Share

Kebaikan Tuan Vano Arka Wijaya

Kebakaran rumah siang itu membuat trauma di ingatan mendalam bagi Khanza dan Lisa. Sesekali, air mata Khanza menetes, meratapi nasibnya yang kini tidak memiliki apapun kecuali adik dan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.

Di balik kaca mobil Vano, Khanza menyembunyikan kesedihannya dari langit. Ia baru saja kehilangan orang tuanya, lalu sekarang kehilangan rumahnya. Bahkan ia juga bingung, kenapa dirinya langsung bersedia mengikuti Vano, orang yang baru saja di kenalnya.

"Khanza, apa kamu baik-baik saja?" tanya Vano.

"Om ini siapa? Kenapa mau bantu kita berdua?" tanya Lisa.

"Panggilnya jangan om, dong. Panggil saja dengan nama, nama saya Vano. Usia saya memang jauh dari kalian, tapi belum pantaslah di panggil dengan sebutan itu," jelas Vano.

"Dia ini bos saya. Jika boleh, kamu panggil dia Tuan saja. Oke?" sahut Pak Adi.

"Jangan Tuan! Kamu boleh panggil saya kakak, begitu juga dengan Khanza," ucap Vano sangat ramah. Lalu melirik pak Adi dengan tatapan mematikan.

"Terima kasih anda telah membantu saya, suatu saat nanti saya akan membayar semua hutang ini, " ucap Khanza dengan nada lemah.

Lagi-lagi Khanza berbicara formal kepadanya. Vano merasa canggung jika Khanza bicara seperti itu.

"Jangan bicara dengan formal kepada saya. Seperti biasanya saja, saya juga akan meminta pak Adi untuk menyelidiki kasus tabrak lari orang tuamu," ujar Vano.

"Untuk apa? Toh juga orang tua saya sudah di kubur, nggak bakal hidup lagi!" cetus Khanza pasrah.

"Kak, kita bisa menuntut orang itu. Dia harus bertanggung jawab atas kecelakaan orang tua kita. Dia meninggalkan orang tua kita tergeletak di jalan begitu saja. Itu perbuatan yang sangat keji!" desis Lisa.

"Kamu fokus sekolah, nggak usah pedulikan urusan ini. Soal seragam, nanti biar kakak yang pikirkan. Pasti pihak sekolah akan memaklumi kita." Khanza tidak ingin adiknya sibuk dengan urusan yang bukan menjadi urusannya.

Lisa langsung diam dan tenang, ia tidak ingin membebani kakaknya lagi. Hubungan adik kakak itu membuat Vano iri. Ia memiliki sorang adik juga, namun tidak bisa akur dengannya karena mereka saudara tiri.

Mereka berhenti di sebuah rumah di daerah perumahan yang sangat asri. Meskipun bukan perumahan elit, namun rumah-rumah disana sangatlah bagus.

"Ini rumah siapa, Kak?" tanya Khanza.

"Ini rumah yang pernah saya belikan untuk sahabat saya dulu, tapi dia malah membeli rumah sendiri. Jadi, kosong sampai sekarang. Semantara kalian tinggal saja disini."

Lisa melihat sekeliling rumah itu. Meski sudah kosong lama, namun rumah itu sangat rapi, bersih dan terawat.

"Udah lama kosongnya?" sahut Lisa.

"Dari bangunan baru, sih. Tapi tenang saja, rumah tetap terawat, kok." jelas Vano.

"Em, oh iya. Soal kebutuhan kalian, sementara saya yang nanggung sampai Khanza lulus sekolah dan cari penghasilan sendiri, bagaimana?" usul Vano.

"Apa maksud kamu melakukan semua ini? Kita ini baru saja kenal, kak Vano," Kanza merasa tidak enak hati.

"Sudah berapa kali saya bilang, kamu ini istimewa bagiku! Ayo pak Adi kita pulang," Vano masuk ke mobilnya.

"Kamu …." ucapan Khanza terpotong.

"Sebentar lagi pengurus rumah akan datang, baju-baju baru kalian juga ada di kamar kalian masing-masing. Saya akan berkunjung ketika nanti saya memiliki waktu luang. Sampai jumpa." tukas Vano melambaikan tangannya.

Vano berlalu pergi, Khanza masih tidak percaya dengan kebaikan yang diberikan oleh Vano. Vano yang ia kenal adalah bos sombong dan angkuh, menilai segalanya dengan uang.

Bahkan Khanza masih ingat betul bagaimana pertemuan pertamanya dengan Vano waktu itu.

"Apa sebenarnya motif bos sombong itu? Kenapa kesombongannya kini berubah menjadi belas kasihan?" gumam Khanza.

"Aku tidak boleh percaya begitu saja. Tapi, sementara ini aku akan menikmatinya dulu. Setelah aku mendapatkan pekerjaan dan kos'an yang cocok, aku akan membawa Lisa pergi dari rumah ini."

Tidak lama setelah itu, seorang Ibu-ibu berusia sekitar 45 tahun menghampiri mereka berdua. Ternyata Ibu itu adalah pengurus rumah tersebut. Ia juga memberikan kunci rumah kepada Khanza, dan sengaja dikirim Vano untuk bekerja di rumah itu.

"Mbak Khanza, ya? Perkenalkan, nama saya Daryem. Ini anak saya Dini, panggil aja engkom hehehe," ucapnya.

"Jauh banget, dari Dini sampai engkom, Bu?" Lisa tak bisa menahan tawanya.

"Hehehe, semua panggilnya gitu, kok, Neng. Mulai sekarang, engkom bekerja untuk mbak Khanza dan mbak Lisa disini," tutur sapa Ibu Daryem juga sangat sopan di telinga.

"Kerja sama kita? Tapi kita tidak bisa memberi kalian gaji yang pantas, kita …." ucapan Khanza terputus.

"Tuan Vano yang gaji Engkom, kok. Ayo Kom bawa mbak Khanza dan mbak Lisa masuk. Antar mereka ke kamarnya masing-masing sesuai perintah Tuan." kata Ibu Daryem tanpa menghiraukan Khanza.

Khanza dan Lisa hanya diam dan mengikuti Ibu dan anak itu. Ia masih bingung dengan kebaikan Vano, dalam hatinya, ia selalu bertanya mengapa Vano bisa sebaik itu.

"Nah, ini kamar mbak Khanza, dan kamar mbak Lisa ada di atas. Mbak Lisa bisa pilih sendiri nanti, ayo Engkom antar," ucap Engkom merangkul tangan Lisa.

"Kenapa aku di kamar ini? Dan kenapa Lisa di atas?" tanya Khanza curiga.

"Em, Khanza … kamu hanya numpang disini. Bersyukur, nikmati saja dulu sampai nanti kau bisa mencari yang sendiri." gumamnya.

Malam itu malam yang indah bagi Lisa, ia tidak pernah menyangka akan tinggal di rumah bagus dengan pakaian yang sangat mahal itu.

Berbeda dengan Khanza, ia masih duduk sendirian di sofa ruang tamu. Ia masih mencari-cari pekerjaan yang bisa di kerjakan setelah pulang sekolah.

Khanza tidak ingin terus membebani Vano dan terus numpang hidup dengannya. Baginya, semakin lama ia menikmati hidupnya saat ini, semakin banyak pula ia berhutang kepada Vano.

"Haih, susahnya cari kerja part time gini. Kebanyakan dari pekerjaan ini hanyalah cuci piring doang saja. Itupun malam banget pulangnya. Gaji juga nggak sesuai pula!"

Saat Khanza tengah sibuk dengan ponsel layar pecahnya, tiba-tiba Vano datang dan membuat Khanza terkejut. Hingga ponsel Khanza jatuh untuk kesekian kalinya lagi, pada akhirnya tambah retak lagi.

"Sedang apa, sih?" bisik Vano.

"Huaaa, astaga. Yah pecah lagi, mati? Yah, haduh. Kesayanganku, harta satu-satunya milikku … bangun, dong!" keluh Khanza sambil menghidupkan ponselnya lagi.

"Udah lah buang saja. Ambil kartunya, dan pakai yang ini. Baru saja saya belikan untukmu, ini jauh lebih bagus dari itu," ujar Vano menyodorkan ponsel mahal yang berusia beli.

"Sampai kapan? Sampai kapan anda baik seperti ini kepada saya, Tuan Vano?" tanya Khanza.

"Saya sudah cukup berhutang budi dengan anda. Saya tidak mau lagi menambah hutang kepada anda. Saya mohon, cukup sampai disini saja, bahkan kita aja baru mengenal, bukan?" Khanza mulai meneteskan air matanya

"Kamu kenapa sih, Za? Saya ini cuma mau bantu kamu, sekarang kamu tinggal di rumah saya, saya harus pastikan kebutuhan kamu tercukupi, dong … berhentilah bersikap formal kepada saya!" ucap Vano menarik tangan Khanza dan memberikan ponsel itu dengan paksa.

"Maaf,"

"Tapi tolong, jangan seperti ini, Tuan. Di rumah ini bukan hanya kita berdua, masih ada Engkom dan adik saya. Lepaskan saya …." rintih Khanza.

Ia mulai meronta, saat Vano menggenggam erat tangannya. Lalu, wajahnya mendekat ke wajah Khanza.

"Kalau kamu mau masa depan adikmu terjamin, tolong jangan menolak. Saya bisa membuat kalian sukses kedepannya," desis Vano.

"Tapi jika kamu menolak, saya juga bisa membuat kalian berdua menjadi debu yang berterbangan tanpa arah. Ingat itu!" hardik Vano melepaskan tangan Khanza dengan kasar.

"Terima ponsel itu, dan jangan ngeluh lagi!"

"Besok setelah pulang sekolah, kamu kerumah saya. Ini alamat rumah saya, jangan sampai telat. Saya paling tidak suka menunggu, dan jangan egois. Kamu juga harus memikirkan masa depan adikmu juga, permisi!" Vano berlalu pergi begitu saja.

Ingin sekali Khanza teriak, ia tidak tahu apa yang Vano inginkan. Sekejap seperti malaikat tanpa bersayap, sekejapan lagi berubah menjadi iblis berdarah dingin.

Khanza ingin lari dari semua itu, menurutnya … hutangnya kepada Vano sudah terlalu banyak. Bahkan dari awal pun Khanza ingin menolak semua kebaikan Vano.

Kini, demi masa adiknya, ia harus rela melakukan apapun agar adiknya bisa sekolah tinggi dan menjadi orang yang sukses.

Ia juga akan fokus mencari pekerjaan paruh waktu lagi, agar bisa keluar dari rumah itu dan bisa membayar hutannya kepada Vano.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status