Anak laki-laki itu mengenakan seragam putih abu-abu khas pakaian sekolah menengah atas Indonesia. Ia bersandar pada salah satu kursi taman Ueno Park, Jepang. Meskipun bingung, tapi aku ingat perasaan senang dan lega ketika melihat anak laki-laki Indonesia di tengah penduduk dan belantara Jepang yang sebenarnya sangat asing bagiku. Seketika aku merasa- selamat.
Aku berlari menghampiri anak laki-laki itu dan menangis di hadapannya sambil mengguncang-guncang lengan kanannya, meminta anak itu untuk menolongku.
“Kak, tolong cariin mama papaku-” Lagi-lagi aku mengulang-ulang kalimat itu, berharap agar anak itu mau membantuku.
“Hah, ini satu-satunya waktu istirahatku selama pelaksanaan olimpiade. Ini satu-satunya kesempatanku untuk menenangkan diri. Aku ini sangat lelah, tahu! Kenapa aku harus membantumu?” Anak laki-laki itu mendelik kesal.
“Karena...Karena...Karena kita sama-sama orang Indonesia. Tolong aku, Kak-“
“Memangnya kenapa kalau kita sama-sama orang Indonesia? Hei bocah, pergi saja sana! Minta tolong sama polisi Jepang. Mereka pakai seragam biru dan topi polisi biru. Jangan ganggu aku, suara tangisanmu cuma bikin pusing saja!” Anak laki-laki itu melepaskan genggaman tanganku dari lengannya dengan kasar.
“Kakak mau lombakan? Aku akan mendoakanmu supaya menang! Tolong aku, dan aku akan berdoa supaya Tuhan membantumu-“ Masih dengan suara terisak-isak aku berusaha meyakinkan anak laki-laki di hadapanku.
“Memangnya doa bisa membantuku! Doamu sudah tidak diperlukan lagi. Lagi pula kalau memang benar doa itu mujarab...Pasti orang itu-“ ucapan anak laki-laki itu tiba-tiba terhenti. Aku menatapnya dengan bingung, ada sinar kesedihan di dalam mata anak laki-laki itu. Namun, ketakutan akan bayangan tidak dapat bertemu dengan kedua orangtuaku lagi dan selamanya tersesat di Jepang tanpa bisa pulang ke rumah, semakin membuatku menangis frustasi.
“Aku akan memberimu satu hadiah lagi!” ucapku dengan lantang di sela-sela tangisan. Anak laki-laki itu menelengkan kepalanya keheranan, ia menatapku dengan lebih lekat. Meskipun mataku masih Dari dekat wajah anak laki-laki itu semakin terlihat tampan. Kulit pipinya terlihat sangat halus, bibirnya berwarna merah dan berkilau lembab. Lagi-lagi jantungku seperti sedang bermain roller coaster.
“Memang apa yang bisa kamu berikan padaku?” tanya anak itu.
“Saat besar nanti, aku akan menikahimu! Itu hadiahku!” Sambil tersedu-sedu, aku berusaha menatap mata anak laki-laki itu untuk menunjukkan kesungguhanku, bukan hanya sekadar janji anak sekolah dasar tanpa bisa dipercaya.
Anak laki-laki itu meringis kecut, tapi ia berdiri dan menyampirkan jaket almamater sekolah berwarna abu-abu tua di tangan kirinya, lalu berkata, “Dasar cengeng! Bagaimana bisa anak seumurmu masih tersesat? Selain itu, kalau kamu mau menikahiku, kamu harus lebih pintar dariku, dan harus sangat-sangat cantik! Cepat, kita harus berkeliling mencari orang tuamu!”
Tentu saja aku merasa teramat gembira ketika anak laki-laki itu membantuku. Aku melihat papan bertuliskan nama Gerald di dada kiri jaket almamater sekolah anak laki-laki itu.
“Jadi, nama Kakak, Gerald, ya? Namaku Sophie Amalia. Kakak sekolah di SMA Angkasa?” Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar, berusaha menyamakan jarak dengan anak laki-laki itu sambil mengusap air mata di pipiku. Akan tetapi anak itu hanya menjawabku dengan satu kata, “Hmm!”
“Kakak kelas berapa?” tanyaku kembali.
“Satu SMA.” Jawaban Gerald sangat singkat dan padat.
“Berarti umur kakak sudah enam belas tahun ya? Umur kita Cuma beda empat tahun dong!”
“Hmm-“ Sekali lagi Gerald mengucapkan kata hmm, aku akan memanggilnya dengan sebutan ‘Master Hmm’.
“Karena Kak Gerald menolongku. Selamanya Kakak adalah pahlawanku. Aku akan mengizinkan Kakak menjadi suamiku saat besar nanti.” Aku berusaha menghilangkan tangisku dan memberikan senyuman paling menawan dan ceria di hadapan anak laki-laki bernama Gerald. Sayangnya anak laki-laki itu tiba-tiba menjadi sangat irit bicara, satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanya suara, “Cih!” Ya, setidaknya dia tidak mengucapkan kata hmm... lagi.
“Di mana terakhir kali kamu berpisah dengan orangtuamu?” tanya Gerald padaku. Aku sangat kesulitan berbicara dengannya karena tinggi badanku hanya seketiak Gerald. Terlalu sulit untuk terus mendongak saat berbicara dengannya sambil berdiri.
“Aku...sepertinya aku mulai terpisah di dekat pohon cherry blossom yang batangnya seperti kobaran api.” Gerald mengerutkan kening dan mulai memijat-mijat pelipis berkilatnya.
