Beranda / Fantasi / Mr. Airlangga / 5. Rahasia jaman ini

Share

5. Rahasia jaman ini

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-07 21:49:13

Pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, dan dengan gerakan sehalus ninja aku berjingkat-jingkat ke arah pintu. Persis seperti maling, bedanya aku berada di rumahku sendiri.

Ceklek!

Duh kenapa ini kunci suaranya berisik banget, aku merutuki kunci pintu yang hanya bisa diam tak berdaya. Dengan gerakan sangat pelan aku membuka daun pintu. Treeeettt … terdengar suara pintu yang berdecit memilukan, arrrggghhh … nih pintu kenapa jadi tidak bersahabat begini! Aku mengintip dari celah pintu yang berhasil aku buka. Dia ada di sana! Aku kejapkan mata dan kukucek berulang-ulang, berharap dengan kucekan mata akan merubah keadaan.

Aku intip lagi. Dia masih ada di sana, duduk di lantai dengan kaki bersilang dan tangan di atas lutut masing-masing seperti sedang melakukan yoga. Eh yoga?

Kali ini aku berdiri di ambang pintu melupakan acara intip-mengintip. Dia duduk dengan sangat tenang, kedua mata tertutup dengan nafas naik turun yang teratur. Mungkin dia sedang meditasi, orang-orang jaman dulu sering meditasi atau bertapa gitu kan? Pikirku seolah-olah aku tahu saja kebiasaan orang jaman dulu.

“Kamu bisa ke sini kalau kamu mau.”

Aku terlonjak hampir kejedot pintu, aku pikir dia tidak melihat. Matanya masih tertutup tapi dia tahu aku ada di sini.

“Kamu masih berdiri di sana?” kali ini dia menoleh ke arahku. Mukanya terlihat segar, pasti dia mendapat beauty sleep semalam. Tapi tunggu, bantal dan selimut masih terlipat rapi di sofa. Dia tidur di mana? Di lantai?

“Kamu tidur di mana?” tanyaku sembari menunjuk bantal dan selimut yang teronggok rapi dan manis.

“Aku bermeditasi, lebih memberikan aku ketenangan,” katanya dengan suara setenang samudra tanpak ombak.

“Jadi ini bukan mimpi” gumamku lirih, memandang ke arah Mr. Airlangga yang sekarang membuka matanya. Dengan semburat sinar matahari pagi wajahnya terlihat lebih jelas, ada aura agung yang terpancar darinya. Mungkin benar dia adalah seorang Pangeran. “Ok, jadi kamu beneran Pangeran dari kerajaan Singosari yang nyasar ke tahun corona ini … ”

“Corona … apa itu?” dia memotong kalimatku.

“Corona itu virus yang bikin sejagad raja jadi nyesek. Anyway itu nggak penting sekarang, yang lebih penting adalah apakah kamu tahu bagaimana bisa kembali?” dengan asumsi dia ingin kembali ke dunianya. Dia memandangku lurus yang membuat aku agak lega, sepertinya pandangan ini berarti “I know what to do”.

“Aku sendiri belum tahu bagaimana aku bisa kembali ke jamanku.”

Arrrrgggghhhh ….

“Tapi kamu punya rencanakan, untuk bisa mendapatkan cara untuk kembali?” tanyaku memburu. Dia harus kembali ke jamannya, kalau tidak bagaimana dia bisa survive di sini? Dia

itu penduduk gelap, tidak punya KTP, tidak punya pekerjaan walaupun dari segi fisik dia cocok banget jadi bodyguard.

“Aku akan terus bermeditasi ke Shangyang Widi meminta petunjuk supaya aku bisa kembali.”

Aku mengerutkan kening, maksudnya apa bermeditasi, duduk bersila seperti tadi? Mana cukup? Hari gini mana bisa hanya duduk bersila terus kamu bisa keluar dari masalah.

“Memang tidak ada cara yang lebih konkrit?”

“Saat ini hanya itu yang bisa aku lakukan.”

Aku kurang puas dengan jawabannya, tetapi memang apa yang bisa aku lakukan juga? Aku bukan Tony stark yang super jenius dan bisa menciptakan robot dari rongsokan, masak telur ceplok aja nggak bisa.

“Ok, kita tenang dulu. Kalau kita tenang masalah pasti bisa dipecahkan,” padahal hatiku jauh dari tenang. Aku mau apakan orang ini, aku selundupkan terus-terusan di apartemenku? Gimana kalau Mas Rio tiba-tiba sidak ke sini? Baiklah, semua aku kesampingkan terlebih dahulu, sekarang ada hal lain yang lebih mendesak. Meeting dengan Mbak Dila!

*****

Aku meninggalkan Mr. Airlangga di parkiran, dia setuju untuk duduk manis di dalam mobil. setelah berdebat panjang dengan diri sendiri, aku memutuskan lebih baik dia diam di mobil dulu daripada membikin ricuh semua orang dengan baju dan celana yang dua size kekecilan itu. Setelah meeting selesai tujuan utamaku adalah mencarikan baju yang layak untuk dia. Dia akan tinggal di jaman ini untuk beberapa saat dan mempunyai pakaian yang layak adalah basic human right.

Mood Mbak Dila sangat baik pagi ini, mungkin karena awal bulan jadi baru saja gajian. Walaupun dengan posisi yang dia duduki aku tidak yakin akan ada bedanya antara awal bulan atau akhir bulan, kantong dia pasti sama tebalnya. Dia mengajukan beberapa ilustrasi cover buku, lebih tepatnya hanya menunjukkan karena pada akhirnya dia yang akan mengambil keputusan. Lagi pula aku tidak dalam mood untuk adu argumen dengan dia, aku punya masalah sendiri, rahasia yang orang seluruh dunia tidak tahu. Ya Tuhan, ini rahasia besar, aku bisa saja masuk BBC atau CNN kalau mereka tahu, jadi terkenal dan buku-bukuku bakalan jadi international best seller. Eh ngarep tetep ada.

“Jadi kita akan proceed dengan cover ini ya Lus,” kata Mbak Dila.

“Iya mbak, pilihan bagus” kataku manggut-manggut ingin cepat-cepat menyudahi meeting ini. Pikiranku tertuju ke Mr. Airlangga yang aku tinggalkan di parkiran, dalam hati aku merasa bersalah sudah meninggalkan dia sendirian, di parkiran pula.

“Ok, saya akan lanjutkan untuk proses layout supaya buku kamu bisa cepat dinikmati oleh para fans kamu,” kata mbak Dila sambil tersenyum.

Iya, biarpun aku bukan artis atau apa aku cukup punya penggemar. Para pembaca setia buku-bukuku, walaupun mereka bukan model yang berteriak-teriak ketika ketemu. Aku memang mengijinkan photo kecilku terpampang di akhir buku, para fansku biasanya mengenali diriku dari photo kecil mungil itu.

Aku berlari-lari menuju ke arah parkiran dan langsung bernafas lega menemukan Mr. Airlangga di sana, masih dengan posisi yang sama duduk di dalam mobil dengan kaca mobil yang aku buka lebar-lebar.

“Kamu nggak ke mana-mana sedari tadi?” tanyaku heran.

“Kamu meminta aku untuk menunggu di dalam sini,” katanya.

“Iya, tapi kamu juga boleh kok menunggu di luar mobil.”

Untung mobil aku parkir di bawah pohon yang cukup rindang, jadi udara lebih adem dari tempat lain yang tidak terlindung pohon.

“Ok Mister, sekarang waktu kamu mendapatkan basic human right!” kataku sembari menstater mobil.

Bersambung ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status