Kebakaran rumah siang itu membuat trauma di ingatan mendalam bagi Khanza dan Lisa. Sesekali, air mata Khanza menetes, meratapi nasibnya yang kini tidak memiliki apapun kecuali adik dan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.
Di balik kaca mobil Vano, Khanza menyembunyikan kesedihannya dari langit. Ia baru saja kehilangan orang tuanya, lalu sekarang kehilangan rumahnya. Bahkan ia juga bingung, kenapa dirinya langsung bersedia mengikuti Vano, orang yang baru saja di kenalnya.
"Khanza, apa kamu baik-baik saja?" tanya Vano.
"Om ini siapa? Kenapa mau bantu kita berdua?" tanya Lisa.
"Panggilnya jangan om, dong. Panggil saja dengan nama, nama saya Vano. Usia saya memang jauh dari kalian, tapi belum pantaslah di panggil dengan sebutan itu," jelas Vano.
"Dia ini bos saya. Jika boleh, kamu panggil dia Tuan saja. Oke?" sahut Pak Adi.
"Jangan Tuan! Kamu boleh panggil saya kakak, begitu juga dengan Khanza," ucap Vano sangat ramah. Lalu melirik pak Adi dengan tatapan mematikan.
"Terima kasih anda telah membantu saya, suatu saat nanti saya akan membayar semua hutang ini, " ucap Khanza dengan nada lemah.
Lagi-lagi Khanza berbicara formal kepadanya. Vano merasa canggung jika Khanza bicara seperti itu.
"Jangan bicara dengan formal kepada saya. Seperti biasanya saja, saya juga akan meminta pak Adi untuk menyelidiki kasus tabrak lari orang tuamu," ujar Vano.
"Untuk apa? Toh juga orang tua saya sudah di kubur, nggak bakal hidup lagi!" cetus Khanza pasrah.
"Kak, kita bisa menuntut orang itu. Dia harus bertanggung jawab atas kecelakaan orang tua kita. Dia meninggalkan orang tua kita tergeletak di jalan begitu saja. Itu perbuatan yang sangat keji!" desis Lisa.
"Kamu fokus sekolah, nggak usah pedulikan urusan ini. Soal seragam, nanti biar kakak yang pikirkan. Pasti pihak sekolah akan memaklumi kita." Khanza tidak ingin adiknya sibuk dengan urusan yang bukan menjadi urusannya.
Lisa langsung diam dan tenang, ia tidak ingin membebani kakaknya lagi. Hubungan adik kakak itu membuat Vano iri. Ia memiliki sorang adik juga, namun tidak bisa akur dengannya karena mereka saudara tiri.
Mereka berhenti di sebuah rumah di daerah perumahan yang sangat asri. Meskipun bukan perumahan elit, namun rumah-rumah disana sangatlah bagus.
"Ini rumah siapa, Kak?" tanya Khanza.
"Ini rumah yang pernah saya belikan untuk sahabat saya dulu, tapi dia malah membeli rumah sendiri. Jadi, kosong sampai sekarang. Semantara kalian tinggal saja disini."
Lisa melihat sekeliling rumah itu. Meski sudah kosong lama, namun rumah itu sangat rapi, bersih dan terawat.
"Udah lama kosongnya?" sahut Lisa.
"Dari bangunan baru, sih. Tapi tenang saja, rumah tetap terawat, kok." jelas Vano.
"Em, oh iya. Soal kebutuhan kalian, sementara saya yang nanggung sampai Khanza lulus sekolah dan cari penghasilan sendiri, bagaimana?" usul Vano.
"Apa maksud kamu melakukan semua ini? Kita ini baru saja kenal, kak Vano," Kanza merasa tidak enak hati.
"Sudah berapa kali saya bilang, kamu ini istimewa bagiku! Ayo pak Adi kita pulang," Vano masuk ke mobilnya.
"Kamu …." ucapan Khanza terpotong.
"Sebentar lagi pengurus rumah akan datang, baju-baju baru kalian juga ada di kamar kalian masing-masing. Saya akan berkunjung ketika nanti saya memiliki waktu luang. Sampai jumpa." tukas Vano melambaikan tangannya.
Vano berlalu pergi, Khanza masih tidak percaya dengan kebaikan yang diberikan oleh Vano. Vano yang ia kenal adalah bos sombong dan angkuh, menilai segalanya dengan uang.
Bahkan Khanza masih ingat betul bagaimana pertemuan pertamanya dengan Vano waktu itu.
"Apa sebenarnya motif bos sombong itu? Kenapa kesombongannya kini berubah menjadi belas kasihan?" gumam Khanza.
"Aku tidak boleh percaya begitu saja. Tapi, sementara ini aku akan menikmatinya dulu. Setelah aku mendapatkan pekerjaan dan kos'an yang cocok, aku akan membawa Lisa pergi dari rumah ini."
Tidak lama setelah itu, seorang Ibu-ibu berusia sekitar 45 tahun menghampiri mereka berdua. Ternyata Ibu itu adalah pengurus rumah tersebut. Ia juga memberikan kunci rumah kepada Khanza, dan sengaja dikirim Vano untuk bekerja di rumah itu.
"Mbak Khanza, ya? Perkenalkan, nama saya Daryem. Ini anak saya Dini, panggil aja engkom hehehe," ucapnya.
"Jauh banget, dari Dini sampai engkom, Bu?" Lisa tak bisa menahan tawanya.