“Apa kamu tidak mengingat hal khusus lainnya? Misalnya mungkin kau melihat kebun binatang, atau tempatmu berpisah berada cukup dekat dengan museum?” tanya Gerald kembali.
“Emm, aku ingat, di tempat itu ada banyak orang duduk dan berfoto di antara cherry blossom. Ada kakek-kakek berbaju kuning sedang meminum teh.” Aku benar-benar berusaha mengingat setiap hal yang kulihat di lokasi terakhirku sebelum tersesat.
“Ini akan sangat sulit- ada 1200 pohon cherry blossom di taman ini, dan kamu tidak mengingat satu hal detail pun,“ suara Gerald terdengar sedikit putus asa. Keputusasaan Gerald membuat hatiku semakin mencelus. Kalau diingat-ingat lagi, kurasa dulu pasti Gerald sangat kesal menghadapiku.
Sudah hampir dua jam kami berputar-putar di sekitar Ueno Park. Taman ini terlalu luas untuk mencari keberadaan orangtuaku. Pada awalnya aku sangat yakin akan berpapasan dengan ayah dan ibu yang pasti juga mencariku. Hanya saja, mengingat kami sudah berputar-putar selama dua jam, hingga langit menjadi gelap, kami masih belum bisa menemukan ayah dan ibuku. Kenyataan ini sedikit membuat harapanku memudar.
“Bukan begitu cara makan takoyaki. Lidahmu akan terbakar! Dua tusuk gigi yang ditancapkan di piring kertas itu bukan tidak ada manfaatnya. Tusuk gigi itu digunakan untuk membelah takoyaki supaya uap panasnya keluar dan lebih dingin saat kita makan.” Gerald terlihat sibuk membelah takoyaki-takoyaki miliknya, lalu dengan lahap memasukkannya ke dalam mulut. Aku meniru gerakannya. Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, Gerald memang benar, takoyaki ini rasanya sangat lezat.
Pada akhirnya berkat pertolongan Gerald, aku dapat bertemu kembali dengan kedua orangtuaku. Aku langsung berlari memeluk ayah dan ibu sambil menangis begitu melihat sosok mereka di ambang pintu pos polisi. Aku berbicara tanpa henti untuk memperkenalkan Gerald kepada kedua orangtuaku, seakan aku adalah juru bicara Gerald.“Ayah, Ibu, ini adalah Kak Gerald. Dia membantuku berkeliling mencari Ayah dan Ibu saat tersesat tadi. Kakak juga membelikanku takoyaki dan matcha tea. Kak Gerald ini anggota tim olimpiade.Kedua orangtuaku sangat berterima kasih kepada Gerald dan polisi-polisi yang telah membantu kami. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih dan memeluk Gerald, apalagi setelah mereka melihat seragam sekolah Indonesia yang dikenakan Gerald. Bahkan aku yang anaknya saja hanya dipeluk satu kali ketika mereka baru saja tiba di pos polisi. Selain itu kedua orang tuaku memberikan cemilan-cemilan bermerek Indonesia yang kami bawa di dalam tas unt
“Kyaaa...!” aku berjingkat-jingkat sambil terus menjerit-jerit.“Ada apa? Ada apa Sophie?” Rosa berlari dari dalam kamar dengan wajah sangat panik. Lembaran masker wajah yang menempel di mukanya bergeser dari tempatnya karena pergerakan Rosa secara tiba-tiba.“Akhirnya perusahaan IT Wollim menerimaku bekerja!”“Benarkah? Induk dari perusahaan Orin?” tanya Rosa, teman sekamar, seakan ia tidak percaya pada kabar gembira ini. Aku mengangguk dengan antusias sebagai jawaban dari pertanyaannya.“Iya Rosa, aku akan menyelidiki secara diam-diam apakah mereka terlibat dengan kasus limbah pabrik Orin.” Aku melompat-lompat girang sambil berputar-putar. Rosa memegang tanganku dan ikut melompat-lompat sambil terus tertawa.“Sial, Sophie. Itu terlalu berbahaya. Lagi pula kamu tahu, bukti yang didapat secara ilegal tidak akan diakui dalam persidangan?”“Aku tahu, tapi kita
Aku memilih universitas yang sama dengan Gerald, menjadi bagian dari senat mahasiswa demi bisa berdekatan dengan Gerald. Tapi Gerald benar-benar tidak mengingatku, selain itu terlalu banyak wanita yang mengelilingi dan mengejarnya. Selain itu, entah mengapa Gerald selalu menghindariku, padahal tampak jelas dari matanya bahwa ia menyukaiku. Rosa pun sama yakinnya bahwa Gerald menyukaiku. Aku dan Rosa mengambil jurusan yang sama di kampus kami, jadi Rosa sangat tahu seluruh upaya dan pengorbananku untuk mengejar Gerald.
Lantai dansa nightclub X7 malam ini sudah memanas ketika kami tiba di pintu masuk VIP. Para pengunjung menari dengan semangat mengikuti irama musik bergenre EDM dan pop elektro yang dimainkan oleh seorang Disc Jockey wanita berdandan funky.
“Lily?” tanyaku kembali. Sungguh, aku tidak tahu harus menatap ke arah mana. Aku terlalu malu untuk menatap kembali wajah tampan pria itu.
Sedangkan Jimmy terlihat kontras, pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu di dalam setelan hitam mengkilat. Dari pakaian dan aksesoris jam serta sepatu yang ia kenakan, terlihat jelas bahwa ia ingin menutupi kekurangan pada wajah, dan kelebihan pada perutnya dengan menggunakan barang-barang mewah. Hal yang akan sangat disukai wanita-wanita mata duitan.