Devan terbangun di bangku taman, entah kenapa dia merasa seperti terbangun dari tidur panjangnya. Dia kembali mengingat bagaimana dia bisa tertidur disini.
Saat dia mengingatnya, dia tersadar bahwa dia tertidur sejak kemarin sore. Hanya saja, dia seperti mengalami mimpi yang aneh."Sis-?...." Gumamnya "Ah, sepertinya aku tidur terlalu lama," serunya sendiri dan bergegas pergi.Berjalan menelusuri trotoar kota Luxburg, Devan merasa perutnya sangat lapar. Dia teringat sejak kemarin sore perutnya hanya terisi ramuan dari gelandangan tua.Devan memutuskan untuk masuk ke sebuah restoran sederhana, setelah memilih tempat duduk pelayan pun datang.Tak lama setelah pelayan itu pergi, pesanan pun datang. Devan makan semua yang dipesannya dengan sangat lahap.Namun, dia terus memikirkan bagaimana nasibnya. Kemarin saja dia putus dengan pacarnya dan kehilangan pekerjaannya di waktu yang hampir bersamaan.Ditambah dia harus membayar sewa kamar tempat tinggalnya, dan harus tetap membiayai kuliah adik kesayangannya.Mengingat kejadian kemarin, seketika makanan yang dia santap terasa hambar, bahkan terasa pahit seperti hidupnya."Ah, aku jadi memikirkannya," ucapnya kesal sambil mendorong piring di hadapannya.Saat hendak merogoh saku untuk membayar, dia tak lagi menemukan dompetnya."Ah, sial! F*ck! Kemana dompetku," umpatnya kesal.Sepertinya kesialan tak mau menjauh darinya, seketika dia mengingat gelandangan yang berbicara dengannya kemarin.""Apa gelandangan tua itu mencuri dompetku?" Batinnya.Cukup masuk akal, mengingat setelah meminum ramuan dari kakek itu, Devan langsung merasa pusing.Namun beruntung, di saku depan celananya, dia masih bisa menemukan ponselnya. Dia mulai berjalan menuju ke meja kasir."Hey, Nona. Apa aku bisa membayar menggunakan ponselku?" Tanyanya sedikit gugup."Ya, tentu saja. Sebentar!""Oh, baik. Terima kasih.""Total semuanya seratus lima puluh dollar, Tuan," ucap gadis di balik meja kasir itu, sambil menunjukkan barcode di sebuah papan kecil."Ah, sial. Mahal sekali, semoga saldoku cukup untuk membayarnya," gumamnya, sambil memindai barcode itu dengan ponselnya."Kalau memang saldoku tak cukup, aku akan memikirkan cara lain untuk membayarnya," gumam Devan lagi.Setelah memindainya, Devan memasukkan beberapa digit angka yang biasanya digunakan untuk pin transaksinya.Mungkin hanya disuruh bekerja atau apalah, Devan tak peduli. Seandainya disuruh kerja pun dia tak menolaknya, karena memang dia butuh pekerjaan."Terima kasih, Tuan. Pembayaran anda sudah berhasil."Devan sedikit terkejut, namun dia merasa lega. Dia rasa, mungkin saja dia masih memiliki sisa saldo di dalam akunnya.Setelahnya Devan keluar dari restoran sederhana itu, dan mulai berjalan pulang.Saat itu Devan melihat seorang wanita sedang ingin menyeberangi jalan raya. Namun entah kenapa nalurinya berkata seolah wanita itu dalam bahaya.Saat Devan melihat sekelilingnya, dia menyadari sebuah truk melaju kencang dari arah belakangnya.Melihat wanita itu mulai melangkahkan kakinya, Devan menyadari memang nalurinya sangat benar. Truk yang melaju itu seolah akan menabrak wanita yang dilihatnya.Tanpa pikir panjang, Devan segera berlari menghampiri wanita tersebut."Nona.... Awas...." Devan berteriak memperingati wanita tersebut.Namun, wanita itu malah berhenti dan memandang kearahnya. Saat sudah dekat, Devan menarik tangan wanita itu ke pinggir jalan."Ciiiiitt...." Suara rem truk yang melaju kencang tersebut."Wuusss....""Buk!""Aahhhh...."Devan meringis kesakitan, punggungnya sedikit terbentur dengan trotoar.Devan berusaha untuk berdiri, setelah itu dia mengulurkan tangan kepada wanita itu."Nona, apa kau tidak apa-apa?" Tanya Devan masih menahan rasa sakit di punggungnya.Wanita itu