wajah Deniz terlihat sangat gugup. Hal itu berhasil menarik perhatian Emir.

Deniz menundukkan wajah karena tatapan tajam yang Emir berikan. Pria itu sangat mendominasi dengan segala apa yang dia miliki dan sukses membuat Deniz takut. Tapi kemudian dia memberanikan diri untuk menatap ke manik Emir. “T—tuan—”

Buk!

Emir memukul meja sambil berdiri karena ikut kesal dengan Deniz yang mendadak gagap. “Jangan membuatku marah, Deniz!” Suara Emir sudah meninggi. Perasaannya mengatakan ada yang tidak beres, maka dari itu emosi Emir mendadak kambuh.

Suara Deniz terdengar disaat Emir memakai jasnya untuk bersiap pergi ke company. “Terjadi kecelakaan di proyek yang menewaskan dua orang, Tuan Emir. Sedangkan yang lainnya langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.” Kalimat Deniz sukses memberhentikan kegiatan Emir. Dia menatap Deniz. Berusaha mencari tahu apakah yang dikatakan Deniz adalah kebenaran ... dan BUK!

Satu pukulan dari tangan Emir sukses mendarat di pipi kanan Deniz. Pria itu terlihat sangat menyeramkan sekarang. Matanya mengkilat emosi dengan rahang yang menunjukkan tulang-tulang pipinya.

“Kenapa kau baru mengataannya?!” Emir berteriak kencang sesudah mendaratkan pukulan itu di wajah Deniz. Tanpa menunggu respons dari Deniz, pria itu langsung berlari ke luar. Bahkan dia mengabaikan Andrea yang sudah ada di depan pintu dengan amplop putih yang ada di tangannya.

Andrea mengedikkan bahunya acuh sebelum berjalan ke arah ruangan Emir. Matanya terfokus kepada Deniz yang sedang meringis kesakitan. Dia menghela napasnya panjang setelah sampai di hadapan Deniz.

“Satu pukulan dan itu terlihat sangat bagus di pipimu!” kekeh Andrea. Walaupun dalam keadaan yang genting sekalipun, Deniz tetap ikut tertawa. Setidaknya pukulan itu berhasil membuat kantuk yang diderita Deniz pergi entah kemana. “Kesalahan apa yang kau lakukan, huh?”

Suara Andrea terdengar lagi sebelum Deniz menjawab. “Ah, tidak perlu menjawab karena aku tidak peduli,” lanjut Andrea sambil memasukkan amplop itu ke saku celananya. Jika sudah menyangkut Emir, bocah itu malas mencari tahu. “Pergilah ke rumah sakit, Deniz. Kau dibebaskan dari tugas untuk hari ini.”

Deniz meringis karena mendapatkan tatapan tajam dari Andrea dikarenakan dirinya yang mengacak rambut Andrea. Bocah itu tidak suka disentuh tanpa seizinnya. “Tidak bisa, Tuan Andrea. Ayo, Ozan sudah menunggumu, dan aku harus menyusul daddy-mu.”

Seperti biasa, Andrea pergi terlebih dahulu dari sana. Masih dengan sikapnya yang tidak peduli ... setidaknya dia sudah berbaik hati untuk mengizinkan Deniz libur. Tetapi pria itu malah menolak, apa boleh buat?

“Andrea, kemana daddy-mu? Apa kau tidak memberikan surat itu kepadanya?” Jasmine bertanya disaat hanya Andrea seorang yang masuk ke dalam ruangannya.

“Kenapa kau terlihat sangat semangat?” tanya Andrea, tak lupa menelusuk wajah Jasmine lebih dalam, berusaha mencari jawaban. “Aku jadi bingung ... kau ingin membicarakanku atau kau ingin melihat Emir Zufran seperti kebanyakan orang lain? Ah ... aku sudah dapat jawabannya. Kau sama saja seperti orang lain, Miss Jasmine.”

Jasmine terbelalak. Bahkan dirinya saja belum menjawab dan bocah di hadapannya sudah menjawab seolah tahu apa yang di dalam diri Jasmine. “Kau salah, Andrea ... aku semangat karena aku akan membicarakan masalah tugas dengan daddy-mu. Tidak mungkin bukan aku menunjukkan wajah kantuk di depan orang tua siswa?!”

“Benar juga,” kata Andrea yang malah ikut menganggukkan kepala. Dia menarik kursi, duduk di seberang Jasmine lalu menyerahkan amplop yang sudah tertekuk sempurna dari kantongnya. “Aku gagal memberikannya. Dia pergi lebih cepat dari biasanya. Dan itu bukan salahku. Jadi jangan menyalahkanku, Miss Jasmine.”

Jasmine menghela napasnya panjang setelah mengambil amplop tersebut. “Kenapa tidak semalam?”

Andrea yang sudah menenggelamkan wajahnya di meja sambil menatap Jasmine terpaksa harus menegakkan kembali tubuhnya. “Dia tidak pulang kemarin malam. Emir Zufran itu pria yang sok sibuk, Miss Jasmine. Apa aku harus menunggunya sampai dia pulang? Tidak, bukan?”

“Andrea,” panggil Jasmine. Dia memasang raut wajah yang serius. “Kenapa kau tidak pernah memanggilnya dengan sebutan daddy?” Jasmine tidak bisa tinggal diam jika sudah seperti ini. Dia harus membicarakan masalah ini. Jasmine seorang guru, dia sudah menganggap Andrea sebagai anaknya sendiri dan Jasmine tidak akan tinggal diam jika ada yang salah.

Andrea mengamati Jasmine selama beberapa saat sembari berperang dengan pikirannya, bingung apakah dia membocorkanya atau tidak. “Aku tidak pernah menganggapnya sebagai seorang ayah.” Jasmine terdiam. “Apakah seorang ayah membentak anaknya sendiri? Tidak. Tapi dia melakukannya kepadaku. Dia bahkan tidak pernah memberikan waktunya kepadaku. Dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Itu saja! Dan kau tahu apa sebutannya untukku? Anak pembangkang, bocah nakal, ana—”

“Cukup,” potong Jasmine sambil mengambil tangan Andrea. Jasmine tidak kuasa mendengar lagi. Apalagi disaat melihat raut Andrea yang berbeda dari biasanya. Itu membuat Jasmine sakit sendirinya. “Kalau begitu, aku harus berbicara dengan daddy-mu. Tentang semuanya dan kau tidak boleh melarang.”

“Ya, siapa aku yang bisa melarangmu?” sahut Andrea. “Tapi jangan suruh aku memberikannya kepada dia. Kau harus memberikannya surat itu.”

“Maksudmu?” tanya Jasmine kaget. “Bagaimana bisa aku memberikannya sendiri?”

“Kalau begitu, kau bisa datang ke mansion bersamaku. Nanti kau akan bertemu dengan Emir Zufran,” jawab Andrea enteng. Dia mengangguk semangat. “Kau juga bisa melihat bagaimana bagusnya komputerku! Aku juga membuat sebuah program! Dan kau orang pertama yang harus melihatnya!”

“Bagaimana bisa,” gumam Jasmine. Mendadak ragu menyelimuti dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status