"Hehehe, semua panggilnya gitu, kok, Neng. Mulai sekarang, engkom bekerja untuk mbak Khanza dan mbak Lisa disini," tutur sapa Ibu Daryem juga sangat sopan di telinga.
"Kerja sama kita? Tapi kita tidak bisa memberi kalian gaji yang pantas, kita …." ucapan Khanza terputus.
"Tuan Vano yang gaji Engkom, kok. Ayo Kom bawa mbak Khanza dan mbak Lisa masuk. Antar mereka ke kamarnya masing-masing sesuai perintah Tuan." kata Ibu Daryem tanpa menghiraukan Khanza.
Khanza dan Lisa hanya diam dan mengikuti Ibu dan anak itu. Ia masih bingung dengan kebaikan Vano, dalam hatinya, ia selalu bertanya mengapa Vano bisa sebaik itu.
"Nah, ini kamar mbak Khanza, dan kamar mbak Lisa ada di atas. Mbak Lisa bisa pilih sendiri nanti, ayo Engkom antar," ucap Engkom merangkul tangan Lisa.
"Kenapa aku di kamar ini? Dan kenapa Lisa di atas?" tanya Khanza curiga.
"Em, Khanza … kamu hanya numpang disini. Bersyukur, nikmati saja dulu sampai nanti kau bisa mencari yang sendiri." gumamnya.
Malam itu malam yang indah bagi Lisa, ia tidak pernah menyangka akan tinggal di rumah bagus dengan pakaian yang sangat mahal itu.
Berbeda dengan Khanza, ia masih duduk sendirian di sofa ruang tamu. Ia masih mencari-cari pekerjaan yang bisa di kerjakan setelah pulang sekolah.
Khanza tidak ingin terus membebani Vano dan terus numpang hidup dengannya. Baginya, semakin lama ia menikmati hidupnya saat ini, semakin banyak pula ia berhutang kepada Vano.
"Haih, susahnya cari kerja part time gini. Kebanyakan dari pekerjaan ini hanyalah cuci piring doang saja. Itupun malam banget pulangnya. Gaji juga nggak sesuai pula!"
Saat Khanza tengah sibuk dengan ponsel layar pecahnya, tiba-tiba Vano datang dan membuat Khanza terkejut. Hingga ponsel Khanza jatuh untuk kesekian kalinya lagi, pada akhirnya tambah retak lagi.
"Sedang apa, sih?" bisik Vano.
"Huaaa, astaga. Yah pecah lagi, mati? Yah, haduh. Kesayanganku, harta satu-satunya milikku … bangun, dong!" keluh Khanza sambil menghidupkan ponselnya lagi.
"Udah lah buang saja. Ambil kartunya, dan pakai yang ini. Baru saja saya belikan untukmu, ini jauh lebih bagus dari itu," ujar Vano menyodorkan ponsel mahal yang berusia beli.
"Sampai kapan? Sampai kapan anda baik seperti ini kepada saya, Tuan Vano?" tanya Khanza.
"Saya sudah cukup berhutang budi dengan anda. Saya tidak mau lagi menambah hutang kepada anda. Saya mohon, cukup sampai disini saja, bahkan kita aja baru mengenal, bukan?" Khanza mulai meneteskan air matanya
"Kamu kenapa sih, Za? Saya ini cuma mau bantu kamu, sekarang kamu tinggal di rumah saya, saya harus pastikan kebutuhan kamu tercukupi, dong … berhentilah bersikap formal kepada saya!" ucap Vano menarik tangan Khanza dan memberikan ponsel itu dengan paksa.
"Maaf,"
"Tapi tolong, jangan seperti ini, Tuan. Di rumah ini bukan hanya kita berdua, masih ada Engkom dan adik saya. Lepaskan saya …." rintih Khanza.
Ia mulai meronta, saat Vano menggenggam erat tangannya. Lalu, wajahnya mendekat ke wajah Khanza.
"Kalau kamu mau masa depan adikmu terjamin, tolong jangan menolak. Saya bisa membuat kalian sukses kedepannya," desis Vano.
"Tapi jika kamu menolak, saya juga bisa membuat kalian berdua menjadi debu yang berterbangan tanpa arah. Ingat itu!" hardik Vano melepaskan tangan Khanza dengan kasar.
"Terima ponsel itu, dan jangan ngeluh lagi!"
"Besok setelah pulang sekolah, kamu kerumah saya. Ini alamat rumah saya, jangan sampai telat. Saya paling tidak suka menunggu, dan jangan egois. Kamu juga harus memikirkan masa depan adikmu juga, permisi!" Vano berlalu pergi begitu saja.
Ingin sekali Khanza teriak, ia tidak tahu apa yang Vano inginkan. Sekejap seperti malaikat tanpa bersayap, sekejapan lagi berubah menjadi iblis berdarah dingin.
Khanza ingin lari dari semua itu, menurutnya … hutangnya kepada Vano sudah terlalu banyak. Bahkan dari awal pun Khanza ingin menolak semua kebaikan Vano.
Kini, demi masa adiknya, ia harus rela melakukan apapun agar adiknya bisa sekolah tinggi dan menjadi orang yang sukses.
Ia juga akan fokus mencari pekerjaan paruh waktu lagi, agar bisa keluar dari rumah itu dan bisa membayar hutannya kepada Vano.
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu