Dia memandangku dengan pandangan misterius.
“Aku tidak tahu ada nama desa Surabaya, Semarang atau Jakarta” katanya lirih, lebih ke dirinya sendiri.
Desa? Memang nggak ada nama desa Jakarta atau Surabaya cui, itu nama kota. Kota besar! Tapi seriusan nih orang nggak tahu Jakarta dan Surabaya? Apakah seberat itu amnesianya? Aku menyesal tidak membawanya ke rumah sakit langsung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengannya malam ini di sini? Meninggal? Aku akan berurusan dengan polisi, jadi tersangka utama. Aku dengan tinggi 155 cm ini, mencelakai lelaki yang cocok menjadi espionage sekelas Jason Bourne.
“Memang kamu benar tidak tahu Jakarta atau Surabaya?” tanyaku.
“Apakah kedua desa tersebut berada di wilayah negara Majapahit?”
Dari tadi orang ini ngomongin negara Majapahit terus, kita kan bukan berada di era Patih Gajah Mada!
“Kedua kota tersebut ada di wilayah Indonesia, negara persatuan republik Indonesia, nusantara, NKRI harga mati!” kataku asal.
“Nusantara … kalau begitu ini masih wilayah Majapahit” gumamnya.
Majapahit? Duuh bikin pusing kepala berby nih.
“Halooo … memang menurut kamu ini tahun berapa?” tanyaku mulai agak sabar, jelas-jelas orang ini ngelantur kelas akut dan entah kenapa aku bisa-bisanya terjebak dengan orang ngelantur kayak gini.
“1279 saka”
“12 ... what?”
“1279 saka. Aku Pa …,” dia tidak meneruskan kalimatnya, air mukanya menunjukkan keragu-raguan. “Aku Ra Putra Airlangga” lanjutnya, seperti aku tahu saja siapa itu Ra Putra Airlangga.
Aku melongo dengan bentuk mulut membetuk capital O, setelah beberapa detik lalu aku menepuk pipi kanan dan kiriku sendiri.
“Ada yang salah dengan kedua pipi kamu?”
“Pipiku nggak bermasalah tapi mungkin pendengaranku yang bermasalah” sahutku cepat. “Maksud kamu tahun 1279 saka?”
“Wilayah ini sangat asing buat aku …”
Aku tidak menghiraukan ucapannya. “Ini tahun 2021, corona masih jadi pandemic, aku belum dapat vaksin, padahal sudah pengen banget dapet vaksin supaya hidup kembali agak normal” racauku tidak jelas. Lalu aku meraih laptop yang tergeletak di sudut meja “ini namanya laptop, dari sini kita bisa mengetahui apapun yang terjadi di seluruh dunia” dengan cepat aku mengetik laman berita international BBC, Al Jazeera, Telegraph. “Bisa untuk menonton apapun yang sedang trend di seluruh dunia” aku ketik laman youtube asal-asalan. Menunjukkannya ke arah M. Airlangga. Wajahnya dipenuhi tanda tanya.
“Kamu tau mengenal benda ini?”
“Apa ini?”
“Ini laptop … teknologi” lalu aku mengambil remot kontrol dan menyalakan televisi “ini namanya televisi, apa kamu kenal semua benda ini?”
Dia berbalik menatap ke arahku “sekarang bukan tahun 1279 saka?”
Aku menggeleng pelan. Kepalaku mendadak pusing “kamu benar berasal dari masa lalu? Maksudku tahun saka adalah masa lalu, sekarang kita memakai tahun masehi”.
“Aku berasal dari kerajaan Singosari dan di jamanku kami berpegangan dengan tahun saka”
Oh nooooo … aku melangsek ke dalam sofa yang aku duduki. Mencubit pahaku beberapa kali. Sakit! Jadi jelas aku bukan bermimpi.
“Bagaimana kamu bisa ke sini?” dengan cepat aku mengetik di mesin pencari untuk mencari tahu tahun saka 1279 ada di berapa tahun masehi. “1357 masehi, berarti kamu time traveled 664 tahun ke masa depan. Bagaimana mungkin”
“Jadi benar sekarang ini aku tidak berada di era Majapahit” gumamnya lebih ke diri sendiri.
