Beranda / Fantasi / Mr. Airlangga / 3. Nama saya Lusia Maharani

Share

3. Nama saya Lusia Maharani

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-07 21:29:34

Aku menarik nafas lega ketika akhirnya aku berhasil memarkir mobil dengan selamat dan yang paling penting lagi sampai apartemen dengan selamat pula. Sampai detik ini orang ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang psikopat, pheeeww.

“Ini apartemen saya, besok pagi saya antarkan ke rumah sakit. Sekarang Mas bisa mengeringkan badan di atas biar nggak masuk angin” kataku seolah-olah menghindari masuk angin adalah hal yang paling penting saat ini. Aku membuka pintu dan menggambil koper kecilku yang terletak di jok belakang. Besok harus cuci mobil, kalau nggak mau mobil bau apek pikirku. Aku melihat Ra Putra Airlangga yang masih duduk manis di dalam mobil. Maksudnya, gue yang harus bukain pintu gitu? Amnesia sih boleh, tapi terus jangan bikin gue jadi babu dong. Aku mendengus kesal lalu berjalan kearah pintu penumpang.

Aku membuka pintu dengan tampang cemberut dan sukses berubah terbengong ketika setelah beberapa detik si Ra ... haish, aku menamakan dia Mr. Airlangga saja supaya lebih gampang, dan Mr. Airlangga ini tidak mau keluar juga.

“Mmmm … kamu mau tidur di dalam mobil sini? Silahkan saja sih, tapi nanti pasti diusir sama satpam keliling”.

Dia melihatku dengan pandangan menyelidik, aku memberikan kode tangan supaya dia keluar dari mobil. Dia mencoba keluar dengan seat belt yang masih terkunci, sekali lagi aku menarik nafas kemudian menunduk untuk melepaskan seat beltnya. Amnesia yang pa …, untuk kedua kalinya dia menangkis tanganku kali ini memegang lebih kencang dari yang sebelumnya. Aku memberikan pandangan mendelik.

“Saya cuman mau ngelepas seat belt” kataku kesal, dia masih tetap memegang tanganku. “Seat belt” kataku lagi dengan pandangan mata ke arah kunci seat belt, akhirnya dia melepaskan tanganku. Susah bener sih cuman mau ngebantuin melepas seat belt aja.

Mr. Airlangga akhirnya keluar, sedikit menunduk menghindari kejedot oleh mobil Nissan march mungilku. Dia tinggi tegap, dengan badan yang sepertinya sangat kekar, pasti kakinya agak kaku duduk di mobil kecilku. Aku melirik kursi penumpang depan yang sempit dan tidak sempat aku sesuaikan. Aku melirik ke arahnya lagi, apa mungkin dia bodyguard? Sumpah badannya sangat kekar seperti the rock.

“Ayuk” kataku memberi kode ke arahnya untuk mengikuti, si Mr. misterius seperti tidak yakin walaupun kemudian dengan patuh mengikuti. Ho … ho … ternyata aku bisa juga bossy ke orang sekekar dia, aku berjalan dengan membusungkan dada seperti Angelina Jolie di film Tomb Raider. Nggak begitu lama kok dingin menyerang, rupanya air hujan yang membuatku cukup basah kuyup ini mulai menampakkan aksinya, dingin bikin badan agak menggigil. Aku katupkan dua tangan lalu aku tiupkan ssuuhhh … ssuuuhh … mencoba mengeluarkan sisa-sisa udara hangat dari paru-paruku. Hilang sudah pose Lara Croft, yang tertinggal hanya aku yang berjalan terbungkuk-bungkuk kedinginan.

Aku melonjak kegirangan ketika pintu lift terbuka, seperti mendapatkan uang saweran di kala lebaran, nyatanya aku sudah nggak pernah dapat saweran lagi yang ada malah kudu nyawer ke para keponakan. Mr. Airlangga berdiri termangu di luar lift.

