Share

3. Nama saya Lusia Maharani

Aku menarik nafas lega ketika akhirnya aku berhasil memarkir mobil dengan selamat dan yang paling penting lagi sampai apartemen dengan selamat pula. Sampai detik ini orang ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang psikopat, pheeeww.

“Ini apartemen saya, besok pagi saya antarkan ke rumah sakit. Sekarang Mas bisa mengeringkan badan di atas biar nggak masuk angin” kataku seolah-olah menghindari masuk angin adalah hal yang paling penting saat ini. Aku membuka pintu dan menggambil koper kecilku yang terletak di jok belakang. Besok harus cuci mobil, kalau nggak mau mobil bau apek pikirku. Aku melihat Ra Putra Airlangga yang masih duduk manis di dalam mobil. Maksudnya, gue yang harus bukain pintu gitu? Amnesia sih boleh, tapi terus jangan bikin gue jadi babu dong. Aku mendengus kesal lalu berjalan kearah pintu penumpang.

Aku membuka pintu dengan tampang cemberut dan sukses berubah terbengong ketika setelah beberapa detik si Ra ... haish, aku menamakan dia Mr. Airlangga saja supaya lebih gampang, dan Mr. Airlangga ini tidak mau keluar juga.

“Mmmm … kamu mau tidur di dalam mobil sini? Silahkan saja sih, tapi nanti pasti diusir sama satpam keliling”.

Dia melihatku dengan pandangan menyelidik, aku memberikan kode tangan supaya dia keluar dari mobil. Dia mencoba keluar dengan seat belt yang masih terkunci, sekali lagi aku menarik nafas kemudian menunduk untuk melepaskan seat beltnya. Amnesia yang pa …, untuk kedua kalinya dia menangkis tanganku kali ini memegang lebih kencang dari yang sebelumnya. Aku memberikan pandangan mendelik.

“Saya cuman mau ngelepas seat belt” kataku kesal, dia masih tetap memegang tanganku. “Seat belt” kataku lagi dengan pandangan mata ke arah kunci seat belt, akhirnya dia melepaskan tanganku. Susah bener sih cuman mau ngebantuin melepas seat belt aja.

Mr. Airlangga akhirnya keluar, sedikit menunduk menghindari kejedot oleh mobil Nissan march mungilku. Dia tinggi tegap, dengan badan yang sepertinya sangat kekar, pasti kakinya agak kaku duduk di mobil kecilku. Aku melirik kursi penumpang depan yang sempit dan tidak sempat aku sesuaikan. Aku melirik ke arahnya lagi, apa mungkin dia bodyguard? Sumpah badannya sangat kekar seperti the rock.

“Ayuk” kataku memberi kode ke arahnya untuk mengikuti, si Mr. misterius seperti tidak yakin walaupun kemudian dengan patuh mengikuti. Ho … ho … ternyata aku bisa juga bossy ke orang sekekar dia, aku berjalan dengan membusungkan dada seperti Angelina Jolie di film Tomb Raider. Nggak begitu lama kok dingin menyerang, rupanya air hujan yang membuatku cukup basah kuyup ini mulai menampakkan aksinya, dingin bikin badan agak menggigil. Aku katupkan dua tangan lalu aku tiupkan ssuuhhh … ssuuuhh … mencoba mengeluarkan sisa-sisa udara hangat dari paru-paruku. Hilang sudah pose Lara Croft, yang tertinggal hanya aku yang berjalan terbungkuk-bungkuk kedinginan.

Aku melonjak kegirangan ketika pintu lift terbuka, seperti mendapatkan uang saweran di kala lebaran, nyatanya aku sudah nggak pernah dapat saweran lagi yang ada malah kudu nyawer ke para keponakan. Mr. Airlangga berdiri termangu di luar lift.

“Hayuk, apartemen saya ada di lantai 10 dan saya nggak mau naik lewat tangga” kataku sembari menahan pintu lift yang sudah meronta-ronta ingin menutup diri. Dia akhirnya mau bekerja sama untuk masuk, memandangi interior lift. Yeah, nggak banyak yang bisa dilihat kecuali deretan angka penunjuk lantai … ups … gila tampangku kusut banget. Aku melihat pantulan diriku di kaca lift yang persis seperti kucing kehujanan. Mr. Airlangga memandangku aneh ketika aku mengacak-acak rambut, berusaha mengeringkan dengan hasil yang sia-sia.