“Yeee … era Majapahit mana ada televisi dan laptop” sahutku sewot. “Bagaimana kamu bisa tiba-tiba ada di sini, mmmm maksud aku kamu tiba-tiba muncul di depan mobilku tadi?”
Wajahnya seperti mengingat-ingat sesuatu “aku sedang dalam perjalanan menuju Majapahit,” dia terdiam seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. “Lalu tiba-tiba ada petir menyambar dan … aku berada di depan benda itu”
“Mobilku maksudnya?” tanyaku, memastikan sesuatu yang sudah jelas pasti.
“mo-bil”
Memang ada petir besar ketika tiba-tiba mobilku menabraknya. Tapi apa mungkin, for God sake ini tahun 2021. Covid 19 itu mungkin, sudah merajalela malah, tapi time traveled man? Aku membayangkan adegan film science fiction Hollywood, tapi masalahnya ini bukan Hollywood dan aku bukan actress, bintang iklan saja bukan apalagi actress hollywood.
“Aduh kepalaku jadi pusing….” Aku mendongak ke arahnya, tidak tahu mesti memanggil dia apa.
“Panggil aku Ra Putra Airlangga, aku Pangeran dari keraton Singosari”
Gila, tidak cukup dia bisa time travelled sekarang dia adalah seorang Pangeran juga. Kepalaku mendadak pusing.
“Ra Putra Airlangga … of course … iya” kataku dengan nada bingung, selintas aku membayangkan duduk bersimpuh dan menyembah. Atau aku harus kneel seperti sedang menghadap Khaleesi di Game of thrones? Masalahnya dia bukan Khaleesi, dia adalah Pangeran, prince, keturunan dari seorang raja, entah raja yang mana karena pengetahuanku tentang sejarah memang sangat minim.
“Saya mau tidur, sudah malam lagian capek sehabis nyetir jauh” tiba-tiba aku menemukan pencerahan. Tidur!
Solusi jitu! Besok pagi aku terbangun dan ternyata ini semua hanya mimpi, aku masih ada di bandung dan masih bebas menikmati batagor lagi. Sepuasnya!
A ha!
Aku berjalan ke arah kamar ketika menyadari ada makhluk bernama Ra Putra Airlangga masih duduk di sofaku. Kemudian aku kembali dengan membawa bantal dan selimut, biarpun ini cuman mimpi tidak mengurangi kebaikan hatiku yang memang sudah dari sononya.
“Ini bantal dan selimut, di jaman Majapahit mungkin berbeda … anyway, selamat tidur” kataku sembari memberikan bantal dan selimut yang diterima dengan terbengong oleh Mr. Airlangga, oh eh Pangeran … aaaarrrggghh … aku mau tidur saja.
Aku terbangun ketika cahaya matahari pagi mulai menggelitiki mukaku, seolah tidak rela aku bisa tertidur lelap. Menggeliat cantik untuk meregangkan otot-otot, aaahhh segarnya. Kata Tante Lia “nanti kalau kamu sudah umur 40 tahunan, bangun pagi badan itu malah terasa kaku-kaku”, aku masih tidak mengerti apa maksud perkataan Tante Lia, bangun pagi ya segar kok malah kaku. Seperti biasa aku melakukan rutinitas pagi dengan terbengong di tempat tidur, mencoba membangunkan seluruh jiwa raga yang masih menolak untuk turun dari kasurku yang empuk ini. Meeting dengan mbak Dila nanti jam 9, cemen pikirku sambil lagi-lagi mengulet cantik. Aku akan memakai dress biru mudaku saja, dengan stiletto cantik warna merah yang belum lama aku beli. Aku tersenyum membayangkan diriku bak Carrie Bradshaw berjalan cantik di jalanan New York, padahal aku belum pernah ke New York.
Pangeran Airlangga!
Ingatan tentang dia membuat aku sontak duduk tegak di tempat tidur. Apakah semalam hanya mimpi, aku menabrak seseorang yang mengaku sebagai seorang Pangeran dari Singosari dan dia aku bawa ke apartemenku.
Bersambung ...
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d