Sampai kapanpun cinta pertama akan menjadi cinta yang tidak pernah terlupakan. Hal itu berlaku bagi hampir seluruh penduduk dunia, begitupun bagiku, jelas aku tidak akan pernah melupakannya. Bahkan sampai saat ini, aku masih terus mengejar cinta pertamaku.
Aku yakin, baik wanita maupun pria yang tidak memperjuangkan cinta, selamanya akan menyesal karena cinta.
Maka dari itu, aku selalu menyimpan baik-baik kenangan cinta pertamaku hingga setiap detail kejadiannya. Terutama aroma manis, lembut, dan segar cherry blossom yang menggelitik hidung dan degup kencang di dalam dadaku pada pertemuan kami di musim semi kala itu. Semua terpatri jelas dalam benakku seperti sebuah fosil. Meskipun cintaku bersemi secara sepihak, saat itu, tiga belas tahun yang lalu.
Usiaku baru dua belas tahun ketika bertemu dengan anak laki-laki itu. Sedangkan usianya baru enam belas tahun.
Jujur saja, tahun itu adalah perjalanan keluar negeri pertamaku. Aku langsung menyebut Jepang ketika kedua orang tuaku menanyakan tujuan liburan kami.
Ayahku adalah seorang kolektor kartu pos, dan aku sangat terkesan pada salah satu koleksi kartu pos milik ayah yang memuat sebuah foto taman dengan bunga-bunga cherry blossom bermekaran. Pada kartu pos itu tertera sebuah tulisan, Ueno Park, Japan.
Tentu saja, sejak saat itu aku selalu terobsesi untuk dapat melihat bunga cherry blossom secara langsung di Ueno Park. Jadi ketika kesempatan itu datang, aku tidak menyia-nyiakannya. Ayahku memesan paket wisata dari agen wisata kenalan ayah untuk kami bertiga.
Pada awalnya perjalanan itu berlangsung lancar, namun pada sore di hari kedua perjalanan kami permasalah cukup pelik terjadi secara tiba-tiba. Kunjunganku di Ueno Park menjadi petaka. Aku terpisah dari rombongan pemandu wisata dan kedua orangtuaku. Malapetaka itu disebabkan oleh euforia berlebihan sebagai siswa sekolah dasar yang terlalu bersemangat menangkap kelopak-kelopak bunga cherry blossom hingga tanpa sadar telah berlari terlalu jauh dari rombongan.
Kejadian selanjutnya dapat ditebak dengan mudah. Aku tersesat dan menangis histeris. Siswa SD berusia dua belas tahun, yang hanya tahu satu kata berbahasa Jepang, yaitu arigato, dan menyadari betul bahwa Bahasa Inggris yang dikuasai hanya seputar berhitung, menyebut huruf, nama-nama warna, buah, sayur, dan pengenalan diri sebatas, “My name is Sophie-” serta satu lagu berjudul Old MacDonald. Tentu saja, aku atau anak manapun pasti akan menangis histeris bak kerasukan.
Meskipun penduduk Jepang yang melihat keadaanku berusaha singgah dan membantuku dengan menanyakan berbagai hal. Kalimat-kalimat yang mereka ucapkan terdengar seperti bahasa alien di telingaku.
Aku semakin histeris.
“Mama...Papa...Tolong!” Hanya kata-kata itu yang berulang kali terucap di sela-sela tangisanku. Semakin banyak orang mengerumuni, semakin panik dan kencang suara tangisku. Aku hanya dapat menangis sambil menggenggam cincin berbentuk bunga cherry blossom, hadiah ulang tahun dari ayah dan ibu yang selalu kupegang erat ketika ketakutan.
Saat itulah sebuah teriakan terdengar cukup lantang dari arah bangku taman.
“Hei, berisik. Bisa berhenti nangisnya ga sih!”
Suara seorang anak laki-laki tampan dengan rambut belah tengah bergerak anggun oleh tiupan angin musim semi terdengar sangat sinis. Kelopak-kelopak bunga cherry blossom berguguran lembut menerpa kulit halus anak laki-laki yang memandang langit sore berselimut gumpalan kelopak merah muda. Dari jauh, aku dapat melihat bulu mata lebat panjangnya yang terlihat semakin indah ketika ia berkedip.
Gambaran anak laki-laki di bawah pohon cherry blossom sambil duduk menghadap danau kebiruan dihiasi teratai, mengingatkanku pada lukisan tiongkok bergaya guohua yang pernah kulihat di salah satu kartu pos milik ayahku. Kalau mau digambarkan, ketampanan anak laki-laki itu tidak kalah dengan wajah aktor-aktor tampan dalam poster-poster yang dipajang sepupu-sepupu perempuanku di dinding kamar mereka.
