“Apakah memang benar Vian tak akan pulang malam ini?” tanya Farrin di kamarnya. Tak akan ada yang akan menjawabnya karena ia tengah sendiri. Malam yang belum terlalu larut membuat matanya enggan terpejam. Ditambah sosok sang suami yang belum menunjukkan eksistensi maupun kabar akan kepulangannya. Sedari tadi, ia sudah menghubungi Vian via telpon atau pesan teks. Namun, semua nihil. Suara operator mengatakan jika ponsel suaminya tengah tak bisa dihubungi. Entah karena terkendala sinyal, atau kehabisan daya baterai. Sebelum ini, ia belum pernah mendapati Vian seperti ini.
Kecemasan seperti bukanlah tanpa alasan meski sebelumnya Avan dan Rizuki sudah mengatakan bahwa suaminya tak akan pulang malam ini. Hatinya terasa gundah, seolah ada sesuatu yang tengah mengganggu dan membuatnya resah. Andai Vian bisa dihubungi barang sejenak saja untuk mengetahui kabarnya, ia tak akan secemas ini. Selama yang ia tahu, Vian bukan orang yang akan melalaikan hal kecil seperti mengaba
bagi gems untuk dukungcerita ini, yuks
Mungkin, malam ini adalah malam keberuntungan Avan setelah seharian ia pusing karena banyak hal yang harus ia urus di perusahaan. Avan mendapatkannya, hal yang pernah ia impikan dan kini terjadi di depan mata dan dirasakan dengan nyata. Malam ini, Farrin tidur dalam dekapannya. Ia berharap semoga Vian tak pulang terlebih dahulu sebelum ia pergi esok pagi. Atau, tak pulang sekalian juga ia rela.Karena otaknya dipenuhi rasa bahagia, kantuk tak juga datang pada matanya. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Entah bagaimana rasa bahagia itu seperti menghalangi matanya untuk terpejam. Tapi, tak apalah. Ia tak akan melewatkan setiap detik berharga yang ia lewati dengan Farrin dalam dekapannya dan tertidur lelap. Tak ada hal lain yang terjadi selain makan malam berdua dan Farrin yang meminta untuk ditemani hingga tertidur. Tanpa sadar, Farrin telah mengungkapkan jika hatinya masih menerima Avan.Sejak datang tadi, Avan memang dalam keadaan yang lumayan buruk. I
“Vi, ada apa dengan dirimu?”Farrin kaget begitu mendapati Vian yang datang dengan darah mengering di pelipis dan baju yang lecek di sana-sini. Berbeda saat kemarin ia berangkat, baju mulus tanda setrika yang rapi begitu melekat di badan tegapnya.Tak dipungkiri, Farrin merasa cemas begitu melihat keadaan Vian. Meski semalam ia sudah merasa sedikit lebih baik saat Avan memeluknya hingga terlelap dan sampai pagi datang. Ah, mengingat Avan, untung saja pria itu pulang lebih cepat. Akan sangat bahaya jika Vian datang dan mendapati Avan berada di kediaman mereka hanya berdua saja.“Aku mengalami suatu insiden saat bekerja,” jawab Vian. Begitu ia masuk, ia langsung merebahkan diri di sofa empuknya. Tubuh yang terlihat lelah dengan wajah yang sedikit pucat itu begitu menggangu Farrin. Sebenarnya Farrin akan menawari Vian sarapan, tetapi ia urungkan begitu melihat keadaan Vian. Wanita itu tahu, belum saatnya ia menawari makanan padanya karena ad
Setelah menutup perbincangan mereka lewat panggilan suara, Vian mandi dan sarapan dengan segera. Tak ia hiraukan rasa kantuk yang sudah menyerang sejak tadi. Hanya menyelesaikan masala dengan segeralah ia bisa tenang dan tidur dengan nyenyak. Untuk saat ini, kantor dan Avan adalah tujuan mendesak yang harus segera ditemui.Kenyataannya, hati yang tak tenang bukan suatu hal yang baik untuk Vian. Ia melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata hingga sesekali menyalip kendaraan lain dan mendapatkan umpatan karenanya. Untung saja tak ada kecelakaan atau kejadian kecil. Jika sampai terjadi, entah bagaimana lagi nasibnya. Mungkin paling baik adalah menerima tuntutan di kantor polisi karena mencelakai orang. Dan kemungkinan paling buruk, kecelakaan dan gegar otak.Vian yakin, kemungkinan kedua terdengar lebih menyenangkan karena potensi untuk amnesia lebih besar. Ia ingin melupakan kejadian kemarin, dan tak ingin mengingatnya sama sekali. Itu pun jika ia tak kehilangan