“Basah” kataku sambil menunjuk ke arah rambut. Dia merespon dengan melengos. Sialan!

Akhirnya, rumah. Aku bernafas lega, lalu dengan riang memencet digital lock di pintu apartemen sambil membelakangi tamu tak diundangku, memastikan dia tidak bisa melihat nomor kode kunci.

Ceklek.

Bunyi kunci pintu terbuka, terdengar lebih merdu dari suara Beyonce.

“Silahkan masuk” kataku menoleh ke arah Mr. Airlangga, kali ini dia mengikuti aku dengan patuh. You see, aku sudah berhasil menjinakkan dia.

“Sebentar saya ambilkan handuk” kataku sambil ngeloyor ke kamar mandi. Apartemenku berukuran studio dengan satu kamar berikut walk in closet mini. Seperti Carrie Bradshaw di sex and the city, aku memastikan mempunyai walk in closet untuk koleksi sepatu. Ok ... ok … jujur aku jadi terobsesi dengan sepatu setelah menonton serial sex and the city, salahkan Tante Lia yang mengenalkan aku dengan si empat sekawan itu. “Kalian anak muda tidak tahu tontonan yang mengubah fashion para wanita” kata Tante Lia pada waktu itu sambil memberikan sebox DVD sex and the city. Hari gini siapa yang masih nonton DVD coba? Tapi dengan gigih Tante Lia berpromosi tentang Carrie Bradshaw dan tiga sahabatnya. Benar saja, setelah episode pertama aku nggak sabar untuk menonton episode selanjutnya, persis seperti nonton drakor. Akibatnya? Aku berhalusinasi untuk membeli apartemen sendiri yang nantinya akan dipenuhi dengan koleksi sepatu. Ooohh … Carrie Bradshaw effect.

“Saya hanya punya ini, mudah-mudahan muat. Mas bisa mengeringkan badan dan ganti di kamar mandi” kataku memberikan handuk, kaos dan celana pendek Mas Rio yang tertinggal di sini. Mas Rio adalah Kakaku satu-satunya, kami dua bersaudara dan Mas Rio sering menyatroni apartemenku untuk memastikan aku baik-baik saja katanya. Memangnya aku anak kecil. Dia masih tidak bergeming. Aku melangkah menuju kamar mandi.

“Ini kamar mandinya” kataku membuka pintu. Setelah aku perhatikan, pakaiannya terlihat agak aneh. Celana selutut yang terlihat lebih mirip kain yang dililit dibanding celana, lalu baju warna hitam yang mirip seperti beskap. Di kakinya alih-alih sepatu tetapi hanya sepasang sendal yang juga dililit-lilit. Seriously who is this guy? Apakah dia dari suku badui yang nyasar sampai ke bandung? Pantesan dia sangat bingung, mungkin memang dia belum pernah bepergian sejauh itu.

Aku manggut-manggut penuh pengertian. “Silahkan mengeringkan badan di sini. Saya akan ganti baju dulu” kataku lalu bergegas pergi ke kamarku. Aku juga butuh baju kering, dingin brrrrrr ….

Dunia terasa lebih ringan dengan baju kering menempel di badan, tidak lagi menggigil dingin bikin masuk angin. Aku keluar kamar langsung menuju ke dapur untuk membikin dua cangkir teh panas. Tidak lama Mr. Airlangga keluar kamar mandi memakai kaos putih Mas Rio yang jelas-jelas kekecilan. Badannya terlihat lebih kekar dengan balutan kaos kesempitan tersebut, kedua lengannya besar dan berotot seperti orang yang rajin mengangkat barbel. Tapi tunggu … memang ada barbel di badui. Hhhmm dia kan belum tentu dari Badui Lusia, aku menyangkal diriku sendiri.

