Share

BAB 2 : ANAK LAKI-LAKI

Anak laki-laki itu mengenakan seragam putih abu-abu khas pakaian sekolah menengah atas Indonesia. Ia bersandar pada salah satu kursi taman Ueno Park, Jepang. Meskipun bingung, tapi aku ingat perasaan senang dan lega ketika melihat anak laki-laki Indonesia di tengah penduduk dan belantara Jepang yang sebenarnya sangat asing bagiku. Seketika aku merasa- selamat.

Aku berlari menghampiri anak laki-laki itu dan menangis di hadapannya sambil mengguncang-guncang lengan kanannya, meminta anak itu untuk menolongku.

“Kak, tolong cariin mama papaku-” Lagi-lagi aku mengulang-ulang kalimat itu, berharap agar anak itu mau membantuku.

“Hah, ini satu-satunya waktu istirahatku selama pelaksanaan olimpiade. Ini satu-satunya kesempatanku untuk menenangkan diri. Aku ini sangat lelah, tahu! Kenapa aku harus membantumu?” Anak laki-laki itu mendelik kesal.

“Karena...Karena...Karena kita sama-sama orang Indonesia. Tolong aku, Kak-“

“Memangnya kenapa kalau kita sama-sama orang Indonesia? Hei bocah, pergi saja sana! Minta tolong sama polisi Jepang. Mereka pakai seragam biru dan topi polisi biru. Jangan ganggu aku, suara tangisanmu cuma bikin pusing saja!” Anak laki-laki itu melepaskan genggaman tanganku dari lengannya dengan kasar.

“Kakak mau lombakan? Aku akan mendoakanmu supaya menang! Tolong aku, dan aku akan berdoa supaya Tuhan membantumu-“ Masih dengan suara terisak-isak aku berusaha meyakinkan anak laki-laki di hadapanku.

“Memangnya doa bisa membantuku! Doamu sudah tidak diperlukan lagi. Lagi pula kalau memang benar doa itu mujarab...Pasti orang itu-“ ucapan anak laki-laki itu tiba-tiba terhenti. Aku menatapnya dengan bingung, ada sinar kesedihan di dalam mata anak laki-laki itu. Namun, ketakutan akan bayangan tidak dapat bertemu dengan kedua orangtuaku lagi dan selamanya tersesat di Jepang tanpa bisa pulang ke rumah, semakin membuatku menangis frustasi.

“Aku akan memberimu satu hadiah lagi!” ucapku dengan lantang di sela-sela tangisan. Anak laki-laki itu menelengkan kepalanya keheranan, ia menatapku dengan lebih lekat. Meskipun mataku masih Dari dekat wajah anak laki-laki itu semakin terlihat tampan. Kulit pipinya terlihat sangat halus, bibirnya berwarna merah dan berkilau lembab. Lagi-lagi jantungku seperti sedang bermain roller coaster.

“Memang apa yang bisa kamu berikan padaku?” tanya anak itu.

“Saat besar nanti, aku akan menikahimu! Itu hadiahku!” Sambil tersedu-sedu, aku berusaha menatap mata anak laki-laki itu untuk menunjukkan kesungguhanku, bukan hanya sekadar janji anak sekolah dasar tanpa bisa dipercaya.

Anak laki-laki itu meringis kecut, tapi ia berdiri dan menyampirkan jaket almamater sekolah berwarna abu-abu tua di tangan kirinya, lalu berkata, “Dasar cengeng! Bagaimana bisa anak seumurmu masih tersesat? Selain itu, kalau kamu mau menikahiku, kamu harus lebih pintar dariku, dan harus sangat-sangat cantik! Cepat, kita harus berkeliling mencari orang tuamu!”

Tentu saja aku merasa teramat gembira ketika anak laki-laki itu membantuku. Aku melihat papan bertuliskan nama Gerald di dada kiri jaket almamater sekolah anak laki-laki itu.

“Jadi, nama Kakak, Gerald, ya? Namaku Sophie Amalia. Kakak sekolah di SMA Angkasa?” Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar, berusaha menyamakan jarak dengan anak laki-laki itu sambil mengusap air mata di pipiku. Akan tetapi anak itu hanya menjawabku dengan satu kata, “Hmm!”

“Kakak kelas berapa?” tanyaku kembali.

“Satu SMA.” Jawaban Gerald sangat singkat dan padat.

“Berarti umur kakak sudah enam belas tahun ya? Umur kita Cuma beda empat tahun dong!”

“Hmm-“ Sekali lagi Gerald mengucapkan kata hmm, aku akan memanggilnya dengan sebutan ‘Master Hmm’.

“Karena Kak Gerald menolongku. Selamanya Kakak adalah pahlawanku. Aku akan mengizinkan Kakak menjadi suamiku saat besar nanti.” Aku berusaha menghilangkan tangisku dan memberikan senyuman paling menawan dan ceria di hadapan anak laki-laki bernama Gerald. Sayangnya anak laki-laki itu tiba-tiba menjadi sangat irit bicara, satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanya suara, “Cih!” Ya, setidaknya dia tidak mengucapkan kata hmm... lagi.

“Di mana terakhir kali kamu berpisah dengan orangtuamu?” tanya Gerald padaku. Aku sangat kesulitan berbicara dengannya karena tinggi badanku hanya seketiak Gerald. Terlalu sulit untuk terus mendongak saat berbicara dengannya sambil berdiri.

“Aku...sepertinya aku mulai terpisah di dekat pohon cherry blossom yang batangnya seperti kobaran api.” Gerald mengerutkan kening dan mulai memijat-mijat pelipis berkilatnya.

“Apa kamu tidak mengingat hal khusus lainnya? Misalnya mungkin kau melihat kebun binatang, atau tempatmu berpisah berada cukup dekat dengan museum?” tanya Gerald kembali.

“Emm, aku ingat, di tempat itu ada banyak orang duduk dan berfoto di antara cherry blossom. Ada kakek-kakek berbaju kuning sedang meminum teh.” Aku benar-benar berusaha mengingat setiap hal yang kulihat di lokasi terakhirku sebelum tersesat.

“Ini akan sangat sulit- ada 1200 pohon cherry blossom di taman ini, dan kamu tidak mengingat satu hal detail pun,“ suara Gerald terdengar sedikit putus asa. Keputusasaan Gerald membuat hatiku semakin mencelus. Kalau diingat-ingat lagi, kurasa dulu pasti Gerald sangat kesal menghadapiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status