Seketika dadaku berdetak kencang ketika mata anak laki-laki itu tertuju padaku. Tanpa sadar sebelah tanganku sudah berada di atas dada, berharap dapat menenangkan debarannya.
Anak laki-laki itu mengenakan seragam putih abu-abu khas pakaian sekolah menengah atas Indonesia. Ia bersandar pada salah satu kursi taman Ueno Park, Jepang. Meskipun bingung, tapi aku ingat perasaan senang dan lega ketika melihat anak laki-laki Indonesia di tengah penduduk dan belantara Jepang yang sebenarnya sangat asing bagiku. Seketika aku merasa- selamat.
Sudah hampir dua jam kami berputar-putar di sekitar Ueno Park. Taman ini terlalu luas untuk mencari keberadaan orangtuaku. Pada awalnya aku sangat yakin akan berpapasan dengan ayah dan ibu yang pasti juga mencariku. Hanya saja, mengingat kami sudah berputar-putar selama dua jam, hingga langit menjadi gelap, kami masih belum bisa menemukan ayah dan ibuku. Kenyataan ini sedikit membuat harapanku memudar.
“Bukan begitu cara makan takoyaki. Lidahmu akan terbakar! Dua tusuk gigi yang ditancapkan di piring kertas itu bukan tidak ada manfaatnya. Tusuk gigi itu digunakan untuk membelah takoyaki supaya uap panasnya keluar dan lebih dingin saat kita makan.” Gerald terlihat sibuk membelah takoyaki-takoyaki miliknya, lalu dengan lahap memasukkannya ke dalam mulut. Aku meniru gerakannya. Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, Gerald memang benar, takoyaki ini rasanya sangat lezat.
Pada akhirnya berkat pertolongan Gerald, aku dapat bertemu kembali dengan kedua orangtuaku. Aku langsung berlari memeluk ayah dan ibu sambil menangis begitu melihat sosok mereka di ambang pintu pos polisi. Aku berbicara tanpa henti untuk memperkenalkan Gerald kepada kedua orangtuaku, seakan aku adalah juru bicara Gerald.“Ayah, Ibu, ini adalah Kak Gerald. Dia membantuku berkeliling mencari Ayah dan Ibu saat tersesat tadi. Kakak juga membelikanku takoyaki dan matcha tea. Kak Gerald ini anggota tim olimpiade.Kedua orangtuaku sangat berterima kasih kepada Gerald dan polisi-polisi yang telah membantu kami. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memeluk Gerald, apalagi setelah mereka melihat seragam sekolah Indonesia yang dikenakan Gerald. Bahkan aku yang anaknya saja hanya dipeluk satu kali ketika mereka baru saja tiba di pos polisi. Selain itu kedua orang tuaku memberikan cemilan-cemilan bermerek Indonesia yang kami bawa di dalam tas unt
“Kyaaa...!” aku berjingkat-jingkat sambil terus menjerit-jerit.“Ada apa? Ada apa Sophie?” Rosa berlari dari dalam kamar dengan wajah sangat panik. Lembaran masker wajah yang menempel di mukanya bergeser dari tempatnya karena pergerakan Rosa secara tiba-tiba.“Akhirnya perusahaan IT Wollim menerimaku bekerja!”“Benarkah? Induk dari perusahaan Orin?” tanya Rosa, teman sekamar, seakan ia tidak percaya pada kabar gembira ini. Aku mengangguk dengan antusias sebagai jawaban dari pertanyaannya.“Iya Rosa, aku akan menyelidiki secara diam-diam apakah mereka terlibat dengan kasus limbah pabrik Orin.” Aku melompat-lompat girang sambil berputar-putar. Rosa memegang tanganku dan ikut melompat-lompat sambil terus tertawa.“Sial, Sophie. Itu terlalu berbahaya. Lagi pula kamu tahu, bukti yang didapat secara ilegal tidak akan diakui dalam persidangan?”“Aku tahu, tapi kita
Aku memilih universitas yang sama dengan Gerald, menjadi bagian dari senat mahasiswa demi bisa berdekatan dengan Gerald. Tapi Gerald benar-benar tidak mengingatku, selain itu terlalu banyak wanita yang mengelilingi dan mengejarnya. Selain itu, entah mengapa Gerald selalu menghindariku, padahal tampak jelas dari matanya bahwa ia menyukaiku. Rosa pun sama yakinnya bahwa Gerald menyukaiku. Aku dan Rosa mengambil jurusan yang sama di kampus kami, jadi Rosa sangat tahu seluruh upaya dan pengorbananku untuk mengejar Gerald.
Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.