“Vi, kau datang?” mata Lena berbinar saat telah menemukan Vian dalam jangkauan penglihatannya. Jika dulu ia hanya bisa bermimpi lebih dekat dengan Vian, maka kini tidak lagi. Ia bisa bertemu dengannya sesuka hatinya. Tentu saja, hal ini karena sedikit campur tangan Avan di dalamnya.“Aku tidak bisa mengabaikan rekan bisnis saat mengadakan kerja sama.”Tak ada yang salah dari Vian. Nada bicaranya masihlah dingin seperti dulu saat Lena mengejar-ngejarnya. Hanya saja, ada setitik rasa bersalah yang Vian rasakan untuk Lena dan Farrin. Dua orang ini, sama-sama wanita dari masa lalunya. Satu yang mengejar dirinya, satu yang ia kejar. Tapi hanya mengejar sebatas angan, bukan secara langsung dan nyata. Kini, begitu keduanya berada di dekatnya, ia bingung harus memilih.“Tidakkah kita bisa melakukan hal lebih dari rekan bisnis saja? Perlukah aku mengingatkanmu tentang kemarin malam?”“Kau tidak bisa mengekangku seperti ini
“A-a, aku tidak menyangka jika hal ini menjadi sejauh itu,” kilah Vian. Ia tersenyum kecut dan mengakui jika tidak membaca proposal sebelumnya dan hanya mengandalkan asumsi. Alhasil, kini ia tengah dipermalukan kliennya sendiri. Ah, tidak. Tak hanya klien tapi juga wanita dari masa lalunya.“Ya ampun! Aku tidak menyangka jika aku pernah menyukai lelaki bodoh sepertimu ini, Vi.”Lena menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Sama sekali tidak menyangka jika pria yang dulu menjadi idola karena sikap dingin dan kepintarannya kini bahkan tak bisa menangkap maksud dari proyek besar yang dijalankan perusahaan. Jika begini, ia ragu bagaimana nanti Vian mengambil alih dari tangan kakaknya yang licik.Jika boleh jujur, Lena memang masih menyimpan rasa untuk Vian. Sejak awal, ia memang menolak proyek besar yang akan melibatkan lahan warisan keluarganya ini. Sudah banyak perwakilan perusahaan yang Avan pimpin datang. Mulai dari menawarkan keuntun
“Jangan menghindariku seperti itu, Sialan! Aku butuh pelampiasan!”“He-hei. Kau tidak bisa melakukan hal ini padaku!”“Aku bisa, dan aku tak akan segan padamu!”Lena ingin terus menyerang, tetapi sayangnya Vian lebih gesit darinya dan menghindari secapat yang ia bisa. Namun, meski begitu tetap saja Vian telah menerima beberapa lebam di mukanya.“Hentikan, Len! Kau tidak tahu betapa fatal apa yang kau lakukan ini?!” bentak Vian. Ia geram karena Lena sama sekali tidak mendengarnya dan semakin liar saja. Rumah yang luas untuknya begitu terasa sempit saat ia hanya bisa menghindar di tempat itu-itu saja. Tak jarang, ada beberapa hiasan yang jatuh saat ia tak sengaja menyenggolnya. Jika nanti kerusakan ini di total, mungkin gaji sebulan setelah kenaikan pangkat tak akan bersisa lagi.Vian hanya tak tahu bagaimana cara menghadapi Lena yang sekarang. Jika dulu, saat mereka masih dalam romansa tujuh belasan ha
Kembali saat mereka di cafe ....“Len, aku tidak bermaksud apa pun. Hanya saja ....”“Vi, aku tahu. Aku hanya wanita rendah yang dulu pernah mencintaimu. Aku kini hanya seorang janda yang berusaha bertahan di tengah-tengah kekangan keluarga. Aku sadar, kau sudah memiliki istri dan dia jauh lebih baik dariku. Sampai kapan pun, aku tak akan pernah bisa menyamainya di hatimu.” Lena berusaha merendahkan dirinya demi membuat Vian iba. Ia pernah bersama Vian selama beberapa tahun. Hal seperti ini sudah pasti tak akan luput dari pengamatannya tentang Vian.“Ti-tidak, Len. Aku sama sekali tak pernah memandangmu dengan serendah itu. Kamu adalah kamu, dan selamanya tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan siapa pun. Bahkan jika itu adalah istriku.”Mendengar kata istri dari Vian. Lena kembali menyadari dirinya. Ah, iya. Vian telah memiliki wanita pujaan dan impian yang telah ia puja sejak kecil. Tak perlu pengakuan langsung dar
Kali ini keputusan Vian sudah bulat. Ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Lena di hotel atau tidak sama sekali. Mungkin terkesan mengada-ada, mencari kesempatan, atau memanfaatkan keadaan. Akan tetapi, hanya itu yang bisa ia lakukan dan pikirkan. Ada banyak resiko mengintai untuk saat ini. Dan ia rasa pilihan ke hotel memberinya resiko terkecil untuk saat ini.Untuk saat ini, bukan untuk jangka panjang karena ia tak akan menjamin ada hal apa yang mengancam di masa depan. Masa depan adalah hal yang perlu diwaspadai. Namun, Vian abai akan masa depan hingga tanpa sadar, ada seseorang yang mengikutinya.Tok! Tok! Tok!“Aku datang,” ujarnya. Ia khawatir jika tak menunjukkan kedatangannya, Lena tak akan membukakan pintu.“Sebentar!” Suara dari dalam sana terdengar, dan tak lama, pintu terbuka menampilkan Lena yang masih berpakaian lengkap seperti tadi. Sebelum ini, ia telah menerima pesan berisi nomor kamar yang dipesan Lena.Ja