Share

Musibah Datang Lagi

Di sekolah, Khanza yang biasanya riang, ceria, suja jahil dan suka bernyanyi. Kini ia menjadi lebih pendiam, ia juga menjauhi Hanif, ketika mereka berpapasan saja, Khanza tidak menegurnya. 

"Khanza kenapa ya? Apa karena aku tidak melayat ke rumahnya, terus dia ngambek? Marah gitu sama aku?" Hanif bertanya dalam hati.

Ingin sekali Hanif menegurnya sahabatnya tersebut. Namun, semua itu masih ia tahan karena sang kekasih menempel terus di lengannya, seperti enggan kehilangannya. Bahkan mereka duduk bersebelahan saja, Khanza sama sekali tidak menengok ke arah Hanif.

Di sekolah, kali ini Khanza tidak berulah. Jam kosong pun ia tidak membolos lagi. Ia malah menggunakan kesempatan itu untuk tidur.

Ingin sekali Hanif menegur Khanza, tapi ia takut jika kakak sepupunya akan berulah lagi dengan kepadanya. Khanza adalah sahabat yang baik bagi Hanif, namun tangan dan jiwa Hanif meronta-ronta jika tidak menegur Khanza.

"Za, lo ngantuk?" tanya Hanif.

"Tidak, gue cuma bosen aja gitu. Jam kosong bikin gue males ngapa-ngapain," jawab Khanza.

"Mau nyanyi?" tanya Hanif dengan senyuman.

"Nyanyi tidak ada musik ya nggak seru Nif," jawab Khanza meletakkan kepalanya lagi di meja.

"Siapa bilang nggak ada musik, nih gue bawa gitar buat lu!" seru Hanif memberikan gitar kepada Khanza.

Khanza heran dengan Hanif, tiba-tiba saja ia memberinya gitar yang ia ambil dari ruang musik milik sekolah. Dengan senyumannya, kemungkinan Hanif sudah mulai mau berteman dengannya lagi.

Petikan gitar Khanza dan suara nyanyiannya yang merdu membuat semua kelas ikut bernyanyi. Lagu yang di nyanyikan Khanza adalah lagu yang waktu itu hits di daerahnya. Seketika kesedihan Khanza hilang.

Jam belajar telah selesai, kini Khanza memulai untuk mencari uang sendiri lagi. Sebab, kali ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk biaya hidup adiknya juga, belum untuk sekolah mereka berdua. 

"Aku harus ngamen lagi, tapi gitarku di rumah. Masa iya mau pulang dulu, sih?" gumamnya.

Tak ada cara kain, karena alat kerjanya berada di rumah, Khanza memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ternyata Lisa sudah pulang dan sedang menanak nasi untuk mereka berdua makan.

"Kakak sudah pulang?" sambut Lisa.

"Hm, kakak mau kerja. Pulang cuma mau ambil gitar," jawab Khanza.

"Aku ikut boleh?" usul Lisa.

"Kamu di rumah saja. Aku yang akan bekerja, hari kita makan apa?" Khanza mengalihkan pembicaraan.

"Cuma ada ikan asin, sih. Kalau kaka mau, akan gorengan buat kakak." jawab Lisa.

Khanza melihat dapur. Bahan mentah seperi tampung dan minta meminta banyak. Tapi, sayuran yang tidak ada di sana.

"Kakak keluar beli telur dan mie instan dulu. Kamu di rumah saja!" ucap Khanza.

"Memangnya kakak punya uang?" tanya Lisa.

"Nih, kakak masih punya uang, kok. Kakak tinggal dulu, ya …." Khanza keluar dari rumah dengan meneteskan air matanya.

Ia tidak tega melihat adiknya yang hanya makan dengan ikan asin saja. Bagaimanapun juga, sekolah Lisa lebih jauh dari sekolahnya. Ia berlari ke warung untuk membeli telur dan mie instan, hasil uang dari santunan sekolahnya.

Ketika di perjalanan pulang, Khanza bertemu dengan Vano. Vano telah mendapat kabar jika orang tua Khanza meninggal karena kecelakaan. Pria berusia 30 tahun itu juga tahu jika Khanza terhimpit masalah ekonomi.

Ingin sekali Vano membantunya, tidak ada alasan lain selain Vano mulai jatuh hati kepada Khanza, terus memikirkan gadis SMA tersebut.

"Khanza, beruntung kita bertemu disini," Ucap Vano dengan wajah angkuhnya.

"Dia …."

"Anda kenapa sampai di gang sempit sepeti ini, Tuan Vano?" tanya Khanza.