pun menyambut uluran tangan Devan, kemudian berkata, "Eh, maaf! Terima kasih sudah menolongku, kalau tidak-"Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Devan memotong ucapan wanita itu, "Tidak, tidak apa-apa, Nona. Lain kali perhatikan langkahmu.""Aku tak sengaja melihatmu barusan, jadi aku berusaha menolong mu sebisaku," ucap Devan sembari akan melangkah pergi."Ting...."Tiba-tiba, Devan mendengar sebuah suara dentingan di dalam kepalanya, yang membuat langkahnya berhenti."Tunggu! Tunggu sebentar!" Wanita itu memanggilnya.Wanita itupun sedikit berlari mensejajarkan langkahnya dengan Devan, dia membuka dompetnya dan menarik dua lembar uang pecahan seratus dollar."Tolong, terima ini. Karena kau telah menolongku," ucap wanita itu kepada Devan."Eh, tidak, Nona. Aku tak membutuhkan itu untuk menolong mu," Devan sedikit menolak pemberian wanita itu."Aku mohon! Tolong, terimalah," ucap wanita itu sambil menyodorkan uang dan sedikit membungkuk.Tentu Devan terkejut, seumur hidupnya, tidak ada seorangpun yang membungkuk di hadapannya, "Baiklah, karena kau memaksaku."Mereka berdua pun berjalan bersamaan. Setelah berkenalan, ternyata gadis itu bernama Laura Hale."Baiklah, Laura. Sebenarnya mau kemana kamu tadi? Kenapa sekarang malah berjalan searah denganku?""Sebenarnya aku cuma mau mampir ke toko roti di seberang jalan, eh kamu malah menghalangi jalanku," ucap Laura sedikit tertawa, "Sekarang aku mau ke tempat kerjaku, di depan sana," Laura menambahkan.Setelahnya mereka pun sedikit lebih akrab, hingga mereka mulai bertukar cerita tentang sedikit masalah yang mereka hadapi.Devan yang bercerita baru saja kehilangan pekerjaan karena suatu masalah, sedangkan Laura menceritakan tekanan dari tempatnya bekerja.Bahkan hampir setiap harinya wanita itu harus lembut demi ambisi yang ingin dicapai oleh perusahaan tempatnya kerja.Setelah bertukar nomor dan berada di depan gerbang kantor perusahaan tempat Laura bekerja, mereka pun berpisah."Baiklah Devan, jika kamu butuh bantuanku hubungi saja. Atau, kamu mau kerja di tempatku, aku siap bantu.""Hmm.... Baiklah, nanti aku hubungi kamu lagi, sampai jumpa."Tentu Devan akan sangat senang jika bisa bekerja di perusahaan yang cukup besar itu. Namun, hal itu juga perlu persiapan lainnya.Sesampainya di tempat tinggalnya, Devan tidak menemukan Diana berada di sana. Mungkin dia sedang kuliah, karena ini memang masih pagi.Devan duduk di sofa dekat pintu dan memikirkan kenapa dia bisa tahu kalau Laura dalam bahaya."Kenapa aku bisa tahu? Dan, suara itu?"Lama Devan memikirkan hal itu, dan tak sengaja dia menggumamkan kata yang tadi tak sempat dia ucapkan di dalam restoran saat sarapan."Sistem?"Baru saja Devan menggumamkan kata itu, tiba-tiba di pandangannya muncul panel hologram dengan berbagai pilihan.Devan segera mengedipkan mata berkali-kali serta menggelengkan kepala cepat. Berfikir bahwa itu hanya halusinasi, namun panel hologram itu tak hilang dari hadapannya."Apa ini?"Devan mulai memperhatikan tulisan-tulisan yang ada di sana. Kembali dia mencoba menampar pipinya dengan keras."Plak!""Aaw.... Sakit" Devan berkata sambil mengelus pipinya yang sakit, "Jadi, ini bukan mimpi?"Devan pernah melihat panel hologram ini sekali, saat tidur di bangku taman. Itupun saat dia dalam posisi tak sadarkan diri.Waktu itu dia seperti melihat ini dalam mimpinya, namun sekarang terlihat nyata, dan Devan bisa melihat panel hologram itu dengan sangat jelas.