Share

Kehilangan

Huh, kalau saja bukan aku yang salah, udah kuplitir tuh kepala orang. Main tampar pipi mulus aku yang super lembut ini, kesel deh!" gerutunya Khanza. 

"Pipi kamu pasti baik-baik saja, kok. Tenang saja!" ujar Vano yang sudah ada di belakangnya.

Khanza berbalik, melihat Vano dengan mata membelak, meyakinkan bahwa laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang kemarin. Khanza berbalik lagi, ia menganggap bahwa itu hanyalah khayalannya saja.

"Pasti berkhayal, mana ada om-om sombong itu di jalanan seperti ini? Hahaha mau apa dia? Mulung, tapi jaman sekarang pemulung sukses pun banyak," gumam Khanza.

"Hey, kamu berani tidak memperdulikan saya?" teriak Vano.

Khanza kembali membalikkan badan. Kemudian berjalan mendekati Vano yang juga terhenti saat dirinya berbalik. Ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan dan pipi lelaki yang baginya sombong itu. Tak hanya di bagian pipi dan lengan, Khanza juga tak segan mencubit hidungnya dengan lembut. 

"Haih, sudah puas menyentuhmu?" desis Veno.

"Beneran kamu ini? Ada yang bisa saya bantu, Tuan kaya?" celetuk Khanza.

"Kau mau uang?" tanya Vano.

Khanza langsung menutupi dadanya. Ia juga menyantap Vano dari atas ke bawah. Tak ada sedikitpun yang terlewat dari katanya. "Maaf, saya bukan wanita seperti itu!" dengus Khanza.

"Maksud kamu apa? Saya hanya ingin menawarkan pekerjaan yang cocok buat kamu, kamu mikir sampai kemana?" kata Vano menyelentik kening Khanza.

"Oh kirain. Em, apa itu?" tanya Khanza.

"Ini kartu nama saya … kamu bisa hubungi saya kapan saja kamu mau. Jika kamu membutuhkannya pekerjaan yang cepat, bisa hubungi saya, oke? Permisi." pamit Vano.

"Kenapa dia baik padaku? Pekerjaan apa nyang mau ditawarkan kepadaku? Jangan-jangan … Hih, amit-amit!" Khanza menggerutu.

Namun, Khanza tak mempedulikan hal itu. Ia hanya menyimpan kartu nama Vano di dompetnya. Setelah itu, ia pulang sembari mengingat dengan jelas wajah Vano. Sesampainya di gang rumahnya, Khanza melihat rumahnya sangat ramai.

"Ada apa? Mengapa banyak sekali orang di rumahku?" batinnya.

Banyak orang di sana, wajah mereka nampak sedih. Khanza terus saja berjalan dan masuk ke rumah, melihat adiknya yang sedang menangis sangat kencang.

Khanza semakin heran dengan apa yang terjadi, ia melihat dua sosok yang sudah di tutupi menggunakan kain panjang di samping Lisa. Khanza terus saja bingung, ia tidak melihat kedua orang tuanya juga di sana.

"Khanza, yang sabar ya," ucap Ibu Siti, tetangga sebelah yang tiba-tiba memeluk Khanza.

"Ayah sama Ibu kemana? Dan orang yang di tutupin ini siapa Busi (panggilan Khanza untuk Ibu Siti)?" tanya Khanza.

"Mereka, mereka orang tuamu, Za." jawab Ibu Siti.

Mendengar ungkapan dari Ibu Siti membuatkan Khanza terkejut. Jantungnya seakan berhenti berdetak, nafasnya terasa tersendat, dirinya juga merasa sangat berat untuk melangkah.

Ia kembali mempertanyakan siapa kedua orang yang telah ditutupi kain tersebut, dan jawaban dari Ibu Siti tetap sama, jika itu adalah orang tuanya.

Nasi goreng yang di bawa Khanza jatuh, ia tidak menduga jika orang tuanya pergi secepat itu. Padahal, sebelum Khanza pergi keluar, orang tuanya sedang bercanda ria di rumah.

"Busi bohong, 'kan? Dimana Ayah sama Ibu!" teriak Khanza mulai menangis.

"Kak …." Lisa mendekatinya dan memeluk.

"Lisa, bilang sama Kakak, di mana Ayah dan Ibu? Dimana Lisa, di mana?" Khanza tidak bisa mengatur emosinya.