“Saya bikinkan teh hangat” kataku sambil meletakkan satu cangkir teh hangat di meja, satunya lagi aku pegang erat di tangan berharap panas teh di cangkir bisa cepat masuk ke badanku.

“Apakah ini tempat tinggal kamu?” tanyanya formal.

Ya jelas aja ini tempat tinggal gue, masak iya kalau aku menyusup ke tempat orang bisa dengan lincah tau medan tempat berbagai macam barang di letakkan. Aku mengangguk ringan “silahkan diminum tehnya sebelum dingin”.

Dia mengangkat cangkir teh dengan kedua tangannya, mendekatkannya ke arah hidung sebentar seperti ingin menghirup aroma teh hangat yang keluar dari cangkir tersebut lalu menyeruput. Ada aura elegan dan agung dari cara dia menikmati tehnya. Memang ada gitu aura agung menikmati teh? Aku menggelengkan kepala menyadari kebodohanku sendiri. Eh tapi mungkin kalau Ratu Elizabeth pasti akan menikmati teh dengan agung, dia kan ratu.

“Kamu pasti berasal dari keluarga terpandang bisa menyuguhkan minuman ini” katanya sambil meletakkan cangkir teh ke meja.

Keluarga terpandang? Maksudnya? Cuman teh, bukan merek terkenal yang berasal dari Inggris itu pula. Ini cuman merek teh asal kota tegal.

“Mama sama Papa sih lumayan, tapi kita nggak kaya-kaya banget kok” kataku tidak pasti. “Besok pagi saya bawa ke  rumah sakit untuk memastikan tidak ada apa-apa” kataku, tetapi langsung teringat meeting dengan mbak Dila aku langsung menepuk jidat. “Aah … saya ada meeting jam 9 pagi, setelah itu kita langsung ke rumah sakit”.

Dia mengerutkan keningnya seperti baru saja mendengar celotehan makhluk dari planet Mars. “Siapa namamu?”

Aaahh … tentu saja, dia sudah mengenalkan diri ketika kami masih di dera hujan deras di bandung dan aku belum. “Saya Lusia Maharani”

“Maharani? Apakah kamu dari keluarga bangsawan?”

Hah? Bangsawan?

Tajir aja bukan termasuk golongan gue, apalagi bangsawan. Aku cuman dari kalangan kelas menengah, Papa Mama kelas menengah, aku juga kelas menengah. Kecuali nanti kalau salah satu karyaku bisa international best seller dan aku bisa seperti JK Rowling, nah baru deh aku bisa naik kelas ke kalangan tajir. “Saya cuman rakya bi a sa kok” ketika mengucapkan kata “biasa” suaraku agak meredup.

“Lalu kenapa kamu berani memakai nama Maharani?” tanyanya penuh selidik.

Memang apa yang spesial dengan nama Marahani? Cantik memang terdengarnya, dan iya Maharani berarti ratu tapi itu hanya nama, lagian yang ngasih nama kan emak bapak gue.

“Yang ngasih nama kan bapak ibu saya” jawabku agak mengkerut.

“Siapa orang tua kamu, apakah mereka berasal dari keluarga kerajaan?”

Hah kerajaan? Maksudnya kerajaan seperti keraton solo atau jogja gitu?

“Maksudnya?”

“Orang tua kamu, mereka berasal dari mana?” cecarnya lagi terdengar sangat penasaran.

“Papa dari Surabaya, Mama dari Semarang. Tapi mereka sudah lama di Jakarta” ini kenapa aku jujur banget yah sama orang asing. Aduh jangan-jangan dia adalah mata-mata yang hendak mencelakai keluargaku. Dia sudah membuntuti aku dari Bandung dan tertabrak mobil adalah salah satu aksinya supaya aku angkut ke sini. Aku mulai membuat teori konspirasi tanpa dasar. Hhhmm … mungkin nantinya bagus juga kalau aku bisa bikin cerita, akan menjadi novel thriller pertamaku. Tapi tunggu dulu, aku akan bisa membikin cerita kalau aku selamat melewati malam ini. Apakah aku akan selamat? Ya Tuhan ternyata aku jadi tegang sendiri.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status