“Hayuk, apartemen saya ada di lantai 10 dan saya nggak mau naik lewat tangga” kataku sembari menahan pintu lift yang sudah meronta-ronta ingin menutup diri. Dia akhirnya mau bekerja sama untuk masuk, memandangi interior lift. Yeah, nggak banyak yang bisa dilihat kecuali deretan angka penunjuk lantai … ups … gila tampangku kusut banget. Aku melihat pantulan diriku di kaca lift yang persis seperti kucing kehujanan. Mr. Airlangga memandangku aneh ketika aku mengacak-acak rambut, berusaha mengeringkan dengan hasil yang sia-sia.

“Basah” kataku sambil menunjuk ke arah rambut. Dia merespon dengan melengos. Sialan!

Akhirnya, rumah. Aku bernafas lega, lalu dengan riang memencet digital lock di pintu apartemen sambil membelakangi tamu tak diundangku, memastikan dia tidak bisa melihat nomor kode kunci.

Ceklek.

Bunyi kunci pintu terbuka, terdengar lebih merdu dari suara Beyonce.

“Silahkan masuk” kataku menoleh ke arah Mr. Airlangga, kali ini dia mengikuti aku dengan patuh. You see, aku sudah berhasil menjinakkan dia.

“Sebentar saya ambilkan handuk” kataku sambil ngeloyor ke kamar mandi. Apartemenku berukuran studio dengan satu kamar berikut walk in closet mini. Seperti Carrie Bradshaw di sex and the city, aku memastikan mempunyai walk in closet untuk koleksi sepatu. Ok ... ok … jujur aku jadi terobsesi dengan sepatu setelah menonton serial sex and the city, salahkan Tante Lia yang mengenalkan aku dengan si empat sekawan itu. “Kalian anak muda tidak tahu tontonan yang mengubah fashion para wanita” kata Tante Lia pada waktu itu sambil memberikan sebox DVD sex and the city. Hari gini siapa yang masih nonton DVD coba? Tapi dengan gigih Tante Lia berpromosi tentang Carrie Bradshaw dan tiga sahabatnya. Benar saja, setelah episode pertama aku nggak sabar untuk menonton episode selanjutnya, persis seperti nonton drakor. Akibatnya? Aku berhalusinasi untuk membeli apartemen sendiri yang nantinya akan dipenuhi dengan koleksi sepatu. Ooohh … Carrie Bradshaw effect.

“Saya hanya punya ini, mudah-mudahan muat. Mas bisa mengeringkan badan dan ganti di kamar mandi” kataku memberikan handuk, kaos dan celana pendek Mas Rio yang tertinggal di sini. Mas Rio adalah Kakaku satu-satunya, kami dua bersaudara dan Mas Rio sering menyatroni apartemenku untuk memastikan aku baik-baik saja katanya. Memangnya aku anak kecil. Dia masih tidak bergeming. Aku melangkah menuju kamar mandi.

“Ini kamar mandinya” kataku membuka pintu. Setelah aku perhatikan, pakaiannya terlihat agak aneh. Celana selutut yang terlihat lebih mirip kain yang dililit dibanding celana, lalu baju warna hitam yang mirip seperti beskap. Di kakinya alih-alih sepatu tetapi hanya sepasang sendal yang juga dililit-lilit. Seriously who is this guy? Apakah dia dari suku badui yang nyasar sampai ke bandung? Pantesan dia sangat bingung, mungkin memang dia belum pernah bepergian sejauh itu.

Aku manggut-manggut penuh pengertian. “Silahkan mengeringkan badan di sini. Saya akan ganti baju dulu” kataku lalu bergegas pergi ke kamarku. Aku juga butuh baju kering, dingin brrrrrr ….

Dunia terasa lebih ringan dengan baju kering menempel di badan, tidak lagi menggigil dingin bikin masuk angin. Aku keluar kamar langsung menuju ke dapur untuk membikin dua cangkir teh panas. Tidak lama Mr. Airlangga keluar kamar mandi memakai kaos putih Mas Rio yang jelas-jelas kekecilan. Badannya terlihat lebih kekar dengan balutan kaos kesempitan tersebut, kedua lengannya besar dan berotot seperti orang yang rajin mengangkat barbel. Tapi tunggu … memang ada barbel di badui. Hhhmm dia kan belum tentu dari Badui Lusia, aku menyangkal diriku sendiri.