Lisa menunjukkan ke arah dua orang yang telah di tutupi kain tersebut. Khanza terjatuh dan bersimpuh di antara jenazah kedua orang tuanya, ia tidak sanggup melihat semua itu dan akhirnya ia pun pingsan.

Ibu-ibu yang ada di sana pun memapah Khanza dan mencoba membangunkannya, menguatkan hatinya. Saat Khanza sadar, ia berusaha kuat dan membuka perlahan kain penutup itu.

"Ayah, Ibu. Kenapa kalian ninggalin aku, kenapa kalian ninggalin kita berdua?" ucapnya lirih.

"Aku hanya pergi sebentar membelikan nasi goreng untuk Lisa. Tapi kenapa malah kalian pergi untuk selamanya. Tidak bisakah kalian menungguku pulang? Kenapa kalian pergi?" tangisan Khanza menambah hari suasana. Tetangga juga turut bersedih karenanya.

Keluarga Khanza di kenal sangat baik. Mereka memang hidup sederhana, namun selalu baik kepada para tetangganya.

Awan mendung pagi itu, membuat Khanza semakin bersedih. Sepertinya, awan pun tau jika hati gadis ini juga sedang kelabu. Melihat jenazah kedua orang tuanya di masukan ke liang lahat, ia sudah tidak bisa menangis lagi. Mulutnya seperti terkunci, tatapan matanya nampak kosong. Khanza mampu membuat adiknya semakin sedih.

"Ayo Kak, kita pulang. Sepertinya, pagi ini akan hujan deras," ucap Lisa memaksa Khanza pulang.

Sesampainya di rumah, peziarah mulai berdatangan ikut bela sungkawa. Ada guru dan teman-teman sekolah Khanza, bahkan guru dan teman Lisa juga datang.

Pandangan mata kosong Khanza membuat semua orang bersedih. Semua orang tahu jika Khanza adalah anak yang sangat di banggakan oleh kedua orang tuanya. Kepergian mereka pasti membuatnya sangat terpukul.

***

Satu minggu berlalu, kesedihan Khanza dan Lisa juga belum reda begitu saja. Mereka masih berdiam diri ketika melakukan aktifitasnya masing-masing.

Hanya satu dua kata yang mereka katakan. Rumah serasa sepi, tidak ada lagi yang ribut membangunkan mereka sekolah, tidak ada lagi yang membuatkan sarapan untuk mereka.

"Kak, aku kayaknya nanti pulang lebih awal, deh. Kunci rumah, biar aku yang bawa saja, ya?" usul Lisa memecah keheningan pagi.

"Hm," Khanza hanya mengangguk.

"Kakak, tetap sekolah, 'kan?" Lisa memastikan jika kakaknya berangkat sekolah atau tidak.

Sebab, beberapa hari yang lalu, sebelum orang tuanya meninggal, Khanza kepergok bolos sekolah olehnya.

"Sekolah, kok. Ini juga mau mandi, kamu bikin sarapan bisa, 'kan? Telur ceplok saja yang simpel."

Khanza masuk ke kamar mandi, dan Lisa membuat sarapan untuk mereka makan. Tidak banyak kata yang terucap, mereka juga sarapan diam begitu saja. Padahal sebelumnya, sarapan saja mereka heboh sendiri dengan lawakan sang Ayah.

"Aku selesai, aku berangkat duluan, ya. Sampai jumpa." pamit Khanza membawa gitarnya.

Lisa yakin jika kakaknya akan mulai ngamen lagi, karena sebelumnya Khanza mengatakan jika dirinya akan bekerja untuk kelangsungan hidup mereka. Tak hanya mengetahui hal itu saja, Lisa juga tahu jika Kakaknya baru selesai menjalani skorsing dari sekolah.

"Kenapa kakak jadi gini, sih? Aku sayang banget sama Kakak, aku tidak ingin Kakak berjuang keras sendiri, Kak." ungkapan Lisa yang tertunda.

Di lampu merah, Vano merasa seperti kehilangan sosok Khanza selama seminggu. Ia sudah tidak melihat Khanza lagi sejak malam pertemuan mereka di dekat gang rumahnya.

"Pak Adi, tolong kamu cari semuanya tentang Khanza lagi, dong. Selama seminggu ini dia ngapain saja gitu," perintah Vano.

"Siap Bos!" jawab Pak Adi.

"Khanza, kamu kemana, sih?" ucap Vano dalam hati, dengan hati yang sedang gelisah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status