[Konfirmasi Pengaktifan Pertama Kali][Nama Pengguna = Devan Blackwell][Jumlah Poin = 20][Status = Jomblo Akut][Pengalaman = 60][Berbicara = 20][Kemampuan Berpikir : 35][Serangan Kritis = 20][Pertahanan = 20][Daya Tahan = 20][Kemampuan Super = 1][Saldo = ∞ Dollar][Jenis Sistem = Penguasa][Misi Harian = !][Peraturan Penggunaan Sistem :Misi harian selalu diperbarui setiap hari, dimana misi harian menyangkut dengan diri pengguna sendiri.Setiap misi yang diselesaikan, pengguna akan mendapatkan poin dan hadiah. Dimana poin tersebut bisa ditukarkan dengan kemampuan diatas.Harga tukar kemampuan tergantung dengan level kemampuan masing-masing.Untuk meningkatkan satu level, untuk level kemampuan 20 sampai 99 seharga 1 poin, level 100 sampai 149 seharga 2 poin, dan level 150 sampai 200 seharga 3 poin.Misi utama pengguna adalah menjadi penguasa]Devan mengamati tulisan-tulisan itu dengan seksama. Namun, perhatiannya tertuju pada tulisan status di panel sistemnya."Sial, bahkan sistem pun bisa mengejekku," umpatnya, "Apa jangan-jangan, aku bisa membayar makananku tadi karena ini? Aku ingat saldo akun bank ku hanya tersisa empat dollar saja."Devan buru-buru menutup panel sistemnya dan berlari keluar.Saat sampai di bank, Devan mencoba menarik sejumlah uang yang cukup banyak.Mata Devan terbelalak saat melihat uang keluar dari mesin atm tersebut. Setelah dia menghitung, ternyata tak salah sedikitpun.Sekarang Devan sedang memegang uang sejumlah seribu dollar di tangannya, hal yang belum pernah dia rasakan selama ini.Seketika, dia mengingat sesuatu dan segera menghubungi Diana, adik kesayangannya."Helo, kak. Kakak sudah pulang? Aku masih ada jam kuliah."Olivia sendiri memang mengetahui sesuatu yang tak banyak diketahui kebanyakan orang.Awalnya gadis itu hanya menganggap rumor, ketika Diana yang menggantikan Natalie sebagai manajer The Sunshine Bar.Namun saat Olivia ingin membuktikan sendiri, ternyata memang begitulah sebenarnya, meski itu hanya segelintir orang yang mengetahui.Belum sampai di situ, ketika Olivia menyadari ternyata Diana juga mengenal baik dengan Natalie, membuat gadis itu lebih terkejut lagi.Melihat anaknya yang tidak menanggapi pertanyaannya, Julie kembali memperingatkan Olivia, sehingga membuat gadis itu sedikit tersentak."Oliv, kau dengar apa yang ibu tanyakan?"Seketika Olivia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggelengkan kepalanya, sebelum akhirnya gadis itu berbicara."Ibu, percayalah kau akan terkejut saat aku menceritakan kebenarannya.""Apa maksudmu? Kau tentu tahu siapa Nona Natalie, kebenaran apa yang kau maksud?"Olivia tidak tahu harus menjawab seperti apa, karena menurut Olivia saat ini buk
Devan yang menyadari seakan pembawa acara itu memanggil dirinya dan Diana, seketika bertanya sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri, memastikan.Sementara itu Olivia yang baru saja naik dan kini berada di belakang panggung, juga menyadari bahwa ada masalah di depan sana.Sebenarnya begitu acaranya dimulai, beberapa saat lagi gadis itu akan di panggil untuk maju ke atas panggung, begitu saatnya tiba.Namun, ketiga Olivia hendak berdiri untuk melihat keadaan di depan sana, ibunya Julie Hamilton menahannya."Oliv, biarkan saja.... Pihak keamanan akan membereskannya, setelah ini aku akan memanggil Regina. Sepertinya dia tidak melakukan tigasnya dengan baik," ucap Julie, "Apa dia tidak tahu, jika ada Nona Natalie dari DB Investment ada di sini?.... Ah.... Ini membuatku kesal," lanjutnya memperingatkan.Melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan ibunya, Olivia terpaksa menahan dirinya untuk tidak keluar, dan melihat apa sebenarnya yang terjadi.Tapi, entah kenapa saat ini Olivia merasa jiga