“Saya bikinkan teh hangat” kataku sambil meletakkan satu cangkir teh hangat di meja, satunya lagi aku pegang erat di tangan berharap panas teh di cangkir bisa cepat masuk ke badanku.

“Apakah ini tempat tinggal kamu?” tanyanya formal.

Ya jelas aja ini tempat tinggal gue, masak iya kalau aku menyusup ke tempat orang bisa dengan lincah tau medan tempat berbagai macam barang di letakkan. Aku mengangguk ringan “silahkan diminum tehnya sebelum dingin”.

Dia mengangkat cangkir teh dengan kedua tangannya, mendekatkannya ke arah hidung sebentar seperti ingin menghirup aroma teh hangat yang keluar dari cangkir tersebut lalu menyeruput. Ada aura elegan dan agung dari cara dia menikmati tehnya. Memang ada gitu aura agung menikmati teh? Aku menggelengkan kepala menyadari kebodohanku sendiri. Eh tapi mungkin kalau Ratu Elizabeth pasti akan menikmati teh dengan agung, dia kan ratu.

“Kamu pasti berasal dari keluarga terpandang bisa menyuguhkan minuman ini” katanya sambil meletakkan cangkir teh ke meja.

Keluarga terpandang? Maksudnya? Cuman teh, bukan merek terkenal yang berasal dari Inggris itu pula. Ini cuman merek teh asal kota tegal.

“Mama sama Papa sih lumayan, tapi kita nggak kaya-kaya banget kok” kataku tidak pasti. “Besok pagi saya bawa ke  rumah sakit untuk memastikan tidak ada apa-apa” kataku, tetapi langsung teringat meeting dengan mbak Dila aku langsung menepuk jidat. “Aah … saya ada meeting jam 9 pagi, setelah itu kita langsung ke rumah sakit”.

Dia mengerutkan keningnya seperti baru saja mendengar celotehan makhluk dari planet Mars. “Siapa namamu?”

Aaahh … tentu saja, dia sudah mengenalkan diri ketika kami masih di dera hujan deras di bandung dan aku belum. “Saya Lusia Maharani”

“Maharani? Apakah kamu dari keluarga bangsawan?”

Hah? Bangsawan?

Tajir aja bukan termasuk golongan gue, apalagi bangsawan. Aku cuman dari kalangan kelas menengah, Papa Mama kelas menengah, aku juga kelas menengah. Kecuali nanti kalau salah satu karyaku bisa international best seller dan aku bisa seperti JK Rowling, nah baru deh aku bisa naik kelas ke kalangan tajir. “Saya cuman rakya bi a sa kok” ketika mengucapkan kata “biasa” suaraku agak meredup.

“Lalu kenapa kamu berani memakai nama Maharani?” tanyanya penuh selidik.

Memang apa yang spesial dengan nama Marahani? Cantik memang terdengarnya, dan iya Maharani berarti ratu tapi itu hanya nama, lagian yang ngasih nama kan emak bapak gue.

“Yang ngasih nama kan bapak ibu saya” jawabku agak mengkerut.

“Siapa orang tua kamu, apakah mereka berasal dari keluarga kerajaan?”

Hah kerajaan? Maksudnya kerajaan seperti keraton solo atau jogja gitu?

“Maksudnya?”

“Orang tua kamu, mereka berasal dari mana?” cecarnya lagi terdengar sangat penasaran.

“Papa dari Surabaya, Mama dari Semarang. Tapi mereka sudah lama di Jakarta” ini kenapa aku jujur banget yah sama orang asing. Aduh jangan-jangan dia adalah mata-mata yang hendak mencelakai keluargaku. Dia sudah membuntuti aku dari Bandung dan tertabrak mobil adalah salah satu aksinya supaya aku angkut ke sini. Aku mulai membuat teori konspirasi tanpa dasar. Hhhmm … mungkin nantinya bagus juga kalau aku bisa bikin cerita, akan menjadi novel thriller pertamaku. Tapi tunggu dulu, aku akan bisa membikin cerita kalau aku selamat melewati malam ini. Apakah aku akan selamat? Ya Tuhan ternyata aku jadi tegang sendiri.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status