Khanza tidak ingin warga tau jika dirinya dekat dengan seorang laki-laki yang kaya. Pasti nantinya akan jadi bahan gosip di desanya.

"Saya mencarimu," jawabnya.

"Mencari saya? Ada hal penting apa dengan saya, sampai mencari saya di tempat yang sempit seperti ini, Tuan Vano?" tanya Khanza.

"Kenapa cara bicaramu menjadi formal seperti ini kepada saya, Khanza? Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, kenapa kamu belum juga menelpon sejak malam itu?"

Meskipun Vano menghawatirkan tentang kabar Khanza, tetap saja Khanza tidak ingin merasa jika dirinya mendapatkan simpati dari seorang Vano.

Tapi, mau tidak mau Khanza memperbolehkan Vano ikut pulang bersamanya. Vano terus saja mengikutinya, sehingga tidak ingin orang lain sampai menduga hal yang tidak benar dengannya. 

Di sepanjang jalan juga Khanza menceritakan masalahnya kepada Vano. Entah mengapa Khanza bisa begitu terbuka dengan Vano, orang yang baru saja ia kenal. Bahkan Khanza juga bisa senyaman itu ketika ia menceritakan masalahnya.

"Saya jalan dengan anda seperti ini, bagaikan penjahat, candy-nya om-om gitu," ujar Khanza.

"Kok gitu?" tanya Vano.

"Lihatlah, anda terlihat lebih tua dari saya. Saya yakin jika selisih usia kita juga sangat jauh!" Khanza mulai tersenyum.

Sesampai di rumah, banyak orang berlarian membawa ember dan kain basah. Ketika melihat banyak asap, Khanza baru sadar bahwa rumahnya terbakar, rumah yang masih menggunakan bangunan kayu itu telah ludes terbakar.

"Lisa! Lisa!" teriak Khanza memanggil adiknya.

"Khanza, kamu tenang dulu," ucap Vano.

"Bagaimana saya bisa tenang. Adik saya ada di dalam, saya tinggal dia di rumah sendirian tadi. Dia adalah harta satu-satunya saya yang berharga, Tuan Vano!"

"Khanza tenanglah!" bentak Vano.

Seketika Khanza diam, ada di tadi ia ingin memberontak dan mau masuk ke dalam kobaran api tersebut. Vano memeluk Khanza tanpa memikirkan ada orang banyak di sana.

Melihat Khanza terus saja berteriak memanggil nama adiknya, membuat hatinya terluka. Vano teringat kemalangan masa lalu yang juga menimpanya.

"Kakak!" teriak Lisa dadi kejauhan.

Khanza langsung melepas pulang Vano, melihat Lisa membuatnya jauh lebih tenang. Lisa selamat, ia sudah keluar lebih sebelum apinya semakin besar. Khanza dan Lisa saling berpelukan.

"Ayo, sebaiknya kalian menjauh dulu dari sini. Biarkan yang lain yang membantu memadamkan apinya." pak Adi, selaku asisten pribadi Vano telah datang.

"Tuan, anda juga."

1 jam berlalu, kobaran api sudah di padamkan oleh pemadam kebakaran. Rumah Khanza ludes terbakar rata dengan tanah.

Kini ia tidak memiliki apapun, bahkan tempat bernaung saja tidak ada yang bisa Khanza dan Lisa tempati. Asisten Vano berbicara dan berkonsultasi dengan semua tetangga Khanza. Agar Khanza dan Lisa bisa ikut dengan Vano tanpa ada seorang pun yang salah faham padanya.

"Khanza, Lisa. Jaga diri kalian baik-baik ya. Jika kalian mau pulang kesini, Ibu terima kalian berdua dengan ikhlas hati. Pintu rumah Ibu selalu terbuka untuk kalian," ucap Ibu Siti.

"Bu Siti sangat baik, Khanza dan Lisa tidak mau menjadi bebannya Bu Siti. Tapi Khanza janji, Khanza akan selalu mengunjungi Bu Siti kesini," kata Khanza menggenggam tangan Bu Siti.

"Bukan hanya Bu Siti saja. Bahkan semua warga disini, pasti akan selalu kami rindukan. Kami pamit ya, Bu." lanjutnya.

"Lisa juga, Bu." timpal Lisa.

Khanza dan Lisa berpamitan kepada semua tetangganya. Mereka semua saling menyayangi, karena dulu almarhum orang tua Khanza sangatlah baik kepada semua tetangganya. Meskipun mereka juga keluarga sederhana.

Apa yang akan Khanza lakukan di rumah Vano?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status