"Hey, kau pikir kau siapa haha?.... Terisi?.... Apa ada yang melihat seseorang duduk di sini?" Alvin tidak menyangka jika pemuda yang akan duduk di bangku yang di tempati Devan, akan berbicara dengan meninggikan suaranya.Alih-alih menanggapi ucapan pemuda yang duduk di bangku milik Devan, Alvin berkata pada Tommy."Tommy, bukankah kau tahu kalau...."Apa yang dikatakan Alvin menguap begitu saja, karena saat itu juga Tommy sudah mengangkat salah satu tangannya, memintanya berhenti.Chris yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Tommy, yakin bahwa dia sengaja menyuruh mereka duduk di sana.Hingga saat Devan dan Diana kembali, tak ada lagi tempat duduk untuk keduanya di sana."Tommy, kami tahu kau tak begitu mengenal Devan, tapi kau tentu mengenali Diana, jadi setidaknya—"Chris tak sempat menyelesaikan kata-katanya, karena saat itu juga Tommy yang sejak tadi sudah duduk, kembali berdiri dan langsung memotongnya."Tentu aku mengenali Diana, dan aku akui aku juga menyukainya.... Sekara
Devan sempat melirik sebentar ke arah dimana Natalie saat ini berdiri, sebelum akhirnya kembali berbalik duduk.Lagipula, di luar pekerjaan dia tidak memiliki kepentingan dengan gadis yang sedang menyita perhatian itu."Devan, bukankah seharusnya kita juga ikut menyapa?"Mendengar Alvin yang bertanya, Devan hanya mengangkat sedikit bahu sebelum akhirnya berkata."Tidak perlu, biarkan Olivia sendiri yang menyapa."Merasa kedua sahabatnya bahkan Diana tak puas dengan jawaban yang dia berikan, Devan kembali berbicara."Lagipula, ini adalah pesta milik Olivia, biarkan dia sendiri yang menyapa."Mendengar penjelasan Devan barusan, akhirnya ketiganya saling bertatapan, sebelum akhirnya menganggukkan kepala mengerti.Setidaknya dengan begini mereka tidak perlu memikirkan adanya masalah lagi di tempat ini.Lain halnya dengan Alvin, Chris, maupun Diana yang merasa lega. Saat ini Ken dan Tommy masih terkejut dengan kejadian barusan.Meski tak tahu pasti siapa sebenarnya kakak Diana itu, membuat
Mendengar suara seorang gadis yang berkata seperti itu, membuat semua orang menoleh ke arah sumber suara itu.Saat itu Olivia Hamilton sudah berdiri di sebelah Nancy memotong pembicaraan gadis itu.Meski saat ini Olivia sendiri terlihat tersenyum, namun sangat jelas yang terjadi malam ini membuat gadis yang seharusnya menjadi bintang di acara ini, terlihat tidak senang."Olivia, kau terlihat sangat cantik.... Tapi lihatlah pecundang-pecundang ini, mereka berusaha menyelinap ke acara ulang tahunmu.""Ya, Olivia.... Aku yakin mereka sengaja memalsukan kartu itu dan berusaha menyelinap ke sini," ucap Nancy menyetujui apa yang dikatakan Tommy barusan."Aku tahu, aku yang mengundang mereka...."Nancy menganggukkan kepalanya seolah mengerti apa yang dikatakan temannya itu."Itu maksudku, tidak mungkin kau mengundang mereka, jadi cepat usir pecundang-pecundang....""Nancy!...."Apa yang dikatakan Nancy barusan menguap begitu saja di udara, karena Olivia langsung memotong perkataannya."Aku y
Mendengar ucapan Regina barusan, Ken benar-benar dibuat terdiam di tempatnya berdiri saat ini.Regina bisa saja bersikap lebih dari ini, karena bagaimanapun dia mengenal banyak orang-orang hebat di Luxburg.Tentu saja Regina juga tahu siaap Brent Owen ayah dari pemuda yang mengaku bernama Ken Owen ini.Namun karena dia tahu siapa Brent Owen itu, justru membuat Regina berani berkata seperti ini.Menurut Regina pemuda yang mengenakan pakaian sederhana dengan hoodie sebagai atasannya itu, memiliki seduatu yang bisa memastikan pemuda itu berada jauh di atas keluarga Owen.Manajer hotel itu sendiri sangat siap jika harus berhadapan dengan keluarga Owen. Akan tetapi, dia sama sekali tidak siap jika harus berhadapan dengan pemuda yang lebih memilih menyembunyikan identitasnya, dari pada orang yang memamerkan kekayaan keluarganya seperti Ken ini.Bagi Regina, pemuda seperti Devan sangatlah langka dan pasti sangat berbahaya. Membelanya tanpa mengungkapkan identitasnya adalah cara Regina menun